BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh
Pengusaha Kena Pajak karena penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa
kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor Barang kena pajak yang
digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai[1].
Faktur pajak berfungsi sebagai bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai
sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.
Permasalahan faktur pajak fiktif
sebenarnya sudah bukan hal yang baru walau tetap menjadi salah satu sorotan
utama atas permasalahan-permasalahan yang terjadi di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak (DJP). Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan faktur pajak
fiktif yang melibatkan oknum petugas pajak, wajib pajak, dan pihak-pihak
lainnya telah berhasil diungkap oleh DJP dengan melibatkan pihak aparat hukum
yang berwenang.
Walaupun beberapa oknum yang
berkaitan dengan faktur pajak fiktif tersebut telah dijatuhi hukuman, ternyata
efek jera yang ditimbulkan tidak begitu berpengaruh, dengan kata lain
permasalahan tersebut masih dapat muncul setiap saat.
Dalam rangka meningkatkan langkah
antisipatif untuk menanggulangi terjadinya kasus penggunaan faktur pajak
fiktif, maka perlu kiranya pihak DJP meningkatkan pengendalian internal
terhadap permasalahan tersebut dengan langkah-langkah antara lain sebagai
berikut: Memberikan penegasan kembali tentang pentingnya melakukan
langkah-langkah pengamanan berkaitan dengan faktur pajak fiktif dan
klarifikasi/konfirmasi PK-PM sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. KEP-745/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi
Perpajakan. Pengawasan (klarifikasi) terhadap PK-PM hendaknya dilakukan secara
periodik dan tidak hanya pada saat melakukan pemeriksaan. Bila dijumpai adanya
kejanggalan dapat segera diambil langkah-langkah pencegahan terjadinya
penyimpangan lebih lanjut.
Dalam hal permintaan klarifikasi
dari KPP tempat PKP Penjual terdaftar belum dijawab, maka aparat pemeriksa
pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Pengujian Arus Kas dan Arus Barang atas
Faktur Pajak yang Dimintakan Klarifikasi, dilengkapi dengan Kertas Kerja
Pemeriksaan beserta dokumen-dokumen yang mendukung hasil pengujian tersebut,
seperti rekening koran, bukti penerimaan barang, voucher, kartu gudang, atau
dokumen terkait lainnya.
Lebih meningkatkan pengendalian
terhadap data PK-PM dengan melakukan pembatasan terhadap pejabat yang dapat
mengakses menu dan petugas yang melakukan peng-input-an maupun penggunaan,
disertai dengan peningkatan pengawasan atasan langsung sehingga dapat mencegah
terjadinya pengubahan data oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen
Pajak) telah menyelesaikan penyelidikan terhadap 92 kasus tindak pidana bidang
perpajakan selama 2009–2012 dan masuk tahap penuntutan oleh kejaksaan di
pengadilan. Sekitar 69 kasus di antaranya telah divonis di pengadilan dengan
putusan penjara dan denda pidana sebesar hampir 4,3 triliun rupiah. Selama ini,
kasus tindak pidana bidang perpajakan didominasi kasus faktur pajak tidak sah
(fiktif) dan bendaharawan. Pelaku terbesar adalah wajib pajak badan sebanyak 68
kasus, wajib pajak bendaharawan sebanyak 14 kasus, dan wajib pajak orang
pribadi sebanyak 10 orang.
Kasus faktur pajak tidak sah atau
fiktif memang masih marak. Direktorat Jenderal Pajak menegaskan larangan
menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya dan/atau
sebelum wajib pajak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Tidak hanya
penerbit, namun pengguna faktur pajak tidak sah juga akan kena hukuman yang
sama.
Direktorat Jenderal Pajak melarang
wajib pajak menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi
sebenarnya dan/atau dari wajib pajak yang belum dikukuhkan sebagai pengusaha
kena pajak. Sebelum menerima faktur pajak, hendaknya mewaspadai dan memeriksa
terlebih dulu apabila penerbit itu sudah masuk suspect list Ditjen Pajak.
Penerbit dan pengguna faktur pajak
tidak sah (fiktif) akan diselidiki atas tindak pidana di bidang perpajakan.
Sesuai Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), pelaku kasus
faktur pajak tidak sah dapat dituntut di pengadilan dengan ancaman pidana
penjara paling sedikit dua tahun dan paling lama enam tahun.
Konsep pengenaan PPN pada prinsipnya diberlakukan atas setiap pertambahan
nilai dari barang/jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam
Bahasa Inggris, pajak ini disebut value added tax (VAT) atau goods
and service tax (GST). PPN tergolong jenis pajak tidak langsung, yang
artinya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak adalah
hal yang berbeda. PPN mempunyai sifat obyektif, artinya pengenaan pajak
didasarkan pada obyek pajak.
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagai aturan formal pertama
untuk PPN, produk primer pertanian yang termasuk kebutuhan pokok, seperti
beras, jagung, sagu, dan kedelai adalah jenis barang yang tidak dikenakan PPN.
Aturan tersebut tetap dipertahankan pada peraturan perubahannya, yaitu
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000.
Karakteristik PPN yang menempatkan obyek pajak sebagai dasar pengenaan
pajak, seharusnya tidak membeda-bedakan pengenaan pajak antara badan
usaha/perusahaan. Sebab, dasar pengenaan PPN adalah obyek pajak, berarti
pengenaannya pada barang/jasa yaitu produk pertanian, bukan pada perusahaan
atau petani yang statusnya sebagai subyek.
Adapun yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu
setiap Tambahan Kemampuan Ekonomi yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Pengurusan pajak yang berkelanjutan, harus menampung dinamika aspirasi dan
peran serta masyarakat serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma
hukum nasional.
Pengurusan pajak yang yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak harus
teliti dan jelas sesuai dengan peraturan pajak dan UUD agar tidak menimbulkan
salah paham dan masalah baru sebagaimana kasus Aban yang didakwa Jaksa Penuntut
Umum (JPU) pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, 8 November 2010 melanggar Pasal
39 ayat (1) huruf c UU KUP (dakwaan primer). Serta melanggar Pasal 39 ayat (1)
huruf a UU KUP sebagai dakwaan sekunder. Tim penuntut yang dipimpin Martha
Berliana, pada 10 Maret 2011, menuntut Aban pidana penjara selama empat tahun
dan denda empat miliar rupiah.
Penegakan hukum menjadi pilihan utama Direktorat Jenderal Pajak menangani
penyalahgunaan wewenang wajib pajak yang diberikan undang-undang. Seperti
diketahui, UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP) seperti diperbarui dengan UU No.5 Tahun 2008 menerapkan sistem self
assessment pada wajib pajak.
Wewenang tersebut memberikan keleluasaan pada wajib pajak untuk mengitung,
melaporkan, lalu membayar kewajiban mereka. Jika kewenangan itu diselewengkan,
penegakan hukum pasti dilakukan.
B.
Permasalahan
1.
Bagaimanakah substansi peraturan perpajakan dan tindak
pidana manipulasi faktur pajak fiktif ?
2.
Bagaimanakah upaya penanggulangan kasus manipulasi
faktur pajak fiktif melalui undang-undang perpajakan ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan
Tentang Pajak
Pajak
menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak
dan Pajak Pendapatan adalah sebagai berikut :
“Pajak
adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kotra-prestasi), yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”, dengan
penjelasan sebagai berikut: “Dapat dipaksakan” artinya: bila utang pajak tidak
dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat
paksa dan sita, dna juga penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat
ditunjukkan jasa timbal balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi.[2]
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1 juga telah
secara jelas menjabarkan pengertian dari pajak. Definisi pajak dalam
Undang-Undang tersebut tidak lagi dinyatakan sekedar sebagai pungutan atau
iuran yang bersifat memaksa, sebagaimana banyak dikemukakan oleh para ahli,
melainkan disebut sebagai kontribusi wajib. Konstribusi wajib tersebut bersifat
memaksa, artinya semua orang diminta untuk berperan serta dengan membayar pajak
sepanjang ia memenuhi syarat subjektif dan objektif perpajakan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Perpajakan. Apabila ia melalaikan kewajiban
tersebut maka kepadanya akan dilakukan upaya paksa, baik pengenaan saksi
perpajakan (sanksi administrasi atau sanksi pidana) maupun upaya penagihan
pajak secara paksa.[3]
Semua
orang yang memenuhi syarat subjektif berarti mereka (orang atau badan) yang dalam kondisi dan keadaan tertentu dapat
diketegoriksan sebagai subjek pajak. Hal ini sebagai salah satu cara untuk
membedakan antara subjek pajak dan wajib pajak sesungguhnya. Semuanya sangat
berkaitan dengan kontribusi wajib yang dapat dipaksakan sehingga mengharuskan
seorang subjek pajak benar-benar dapat dikategorikan sebagai wajib pajak agar
tidak error in persona dalam melakukan pemungutan. Tentu saja
dibutuhkan keterlibatan setiap pihak untuk menghindari adanya kesalahan
tersebut, sehingga dibutuhkan peraturan yang mengatur terkait hal tersebut.
Definisi
pajak yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. menyimpulkan atau
memberikan ruang bahwa pajak memiliki unsur-unsur, antara lain :
1. Iuran rakyat kepada Negara,
yang berhak memungut pajak adalah Negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan
barang);
2. Berdasarkan Undang-Undang,
pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuasaan Undang-Undang serta aturan
pelaksanaannya;
3. Tanpa jasa timbal atau
kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk.
Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh
pemerintah;
4. Digunakan untuk membiayai rumah
tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.[4]
Unsur
pertama terkait iuran rakyat kepada negara yaitu merupakan kontraprestasi wajib
dalam pajak yang bersumber dari rakyat. Dalam hal ini siapakah yang disebut
rakyat? Rakyat adalah warga negara dalam suatu negara yang tinggal, berdomisili
dan memiliki kewarganegaraan berdasar negara tersebut. Apa hal tersebut lalu
mewajibkan seluruh rakyat di Indonesia, dalam segala usia dan segala jenis
pekerjaan diwajibkan membayar pajak? Tentu saja tidak, seperti diketahui adanya
syarat subjektif dan syarat objektif dalam pemungutan pajak yang memungkinkan
adanya pemisahan dan pembedaan bagi tiap rakyat atau warga negara.
Pajak
Penghasilan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah mengalami perubahan sebanyak 4 kali dan yang
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 1 berbunyi “Pajak
Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.”
Sesuai
dengan ketentuan Undnag-Undang PPh, subjek pajak dikenakan pajak apabila
menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima penghasilan
disebut sebagai wajib pajak , yang dikenakan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak, atau dapat pula dikenakan
pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak
subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.[5]
Lalu siapa saja yang secara nyata dan berdasar hukum menjadi Wajib Pajak dari
pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) ?
Fakta
bahwa Negara memiliki landasan yurisdiksi terkait pelaksanaan pemungutan pajak
memberi kepastian dan dasar bahwa negara mempunyai batas dan ketentuan sendiri
untuk menentukan setiap wajib pajak nya di segi-segi tertentu. Salah satu
landasan yurisdiksi yang dimiliki pemerintah adalah Asas Domisili yang intinya
berarti negara yang berwenang melakukan pemungutan pajak adalah negara dimana
seorang subjek pajak nya berdomisili. Hal terkait subjek pajak PPh yang terdiri
dari orang, badan, warisan yang belum terbagi serta bentuk usaha tetap tersebut
dapat diketemukan pada Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang didalamnya
juga dibagi lagi menjadi Subjek Pajak dalam dan luar negeri.
Pasal
2 ayat (3) huruf a terkait orang pribadi yang bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang
dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia,
artinya secara nyata orang tersebut telah tinggal dan berdomisili di Indonesia
dan Negara berhak untuk melakukan pemungutan pajak atas dirinya, terutama atas
pertambahan penghasilan yang diperoleh oleh orang tersebut, walaupun sumber
penghasilannya belum tentu berasal dari Indonesia. Hal tersebut pada akhirnya
dapat menjadi terpenuhinya syarat subjektif atas diri orang tersebut, dan untuk
syarat objektifnya tinggal melihat penyesuaian pada jumlah penghasilannya,
dalam Pasal 2 ayat (3) ini dalam konteks subjek pajak dalam negeri dan jelas
landasan yurisdiksinya pada Asas Domisili. Lalu bagaimana dengan subjek pajak
luar negeri ?
Pasal
2 ayat (4) apabila diringkas pengertiannya akan menjadi subjek pajak luar
negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat
kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui BUT[6]
(Bentuk Usaha Tetap). Secara implisit pada ayat ini lebih terfokus pada
landasan yuridiksi pemungutan pajak berupa Asas Sumber sehingga negara yang
berhak memungut adalah negara dimana asal penghasilan diperoleh. Hal ini tentu
berbeda dengan Asas Domisili seperti pada Pasal 2 ayat (3), tetapi pada subjek
pajak luar negeri untuk PPh lebih mengacu pada Asas Sumber.
Aplikasi
dari penerapan Asas Domisili adanya ketentuan Status Principle, dimana suatu
Negara berhak untuk mengenakan pajak pada orang atau subjek pajak yang berdomisili dan berkewarganegaraan
di Negara tersebut sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pajak yang
dipungutkan atas penghasilan seseorang pada Negara tersebut karena telah
tinggal dan berdomisili pada Negara tersebut menjadi pantas karena orang
tersebut telah secara tidak langsung menikmati hal-hal atau jas-jasa yang
disediakan oleh pemerintah yang disediakan secara umum.
B. Faktur Pajak
Faktur Pajak merupakan bagian dari Pajak Pertambahan Nilai, yang
dimaksud dengan faktur Pajak itu sendiri adalah bukti pungutan pajak yang
dibuat oleh Pengusaha kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
atau penyerahan Jasa Kena Pajak, sedangkan untuk Pengusaha Kena Pajak ini
disebut dengan PKP. Faktur pajak berfungsi sebagai kredit pajak masukan yaitu
dapat menjadi kredit terhadap faktur pajak keluaran yang diterbitkan pada
periode selanjutnya. Fungsi kedua yaitu dipergunakan untuk keperluan
pemeriksaan pemungutan pajak oleh otoritas pajak[7].
a.
Jenis Faktur Pajak
menurut Waluyo[8]
1.
Faktur pajak standar
2.
Bukti pungutan pajak yang
dibuat oleh pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang kena pajak
atau penyerahan jasa kena pajak
3.
Faktur pajak gabungan
4.
Faktur pajak yang meliputi
seluruh penyerahan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-uandang Pajak
Pertambahan Nilai
5.
Faktur pajak khusus
6.
Yang dimaksud dengan faktur
pajak khusus disini adalah Orang pribadi pemegang paspor luar negeri dan
diterbitkan oleh negara lain dengan memenuhi syarat:
a)
Bukan Warga Negara Indonesia
atau bukan Permanent Resident of Indonesia yang tinggal atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 2 (dua) bulan sejak tanggal kedatangan; dan/atau
b)
Bukan kru dari maskapai
penerbangan
b.
Faktur pajak fiktif
berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE - 29/PJ.53/2003
pada Tanggal 4 Desember 2003
1.
Faktur pajak yang
diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP)
2.
Faktur pajak yang
diterbitkan oleh Pengusaha dengan menggunakan nama, NPWP dan Nomor Pengukuhan
PKP orang pribadi atau badan lain.
3.
Faktur pajak yang digunakan
oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP penerbit.
4.
Faktur pajak yang secara
formal memenuhi ketentuan Undang-undang PPN, tetapi tidak memenuhi secara
material yaitu tidak ada penyerahan barang dan atau uang atau barang tidak
diserahkan kepada pembeli sebagaimana tertera pada faktur pajak.
5.
Faktur pajak yang
diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
c.
Sosialisasi Direktorat
Jenderal Pajak pada Tanggal 31 Januari 2013 Landasan Hukum PER-24/PJ/2012 yaitu
:
1.
UU PPN Pasal 13 ayat (8) UU
NO.42/2009
Tata cara pembuatan
Faktur Pajak diatur dengan/berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.
PMK Pasal 13 PMK
84/PMK.03/2012
Tata cara pengisian
keterangan pada Faktur Pajak diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
3.
PER DJP Per Dirjen Pajak No
PER-24/PJ/2012
Keterangan Faktur Pajak
(Nomor Seri Faktur Pajak)
a)
Kendali Nomor Seri
Faktur Pajak berdasarkan Pengumuman Nomor Prng-01/WPJ.11/KP.11/2013 yang
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
Nomor Seri Faktur Pajak
hanya diberikan kepada PKP yang:
o Telah dilakukan registrasi ulang PKP sesuai dengan Per-05 dan
perubahanya atau telah dilakukan verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP.
o Telah melakukan update alamat sesuai dengan kondisi yang
sebenarnya, apabila terjadi perubahan alamat
o Telah mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password
o Telah menerima surat pemberitahuan kode aktivasi dari KPP
o Telah menerima pemberitahuan password melalui e-mail
o Telah mengajukan surat permintaan nomor seri faktur pajak
o Telah memasukkan kode aktivasi dan password dengan benar pada saat
mengajukan permintaan nomor seri faktur pajak.
o Telah menyampaikan SPT masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir
berturut-turut yang telah jatuh tempo pada tanggal surat permohonan nomor seri
faktur pajak disampaikan ke KPP
b)
Keterangan tentang
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan Peraturan
Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 Pasal 5
Faktur pajak harus memuat keterangan tentang penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit
mencantumkan:
o Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
o Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
o Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan
potongan harga
o Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
o Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut
o Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak, dan
o Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak
c)
Poin Perubahan
kebijakan Faktur Pajak PPN sesuai dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak
Nomor PER-13/2010 dan PER/12/2012
o Otorisasi pemberian nomor seri
PER-13/PJ/2010 Nomor urut
Faktur Pajak ditentukan sendiri oleh PKP secara berurutan, sedangkan dalam
PER-24/PJ/2012 nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak
dengan mekanisme yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dalam
memberikan nomor seri Faktur Pajak penggunaanya akan di pantau oleh Direktorat
Jenderal Pajak, dan terlebih dahulu PKP harus mengajukan kode aktivasi dan
Password kepada Kantor Pelayanan Pajak terkait.
o Syarat diberikan nomor seri Faktur Pajak
PER-13/PJ/2010 Tidak ada
syarat khusus, baik PKP ataupun non PKP dapat membuat nomor sendiri, sedangkan
dalam PER-24/PJ/2012 Nomor Seri Faktur Pajak diberikan kepada PKP yang telah
diregistrasi ulang dan PKP baru yang telah diverifikasi dalam rangka pengukuhan
PKP.
o Identitas PKP khususnya alamat dan jenis barang/jasa
PER-13/PJ/2010 identitas
tidak diperlukan dalam pembuatan Faktur Pajak tetapi dalam PER-24/PJ/2012
diperlukan penegasan keterangan Faktur Pajak mengenai alamat dan jenis
barang/jasa harus diiisi sesuai dengan keterangan yang sebenarnya atau
sesungguhnya.
o Penunjukan dan penandatangan Faktur Pajak
PER-13/PJ/2010 PKP tidak
disyaratkan melampirkan fotokopi kartu identitas yang sah, sedangkan dalam
PER-24/PJ/2012 mengatur pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak yang berhak:
PKP wajib memberitahukan ke KPP surat penunjukan penandatanganan Faktur Pajak
dan fotokopi kartu identitas yang sah (dilegalisasi oleh pejabat berwenang)
o Penggunaan kode Transaksi (02 dan 03)
PER-13/PJ/2010 penggunaan
kode Transaksi dapat menimbulkan multitafsir untuk transaksi yang harus
dipungut oleh pemungut dengan mekanisme formal, sedangkan dalam PER-24/PJ/2012
mempertegas peruntukan kode transaksi, yaitu kode 02 (bendahara pemerintah) dan
03 (BUMN dan KPS) digunakan untuk penyerahan yang PPNnya dipungut oleh pemungut
PPN.
o Urutan nomor seri Faktur Pajak
PER-13/PJ/2010 wajib
membetulkan FP sehingga sequence number tetap terjaga dan apabila tidak
dibetulkan, PKP penerbit dikenai sanksi Ps 12 (4) UU KUP dan PKP pembeli tetap
dapat mengkreditkan PM sedangkan dalam PER-24/PJ/2012 nomor seri Faktur Pajak
diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan blok nomor urut, pengguna nomor
urut Faktur Pajak yang tidak urut tidak dikenai sanksi dan terdapat kewajiban
pelaporan nomor yang tidak terpakai
o Penerbitan Faktur Pajak Pengganti
PER-13/PJ/2010 menggunakan
nomor seri baru Dilaporkan di 2 Masa Pajak SPT, yaitu di masa FP yang diganti
dan di masa pembuatan FP pengganti, sedangkan dalam PER-24/PJ/2012 menggunakan
nomor seri yang sama hanya dilaporkan di SPT FP yang diganti
o Pengkreditan Faktur Pajak
PER-13/PJ/2010 Faktur Pajak
yang tidak diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya dan yang
tidak mengikuti tata cara sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Direktorat
Jenderal Pajak tidak dapat dikreditkan oleh PKP pembeli, sedangkan dalam
PER-24/PJ/2012 kesalahan dalam pengisian keterangan Faktur Pajak di luar kuasa
PKP Pembeli tetap dapat dikreditkan (nomor tidak urut, kode cabang dan
penandatangan belum diberitahukan ke KPP)
o Nomor seri Faktur Pajak ganda (lebih dari satu)
PER-13/PJ/2010 jika terdapat
nomor seri Faktur Pajak yang sama atau ganda PKP wajib membetulkan faktur pajak
sehingga sequence number tetap terjaga, sedangkan dalam PER-24/PJ/2012 seluruh
Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak yang sama/ganda maka dianggap
sebagai Faktur Pajak Tidak Lengkap dan setiap PKP akan diberikan jatah dalam
pemberian nomor Faktur Pajak.
d)
Jumlah Nomor Seri
Faktur Pajak yang dapat diberikan PKP oleh Direktorat Jenderal Pajak menurut
Surat Edaran Direktorak Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2012 dalam Lampiran III
Tanggal 22 November 2012
o Perhitunganya menggunakan sistem
o Dalam hal yang diminta PKP kurang dari formula atau ketentuan maka
PKP akan menerima sejumlah yang diminta
o Nomor seri yang diberikan paling banyak :
1)
Untuk PKP baru 75 nomor seri
faktur pajak atau PKP yang melaporkan SPT-nya secara manual/hardcopy atau
2)
120% dari jumlah faktur
pajak yang diterbitkan PKP selama 3 bulan berturut-turut yang telah jatuh tempo
pada saat pengajuan permintaan untuk PKP yang melaporkan SPT-nya secara
elektronik pada masa sebelumnya
C. Hubungan Pajak dan Masyarakat
Menurut
Rochmat Soemitro[9]
pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya terdapat dalam masyarakat.
Jika tidak ada masyarakat tidak ada pajak. Masyarakat yang dimaksudkan adalah
masyarakat hukum atau Gemeinschaft menurut istilah Ferdinand Tonies (dalam
Rochmat Soemitro)[10],
bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft. Penghasilan negara adalah berasal
dari masyarakat melalui pemungutan pajak, atau dari hasil kekayaan alam yang
ada di dalam negara. Jadi penghasilan itu untuk membiayai kepentingan umum yang
akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan rakyat,
pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya. Jadi dimana ada kepentingan
masyarakat, disitu timbul pemungutan pajak, sehingga pajak adalah senyawa
dengan kepentingan umum.
D. Sistem Self Assessment dalam Penghitungan
Pajak
Menurut
bagian penjelasan UU KUP bahwa self assessment adalah ciri dan corak sistem
pemungutan pajak. Self assessment merupakan suatu sistem perpajakan yang
memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk :
a)
berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk
mendapatkan NPWP [nomor pokok wajib pajak];
b)
menghitung, memperhitungkan, membayar
dan melaporkan sendiri pajak terutang.
Masih
menurut penjelasan UU KUP bahwa sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti
bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada
Wajib Pajak sendiri dan melaporkannya secara teratur jumlah pajak yang terutang
dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan. Media atau surat yang digunakan Wajib Pajak
untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak disebut Surat Pemberitahuan,
disingkat SPT.
Kepercayaan
yang diberikan oleh undang-undang kepada Wajib Pajak idealnya ditunjang
dengan :
a) kesadaran
Wajib Pajak tentang kewajiban perpajakan;
b) keinginan
untuk membayar pajak terutang walaupun terpaksa;
c) kerelaan
Wajib Pajak untuk menjalankan peraturan perpajakan yang berlaku;
d) kejujuran
Wajib Pajak untuk mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Salah
satu bagian dari sistem self assessment adalah adanya daluwarsa penagihan yang
di Pasal 22 UU KUP. Aturan terakhir, UU No. 28 tahun 2007, daluwarsa penagihan
ditetapkan 5 (lima tahun saja)! Apa maknanya? Bahwa negara tidak memiliki hak
untuk menagih atau memungut pajak setelah lewat 5 tahun. Berapapun utang pajak!
Selain itu, SPT yang dilaporkan kepada DJP juga dianggap benar setelah 5 tahun.
Secara hukum, setelah lewat 5 tahun, kewajiban perpajakan Wajib Pajak dianggap
benar.
Hanya
saja Pasal 22 ayat (2) UU KUP mengatur bahwa daluwarsa tersebut akan tertangguh
atau mundur dari tahun pajak yang bersangkutan jika :
a) diterbitkan
Surat Paksa;
b) ada
pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
c) diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (4); atau
d) dilakukan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam
jangka waktu 5 tahun tersebut, DJP dapat melakukan koreksi terhadap SPT yang
dilaporkan oleh Wajib Pajak melalui pemeriksaan. Menurut UU KUP, pemeriksaan
adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau
bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Dari
definisi pemeriksaan sudah jelas bahwa DJP hanya bisa melakukan koreksi atas
isi SPT Wajib Pajak jika DJP memiliki data, keterangan dan bukti bahwa SPT
Wajib Pajak tidak benar. Jika DJP tidak memiliki data dan bukti atas
ketidakbenaran SPT Wajib Pajak maka DJP tidak bisa melakukan koreksi walaupun
si pemeriksa pajak sangat yakin bahwa SPT Wajib Pajak salah. Keyakinan si
pemeriksa tidak bisa dijadikan dasar melakukan koreksi SPT. Bahkan
teknik-teknik analisa yang dilakukan oleh pemeriksa juga tidak cukup untuk
dijadikan dasar koreksi.
DJP
boleh melakukan koreksi SPT jika ada bukti nyata*). Meminjam peraturan
kepabeanan bahwa bukti nyata adalah bukti atau data berdasarkan dokumen yang
benar-benar tersedia dan pada dokumen tersebut terdapat besaran, nilai atau
ukuran tertentu dalam bentuk angka, kata dan/atau kalimat. Dokumen ini bisa
berasal dari dokumen Wajib Pajak atau pihak lain.
Selain
dokumen, keterangan juga bisa dijadikan dasar koreksi SPT. Sesuai definisi
pemeriksaan di UU KUP bahwa pemeriksa pajak itu mengolah data, keterangan atau
bukti. Saya menganggap bukti ini dokumen jika mengacu kepada aturan kepabeanan.
Sedangkan keterangan tidak didefinisikan secara jelas [setidaknya setelah
dicari di databese aturan perpajakan] kecuali dalam kamus bahwa keterangan
adalah sesuatu yang menjadi petunjuk atau yang menyebabkan tahu. Jadi bisa saja
keterangan ini informasi yang diberikan pegawai Wajib Pajak, pihak lain yang
berhubungan dengan Wajib Pajak atau pihak lain yang independen. Apapun itu yang
menyebabkan si pemeriksa pajak tahu bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar.
BAB III
KASUS POSISI
KASUS POSISI
A.
Kronologi kasus
Penegakan
hukum menjadi pilihan utama Direktorat Jenderal Pajak menangani penyalahgunaan
wewenang wajib pajak yang diberikan undang-undang. Seperti diketahui, UU No.6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) seperti
diperbarui dengan UU No.5 Tahun 2008 menerapkan sistem self assessment pada
wajib pajak.
Wewenang
tersebut memberikan keleluasaan pada wajib pajak untuk menghitung, melaporkan,
lalu membayar kewajiban mereka. “Jika kewenangan itu diselewengkan, penegakan
hukum pasti dilakukan.
Seperti
kasus yang telah ada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk terdakwa
Subandi Budiman alias Aban, Rabu, 16 Maret 2011. Terdakwa dihukum dua tahun
penjara dan denda semiliar rupiah karena melanggar UU KUP oleh majelis hakim
yang dipimpin Henry Tarigan pada 16 Maret 2011.
Penanganan
perkara ini diawali dari hasil penyidikan PPNS DJP Kanwil Jakut, diketahui
faktur pajak STSJ yang melaporkan pajak masukan dan keluaran ternyata
bermasalah. Kemudian dilakukan pengembangan dari hasil pemeriksaan awal dalam
proses penyidikan dan ditemukan dua dugaan tindak pidana.
Dia uraikan,
penyidikan dilakukan PPNS Kanwil DJP Jakarta Utara yang didukung Direktorat
Intelejen dan Penyidikan DJP. Serta ada keterlibatan Biro Korwas PPNS Bareskrim
Polri. Sehingga, pada 29 September 2010, berkas penyidikan ditetapkan lengkap
(P-21) oleh Kejati DKI Jakarta.
Dugaan
pertama, Aban melalui STSJ mengeluarkan faktur pajak lebih dari sepuluh
perusahaan yang menjual produk-produk mereka pada perusahaan lain. Keberadaan
perusahaan penjual maupun pembeli memang benar adanya. Tapi, Aban membuat
faktur pajak transaksi jual beli oleh kedua pihak yang tak pernah diakui oleh
perusahaan penyuplai dan pembeli.
Oleh Aban,
sejumlah faktur pajak fiktif digunakan untuk restitusi PPN, sesuai UU No.49
Tahun 2009 tentang PPN. Namun, upaya Aban terendus pemeriksa pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pademangan, Jakarta Utara. Kemudian hal itu dilaporkan pada
Kanwil DJP Jakarta Utara yang kemudian melakukan tindakan secara hukum sehingga
Aban divonis dua tahun.
Sedangkan
modus pidana Aban yang kedua adalah menerbitkan faktur pajak bermasalah, atas
nama perusahaan fiktif. Kemudian, faktur bodong itu dijual Aban pada pengguna
faktur pajak bermasalah lain. “Sudah ada terdakwa yang kini menjalani proses
penuntutan di PN Jakarta Utara,” sebut Edward. Kemudian, faktur pajak tersebut
pengguna lain untuk meminta restitusi, mengurangi setoran PPN, dan digunakan
pada pengguna lain urai Edward lagi.
Sebelumnya,
Aban didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, 8
November 2010 melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP (dakwaan primer).
Serta melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf a UU KUP sebagai dakwaan sekunder. Tim
penuntut yang dipimpin Martha Berliana, pada 10 Maret 2011, menuntut Aban
pidana penjara selama empat tahun dan denda empat miliar rupiah.
Sedangkan,
ancaman hukuman dari pasal seperti dakwaan primer adalah paling lama enam tahun
dan denda empat kali pajak yang tidak/kurang dibayar. Adapun, kerugian negara
akibat perbuatan Abun mencapai Rp2,2 miliar.
Dari
perhitungan Kakanwil, potensi uang negara yang hilang mencapai triliunan rupiah
setahun. Itu, berasal dari potensi omzet kegiatan ekonomi di Jakarta Utara
mencapai Rp40 triliun–Rp50 triliun. “Apabila dihitung PPN 10 persen, potensi
hilangnya pendapatan negara akibat perbuatan orang seperti Abun per tahun
mencapai angka Rp4 triliun-Rp5 triliun per tahun,” sebutnya.
B.
Putusan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara
Kepala
Kanwil DJP Jakarta Utara Agus Wuryantoro memberikan Konferensi Pers atas
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai oleh Henry
Tarigan SH, M.H pads tanggal 16 Maret 2011 yang telah menjatuhkan vonis
bersalah terhadap Pengusaha Subandi Budiman alias Aban dengan pidana penjara
selama 2 tahun dan denda Rp, 1 Milyar.
Terpidana
Aban adalah salah satu Direktur PT. Sinar Terang Sentosa Jaya (PT.STSJ) yang
divonis telah melakukan tindak pidana perpajakan. Aban bersama dengan Tjay Sin
Tjauw (DPO) mendirikan perusahaan PT.STSJ dengan maksud untuk memperoleh
restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan menyampaikan SPT yang Isinya
Tidak Benar. Modus yang digunakan oleh terdakwa adalah dengan mengkreditkan
Faktur Pajak Yang Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya (FP Bermasalah) dalam
SPT Masa PPN Lebih Bayar atas nama PT. STSJ, yang dilaporkan ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) untuk mendapatkan restitusi (Pengembalian ) PPN.
Penyidikan
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Kanwil DJP Jakarta Utara dan dengan mendapat dukungan dart Direktorat
Intelijen dan Penyidikan, Kantor Pusat DJP sorta Biro Korwas PPNS Bareskrim
Polri. Berkas Perkara telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi DKI
Jakarta pads tanggal 29 September 2010 dan sidang pertama telah dilakukan di PN
Jakarta Utara pada tanggal 8 Nopember 2010.
Berdasarkan
Penyidikan yang dilakukan oleh PPNS Kanwil DJP Jakarta Utara diketahui bahwa
pajak masukan dan pajak keluaran yang dilaporkan oleh PT.STSJ adalah Faktur
Pajak Bermasalah Karena tidak didukung oleh adanya transaksi penyerahan barang
dan pembayaran (=tidak ada transaksi) atau dengan Kata lain bahwa PT. STSJ
tidak melakukan transaksi pembelian dan penjualan, namun melaporkan adanya
Faktur Pajak Masukan dan Faktur Pajak Keluaran.
Ketentuan
pidana perpajakan yang dilanggar oleh Wajib Pajak adalah pasal 39 ayat (1)
huruf (c) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan (UU KUP), yaitu menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan Tatacara
Perpajakan (UU KUP), yaitu menyampaikan Suarat Pemberitahuan (SPT) dan atau
Keterangan yang Isinya tidak benar atau tidak lengkap; sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda 4 (empat) Kali pajak yang tidak/kurang
dibayar. Kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan Terpidana, menurut
hasil penyidikan adalah sebesar Rp, 2,2 Milyar, Tuntutan JPU dari Kejati DKI
Jakarta Martha Berliana pads sidang hari Kamis tanggal 10 Februari 2011 adalah
pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp. 4 Milyar.
C.
Analisis kasus
a. Modus Penggembosan PPN melalui Faktur Pajak Fiktif
oleh PT.STSJ
Pabrikan / Produsen / Importir
melakukan transaksi real dengan konsumen / pelanggan yang juga real (ada
penyerahan barang dan pembayaran) namun pihak penjual tidak membuat Faktur
Pajak (Standar) atas nama konsumen / pelanggan yang real, karena beberapa
alasan, antara lain :
1)
Pihak pembeli bukan PKP atau Konsumen akhir
2)
Pihak Pembeli tidak menginginkan/memerlukan dokumen
(tidak ingin identitasdiketahui)
Atas transaksi penjualan tersebut
pada butir (1) oleh pihak penjual dibuatkan seolah olah transaksi tersebut
dilakukan antara Perusahaan Pabrikan dengan PT.STSJ, yang dilakukan dengan Cara
membuat Faktur Pajak dan dokumen penjualan lainnya kepada PT. STSJ. Hal ini dapat
saja dilakukan oleh :
1)
Perusahaan Pabrikan,
2)
Pegawai Perusahaan Pabrikan,
3)
Konsultan.
Faktur Pajak yang diterima oleh PT
STSJ dari pihak tersebut pada butir 2 dilaporkan sebagai kredit pajak dalam SPT
Masa PPN PT. STSJ; PT. STSJ menggunakan sebagian FP Bermasalah sebagai bahan
untuk mengajukan Restitusi PPN;
Selain itu, PT. STSJ juga
menerbitkan Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya
kepada pihak ketigalainnyadandilaporkandalam SPT Masa PPN sebagai Pajak
Keluran. Pihak ketiga yang menerima Faktur Pajakdari PT. STSJ`mengkreditkan
Faktur Pajak tersebut dengan tujuan :
1)
Memperkecil setoran PPN
2)
Melaporkan SPT Lebih Bayar (PM > PK) dan kemudian
mengajukan Permohonan Restitusi
3)
Melakukan hal yang sama dengan PT. STSJ (memperpanjang
jalur distribusi Faktur Fiktif sehingga sulit/tidak dapat dideteksi oleh aparat
pajak). Demikian proses beljalan beberapa tahap bahkan bisa sampai 7 sampai 8
tingkatan (layer).
b. Pihak-pihak
yang terkait dalam kasus pemalsuan faktur pajak
Pajak
mempunyai peranan yang sangat penting sebagai salah satu sumber pendapatan
negara terbesar, khususnya dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan
sumber pendapatan negara untuk membiayai berbagai pengeluaran negara termasuk
pengeluaran pembangunan.
Dalam
bidang perpajakan dikenal beberapa pihak yang saling berhubungan, antara lain:
1. Subjek
Pajak
Subjek pajak
adalah orang atau badan, yang telah memenuhi syarat subjektif. Syarat subjektif
yaitu syarat yang melekat pada diri subjek yang bersangkutan, seperti lahir di
Indonesia, tinggal di Indonesia, atau tidak tinggal di Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia, maka memiliki kekayaan di Indonesia atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia. Subjek dinilai potensial untuk dikenakan pajak,
tetapi belum mempunyai kewajiban untuk membayar pajak.[11]
Menurut Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, yaitu sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
2. Wajib
Pajak
Wajib pajak
mempunyai kewajiban untuk membayar pajak. Wajib pajak adalah subjek pajak yang
telah memenuhi syarat objektif, selain syarat subjektif syarat objektif adalah
syarat yang berkaitan dengan sasaran pengenaan pajak (objek pajak). Sebagai
contoh adalah seseorang yang tinggal di Indonesia memperoleh penghasilan dan
penghasilan tersebut memenuhi syarat bagi dikenakannya pajak.[12]
3. Penanggung
Pajak
Berdasarkan
Pasal 1 ayat (28) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak
dan memenuhi kewajiban wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Penanggung pajak merupakan orang atau pihak yang
bertanggung jawab dalam pemenuhan kewajiban pajak.[13]
4. Fiskus
Fiskus dalam
perkembangan terkini sering diartikan sebagai aparatur pemerintah yang
menangani pemasukan uang dari rakyat berupa pajak untuk dimasukkan ke dalam kas
negara. Bahkan tidak jarang aparatur pemerintah yang berhubungan dengan pajak
juga disebut-sebut oleh masyarakat sebagai fikus, jadi fiskus tidak hanya
menangani pemungutan pajaknya.[14]
Dalam perikatan
perdata hubungan hukum terjadi diantara para pihak yang mempunyai kedudukan
sama atau sederakat, sementara di dalam perikatan pajak kedudukan para pihaknya
tidak sederajat. Dalam hal ini perikatan pajak melibatkan orang yang telah
memenuhi syarat tertentu untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara
yang dapat dipaksakan.[15]
Pendekatan seperti
itu, pajak lebih menitikberatkan pada perikatan beserta hak dan kewajiban para
pihak. Dalam hal ini perikatan terjadi antara pemerintah selaku fiskus dengan
rakyat selaku subjek pajak atau wajib pajak tersebut memberikan posisi yang
berbeda kepada para pihak.[16]
Hal tersebut
mengingat, fiskus dilekati oleh adanya kewenangan hukum publik untuk
kepentingan negara.
c.
Modus Dalam Kasus Pemalsuan Faktur
Pajak
Masalah
tindak pidana dibidang perpajakan merupakan hal penting khususnya dalam rangka
penegakan hukum yang harus dilaksanakan agar ketentuan undang-undang dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya terlebih dalam memenuhi rasa keadilan di
masyarakat dalam kepastian hukum itu sendiri. Pemalsuan faktur pajak adalah
tindakan menggunakan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi
sebenarnya.
Penegakan
hukum atas peristiwa tindak pidana pajak tentu mempunyai implikasi luas yang
pada akhirnya akan bermuara pada penerimaan negara yang menjadi tugas
pemerintah guna kepentingan bersama.
Kasus
Subandi
Budiman alias Aban menimbulkan kerugian negara karena
manipulasi faktur pajak. Kasus ini terjadi karena wajib pajak terbukti
menggunakan dokumen faktur pajak yang tidak benar, seolah-olah wajib pajak
benar-benar telah menerbitkan faktur pajak, tetapi tidak diikuti dengan adanya
transaksi jual beli barang yang sebenarnya. Penerbit faktur pajak yang tidak
diikuti dengan transaksi jual beli yang benar tentu saja akan merugikan negara
dari sisi penerimaan pajak.
Kasus
pemalsuan faktur pajak yang dilakukan Subandi Budiman alias Aban,
melalui metode penggunaan faktur fiktif itu untuk mengelabui setoran pajak
pelaku, dengan demikian modus akal-akalan dalam menggunakan dan menerbitkan
faktur fiktif guna menghindari setoran pajak.
Pengungkapan
kasus ini merupakan salah satu kasus yang terungkap dari penyidikan kasus
sejenis, lebih dari 50 persen kasusnya adalah faktur fiktif. Modus operandi
yang biasa digunakan oleh pelaku dalam memanipulasi pajak ditempuh dengan
membentuk perusahaan serta kepengurusan perusahaan fiktif.
Dalam
operasionalnya, perusahaan itu kemudian menerbitkan faktur fiktif untuk
mengurangi pajak. Tersangka menyiasati harga dengan menggunakan faktur palsu
atau fiktif, kemudian mengatur nominal harga produk yang kena pajak menjadi
lebih rendah. Otomatis setoran pajak yang ditang-gung perusahaan tersangka
menjadi lebih kecil.[17]
Menurut
data tim penyidik Ditjen Pajak, sebelum menangkap tersangka AG dan DM, tim
gabungan kasus pajak menangkap tersangka dengan inisial Aban, selaku petinggi
PT Sinar Terang Sentosa Jaya. Pendirian PT Sinar Terang Sentosa Jaya untuk
mendapatkan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dengan menyampaikan surat
pemberitahuan (SPT) fiktif.
Modus
operandi tindak pidana pajak melalui faktur fiktif dimulai dari transaksi riil
antara pabrikan dan konsumen. Dalam transaksi ini ada penyerahan barang dan
pembayaran, tapi penjual tidak membuat faktur pajak atas nama konsumen. Alasan
pertama yaitu, pembeli bukan pengusaha kena pajak atau konsumen akhir. Kedua,
pembeli tidak ingin atau tidak memerlukan dokumen pajak. Penjual kemudian
membuat seolah-olah transaksi dilakukan antara pabrikan dan PT Sinar Terang
Sentosa Jaya.
Faktur
pajak fiktif, bersama dokumen penjualan lainnya, dilaporkan sebagai kredit
pajak dalam SPT masa PPN PT Sinar Terang Sentosa Jaya. Sebagian faktur pajak
fiktif itulah yang digunakan untuk mengajukan restitusi PPN. PT Sinar Terang
Sentosa Jaya juga menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi
sebenarnya kepada pihak ketiga dan dilaporkan ke dalam SPT masa PPN sebagai pajak
keluaran. Pihak ketiga tersebut mengkreditkan faktur pajak dengan tujuan
memperkecil setoran PPN, melaporkan SPT lebih bayar dan kemudian mengajukan
permohonan restitusi.[18]
Kasus
faktur pajak fiktif harus ditangani dengan tindakan konkret, karena efek yang
ditimbulkan dari kasus ini bisa mengganggu pendapatan negara. Kejahatan faktur
pajak fiktif atau palsu yang sulit ditelusuri ini dipicu oleh kemampuan pelaku.
Intinya, para pelaku kejahatan faktur pajak adalah orang-orang intelek.
Artinya, orang-orang yang punya pengetahuan atau wawasan seputar pajak, dan
mengerti seluk-beluk pajak. Berbekal pengetahuan yang dimiliki pelaku, para
pelaku bisa mengelabui aparat pajak dengan mudahnya. Ada beberapa serangkaian
proses yang benar-benar mereka pahami. Di situ mereka memanfaatkan kelemahan
petugas pajak.
Menurut
pengamat hukum Alfons Leomau, penanganan kasus manipulasi pajak lewat
penggunaan faktur fiktif, hendaknya difokuskan pada serangkaian upaya
pengembalian kerugian negara secara optimal. Tanpa ada usaha mengembalikan aset
negara, upaya hukum yang dijalani kurang memberikan efek jera pada para pelaku.
Pada prinsipnya upaya hukum dilakukan untuk memberikan pembinaan dan efek jera,
serta juga harus ada unsur pemaksa seperti diberlakukannya denda atau ganti rugi.[19]
Diharapkan
semangat profesionalitas penyidik pajak maupun kepolisian dalam menangani kasus
penyimpangan pajak dikedepankan. Artinya, kalau benar ada temuan atau tindak
pidana pada kasus pajak, secepatnya hal tersebut dikoordinasikan kepada
penyidik kepolisian. perkara penyelewengan pajak yang terjadi di sini sudah
sangat kompleks. Karenanya dibutuhkan sinergi antar lembaga penegak hukum dalam
meminimalisasi kejahatan di sektor pajak.[20]
d.
Penerapan
PER-24/PJ/2012 sebagai solusi Penyalahgunaan Faktur Pajak Fiktif
Melihat banyaknya kasus penyalahgunaan faktur pajak, Direktorat
Jenderal Pajak lebih memperketat sistem administrasi mengenai pemungutan PPN,
sebagai bukti pemungutan digunakan dokumen Faktur Pajak, sehingga Direktorat
Jenderal Pajak membuat kebijakan baru yang tertuang dalam PER-24/PJ/2012. Dalam
kebijakan baru ini diatur mengenai tata cara pengisian faktur pajak, perubahan
yang paling signifikan mengenai penomoran seri faktur pajak, perubahan
kebijakan ini bertujuan untuk lebih menertibkan administrasi pajak mengenai
faktur pajak sebagai penyempurna kebijakan PER-13/PJ/2010. Di mana pelaksanaan
penerapan kebijakan PER-24/PJ/2012 akan mulai tanggal 1 April 2013.
Penomoran faktur pajak berubah sesuai dengan PER-24/PJ/2012, di
mana PKP tidak lagi mempunyai wewenang dalam memberikan nomor seri pada faktur
pajak, penomoran seri faktur pajak dikendalikan oleh Direktorat Jenderal Pajak
dengan cara PKP harus mengaktifkan kode aktivasi dan password terlebih
dahulu dengan mengajukan surat permohonan Kode Aktivasi dan Password ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan, hal ini tentu akan memberikan
dampak yang positif khususnya bagi penerimaan faktur pajak. Dalam
PER-24/PJ/2012 bukan hanya tentang penomoran seri faktur pajak saja yang
mengalami perubahan signifikan, tetapi juga mengenai peraturan penandatanganan
faktur pajak oleh oknum terkait, yakni pejabat kelurahan untuk yang memiliki
KTP dan pejabat imigrasi bagi yang tidak memiliki KTP. Dengan diterapkanya
PER-24/PJ/2012 memberikan celah yang sempit bagi para oknum yang terlibat dalam
penyalahgunaan faktur pajak fiktif. PER-24/PJ/2012 bertujuan untuk pengendalian
nomor seri faktur pajak, dalam pelaksanaanya nomor seri faktur pajak tidak di
isi sendiri oleh PKP yang bersangkutan.
Mendapatkan hasil yang maksimal dalam pelaksanaan PER-24/PJ/2012
dibutuhkan kerjasama antara Direktorat Jenderal Pajak dengan lembaga Penegak
Hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan, kerjasama tersebut meliputi penyidikan
pajak, pengamanan kegiatan dan pelaksanaan tugas Dirjen Pajak, pemanfaatan data
dan informasi untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak. Dengan
kerjasama yang dilakukan oleh Dirjen Pajak dengan aparat hukum diharapakan
penerimaan kas negara yang didapat dari faktur pajak akan terserap secara
maksimal. Dan nantinya Sanksi yang diberikan dapat membuat efek jera bagi para
pelaku penyalahgunaan faktur pajak.
Penerapan kebijakan
PER-24/PJ/2012 bukan hanya mengenai penomoran seri faktur pajak saja yang
berubah secara signifikan melainkan juga, PKP harus mengajukan surat permohonan
Kode Aktivasi dan Password ke kantor Pelayanan Pajak tempat PKP
dikukuhkan, surat permintaan nomor seri faktur pajak harus diisi secara lengkap
dan disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, setelah itu Kantor
Pelayanan Pajak akan menyeleksi pengusaha yang dianggap layak untuk diberikan
nomor seri faktur pajak, setelah dinyatakan layak maka Kantor Pelayanan Pajak
akan menerbitkan surat pemberitahuan nomor seri faktur pajak.
Jumlah nomor seri faktur pajak yang diberikan kepada PKP paling
banyak 75 nomor seri faktur pajak untuk PKP baru dan PKP yang masih menggunakan
Surat Pemberitahuan (SPT) PPN Manual, sedangkan bagi mereka yang sudah
menggunakan SPT Elektronik (e-SPT) diberikan nomor faktur pajak seabnyak 120%
dari jumlah faktur pajak dalam 3 bulan terakhir yang telah jatuh tempo. Sebagai
contoh PKP menggunakan e-SPT yang hendak meminta nomor faktur pajak pada bulan
April 2013, maka pengusaha tersebut harus menyampaikan SPT PPN bulan Desember,
Januari dan Februari. Misal pada ketiga bulan tersebut jumlah faktur yang
diterbitkan untuk bulan Desember 50 faktur, Januari 100 faktur dan Februari 150
faktur maka jumlah faktur yang diberikan di bulan April adalah sejumlah 360
(300x120%=360) faktur pajak.
Waktu yang dibutuhkan PKP menjadi tidak efisien, PKP harus bolak
balik ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mendapatakan nomor seri faktur pajak
tersebut, belum lagi jika permintaan kode aktivasi dan password tersebut di
tolak oleh Kantor Pelayanan Pajak, maka waktu yang dibutuhkan PKP menjadi lebih
lama. Dalam penyerahan faktur pajak PKP diharuskan membubuhkan tanda tangan
yang telah dilegalisir oleh pejebat yang berwenang. Dalam kebijakan baru ini
juga penegasan keterangan faktur pajak mengenai alamat dan jenis barang/jasa
harus diisi sesuai dengan keterangan yang sebenarnya dan sesungguhnya. Dalam
penggunaan nomor faktur pajak akan dipantau oleh Direktorat Jenderal Pajak, dan
jika terjadi kelebihan nomor faktur pajak harus dikembalikan ke Kantor
Pelayanan Pajak terkait, dan apabila terjadi kekurangan nomor seri faktur pajak
sebelum jangka waktu tiga bulan maka PKP harus meminta kembali pemberian nomor
seri faktur pajak, tentu hal ini sangat membuat repot.
Diterapkannya kebijakan baru ini bukan hanya menjadi pekerjaan
tambahan bagi PKP, melainkan juga bagi petugas pajak berupa pelayanan pemberian
kode aktivasi dan password, pelayanan pemberian nomor seri faktur pajak
dan pengawasan nomor seri faktur pajak yang diberikan, nomor seri yang
dilaporkan dan nomor seri yang tidak digunakan.
Kebijakan baru ini diharapkan penerimaan kas negara yang didapat
dari faktur pajak akan terserap secara maksimal, dan setiap kebijakan baru
tentunya bertujuan untuk lebih baik dalam hal pelaksanaan kedepanya, hanya saja
jika tidak diiringi dengan sosialisasi yang matang, tentu dampak yang terjadi
tidak sesuai dengan yang diharapkan, disini peran Pelayanan Pajak sangat
dibutuhkan terutama bagi para Account Representative. Bukan hanya pelayanan
pajak saja yang perlu ditingkatkan melainkan juga sistem yang digunakan juga
perlu ditingkatkan. Pemantauan nomor seri faktur pajak dilakukan oleh Kantor
Pajak Pusat, sehingga sistem yang baik sangat penting dalam memantau nomor seri
faktur pajak
e.
Analisa Kelebihan dan
Kekurangan PER-24/PJ/2012
Setiap kebijakan tentu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam
penerapanya, berdasarkan analisa yang ada dapat diambil dari kebijakan baru ini
di antaranya:
Kelebihan
Kebijkan baru faktur pajak PPN:
2)
PKP akan lebih transparan dalam
penerbitan nomor seri faktur pajak, di mana dalam pelaksanaanya penggunaan
nomor seri faktur pajak akan terus dipantau oleh Direktorat Jenderal Pajak
3)
Peyalahgunaan faktur pajak fiktif bisa
di minimalkan, dengan penerapan nomor seri faktur pajak, PKP tidak akan
mempunyai celah dalam penyalahgunaan faktur pajak fiktif.
4)
Penerimaan pajak dari faktur pajak bisa
terlaksana secara maksimal, dengan meyempitnya penyalahgunaan faktur pajak,
maka penerimaan kas negara yang didapat dari faktur pajak menjadi lebih
maksimal
5)
Memberikan kenyamanan dalam
pelaksanaan penerbitan faktur pajak, dengan kebijakan baru ini diharapkan
memberikan kenyaman bagi PKP yang melakukan pembayaran faktur pajak.
6)
Meningkatkan pengawasan
dalam pelaksanaan faktur pajak, Kebijakan PER-24/PJ/2012 meningkatkan
pengawasan dalam pelaksanaan pembayaran faktur pajak.
7)
Menertibkan pelaksanaan
faktur pajak, dengan kebijakan yang baru ini pelaksanaan faktur pajak menjadi
lebih tertib, dimana PKP akan menggunakan nomor seri faktur pajak sesuai dengan
ketentuan yang telah diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Kekurangan Kebijakan baru faktur pajak PPN:
1)
Program e-SPT belum bisa
mengakomodir perubahan kebijakan yang baru, terutama mengenai faktur pajak
pengganti
2)
Waktu yang kurang efisien di
mana PKP harus meluangkan waktu lebih banyak untuk bolak balik, termasuk
legalisasi dari pejebat yang berwenang dalam membubuhkan tanda tangan ke faktur
pajak
3)
Kebijakan ini juga akan
menambah pekerjaaan lain di KPP berupa pelayanan pemberian kode aktivasi dan password,
pelayanan pemberian nomor seri faktur pajak, dan pengawasan atas nomor seri
faktur pajak yang diberikan
4)
Penomoran seri faktur pajak
pada perusahaan manufaktur akan menjadi sangat sulit, di mana dalam perusahaan
manufaktur faktur pajak yang digunakan menjadi lebih banyak.
5)
PKP diharuskan untuk melek
teknologi, karena pengiriman kode aktivasi dan password yang diterima
dikirim melalui e-mail.
6)
Jika terjadi kelebihan
ataupun kekurangan nomor seri faktur pajak dalam pelaksanaan akan menjadi
sulit, dimana PKP harus selalu memantau penggunaan faktur pajak agar
penggunaanya sesuai dengan pelaksanaan awal. Jika terjadi kelebihan dalam
penggunaan nomor faktur pajak harus dikembalikan kepada Kantor Pelayanan Pajak
terkait, dan jika terjadi kekurangan maka PKP harus meminta tambahan nomor seri
faktur pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak terkait.
7)
Dengan penerapan kebijakan
baru ini faktur pajak yang digunakan oleh PKP di pantau oleh pusat, dan
tentunya dalam pelaksanaan membutuhkan sistem dan Teknologi yang lebih canggih,
dan tentunya perlu biaya yang tidak sedikit dalam penggunaan Teknologi yang
canggih ini
f.
Upaya
Perbaikan Pada Undang-undang Pajak
Sebagaimana
kita ketahui pada tanggal 15 Oktober 2009 telah terbit Undang-undang Nomor 42
Tahun 2009 yang merupakan perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang PPN dan PPnBM. Beberapa perubahan yang dilakukan oleh
Undang-undang PPN yang baru ini coba saya uraikan di paragraf-paragraf di bawah
ini.
1)
Penyerahan Barang Kena Pajak
Dalam Pasal 1A ayat (1) dimuat
tambahan yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yaitu : penyerahan
Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan
yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada fihak yang membutuhkan Barang Kena
Pajak.
2)
Objek PPN Pasal 16D
Terdapat perubahan materi di Pasal
16D UU PPN. Di UU PPN yang lama dinyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai
dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan
semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Kini dengan UU PPN baru, dinyatakan
bahwa PPN dikenakan terhadap aktiva yang menurut tujuan semula tidak
diperjualbelikan, kecuali yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan sesuai
Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c. Dengan demikian, tetap dikenakan PPN
walaupun pajak masukannya tidak dapat dikreditkan jika tidak dapat
dikreditkannya adalah berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf a, d, f, g, h, I dan
j.
3)
Non Barang Kena Pajak dan Non Jasa Kena Pajak
Bila dalam UU PPN lama, barang kena
pajak dan jasa kena pajak yang dikecualikan dari pengenaan PPN diatur dalam
Peraturan Pemerintah, maka dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 ini, jenis BKP dan JKP
yang dikecualikan ini diatur langsung dalam UU PPN sehingga tidak perlu lagi
ada Peraturan Pemerintah. Rincian dan penjelasan dari BKP dan JKP yang tidak
dikenai PPN ini diatur dalam bagian penjelasan Pasal 4A.
Beberapa perubahan penting di
antaranya adalah perluasan jenis barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan
PPN yang meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur,
susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Makanan dan minuman yang diserahkan oleh
usaha jasa boga atau katering juga tidak dikenakan PPN. Di bidang jasa, jasa
tata boga atau katering juga sekarang termasuk jasa yang tidak dikenai PPN.
4)
Pemusatan PPN
Perubahan mendasar dalam hal
pemusatan tempat terutang PPN adalah bahwa dalam Pasal 12 ayat (2) UU PPN baru,
pemusatan PPN cukup dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis saja,
tidak dengan permohonan seperti pada UU PPN yang lama. Konsekuensinya adalah
bahwa tidak perlu lagi keputusan menerima atau menolak pemusatan PPN oleh
Dirjen Pajak yang selama ini dipraktekan.
5)
Pembuatan Faktur Pajak
Masalah pembuatan faktur pajak ini
diatur dalam Pasal 13 UU PPN. Beberapa hal mendasar telah dilakukan terkait
dengan pembuatan faktur pajak ini. Pertama, jika pada UU PPN lama PKP wajib
membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean dan
ekspor BKP, maka pada UU PPN baru ini, ditambahkan lagi kondisinya yaitu untuk
setiap penyerahan eks Pasal 16D, ekspor BKP tidak berwujud dan ekspor jasa kena
pajak.
Kedua, ditambahkannya ketentuan
tentang saat pembuatan faktur pajak di Pasal 13 ayat (1a) dan ayat (2a) untuk
faktur pajak gabungan.
Ketiga, penghapusan Pasal 13 ayat
(7) tentang faktur pajak sederhana. Dengan demikian, dengan berlakunya UU PPN
baru ini, nampaknya tidak akan ada lagi istilah faktur pajak sederhana. Yang
ada adalah faktur pajak standar dan dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan faktur pajak.
Terakhir, ditambahkannya ketentuan
Pasal 13 ayat (9) yang menyatakan bahwa faktur pajak harus memenuhi persyaratan
formal dan material.
6)
Batas Waktu Pelaporan dan Pembayaran PPN
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009
ini juga memuat ketentuan tentang batas waktu pembayaran atau penyetoran dan
pelaporan SPT PPN. Agak mengherankan bagi saya, karena semestinya hal seperti
ini diatur dalam Undang-undang KUP karena sifatnya ketentuan formal, bukan
ketentuan material. Dengan demikian, nantinya akan ada dualisme ketentuan yang
mengatur batas waktu penyetoran dan pelaporan PPN ini, kecuali tentunya ada
perubahan di ketentuan KUP nya.
Dalam Pasal 15A UU ini, diatur bahwa
batas waktu penyetoran adalah akhir bulan berikutnya sebelum SPT Masa
disampaikan. Sementara itu batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Tentu saja dengan ketentuan
ini akan membuat PKP lebih punya waktu untuk membayar dan melaporkan SPT PPN
nya. Antrian pembayaran pajak di bank pun bisa dipecah. Begitu juga antrian
pelaporan SPT tidak akan menumpuk lagi di tanggal 20.
7)
Tanggung Renteng
Pasal 16F UU PPN memberikan
ketentuan tentang tanggung renteng di mana pembeli BKP atau penerima JKP
bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak (maskudnya PPN dan
PPnBM?) sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
Menurut hasil pemeriksaan pajak Aban
melalui STSJ mengeluarkan faktur pajak lebih dari sepuluh perusahaan yang
menjual produk-produk mereka pada perusahaan lain. Keberadaan perusahaan
penjual maupun pembeli memang benar adanya. Tapi, Aban membuat faktur pajak
transaksi jual beli oleh kedua pihak yang tak pernah diakui oleh perusahaan
penyuplai dan pembeli.
Aban memanipulasi sejumlah faktur
pajak fiktif yang digunakan untuk restitusi PPN, sesuai UU No.49 Tahun 2009
tentang PPN. Namun, upaya Aban terendus pemeriksa pajak di Kantor Pelayanan
Pajak Pademangan, Jakarta Utara. Kemudian hal itu dilaporkan pada Kanwil DJP
Jakarta Utara yang kemudian melakukan tindakan secara hukum sehingga Aban
divonis dua tahun.
Sedangkan modus pidana Aban yang
kedua adalah menerbitkan faktur pajak bermasalah, atas nama perusahaan fiktif.
Kemudian, faktur bodong itu dijual Aban pada pengguna faktur pajak bermasalah
lain. Kemudian, faktur pajak tersebut pengguna lain untuk meminta restitusi,
mengurangi setoran PPN, dan digunakan pada pengguna lain.
Direktorat Jenderal Pajak menangani
penyalahgunaan wewenang wajib pajak yang diberikan undang-undang. Seperti
diketahui, UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP) seperti diperbarui dengan UU No.5 Tahun 2008 menerapkan sistem self
assessment pada wajib pajak.
Wewenang tersebut memberikan
keleluasaan pada wajib pajak untuk mengitung, melaporkan, lalu membayar
kewajiban mereka. Jika kewenangan itu diselewengkan, penegakan hukum pasti
dilakukanoleh kasus Aban yang telah kami uraikan.
8)
Sanksi yang dikenakan
1.
Sesuai UU No.49 Tahun 2009 tentang PPN, sehingga Aban
divonis dua tahun.
2.
Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP (dakwaan primer).
Serta melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf a UU KUP sebagai dakwaan sekunder. Tim
penuntut yang dipimpin Martha Berliana, pada 10 Maret 2011, menuntut Aban
pidana penjara selama empat tahun dan denda empat miliar rupiah.
3.
Ancaman hukuman dari pasal seperti dakwaan primer
adalah paling lama enam tahun dan denda empat kali pajak yang tidak/kurang
dibayar. Adapun, kerugian negara akibat perbuatan Abun mencapai Rp2,2 miliar.
BAB IV
KESIMPULAN
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dalam
mengelola perpajakan seharusnya memiliki kesadaran dan tanggung jawab bagi
pejabatnya maupun bagi wajib pajaknya. Karena pajak adalah untuk kepentingan
kita bersama dan untuk mensejahterakan kehidupan masyrakat. Pajak yang kita
bayarkan digunakan untuk membaiayai pembangunan jalanan, jembatan,sekolah,kesehatan,keamanan,subsidi
dan fasilitas publik lainnya di seluruh Indonesia. Dalam penerbitan faktur
pajak harus sesuai dengan fakta yang ada agar pembayaran pajak dapat berjalan
dengan lancar, tentu harus ada peraturan yang mengatur tata cara perpajakan dan
kesadaran yang tinggi bagi wajib pajak untuk membayar pajak kepada negara.
Perlunya
sistem perbaikan tata cara perpajakan agar tidak akan merugikan negara dan tentunya
sistem tata cara perpajakan yang mudah dan menarik perhatian agar masyarakat
sangat antusias untuk membayar pajak.
Untuk
kemajuan system perpajakan di Indonesia dalam menerbitkan faktur pajak harus
sesuai dengan fakta yang ada dan juga dalam hal menyampaikan SPOP, tidak boleh
memberikan isi yang tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan
keterangan tidak benar menunjukan data yang benar dan tidak palsu sehinggga
tidak akan merugikan negara. Dan harus memperlihatkan semua dokumen yang diperlukan
dalam pemeriksaan pajak.
Dengan
begini,tentunya tidak akan pernah terjadi lagi kasus seperti Aban yang ternyata
menggelapkan uang pajak dan royalti sehingga merugikan negara. Jika
semuanya berjalan sesuai dengan aturan UUD dan tata cara perpajakan,tentunya
tidak akan pernah terjadi hal seperti ini. Negara pun tidak akan rugi dan bagi
pihak wajib pajaknya pun tidak akan dikenakan sanksi sesuai peraturan
perpajakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mardiasmo, 2009, Perpajakan : Edisi Revisi 2009, Andi offset, Yogyakarta.
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Elementer : Konsep Dasar
Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta.
----------------------------------,
2010, Hukum Pajak Material : Objek, Subjek, Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak,
dan Cara Perhitungan Pajak, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Santoso Brotodihardjo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika
Aditama, Bandung.
Waluyo. 2012. Akuntansi Pajak. Jakarta:
Salemba Empat,
Santoso Brotodihardjo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika
Aditama, Bandung
Yamin Luiyanto dan Muswati Titi. Model
Penyelewengan Pajak Menggunakan Faktur Pajak Fiktif. 2009
Rochmat Soemitro, 1987, Pajak Pertambahan
Nilai, PT. Eresco, Bandung.
Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak,
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar
Perpajakan I, PT. Refika Aditama, Bandung 1998
Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer,
Eresco, Bandung, 1993
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 85. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008.
[1] Waluyo.
2012. Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat, Hal 315
[2]
Santoso Brotodihardjo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika
Aditama, Bandung, hlm. 6
[3]
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Elementer : Konsep Dasar
Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 34-35
[4]
Mardiasmo, 2009, Perpajakan : Edisi Revisi 2009, Andi offset, Yogyakarta, hlm. 1
[5] Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Material : Objek, Subjek, Dasar
Pengenaan Pajak, Tarif Pajak, dan Cara Perhitungan Pajak, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hlm. 4
[7] Yamin
Luiyanto dan Muswati Titi. Model Penyelewengan Pajak Menggunakan Faktur Pajak
Fiktif. 2009
[8] Waluyo.
2012. Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat, hal 317
[9] Rochmat
Soemitro, 1987, Pajak Pertambahan Nilai, PT. Eresco, Bandung, hal.1
[10] Ibid
[11] Sri
Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak,Op.Cit, hlm.20
[12] Ibid,
hlm. 21
[13] Ibid,
hlm. 22
[14] Ibid,
hlm. 24
[15] Rochmat
Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, PT. Refika Aditama, Bandung 1998, hlm.
80
[16] Chidir
Ali, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, 1993, hlm. 12
[17] www.ikpi.or.id/content/faktur-pajak-dipalsukan-negara-tekor-triliunan,
diakses pada hari Jum’at Tanggal 10 mei 2016
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar