Rabu, 27 Juli 2016

Tindak Pidana Manipulasi Faktur Pajak dan Upaya Penanggulangan Faktur Pajak Fiktif







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak karena penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor Barang kena pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai[1]. Faktur pajak berfungsi sebagai bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.
Permasalahan faktur pajak fiktif sebenarnya sudah bukan hal yang baru walau tetap menjadi salah satu sorotan utama atas permasalahan-permasalahan yang terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan faktur pajak fiktif yang melibatkan oknum petugas pajak, wajib pajak, dan pihak-pihak lainnya telah berhasil diungkap oleh DJP dengan melibatkan pihak aparat hukum yang berwenang.
Walaupun beberapa oknum yang berkaitan dengan faktur pajak fiktif tersebut telah dijatuhi hukuman, ternyata efek jera yang ditimbulkan tidak begitu berpengaruh, dengan kata lain permasalahan tersebut masih dapat muncul setiap saat.
Dalam rangka meningkatkan langkah antisipatif untuk menanggulangi terjadinya kasus penggunaan faktur pajak fiktif, maka perlu kiranya pihak DJP meningkatkan pengendalian internal terhadap permasalahan tersebut dengan langkah-langkah antara lain sebagai berikut: Memberikan penegasan kembali tentang pentingnya melakukan langkah-langkah pengamanan berkaitan dengan faktur pajak fiktif dan klarifikasi/konfirmasi PK-PM sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-745/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan. Pengawasan (klarifikasi) terhadap PK-PM hendaknya dilakukan secara periodik dan tidak hanya pada saat melakukan pemeriksaan. Bila dijumpai adanya kejanggalan dapat segera diambil langkah-langkah pencegahan terjadinya penyimpangan lebih lanjut.
Dalam hal permintaan klarifikasi dari KPP tempat PKP Penjual terdaftar belum dijawab, maka aparat pemeriksa pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Pengujian Arus Kas dan Arus Barang atas Faktur Pajak yang Dimintakan Klarifikasi, dilengkapi dengan Kertas Kerja Pemeriksaan beserta dokumen-dokumen yang mendukung hasil pengujian tersebut, seperti rekening koran, bukti penerimaan barang, voucher, kartu gudang, atau dokumen terkait lainnya.
Lebih meningkatkan pengendalian terhadap data PK-PM dengan melakukan pembatasan terhadap pejabat yang dapat mengakses menu dan petugas yang melakukan peng-input-an maupun penggunaan, disertai dengan peningkatan pengawasan atasan langsung sehingga dapat mencegah terjadinya pengubahan data oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah menyelesaikan penyelidikan terhadap 92 kasus tindak pidana bidang perpajakan selama 2009–2012 dan masuk tahap penuntutan oleh kejaksaan di pengadilan. Sekitar 69 kasus di antaranya telah divonis di pengadilan dengan putusan penjara dan denda pidana sebesar hampir 4,3 triliun rupiah. Selama ini, kasus tindak pidana bidang perpajakan didominasi kasus faktur pajak tidak sah (fiktif) dan bendaharawan. Pelaku terbesar adalah wajib pajak badan sebanyak 68 kasus, wajib pajak bendaharawan sebanyak 14 kasus, dan wajib pajak orang pribadi sebanyak 10 orang.
Kasus faktur pajak tidak sah atau fiktif memang masih marak. Direktorat Jenderal Pajak menegaskan larangan menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya dan/atau sebelum wajib pajak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Tidak hanya penerbit, namun pengguna faktur pajak tidak sah juga akan kena hukuman yang sama.
Direktorat Jenderal Pajak melarang wajib pajak menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya dan/atau dari wajib pajak yang belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Sebelum menerima faktur pajak, hendaknya mewaspadai dan memeriksa terlebih dulu apabila penerbit itu sudah masuk suspect list Ditjen Pajak.
Penerbit dan pengguna faktur pajak tidak sah (fiktif) akan diselidiki atas tindak pidana di bidang perpajakan. Sesuai Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), pelaku kasus faktur pajak tidak sah dapat dituntut di pengadilan dengan ancaman pidana penjara paling sedikit dua tahun dan paling lama enam tahun.
Konsep pengenaan PPN pada prinsipnya diberlakukan atas setiap pertambahan nilai dari barang/jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam Bahasa Inggris, pajak ini disebut value added tax (VAT) atau goods and service tax (GST). PPN tergolong jenis pajak tidak langsung, yang artinya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak adalah hal yang berbeda. PPN mempunyai sifat obyektif, artinya pengenaan pajak didasarkan pada obyek pajak.
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai  dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagai aturan formal pertama untuk PPN, produk primer pertanian yang termasuk kebutuhan pokok, seperti beras, jagung, sagu, dan kedelai adalah jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Aturan tersebut tetap dipertahankan pada peraturan perubahannya, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Karakteristik PPN yang menempatkan obyek pajak sebagai dasar pengenaan pajak, seharusnya tidak membeda-bedakan pengenaan pajak antara badan usaha/perusahaan. Sebab, dasar pengenaan PPN adalah obyek pajak, berarti pengenaannya pada barang/jasa yaitu produk pertanian, bukan pada perusahaan atau petani yang statusnya sebagai subyek.
Adapun yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap Tambahan Kemampuan Ekonomi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Pengurusan pajak yang berkelanjutan, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional.
Pengurusan pajak yang yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak harus teliti dan jelas sesuai dengan peraturan pajak dan UUD agar tidak menimbulkan salah paham dan masalah baru sebagaimana kasus Aban yang didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, 8 November 2010 melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP (dakwaan primer). Serta melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf a UU KUP sebagai dakwaan sekunder. Tim penuntut yang dipimpin Martha Berliana, pada 10 Maret 2011, menuntut Aban pidana penjara selama empat tahun dan denda empat miliar rupiah.
Penegakan hukum menjadi pilihan utama Direktorat Jenderal Pajak menangani penyalahgunaan wewenang wajib pajak yang diberikan undang-undang. Seperti diketahui, UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) seperti diperbarui dengan UU No.5 Tahun 2008 menerapkan sistem self assessment pada wajib pajak.
Wewenang tersebut memberikan keleluasaan pada wajib pajak untuk mengitung, melaporkan, lalu membayar kewajiban mereka. Jika kewenangan itu diselewengkan, penegakan hukum pasti dilakukan.

B.     Permasalahan
1.      Bagaimanakah substansi peraturan perpajakan dan tindak pidana manipulasi faktur pajak fiktif ?
2.      Bagaimanakah upaya penanggulangan kasus manipulasi faktur pajak fiktif melalui undang-undang perpajakan ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tinjauan Tentang Pajak
Pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan adalah sebagai berikut :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kotra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”, dengan penjelasan sebagai berikut: “Dapat dipaksakan” artinya: bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dna juga penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbal balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi.[2]
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1 juga telah secara jelas menjabarkan pengertian dari pajak. Definisi pajak dalam Undang-Undang tersebut tidak lagi dinyatakan sekedar sebagai pungutan atau iuran yang bersifat memaksa, sebagaimana banyak dikemukakan oleh para ahli, melainkan disebut sebagai kontribusi wajib. Konstribusi wajib tersebut bersifat memaksa, artinya semua orang diminta untuk berperan serta dengan membayar pajak sepanjang ia memenuhi syarat subjektif dan objektif perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perpajakan. Apabila ia melalaikan kewajiban tersebut maka kepadanya akan dilakukan upaya paksa, baik pengenaan saksi perpajakan (sanksi administrasi atau sanksi pidana) maupun upaya penagihan pajak secara paksa.[3]
Semua orang yang memenuhi syarat subjektif berarti mereka (orang atau badan)  yang dalam kondisi dan keadaan tertentu dapat diketegoriksan sebagai subjek pajak. Hal ini sebagai salah satu cara untuk membedakan antara subjek pajak dan wajib pajak sesungguhnya. Semuanya sangat berkaitan dengan kontribusi wajib yang dapat dipaksakan sehingga mengharuskan seorang subjek pajak benar-benar dapat dikategorikan sebagai wajib pajak agar tidak error in persona  dalam melakukan pemungutan. Tentu saja dibutuhkan keterlibatan setiap pihak untuk menghindari adanya kesalahan tersebut, sehingga dibutuhkan peraturan yang mengatur terkait hal tersebut.
Definisi pajak yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. menyimpulkan atau memberikan ruang bahwa pajak memiliki unsur-unsur, antara lain :
1.      Iuran rakyat kepada Negara, yang berhak memungut pajak adalah Negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang);
2.      Berdasarkan Undang-Undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuasaan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya;
3.      Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah;
4.      Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.[4]
Unsur pertama terkait iuran rakyat kepada negara yaitu merupakan kontraprestasi wajib dalam pajak yang bersumber dari rakyat. Dalam hal ini siapakah yang disebut rakyat? Rakyat adalah warga negara dalam suatu negara yang tinggal, berdomisili dan memiliki kewarganegaraan berdasar negara tersebut. Apa hal tersebut lalu mewajibkan seluruh rakyat di Indonesia, dalam segala usia dan segala jenis pekerjaan diwajibkan membayar pajak? Tentu saja tidak, seperti diketahui adanya syarat subjektif dan syarat objektif dalam pemungutan pajak yang memungkinkan adanya pemisahan dan pembedaan bagi tiap rakyat atau warga negara.
Pajak Penghasilan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah mengalami perubahan sebanyak 4 kali dan yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 1 berbunyi “Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.”
Sesuai dengan ketentuan Undnag-Undang PPh, subjek pajak dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima penghasilan disebut sebagai wajib pajak , yang dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak, atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.[5] Lalu siapa saja yang secara nyata dan berdasar hukum menjadi Wajib Pajak dari pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) ?
Fakta bahwa Negara memiliki landasan yurisdiksi terkait pelaksanaan pemungutan pajak memberi kepastian dan dasar bahwa negara mempunyai batas dan ketentuan sendiri untuk menentukan setiap wajib pajak nya di segi-segi tertentu. Salah satu landasan yurisdiksi yang dimiliki pemerintah adalah Asas Domisili yang intinya berarti negara yang berwenang melakukan pemungutan pajak adalah negara dimana seorang subjek pajak nya berdomisili. Hal terkait subjek pajak PPh yang terdiri dari orang, badan, warisan yang belum terbagi serta bentuk usaha tetap tersebut dapat diketemukan pada Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang didalamnya juga dibagi lagi menjadi Subjek Pajak dalam dan luar negeri.
Pasal 2 ayat (3) huruf a terkait orang  pribadi  yang  bertempat  tinggal  di  Indonesia,  orang  pribadi yang  berada  di Indonesia  lebih  dari  183  (seratus  delapan  puluh tiga)  hari  dalam  jangka  waktu  12  (dua belas)  bulan,  atau orang pribadi  yang  dalam  suatu  tahun  pajak  berada  di  Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, artinya secara nyata orang tersebut telah tinggal dan berdomisili di Indonesia dan Negara berhak untuk melakukan pemungutan pajak atas dirinya, terutama atas pertambahan penghasilan yang diperoleh oleh orang tersebut, walaupun sumber penghasilannya belum tentu berasal dari Indonesia. Hal tersebut pada akhirnya dapat menjadi terpenuhinya syarat subjektif atas diri orang tersebut, dan untuk syarat objektifnya tinggal melihat penyesuaian pada jumlah penghasilannya, dalam Pasal 2 ayat (3) ini dalam konteks subjek pajak dalam negeri dan jelas landasan yurisdiksinya pada Asas Domisili. Lalu bagaimana dengan subjek pajak luar negeri ?
Pasal 2 ayat (4) apabila diringkas pengertiannya akan menjadi subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui BUT[6] (Bentuk Usaha Tetap). Secara implisit pada ayat ini lebih terfokus pada landasan yuridiksi pemungutan pajak berupa Asas Sumber sehingga negara yang berhak memungut adalah negara dimana asal penghasilan diperoleh. Hal ini tentu berbeda dengan Asas Domisili seperti pada Pasal 2 ayat (3), tetapi pada subjek pajak luar negeri untuk PPh lebih mengacu pada Asas Sumber.
Aplikasi dari penerapan Asas Domisili adanya ketentuan Status Principle, dimana suatu Negara berhak untuk mengenakan pajak pada orang atau subjek pajak yang berdomisili dan berkewarganegaraan di Negara tersebut sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pajak yang dipungutkan atas penghasilan seseorang pada Negara tersebut karena telah tinggal dan berdomisili pada Negara tersebut menjadi pantas karena orang tersebut telah secara tidak langsung menikmati hal-hal atau jas-jasa yang disediakan oleh pemerintah yang disediakan secara umum.

B.     Faktur Pajak
Faktur Pajak merupakan bagian dari Pajak Pertambahan Nilai, yang dimaksud dengan faktur Pajak itu sendiri adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, sedangkan untuk Pengusaha Kena Pajak ini disebut dengan PKP. Faktur pajak berfungsi sebagai kredit pajak masukan yaitu dapat menjadi kredit terhadap faktur pajak keluaran yang diterbitkan pada periode selanjutnya. Fungsi kedua yaitu dipergunakan untuk keperluan pemeriksaan pemungutan pajak oleh otoritas pajak[7].
a.      Jenis Faktur Pajak menurut Waluyo[8]
1.      Faktur pajak standar
2.      Bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak
3.      Faktur pajak gabungan
4.      Faktur pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-uandang Pajak Pertambahan Nilai
5.      Faktur pajak khusus
6.      Yang dimaksud dengan faktur pajak khusus disini adalah Orang pribadi pemegang paspor luar negeri dan diterbitkan oleh negara lain dengan memenuhi syarat:
a)      Bukan Warga Negara Indonesia atau bukan Permanent Resident of Indonesia yang tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 2 (dua) bulan sejak tanggal kedatangan; dan/atau
b)      Bukan kru dari maskapai penerbangan

b.      Faktur pajak fiktif berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE - 29/PJ.53/2003 pada Tanggal 4 Desember 2003
1.      Faktur pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2.      Faktur pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha dengan menggunakan nama, NPWP dan Nomor Pengukuhan PKP orang pribadi atau badan lain.
3.      Faktur pajak yang digunakan oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP penerbit.
4.      Faktur pajak yang secara formal memenuhi ketentuan Undang-undang PPN, tetapi tidak memenuhi secara material yaitu tidak ada penyerahan barang dan atau uang atau barang tidak diserahkan kepada pembeli sebagaimana tertera pada faktur pajak.
5.      Faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

c.       Sosialisasi Direktorat Jenderal Pajak pada Tanggal 31 Januari 2013 Landasan Hukum PER-24/PJ/2012 yaitu :
1.      UU PPN Pasal 13 ayat (8) UU NO.42/2009
Tata cara pembuatan Faktur Pajak diatur dengan/berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.      PMK Pasal 13 PMK 84/PMK.03/2012
Tata cara pengisian keterangan pada Faktur Pajak diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
3.      PER DJP Per Dirjen Pajak No PER-24/PJ/2012
Keterangan Faktur Pajak (Nomor Seri Faktur Pajak)
a)      Kendali Nomor Seri Faktur Pajak berdasarkan Pengumuman Nomor Prng-01/WPJ.11/KP.11/2013 yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
Nomor Seri Faktur Pajak hanya diberikan kepada PKP yang:
o   Telah dilakukan registrasi ulang PKP sesuai dengan Per-05 dan perubahanya atau telah dilakukan verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP.
o   Telah melakukan update alamat sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, apabila terjadi perubahan alamat
o   Telah mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password
o   Telah menerima surat pemberitahuan kode aktivasi dari KPP
o   Telah menerima pemberitahuan password melalui e-mail
o   Telah mengajukan surat permintaan nomor seri faktur pajak
o   Telah memasukkan kode aktivasi dan password dengan benar pada saat mengajukan permintaan nomor seri faktur pajak.
o   Telah menyampaikan SPT masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir berturut-turut yang telah jatuh tempo pada tanggal surat permohonan nomor seri faktur pajak disampaikan ke KPP
b)     Keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 Pasal 5
Faktur pajak harus memuat keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit mencantumkan:
o   Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
o   Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
o   Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga
o   Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
o   Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut
o   Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak, dan
o   Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak
c)      Poin Perubahan kebijakan Faktur Pajak PPN sesuai dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-13/2010 dan PER/12/2012
o   Otorisasi pemberian nomor seri
PER-13/PJ/2010 Nomor urut Faktur Pajak ditentukan sendiri oleh PKP secara berurutan, sedangkan dalam PER-24/PJ/2012 nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan mekanisme yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dalam memberikan nomor seri Faktur Pajak penggunaanya akan di pantau oleh Direktorat Jenderal Pajak, dan terlebih dahulu PKP harus mengajukan kode aktivasi dan Password kepada Kantor Pelayanan Pajak terkait.
o   Syarat diberikan nomor seri Faktur Pajak
PER-13/PJ/2010 Tidak ada syarat khusus, baik PKP ataupun non PKP dapat membuat nomor sendiri, sedangkan dalam PER-24/PJ/2012 Nomor Seri Faktur Pajak diberikan kepada PKP yang telah diregistrasi ulang dan PKP baru yang telah diverifikasi dalam rangka pengukuhan PKP.
o   Identitas PKP khususnya alamat dan jenis barang/jasa
PER-13/PJ/2010 identitas tidak diperlukan dalam pembuatan Faktur Pajak tetapi dalam PER-24/PJ/2012 diperlukan penegasan keterangan Faktur Pajak mengenai alamat dan jenis barang/jasa harus diiisi sesuai dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya.
o   Penunjukan dan penandatangan Faktur Pajak
PER-13/PJ/2010 PKP tidak disyaratkan melampirkan fotokopi kartu identitas yang sah, sedangkan dalam PER-24/PJ/2012 mengatur pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak yang berhak: PKP wajib memberitahukan ke KPP surat penunjukan penandatanganan Faktur Pajak dan fotokopi kartu identitas yang sah (dilegalisasi oleh pejabat berwenang)
o   Penggunaan kode Transaksi (02 dan 03)
PER-13/PJ/2010 penggunaan kode Transaksi dapat menimbulkan multitafsir untuk transaksi yang harus dipungut oleh pemungut dengan mekanisme formal, sedangkan dalam PER-24/PJ/2012 mempertegas peruntukan kode transaksi, yaitu kode 02 (bendahara pemerintah) dan 03 (BUMN dan KPS) digunakan untuk penyerahan yang PPNnya dipungut oleh pemungut PPN.
o   Urutan nomor seri Faktur Pajak
PER-13/PJ/2010 wajib membetulkan FP sehingga sequence number tetap terjaga dan apabila tidak dibetulkan, PKP penerbit dikenai sanksi Ps 12 (4) UU KUP dan PKP pembeli tetap dapat mengkreditkan PM sedangkan dalam PER-24/PJ/2012 nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan blok nomor urut, pengguna nomor urut Faktur Pajak yang tidak urut tidak dikenai sanksi dan terdapat kewajiban pelaporan nomor yang tidak terpakai
o   Penerbitan Faktur Pajak Pengganti
PER-13/PJ/2010 menggunakan nomor seri baru Dilaporkan di 2 Masa Pajak SPT, yaitu di masa FP yang diganti dan di masa pembuatan FP pengganti, sedangkan dalam PER-24/PJ/2012 menggunakan nomor seri yang sama hanya dilaporkan di SPT FP yang diganti
o   Pengkreditan Faktur Pajak
PER-13/PJ/2010 Faktur Pajak yang tidak diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya dan yang tidak mengikuti tata cara sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat dikreditkan oleh PKP pembeli, sedangkan dalam PER-24/PJ/2012 kesalahan dalam pengisian keterangan Faktur Pajak di luar kuasa PKP Pembeli tetap dapat dikreditkan (nomor tidak urut, kode cabang dan penandatangan belum diberitahukan ke KPP)
o   Nomor seri Faktur Pajak ganda (lebih dari satu)
PER-13/PJ/2010 jika terdapat nomor seri Faktur Pajak yang sama atau ganda PKP wajib membetulkan faktur pajak sehingga sequence number tetap terjaga, sedangkan dalam PER-24/PJ/2012 seluruh Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak yang sama/ganda maka dianggap sebagai Faktur Pajak Tidak Lengkap dan setiap PKP akan diberikan jatah dalam pemberian nomor Faktur Pajak.
d)     Jumlah Nomor Seri Faktur Pajak yang dapat diberikan PKP oleh Direktorat Jenderal Pajak menurut Surat Edaran Direktorak Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2012 dalam Lampiran III Tanggal 22 November 2012
o   Perhitunganya menggunakan sistem
o   Dalam hal yang diminta PKP kurang dari formula atau ketentuan maka PKP akan menerima sejumlah yang diminta
o   Nomor seri yang diberikan paling banyak :
1)      Untuk PKP baru 75 nomor seri faktur pajak atau PKP yang melaporkan SPT-nya secara manual/hardcopy atau
2)      120% dari jumlah faktur pajak yang diterbitkan PKP selama 3 bulan berturut-turut yang telah jatuh tempo pada saat pengajuan permintaan untuk PKP yang melaporkan SPT-nya secara elektronik pada masa sebelumnya

C.    Hubungan Pajak dan Masyarakat
Menurut Rochmat Soemitro[9] pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya terdapat dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat tidak ada pajak. Masyarakat yang dimaksudkan adalah masyarakat hukum atau Gemeinschaft menurut istilah Ferdinand Tonies (dalam Rochmat Soemitro)[10], bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft. Penghasilan negara adalah berasal dari masyarakat melalui pemungutan pajak, atau dari hasil kekayaan alam yang ada di dalam negara. Jadi penghasilan itu untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan rakyat, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya. Jadi dimana ada kepentingan masyarakat, disitu timbul pemungutan pajak, sehingga pajak adalah senyawa dengan kepentingan umum.

D.    Sistem Self Assessment dalam Penghitungan Pajak
Menurut bagian penjelasan UU KUP bahwa self assessment adalah ciri dan corak sistem pemungutan pajak. Self assessment merupakan suatu sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk :
a)          berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP [nomor pokok wajib pajak];
b)          menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang.
Masih menurut penjelasan UU KUP bahwa sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkannya secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Media atau surat yang digunakan Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak disebut Surat Pemberitahuan, disingkat SPT.
Kepercayaan yang diberikan oleh undang-undang kepada Wajib Pajak idealnya ditunjang dengan  :
a)      kesadaran Wajib Pajak tentang kewajiban perpajakan;
b)      keinginan untuk membayar pajak terutang walaupun terpaksa;
c)      kerelaan Wajib Pajak untuk menjalankan peraturan perpajakan yang berlaku;
d)     kejujuran Wajib Pajak untuk mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Salah satu bagian dari sistem self assessment adalah adanya daluwarsa penagihan yang di Pasal 22 UU KUP. Aturan terakhir, UU No. 28 tahun 2007, daluwarsa penagihan ditetapkan 5 (lima tahun saja)! Apa maknanya? Bahwa negara tidak memiliki hak untuk menagih atau memungut pajak setelah lewat 5 tahun. Berapapun utang pajak! Selain itu, SPT yang dilaporkan kepada DJP juga dianggap benar setelah 5 tahun. Secara hukum, setelah lewat 5 tahun, kewajiban perpajakan Wajib Pajak dianggap benar.
Hanya saja Pasal 22 ayat (2) UU KUP mengatur bahwa daluwarsa tersebut akan tertangguh atau mundur dari tahun pajak yang bersangkutan jika :
a)      diterbitkan Surat Paksa;
b)      ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
c)      diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
d)     dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam jangka waktu 5 tahun tersebut, DJP dapat melakukan koreksi terhadap SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak melalui pemeriksaan. Menurut UU KUP, pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dari definisi pemeriksaan sudah jelas bahwa DJP hanya bisa melakukan koreksi atas isi SPT Wajib Pajak jika DJP memiliki data, keterangan dan bukti bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar. Jika DJP tidak memiliki data dan bukti atas ketidakbenaran SPT Wajib Pajak maka DJP tidak bisa melakukan koreksi walaupun si pemeriksa pajak sangat yakin bahwa SPT Wajib Pajak salah. Keyakinan si pemeriksa tidak bisa dijadikan dasar melakukan koreksi SPT. Bahkan teknik-teknik analisa yang dilakukan oleh pemeriksa juga tidak cukup untuk dijadikan dasar koreksi.
DJP boleh melakukan koreksi SPT jika ada bukti nyata*). Meminjam peraturan kepabeanan bahwa bukti nyata adalah bukti atau data berdasarkan dokumen yang benar-benar tersedia dan pada dokumen tersebut terdapat besaran, nilai atau ukuran tertentu dalam bentuk angka, kata dan/atau kalimat. Dokumen ini bisa berasal dari dokumen Wajib Pajak atau pihak lain.
Selain dokumen, keterangan juga bisa dijadikan dasar koreksi SPT. Sesuai definisi pemeriksaan di UU KUP bahwa pemeriksa pajak itu mengolah data, keterangan atau bukti. Saya menganggap bukti ini dokumen jika mengacu kepada aturan kepabeanan. Sedangkan keterangan tidak didefinisikan secara jelas [setidaknya setelah dicari di databese aturan perpajakan] kecuali dalam kamus bahwa keterangan adalah sesuatu yang menjadi petunjuk atau yang menyebabkan tahu. Jadi bisa saja keterangan ini informasi yang diberikan pegawai Wajib Pajak, pihak lain yang berhubungan dengan Wajib Pajak atau pihak lain yang independen. Apapun itu yang menyebabkan si pemeriksa pajak tahu bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar.


BAB III
KASUS POSISI

A.    Kronologi kasus
Penegakan hukum menjadi pilihan utama Direktorat Jenderal Pajak menangani penyalahgunaan wewenang wajib pajak yang diberikan undang-undang. Seperti diketahui, UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) seperti diperbarui dengan UU No.5 Tahun 2008 menerapkan sistem self assessment pada wajib pajak.
Wewenang tersebut memberikan keleluasaan pada wajib pajak untuk menghitung, melaporkan, lalu membayar kewajiban mereka. “Jika kewenangan itu diselewengkan, penegakan hukum pasti dilakukan.
Seperti kasus yang telah ada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk terdakwa Subandi Budiman alias Aban, Rabu, 16 Maret 2011. Terdakwa dihukum dua tahun penjara dan denda semiliar rupiah karena melanggar UU KUP oleh majelis hakim yang dipimpin Henry Tarigan pada 16 Maret 2011.
Penanganan perkara ini diawali dari hasil penyidikan PPNS DJP Kanwil Jakut, diketahui faktur pajak STSJ yang melaporkan pajak masukan dan keluaran ternyata bermasalah. Kemudian dilakukan pengembangan dari hasil pemeriksaan awal dalam proses penyidikan dan ditemukan dua dugaan tindak pidana.
Dia uraikan, penyidikan dilakukan PPNS Kanwil DJP Jakarta Utara yang didukung Direktorat Intelejen dan Penyidikan DJP. Serta ada keterlibatan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri. Sehingga, pada 29 September 2010, berkas penyidikan ditetapkan lengkap (P-21) oleh Kejati DKI Jakarta.
Dugaan pertama, Aban melalui STSJ mengeluarkan faktur pajak lebih dari sepuluh perusahaan yang menjual produk-produk mereka pada perusahaan lain. Keberadaan perusahaan penjual maupun pembeli memang benar adanya. Tapi, Aban membuat faktur pajak transaksi jual beli oleh kedua pihak yang tak pernah diakui oleh perusahaan penyuplai dan pembeli.
Oleh Aban, sejumlah faktur pajak fiktif digunakan untuk restitusi PPN, sesuai UU No.49 Tahun 2009 tentang PPN. Namun, upaya Aban terendus pemeriksa pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pademangan, Jakarta Utara. Kemudian hal itu dilaporkan pada Kanwil DJP Jakarta Utara yang kemudian melakukan tindakan secara hukum sehingga Aban divonis dua tahun.
Sedangkan modus pidana Aban yang kedua adalah menerbitkan faktur pajak bermasalah, atas nama perusahaan fiktif. Kemudian, faktur bodong itu dijual Aban pada pengguna faktur pajak bermasalah lain. “Sudah ada terdakwa yang kini menjalani proses penuntutan di PN Jakarta Utara,” sebut Edward. Kemudian, faktur pajak tersebut pengguna lain untuk meminta restitusi, mengurangi setoran PPN, dan digunakan pada pengguna lain urai Edward lagi.
Sebelumnya, Aban didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, 8 November 2010 melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP (dakwaan primer). Serta melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf a UU KUP sebagai dakwaan sekunder. Tim penuntut yang dipimpin Martha Berliana, pada 10 Maret 2011, menuntut Aban pidana penjara selama empat tahun dan denda empat miliar rupiah.
Sedangkan, ancaman hukuman dari pasal seperti dakwaan primer adalah paling lama enam tahun dan denda empat kali pajak yang tidak/kurang dibayar. Adapun, kerugian negara akibat perbuatan Abun mencapai Rp2,2 miliar.
Dari perhitungan Kakanwil, potensi uang negara yang hilang mencapai triliunan rupiah setahun. Itu, berasal dari potensi omzet kegiatan ekonomi di Jakarta Utara mencapai Rp40 triliun–Rp50 triliun. “Apabila dihitung PPN 10 persen, potensi hilangnya pendapatan negara akibat perbuatan orang seperti Abun per tahun mencapai angka Rp4 triliun-Rp5 triliun per tahun,” sebutnya.

B.     Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara
Kepala Kanwil DJP Jakarta Utara Agus Wuryantoro memberikan Konferensi Pers atas Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai oleh Henry Tarigan SH, M.H pads tanggal 16 Maret 2011 yang telah menjatuhkan vonis bersalah terhadap Pengusaha Subandi Budiman alias Aban dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp, 1 Milyar.
Terpidana Aban adalah salah satu Direktur PT. Sinar Terang Sentosa Jaya (PT.STSJ) yang divonis telah melakukan tindak pidana perpajakan. Aban bersama dengan Tjay Sin Tjauw (DPO) mendirikan perusahaan PT.STSJ dengan maksud untuk memperoleh restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan menyampaikan SPT yang Isinya Tidak Benar. Modus yang digunakan oleh terdakwa adalah dengan mengkreditkan Faktur Pajak Yang Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya (FP Bermasalah) dalam SPT Masa PPN Lebih Bayar atas nama PT. STSJ, yang dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk mendapatkan restitusi (Pengembalian ) PPN.
Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kanwil DJP Jakarta Utara dan dengan mendapat dukungan dart Direktorat Intelijen dan Penyidikan, Kantor Pusat DJP sorta Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri. Berkas Perkara telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pads tanggal 29 September 2010 dan sidang pertama telah dilakukan di PN Jakarta Utara pada tanggal 8 Nopember 2010.
Berdasarkan Penyidikan yang dilakukan oleh PPNS Kanwil DJP Jakarta Utara diketahui bahwa pajak masukan dan pajak keluaran yang dilaporkan oleh PT.STSJ adalah Faktur Pajak Bermasalah Karena tidak didukung oleh adanya transaksi penyerahan barang dan pembayaran (=tidak ada transaksi) atau dengan Kata lain bahwa PT. STSJ tidak melakukan transaksi pembelian dan penjualan, namun melaporkan adanya Faktur Pajak Masukan dan Faktur Pajak Keluaran.
Ketentuan pidana perpajakan yang dilanggar oleh Wajib Pajak adalah pasal 39 ayat (1) huruf (c) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP), yaitu menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan Tatacara Perpajakan (UU KUP), yaitu menyampaikan Suarat Pemberitahuan (SPT) dan atau Keterangan yang Isinya tidak benar atau tidak lengkap; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, yang diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda 4 (empat) Kali pajak yang tidak/kurang dibayar. Kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan Terpidana, menurut hasil penyidikan adalah sebesar Rp, 2,2 Milyar, Tuntutan JPU dari Kejati DKI Jakarta Martha Berliana pads sidang hari Kamis tanggal 10 Februari 2011 adalah pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp. 4 Milyar.

C.    Analisis kasus
a.      Modus Penggembosan PPN melalui Faktur Pajak Fiktif oleh PT.STSJ
Pabrikan / Produsen / Importir melakukan transaksi real dengan konsumen / pelanggan yang juga real (ada penyerahan barang dan pembayaran) namun pihak penjual tidak membuat Faktur Pajak (Standar) atas nama konsumen / pelanggan yang real, karena beberapa alasan, antara lain :
1)      Pihak pembeli bukan PKP atau Konsumen akhir
2)      Pihak Pembeli tidak menginginkan/memerlukan dokumen (tidak ingin identitasdiketahui)
Atas transaksi penjualan tersebut pada butir (1) oleh pihak penjual dibuatkan seolah olah transaksi tersebut dilakukan antara Perusahaan Pabrikan dengan PT.STSJ, yang dilakukan dengan Cara membuat Faktur Pajak dan dokumen penjualan lainnya kepada PT. STSJ. Hal ini dapat saja dilakukan oleh :
1)      Perusahaan Pabrikan,
2)      Pegawai Perusahaan Pabrikan,
3)      Konsultan.
Faktur Pajak yang diterima oleh PT STSJ dari pihak tersebut pada butir 2 dilaporkan sebagai kredit pajak dalam SPT Masa PPN PT. STSJ; PT. STSJ menggunakan sebagian FP Bermasalah sebagai bahan untuk mengajukan Restitusi PPN;
Selain itu, PT. STSJ juga menerbitkan Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya kepada pihak ketigalainnyadandilaporkandalam SPT Masa PPN sebagai Pajak Keluran. Pihak ketiga yang menerima Faktur Pajakdari PT. STSJ`mengkreditkan Faktur Pajak tersebut dengan tujuan :
1)      Memperkecil setoran PPN
2)      Melaporkan SPT Lebih Bayar (PM > PK) dan kemudian mengajukan Permohonan Restitusi
3)      Melakukan hal yang sama dengan PT. STSJ (memperpanjang jalur distribusi Faktur Fiktif sehingga sulit/tidak dapat dideteksi oleh aparat pajak). Demikian proses beljalan beberapa tahap bahkan bisa sampai 7 sampai 8 tingkatan (layer).

b.      Pihak-pihak yang terkait dalam kasus pemalsuan faktur pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting sebagai salah satu sumber pendapatan negara terbesar, khususnya dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai berbagai pengeluaran negara termasuk pengeluaran pembangunan.
Dalam bidang perpajakan dikenal beberapa pihak yang saling berhubungan, antara lain:
1.      Subjek Pajak
Subjek pajak adalah orang atau badan, yang telah memenuhi syarat subjektif. Syarat subjektif yaitu syarat yang melekat pada diri subjek yang bersangkutan, seperti lahir di Indonesia, tinggal di Indonesia, atau tidak tinggal di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, maka memiliki kekayaan di Indonesia atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Subjek dinilai potensial untuk dikenakan pajak, tetapi belum mempunyai kewajiban untuk membayar pajak.[11]
Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
2.      Wajib Pajak
Wajib pajak mempunyai kewajiban untuk membayar pajak. Wajib pajak adalah subjek pajak yang telah memenuhi syarat objektif, selain syarat subjektif syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan sasaran pengenaan pajak (objek pajak). Sebagai contoh adalah seseorang yang tinggal di Indonesia memperoleh penghasilan dan penghasilan tersebut memenuhi syarat bagi dikenakannya pajak.[12]
3.      Penanggung Pajak
Berdasarkan Pasal 1 ayat (28) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penanggung pajak merupakan orang atau pihak yang bertanggung jawab dalam pemenuhan kewajiban pajak.[13]
4.      Fiskus
Fiskus dalam perkembangan terkini sering diartikan sebagai aparatur pemerintah yang menangani pemasukan uang dari rakyat berupa pajak untuk dimasukkan ke dalam kas negara. Bahkan tidak jarang aparatur pemerintah yang berhubungan dengan pajak juga disebut-sebut oleh masyarakat sebagai fikus, jadi fiskus tidak hanya menangani pemungutan pajaknya.[14]
Dalam perikatan perdata hubungan hukum terjadi diantara para pihak yang mempunyai kedudukan sama atau sederakat, sementara di dalam perikatan pajak kedudukan para pihaknya tidak sederajat. Dalam hal ini perikatan pajak melibatkan orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara yang dapat dipaksakan.[15]
Pendekatan seperti itu, pajak lebih menitikberatkan pada perikatan beserta hak dan kewajiban para pihak. Dalam hal ini perikatan terjadi antara pemerintah selaku fiskus dengan rakyat selaku subjek pajak atau wajib pajak tersebut memberikan posisi yang berbeda kepada para pihak.[16]
Hal tersebut mengingat, fiskus dilekati oleh adanya kewenangan hukum publik untuk kepentingan negara.

c.       Modus Dalam Kasus Pemalsuan Faktur Pajak
Masalah tindak pidana dibidang perpajakan merupakan hal penting khususnya dalam rangka penegakan hukum yang harus dilaksanakan agar ketentuan undang-undang dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya terlebih dalam memenuhi rasa keadilan di masyarakat dalam kepastian hukum itu sendiri. Pemalsuan faktur pajak adalah tindakan menggunakan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya.
Penegakan hukum atas peristiwa tindak pidana pajak tentu mempunyai implikasi luas yang pada akhirnya akan bermuara pada penerimaan negara yang menjadi tugas pemerintah guna kepentingan bersama.
Kasus Subandi Budiman alias Aban menimbulkan kerugian negara karena manipulasi faktur pajak. Kasus ini terjadi karena wajib pajak terbukti menggunakan dokumen faktur pajak yang tidak benar, seolah-olah wajib pajak benar-benar telah menerbitkan faktur pajak, tetapi tidak diikuti dengan adanya transaksi jual beli barang yang sebenarnya. Penerbit faktur pajak yang tidak diikuti dengan transaksi jual beli yang benar tentu saja akan merugikan negara dari sisi penerimaan pajak.
Kasus pemalsuan faktur pajak yang dilakukan Subandi Budiman alias Aban, melalui metode penggunaan faktur fiktif itu untuk mengelabui setoran pajak pelaku, dengan demikian modus akal-akalan dalam menggunakan dan menerbitkan faktur fiktif guna menghindari setoran pajak.
Pengungkapan kasus ini merupakan salah satu kasus yang terungkap dari penyidikan kasus sejenis, lebih dari 50 persen kasusnya adalah faktur fiktif. Modus operandi yang biasa digunakan oleh pelaku dalam memanipulasi pajak ditempuh dengan membentuk perusahaan serta kepengurusan perusahaan fiktif.
Dalam operasionalnya, perusahaan itu kemudian menerbitkan faktur fiktif untuk mengurangi pajak. Tersangka menyiasati harga dengan menggunakan faktur palsu atau fiktif, kemudian mengatur nominal harga produk yang kena pajak menjadi lebih rendah. Otomatis setoran pajak yang ditang-gung perusahaan tersangka menjadi lebih kecil.[17]
Menurut data tim penyidik Ditjen Pajak, sebelum menangkap tersangka AG dan DM, tim gabungan kasus pajak menangkap tersangka dengan inisial Aban, selaku petinggi PT Sinar Terang Sentosa Jaya. Pendirian PT Sinar Terang Sentosa Jaya untuk mendapatkan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dengan menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) fiktif.
Modus operandi tindak pidana pajak melalui faktur fiktif dimulai dari transaksi riil antara pabrikan dan konsumen. Dalam transaksi ini ada penyerahan barang dan pembayaran, tapi penjual tidak membuat faktur pajak atas nama konsumen. Alasan pertama yaitu, pembeli bukan pengusaha kena pajak atau konsumen akhir. Kedua, pembeli tidak ingin atau tidak memerlukan dokumen pajak. Penjual kemudian membuat seolah-olah transaksi dilakukan antara pabrikan dan PT Sinar Terang Sentosa Jaya.
Faktur pajak fiktif, bersama dokumen penjualan lainnya, dilaporkan sebagai kredit pajak dalam SPT masa PPN PT Sinar Terang Sentosa Jaya. Sebagian faktur pajak fiktif itulah yang digunakan untuk mengajukan restitusi PPN. PT Sinar Terang Sentosa Jaya juga menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya kepada pihak ketiga dan dilaporkan ke dalam SPT masa PPN sebagai pajak keluaran. Pihak ketiga tersebut mengkreditkan faktur pajak dengan tujuan memperkecil setoran PPN, melaporkan SPT lebih bayar dan kemudian mengajukan permohonan restitusi.[18]
Kasus faktur pajak fiktif harus ditangani dengan tindakan konkret, karena efek yang ditimbulkan dari kasus ini bisa mengganggu pendapatan negara. Kejahatan faktur pajak fiktif atau palsu yang sulit ditelusuri ini dipicu oleh kemampuan pelaku. Intinya, para pelaku kejahatan faktur pajak adalah orang-orang intelek. Artinya, orang-orang yang punya pengetahuan atau wawasan seputar pajak, dan mengerti seluk-beluk pajak. Berbekal pengetahuan yang dimiliki pelaku, para pelaku bisa mengelabui aparat pajak dengan mudahnya. Ada beberapa serangkaian proses yang benar-benar mereka pahami. Di situ mereka memanfaatkan kelemahan petugas pajak.
Menurut pengamat hukum Alfons Leomau, penanganan kasus manipulasi pajak lewat penggunaan faktur fiktif, hendaknya difokuskan pada serangkaian upaya pengembalian kerugian negara secara optimal. Tanpa ada usaha mengembalikan aset negara, upaya hukum yang dijalani kurang memberikan efek jera pada para pelaku. Pada prinsipnya upaya hukum dilakukan untuk memberikan pembinaan dan efek jera, serta juga harus ada unsur pemaksa seperti diberlakukannya denda atau ganti rugi.[19]
Diharapkan semangat profesionalitas penyidik pajak maupun kepolisian dalam menangani kasus penyimpangan pajak dikedepankan. Artinya, kalau benar ada temuan atau tindak pidana pada kasus pajak, secepatnya hal tersebut dikoordinasikan kepada penyidik kepolisian. perkara penyelewengan pajak yang terjadi di sini sudah sangat kompleks. Karenanya dibutuhkan sinergi antar lembaga penegak hukum dalam meminimalisasi kejahatan di sektor pajak.[20]

d.      Penerapan PER-24/PJ/2012 sebagai solusi Penyalahgunaan Faktur Pajak Fiktif
Melihat banyaknya kasus penyalahgunaan faktur pajak, Direktorat Jenderal Pajak lebih memperketat sistem administrasi mengenai pemungutan PPN, sebagai bukti pemungutan digunakan dokumen Faktur Pajak, sehingga Direktorat Jenderal Pajak membuat kebijakan baru yang tertuang dalam PER-24/PJ/2012. Dalam kebijakan baru ini diatur mengenai tata cara pengisian faktur pajak, perubahan yang paling signifikan mengenai penomoran seri faktur pajak, perubahan kebijakan ini bertujuan untuk lebih menertibkan administrasi pajak mengenai faktur pajak sebagai penyempurna kebijakan PER-13/PJ/2010. Di mana pelaksanaan penerapan kebijakan PER-24/PJ/2012 akan mulai tanggal 1 April 2013.
Penomoran faktur pajak berubah sesuai dengan PER-24/PJ/2012, di mana PKP tidak lagi mempunyai wewenang dalam memberikan nomor seri pada faktur pajak, penomoran seri faktur pajak dikendalikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan cara PKP harus mengaktifkan kode aktivasi dan password terlebih dahulu dengan mengajukan surat permohonan Kode Aktivasi dan Password ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan, hal ini tentu akan memberikan dampak yang positif khususnya bagi penerimaan faktur pajak. Dalam PER-24/PJ/2012 bukan hanya tentang penomoran seri faktur pajak saja yang mengalami perubahan signifikan, tetapi juga mengenai peraturan penandatanganan faktur pajak oleh oknum terkait, yakni pejabat kelurahan untuk yang memiliki KTP dan pejabat imigrasi bagi yang tidak memiliki KTP. Dengan diterapkanya PER-24/PJ/2012 memberikan celah yang sempit bagi para oknum yang terlibat dalam penyalahgunaan faktur pajak fiktif. PER-24/PJ/2012 bertujuan untuk pengendalian nomor seri faktur pajak, dalam pelaksanaanya nomor seri faktur pajak tidak di isi sendiri oleh PKP yang bersangkutan.
Mendapatkan hasil yang maksimal dalam pelaksanaan PER-24/PJ/2012 dibutuhkan kerjasama antara Direktorat Jenderal Pajak dengan lembaga Penegak Hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan, kerjasama tersebut meliputi penyidikan pajak, pengamanan kegiatan dan pelaksanaan tugas Dirjen Pajak, pemanfaatan data dan informasi untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak. Dengan kerjasama yang dilakukan oleh Dirjen Pajak dengan aparat hukum diharapakan penerimaan kas negara yang didapat dari faktur pajak akan terserap secara maksimal. Dan nantinya Sanksi yang diberikan dapat membuat efek jera bagi para pelaku penyalahgunaan faktur pajak.
Penerapan kebijakan PER-24/PJ/2012 bukan hanya mengenai penomoran seri faktur pajak saja yang berubah secara signifikan melainkan juga, PKP harus mengajukan surat permohonan Kode Aktivasi dan Password ke kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan, surat permintaan nomor seri faktur pajak harus diisi secara lengkap dan disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, setelah itu Kantor Pelayanan Pajak akan menyeleksi pengusaha yang dianggap layak untuk diberikan nomor seri faktur pajak, setelah dinyatakan layak maka Kantor Pelayanan Pajak akan menerbitkan surat pemberitahuan nomor seri faktur pajak.
Jumlah nomor seri faktur pajak yang diberikan kepada PKP paling banyak 75 nomor seri faktur pajak untuk PKP baru dan PKP yang masih menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) PPN Manual, sedangkan bagi mereka yang sudah menggunakan SPT Elektronik (e-SPT) diberikan nomor faktur pajak seabnyak 120% dari jumlah faktur pajak dalam 3 bulan terakhir yang telah jatuh tempo. Sebagai contoh PKP menggunakan e-SPT yang hendak meminta nomor faktur pajak pada bulan April 2013, maka pengusaha tersebut harus menyampaikan SPT PPN bulan Desember, Januari dan Februari. Misal pada ketiga bulan tersebut jumlah faktur yang diterbitkan untuk bulan Desember 50 faktur, Januari 100 faktur dan Februari 150 faktur maka jumlah faktur yang diberikan di bulan April adalah sejumlah 360 (300x120%=360) faktur pajak.
Waktu yang dibutuhkan PKP menjadi tidak efisien, PKP harus bolak balik ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mendapatakan nomor seri faktur pajak tersebut, belum lagi jika permintaan kode aktivasi dan password tersebut di tolak oleh Kantor Pelayanan Pajak, maka waktu yang dibutuhkan PKP menjadi lebih lama. Dalam penyerahan faktur pajak PKP diharuskan membubuhkan tanda tangan yang telah dilegalisir oleh pejebat yang berwenang. Dalam kebijakan baru ini juga penegasan keterangan faktur pajak mengenai alamat dan jenis barang/jasa harus diisi sesuai dengan keterangan yang sebenarnya dan sesungguhnya. Dalam penggunaan nomor faktur pajak akan dipantau oleh Direktorat Jenderal Pajak, dan jika terjadi kelebihan nomor faktur pajak harus dikembalikan ke Kantor Pelayanan Pajak terkait, dan apabila terjadi kekurangan nomor seri faktur pajak sebelum jangka waktu tiga bulan maka PKP harus meminta kembali pemberian nomor seri faktur pajak, tentu hal ini sangat membuat repot.
Diterapkannya kebijakan baru ini bukan hanya menjadi pekerjaan tambahan bagi PKP, melainkan juga bagi petugas pajak berupa pelayanan pemberian kode aktivasi dan password, pelayanan pemberian nomor seri faktur pajak dan pengawasan nomor seri faktur pajak yang diberikan, nomor seri yang dilaporkan dan nomor seri yang tidak digunakan.
Kebijakan baru ini diharapkan penerimaan kas negara yang didapat dari faktur pajak akan terserap secara maksimal, dan setiap kebijakan baru tentunya bertujuan untuk lebih baik dalam hal pelaksanaan kedepanya, hanya saja jika tidak diiringi dengan sosialisasi yang matang, tentu dampak yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan, disini peran Pelayanan Pajak sangat dibutuhkan terutama bagi para Account Representative. Bukan hanya pelayanan pajak saja yang perlu ditingkatkan melainkan juga sistem yang digunakan juga perlu ditingkatkan. Pemantauan nomor seri faktur pajak dilakukan oleh Kantor Pajak Pusat, sehingga sistem yang baik sangat penting dalam memantau nomor seri faktur pajak

e.       Analisa Kelebihan dan Kekurangan PER-24/PJ/2012
Setiap kebijakan tentu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penerapanya, berdasarkan analisa yang ada dapat diambil dari kebijakan baru ini di antaranya:
Kelebihan Kebijkan baru faktur pajak PPN:
2)        PKP akan lebih transparan dalam penerbitan nomor seri faktur pajak, di mana dalam pelaksanaanya penggunaan nomor seri faktur pajak akan terus dipantau oleh Direktorat Jenderal Pajak
3)        Peyalahgunaan faktur pajak fiktif bisa di minimalkan, dengan penerapan nomor seri faktur pajak, PKP tidak akan mempunyai celah dalam penyalahgunaan faktur pajak fiktif.
4)        Penerimaan pajak dari faktur pajak bisa terlaksana secara maksimal, dengan meyempitnya penyalahgunaan faktur pajak, maka penerimaan kas negara yang didapat dari faktur pajak menjadi lebih maksimal
5)        Memberikan kenyamanan dalam pelaksanaan penerbitan faktur pajak, dengan kebijakan baru ini diharapkan memberikan kenyaman bagi PKP yang melakukan pembayaran faktur pajak.
6)        Meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan faktur pajak, Kebijakan PER-24/PJ/2012 meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan pembayaran faktur pajak.
7)        Menertibkan pelaksanaan faktur pajak, dengan kebijakan yang baru ini pelaksanaan faktur pajak menjadi lebih tertib, dimana PKP akan menggunakan nomor seri faktur pajak sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Kekurangan Kebijakan baru faktur pajak PPN:
1)      Program e-SPT belum bisa mengakomodir perubahan kebijakan yang baru, terutama mengenai faktur pajak pengganti
2)      Waktu yang kurang efisien di mana PKP harus meluangkan waktu lebih banyak untuk bolak balik, termasuk legalisasi dari pejebat yang berwenang dalam membubuhkan tanda tangan ke faktur pajak
3)      Kebijakan ini juga akan menambah pekerjaaan lain di KPP berupa pelayanan pemberian kode aktivasi dan password, pelayanan pemberian nomor seri faktur pajak, dan pengawasan atas nomor seri faktur pajak yang diberikan
4)      Penomoran seri faktur pajak pada perusahaan manufaktur akan menjadi sangat sulit, di mana dalam perusahaan manufaktur faktur pajak yang digunakan menjadi lebih banyak.
5)      PKP diharuskan untuk melek teknologi, karena pengiriman kode aktivasi dan password yang diterima dikirim melalui e-mail.
6)      Jika terjadi kelebihan ataupun kekurangan nomor seri faktur pajak dalam pelaksanaan akan menjadi sulit, dimana PKP harus selalu memantau penggunaan faktur pajak agar penggunaanya sesuai dengan pelaksanaan awal. Jika terjadi kelebihan dalam penggunaan nomor faktur pajak harus dikembalikan kepada Kantor Pelayanan Pajak terkait, dan jika terjadi kekurangan maka PKP harus meminta tambahan nomor seri faktur pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak terkait.
7)      Dengan penerapan kebijakan baru ini faktur pajak yang digunakan oleh PKP di pantau oleh pusat, dan tentunya dalam pelaksanaan membutuhkan sistem dan Teknologi yang lebih canggih, dan tentunya perlu biaya yang tidak sedikit dalam penggunaan Teknologi yang canggih ini

f.       Upaya Perbaikan Pada Undang-undang Pajak
Sebagaimana kita ketahui pada tanggal 15 Oktober 2009 telah terbit Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang merupakan perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM. Beberapa perubahan yang dilakukan oleh Undang-undang PPN yang baru ini coba saya uraikan di paragraf-paragraf di bawah ini.
1)      Penyerahan Barang Kena Pajak
Dalam Pasal 1A ayat (1) dimuat tambahan yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yaitu : penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada fihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
2)      Objek PPN Pasal 16D
Terdapat perubahan materi di Pasal 16D UU PPN. Di UU PPN yang lama dinyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Kini dengan UU PPN baru, dinyatakan bahwa PPN dikenakan terhadap aktiva yang menurut tujuan semula tidak diperjualbelikan, kecuali yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan sesuai Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c. Dengan demikian, tetap dikenakan PPN walaupun pajak masukannya tidak dapat dikreditkan jika tidak dapat dikreditkannya adalah berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf a, d, f, g, h, I dan j.
3)      Non Barang Kena Pajak dan Non Jasa Kena Pajak
Bila dalam UU PPN lama, barang kena pajak dan jasa kena pajak yang dikecualikan dari pengenaan PPN diatur dalam Peraturan Pemerintah, maka dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 ini, jenis BKP dan JKP yang dikecualikan ini diatur langsung dalam UU PPN sehingga tidak perlu lagi ada Peraturan Pemerintah. Rincian dan penjelasan dari BKP dan JKP yang tidak dikenai PPN ini diatur dalam bagian penjelasan Pasal 4A.
Beberapa perubahan penting di antaranya adalah perluasan jenis barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN yang meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering juga tidak dikenakan PPN. Di bidang jasa, jasa tata boga atau katering juga sekarang termasuk jasa yang tidak dikenai PPN.
4)      Pemusatan PPN
Perubahan mendasar dalam hal pemusatan tempat terutang PPN adalah bahwa dalam Pasal 12 ayat (2) UU PPN baru, pemusatan PPN cukup dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis saja, tidak dengan permohonan seperti pada UU PPN yang lama. Konsekuensinya adalah bahwa tidak perlu lagi keputusan menerima atau menolak pemusatan PPN oleh Dirjen Pajak yang selama ini dipraktekan.
5)      Pembuatan Faktur Pajak
Masalah pembuatan faktur pajak ini diatur dalam Pasal 13 UU PPN. Beberapa hal mendasar telah dilakukan terkait dengan pembuatan faktur pajak ini. Pertama, jika pada UU PPN lama PKP wajib membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean dan ekspor BKP, maka pada UU PPN baru ini, ditambahkan lagi kondisinya yaitu untuk setiap penyerahan eks Pasal 16D, ekspor BKP tidak berwujud dan ekspor jasa kena pajak.
Kedua, ditambahkannya ketentuan tentang saat pembuatan faktur pajak di Pasal 13 ayat (1a) dan ayat (2a) untuk faktur pajak gabungan.
Ketiga, penghapusan Pasal 13 ayat (7) tentang faktur pajak sederhana. Dengan demikian, dengan berlakunya UU PPN baru ini, nampaknya tidak akan ada lagi istilah faktur pajak sederhana. Yang ada adalah faktur pajak standar dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak.
Terakhir, ditambahkannya ketentuan Pasal 13 ayat (9) yang menyatakan bahwa faktur pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
6)      Batas Waktu Pelaporan dan Pembayaran PPN
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 ini juga memuat ketentuan tentang batas waktu pembayaran atau penyetoran dan pelaporan SPT PPN. Agak mengherankan bagi saya, karena semestinya hal seperti ini diatur dalam Undang-undang KUP karena sifatnya ketentuan formal, bukan ketentuan material. Dengan demikian, nantinya akan ada dualisme ketentuan yang mengatur batas waktu penyetoran dan pelaporan PPN ini, kecuali tentunya ada perubahan di ketentuan KUP nya.
Dalam Pasal 15A UU ini, diatur bahwa batas waktu penyetoran adalah akhir bulan berikutnya sebelum SPT Masa disampaikan. Sementara itu batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Tentu saja dengan ketentuan ini akan membuat PKP lebih punya waktu untuk membayar dan melaporkan SPT PPN nya. Antrian pembayaran pajak di bank pun bisa dipecah. Begitu juga antrian pelaporan SPT tidak akan menumpuk lagi di tanggal 20.
7)      Tanggung Renteng
Pasal 16F UU PPN memberikan ketentuan tentang tanggung renteng di mana pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak (maskudnya PPN dan PPnBM?) sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
Menurut hasil pemeriksaan pajak Aban melalui STSJ mengeluarkan faktur pajak lebih dari sepuluh perusahaan yang menjual produk-produk mereka pada perusahaan lain. Keberadaan perusahaan penjual maupun pembeli memang benar adanya. Tapi, Aban membuat faktur pajak transaksi jual beli oleh kedua pihak yang tak pernah diakui oleh perusahaan penyuplai dan pembeli.
Aban memanipulasi sejumlah faktur pajak fiktif yang digunakan untuk restitusi PPN, sesuai UU No.49 Tahun 2009 tentang PPN. Namun, upaya Aban terendus pemeriksa pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pademangan, Jakarta Utara. Kemudian hal itu dilaporkan pada Kanwil DJP Jakarta Utara yang kemudian melakukan tindakan secara hukum sehingga Aban divonis dua tahun.
Sedangkan modus pidana Aban yang kedua adalah menerbitkan faktur pajak bermasalah, atas nama perusahaan fiktif. Kemudian, faktur bodong itu dijual Aban pada pengguna faktur pajak bermasalah lain. Kemudian, faktur pajak tersebut pengguna lain untuk meminta restitusi, mengurangi setoran PPN, dan digunakan pada pengguna lain.
Direktorat Jenderal Pajak menangani penyalahgunaan wewenang wajib pajak yang diberikan undang-undang. Seperti diketahui, UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) seperti diperbarui dengan UU No.5 Tahun 2008 menerapkan sistem self assessment pada wajib pajak.
Wewenang tersebut memberikan keleluasaan pada wajib pajak untuk mengitung, melaporkan, lalu membayar kewajiban mereka. Jika kewenangan itu diselewengkan, penegakan hukum pasti dilakukanoleh kasus Aban yang telah kami uraikan.
8)      Sanksi yang dikenakan
1.      Sesuai UU No.49 Tahun 2009 tentang PPN, sehingga Aban divonis dua tahun.
2.      Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP (dakwaan primer). Serta melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf a UU KUP sebagai dakwaan sekunder. Tim penuntut yang dipimpin Martha Berliana, pada 10 Maret 2011, menuntut Aban pidana penjara selama empat tahun dan denda empat miliar rupiah.
3.      Ancaman hukuman dari pasal seperti dakwaan primer adalah paling lama enam tahun dan denda empat kali pajak yang tidak/kurang dibayar. Adapun, kerugian negara akibat perbuatan Abun mencapai Rp2,2 miliar.



BAB IV
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Dalam mengelola perpajakan seharusnya memiliki kesadaran dan tanggung jawab bagi pejabatnya maupun bagi wajib pajaknya. Karena pajak adalah untuk kepentingan kita bersama dan untuk mensejahterakan kehidupan masyrakat. Pajak yang kita bayarkan digunakan untuk membaiayai pembangunan jalanan, jembatan,sekolah,kesehatan,keamanan,subsidi dan fasilitas publik lainnya di seluruh Indonesia. Dalam penerbitan faktur pajak harus sesuai dengan fakta yang ada agar pembayaran pajak dapat berjalan dengan lancar, tentu harus ada peraturan yang mengatur tata cara perpajakan dan kesadaran yang tinggi bagi wajib pajak untuk membayar pajak kepada negara.
Perlunya sistem perbaikan tata cara perpajakan agar tidak akan merugikan negara dan tentunya sistem tata cara perpajakan yang mudah dan menarik perhatian agar masyarakat sangat antusias untuk membayar pajak.
Untuk kemajuan system perpajakan di Indonesia dalam menerbitkan faktur pajak harus sesuai dengan fakta yang ada dan juga dalam hal menyampaikan SPOP, tidak boleh memberikan isi yang tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan tidak benar menunjukan data yang benar dan tidak palsu sehinggga tidak akan merugikan negara. Dan harus memperlihatkan semua dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan pajak.
Dengan begini,tentunya tidak akan pernah terjadi lagi kasus seperti Aban yang ternyata menggelapkan  uang pajak dan royalti sehingga merugikan negara. Jika semuanya berjalan sesuai dengan aturan UUD dan tata cara perpajakan,tentunya tidak akan pernah terjadi hal seperti ini. Negara pun tidak akan rugi dan bagi pihak wajib pajaknya pun tidak akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perpajakan.



DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo, 2009, Perpajakan : Edisi Revisi 2009, Andi offset, Yogyakarta.
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Elementer : Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta.
----------------------------------, 2010, Hukum Pajak Material : Objek, Subjek, Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak, dan Cara Perhitungan Pajak, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Santoso Brotodihardjo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung.
Waluyo. 2012. Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat,
Santoso Brotodihardjo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung
Yamin Luiyanto dan Muswati Titi. Model Penyelewengan Pajak Menggunakan Faktur Pajak Fiktif. 2009
Rochmat Soemitro, 1987, Pajak Pertambahan Nilai, PT. Eresco, Bandung.
Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak,
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, PT. Refika Aditama, Bandung 1998
Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, 1993
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.


[1] Waluyo. 2012. Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat, Hal 315
[2] Santoso Brotodihardjo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung, hlm. 6
[3] Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Elementer : Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 34-35
[4] Mardiasmo, 2009, Perpajakan : Edisi Revisi 2009, Andi offset, Yogyakarta, hlm. 1
[5] Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Material : Objek, Subjek, Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak, dan Cara Perhitungan Pajak, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 4
[6] Ibid., hlm. 63
[7] Yamin Luiyanto dan Muswati Titi. Model Penyelewengan Pajak Menggunakan Faktur Pajak Fiktif. 2009
[8] Waluyo. 2012. Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat, hal 317
[9] Rochmat Soemitro, 1987, Pajak Pertambahan Nilai, PT. Eresco, Bandung, hal.1
[10] Ibid
[11] Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak,Op.Cit, hlm.20
[12] Ibid, hlm. 21
[13] Ibid, hlm. 22
[14] Ibid, hlm. 24
[15] Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, PT. Refika Aditama, Bandung 1998, hlm. 80
[16] Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, 1993, hlm. 12
[17] www.ikpi.or.id/content/faktur-pajak-dipalsukan-negara-tekor-triliunan, diakses pada hari Jum’at Tanggal 10 mei 2016
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid

Tidak ada komentar:

Persyaratan Hak & Kewajiban Guru

BAB I PENDAHULUAN A.       LATAR BELAKANG MASALAH Di dalam   masyarakat tedapat bermacam-macam pekerjaan, seperti dokter, penga...