Rabu, 27 Juli 2016

Analisis Perkembangan Filsafat Cina, India dan Arab sebagai Bentuk Aliran Filsafat Murni Budaya Timur







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada hakekatnya manusia adalah sama, yaitu makhluk berakal yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Pembatasan manusia pada jasmaniah, seperti : perbedaan kulit, ras, bangsa dan wilayah, sebenarnya dibuat oleh manusia itu sendiri melalui perilakunya.
Namun ketika berbicara tentang rohani, maka disini tidak ada batasan apapun. Baik warna kulit, rasa tau wilayah. Sebab dalam hal ini satu-satunya perbedaan yang membatasi adalah, keadaan jiwa “ruh” yang mengimani dan tidak mengimani. Dalam esensi jiwa inilah, manusia berpikir dan secara tidak disadari, pada awalnya telah melakukan kegiatan-kegiatan filsafat. Keadaan manusia yang selalu bertanya-tanya mencari jawaban, dalam rangka memperoleh kebenaran (epistemologi), adalah fitrah dasar manusia.
Pencarian kebenaran yang dikenal dengan istilah epistemoligi ini sifatnya relatif, tergantung kondisi masyarakat, pola pikir dan wilayah dimana mereka tinggal. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti pikiran, teori atau ilmu. Jadi epistemologi berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Istilah lain juga biasa digunakan, yaitu teori pengetahuan (theory of knowledge) atau filsafat pengetahuan (philosophy of knowledge) (Susanto, 2001:136).[1]
William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian (dalam Suriasumantri, 2007:119) menjelaskan: epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pegetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia[2]
Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan dengan bahasa sederhana bahwa epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar.
Orang Cina, India, Arab ataupun Yunani semuanya sama-sama berfilsafat untuk mencari kebenaran, tapi ada perbedaan tentang nilai-nilai kebenaran antara orang India dan Yunani, China dan Arab, dst. Orang Yunani mencari kebenaran sebagai kebenaran, sedangkan orang India mencari kebenaran untuk melepaskan diri dari dunia. Orang Cina mencari kebenaran untuk memahami esensi hidup, orang Arab mencari kebenaran untuk melahirkan keyakinan agar mencapai tingkat “ilahiah” keimanan pada Tuhan.
Adanya perbedaan-perbedaan pola pikir ini ditentukan pula oleh kebiasaan (behaviorisme) sehari-hari masyarakat, Behaviorisme berasal dari kata [behavior] yang berarti tingkah laku atau kebiasaan. Behaviorisme mempelajari perilaku manusia.[3] Secara khusus pusat perhatian mereka adalah perilaku manusia yang nampak. Di dalamnya mereka berusaha mengamati hubungan antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan).
John B. Watson[4] menyatakan bahwa kepribadian manusia merupakan hasil pembentukan kebiasaan dan kemampuan, terutama yang ditentukan oleh orang lain. Pembiasaan ini pada akhirnya menciptakan (refleks kondisional), yaitu suatu pola tingkah laku yang terjadi secara spontan di masyarakat karena pembiasaan terus-menerus.[5] Dengan demikian, perbedaan pola pikir, budaya dan filsafat di Cina, India dan Arab sangatlah mungkin terjadi, meskipun ketiganya masyarakat wilayah timur dan tidak ada pengaruh dari luar (barat).
Perkembangan Filsafat di Dunia pada awal mulanya terkait erat dengan Agama, baik di Yunani, Cina, Timur Tengah maupun India. Perkembangan Filsafat Barat khususnya mulai meninggalkan dogma-dogma agama dan semata-mata menyandarkan pada kekuatan akal budi manusia dalam mencapai kebenaran. Perkembangan Filsafat India untuk memisahkan diri dengan agama sangat perlahan sekali bahkan tidak pernah secara sepenuhnya melepaskan diri dari pemikiran keagamaan , oleh karena tujuan hidup manusia India adalah menuju pembebasan atau moksa. Filsafat senantiasa bersifat religious. (Harun: 1979: 9). [6]
Hal paling menarik dalam filsafat timur adalah adanya keseragaman tujuan walaupun usahanya berbeda-beda, namun inti tujuan pemikiran filsafat mereka adalah,  dalam rangka “mencapai kesempurnaan sebagai manusia”. Untuk selanjutnya menuju tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu memahami esensi ketuhanan, dengan maksud mendekatkan diri dan menyadari sepenuhnya kehadiran Tuhan dalam diri mereka.
Disaat para filosof barat meninggalkan realitas Tuhan dan kedekatannya dengan manusia. Mereka menyibukan diri dengan realitas materi, yang dianggap lebih “nyata” dan “ada”.  Namun apa yang terjadi di wilayah timur, seperti Cina, India dan Arab sangatlah jauh berbeda. Justru mereka berfilsafat, dengan tujuan untuk menemukan dzat yang disebut Tuhan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telah dijelaskan maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa saja periodesasi dalam filsafat Timur ?
2.      Apa saja ciri-ciri/karakteristik dari filsafat Timur ?
3.      Apa inti ajaran filsafat timur ?

C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
1.      Mengetahui periodesasi dalam filsafat Timur.
2.      Mengetahui ciri-ciri/karakteristik dari filsafat Timur.
3.      Mengetahui inti dasar ajaran filsafat Timur.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1  PERKEMBANGAN FILSAFAT CINA
Cina sebagai salah satu negara yang memiliki kebudayaan yang tertua didunia memiliki tradisi dan sejarah yang panjang dalam bidang filsafat. Tradisi filsafat Cina diketahui sudah ada kira-kira semenjak tahun 600 Sebelum Masehi, bahkan lebih tua dari keberadaan filsafat barat. Hanya saja karena dipengaruhi oleh hal-hal kepercayaan akan dewa-dewa serta memandang perubahan yang terjadi di dunia merupakan sifat alami dunia itu sendiri yang bersifat absolut seperti benda-benda yang ada di dunia itu sendiri, maka penyebaran ajaran filsafat cina ini tidak seperti filsafat barat. Filasafat tiongkok ini lebih bersifat “khusus” untuk masyarakat tionghoa. Walaupun sebenarnya, banyak sekali keanekaragaman khasanah ilmu dan pemikiran yang bermanfaat.
Filsafat Cina indentik dengan adanya keseimbangan antara urusan duniawi dan surgawi, yang mana dapat dipahami sebagai bentuk dogmatis terhadap manusia dalam menghadapi kehidupan di dunia dan kehidupan setelah mati. Diketahui filsafat Cina sebagai sebuah dialektika kehidupan yang kritis mulai berkembang pada masa Dinasti Zhou (1222-256 SM), dimana banyaknya peneliti menemukannya naskah-naskah Tionghoa  yang sangat klasik yang ada sampai saat ini.
Filsafat tiongkok juga dikenal dengan istilah Filsafat Cina atau ada juga yang menyebutnya dengan Filsafat Tionghoa. Kata Cina lebih diketahui orang banyak, karena kata Tiongkok hanya ada di penggunaan bahasa Indonesia, yang terdeskripsi kepada cina. Sedangkan Tionghoa lebih kepada orang (Cina).
Peradaban tiongkok telah kita ketahui sangat maju. Itu terbukti dari banyaknya masyarakat Cina yang memiliki banyak ahli ilmu astronomi (perbintangan), keahlian bertani dan berperang, dan sudah mengenal tulisan (tulisan gambar) sejak dulu. Selain itu juga kemajuan dalam pembuatan benda-benda seni yang terbuat dari keramik misalnya, dan juga perkembangan teknologinya yang sangat berkembang dari dulu hingga sekarang.
Banyak aspek yang melatarbelakangi pemikiran filsafat tiongkok. Seperti aspek-aspek geografis, ekonomi, sikap terhadap alam, sisitem kekerabatan dan lainnya. Dalam tradisi Tiongkok, jenis pekerjaan yang mendapat tempat terhormat adalah menuntut ilmu (belajar) dan mengolah tanah (bertani).
Jenis pekerjaan ini akan mempengaruhi sikap mereka terhadap alam dan pandangan hidupnya. Para petani mempunyai sifat khusus “kesederhanaan”, dan mereka selalu menerima dan mematuhi perintah. Merekapun tidak pernah mementingkan diri sendiri. Sifat-sifat yang demikian inilah yang menjelma dalam sikap hidupnya.

A.    Periodisasi Filsafat Cina
Pada perkembangan melewati rentan waktu panjang yang dilalui Filsafat di Cina, disini Filsafat Cina dapat dikategorikan ke dalam empat periode besar :
1.      Jaman Klasik (600-200 S.M)
Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat:seratus aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya tao (jalan), te (keutamaan atau seni hidup), yen (perikemanusiaan), i (keadilan), t’ien (surga) dan yin-yang (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah:
a)      Konfusianisme
Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, (guru dari suku Kung) hidup antara 551 dan 497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao (“jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (yen), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda.[7]
Confusianisme dielopori oleh K’ung Fu Tzu (551-479 SM), lahir di Shantung. Ia mengatakan, bahwa hendaknya raja tetap raja, hamba tetap hamba, ayah tetap ayah, anak tetap anak. Sistem kekerabatan harus didasarkan pada syian , yaitu suatu perasaan keterikatan terhadap orang-orang yang menurunkannya. Aspek inilah yang menjadikan budaya Tiongkok tetap diwariskan.[8]
Menurut ajaran  Kong Fu Tze. Tao adalah sesuatu kekuatan yang mengatur segala-galanya dalam alam semesta ini, sehingga tercapai keselarasan. Masyarakat manusia adalah bagian dari alam semesta ini, maka tata cara hidup manusia diatur oleh Tao. Oleh karena itu, sesorang harus menyesuaikan diri dengan Tao, agar dalam kehidupan bermasyarakat terdapat keselarasan dan keseimbangan. Penganut aliran in percaya bahwa segala bencana yang terjadi di atas permukaan bumi ini karena manusia menyalahi aturan Tao. Selama 24 abad, ajaran Kong Fu Tze dianggap oleh bangsa Cina sebagai pegangan hidup, baik bagi rakyat maupun bagi rajanya. Bahkan sampai sekarang ajaran Kong Fu Tze sangat besar pengaruhnya terhadapa cara berfikir dan sikap hidup sebagian besar orang Cina.[9]
b)     Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (guru tua) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran neti, na-itu: tidak begitu) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut docta ignorantia, “ketidaktahuan yang berilmu”).[10]
Semua orang yang mengikuti Tao harus melepas semua usaha. Tujuan tertinggi adalah meloloskan diri dari khayalan keinginana dengan renungan secara gaib.Pemikirannya, orang hendaknya memberikan kasih sayangnya tidak hanya sebatas pada para anggota saja, tetapi harus pada seluruh anggota keluarga yang lain. Peperangan dan upacara ritual dengan pengeluaran biaya yang tinggi yang akan merugikan rakyat merupakan suatu yang bertentangan dengan dasar kecintaan manusia sehingga harus dicela. Kalau kita sayang kepada orang lain, orang lain akan sayang kepada kita, dan kita tidak perlu takut akan kejahatan orang lain.[11]
Ajaran Lao Tze tercantum dalam bukunya yang berjudul Tao Te Ching. Lao Tze percaya bahwa ada semangat keadilan dan kesejahteraan yang kekal dan abadi, yaitu bernama Tao. Taoisme mengajarkan orag supaya menerima nasib. Menurut ajaran ini, suka dan duka, bahagia dan bencana adalah sama saja. Oleh karena itu, orang yang menganut Taoisme dapat memikul suatu penderitaan dengan hati yang tidak bergoncang meski bagaimanapun.[12] Semua perbuatan manusia harus sesuai dengan Tao itu, selalu menurut saja, bahkan tidak berbuat (wu-wei). Dalam perkembangan selanjutnya Taoisme berubah sifatnya menjadi magi belaka. Nama-nama yang terpenting adalah Chuang Tze dan Lio Tze.[13]
c)      Yin-Yang
“Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
d)     Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna.[14]
Mo Tze mengajarkan “cinta kepada sesama manusia yang universal” sebagai dasar filsafatnya (chien ai). “Universal love” ini tak hanya menguntungkan bagi yang dicintai tetapi yang mencintai, jadi timbal-balik. Inilah dasar dari “utilitarisme” Mo Tze dan perbedaannya yang terbesar dengan filsafat Confucius.[15]
e)      Ming Chia/Dialektisi (kira-kira 370 SM)
Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti eksistensi, relativitas, kausalitas, ruang dan waktu.[16]
Meng Tze (372-280) adalah seorang murid Kong Fu Tze yang melanjutkan ajaran gurunya. Dalam mengajarkan ajarannya, Meng Tze bertentangan dengan Kong Fu Tze. Meng Tze tidak memberikan pelajaran kepada kaum bangsawan, tetapi memberikan pengetahuan kepada rakyat jelata. Menurutnya rakyatlah yang terpenting dalam suatu negara begitu pula apabila raja bertindak sewenang-wenang trhadapa rakyat, maka tugas para mentri untuk memperingatkannya. Apabila raja mengabakan peringatan-peringatan itu para mentri wajib menurunkan raja dari tahtanya.[17] Kung-su-Lung, Hui Ship. Perhatian besar untuk teori-teori pengetahuan, dengan kegemaran untuk membuat paradoks-paradoks, seperti terdapat pada Zeno.[18]
f)       Fa Chia (mazhab hukum)
Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali. Tokoh yang terkenal adalah Han Fei Tzu dan Li Sse.[19]
Buku-buku yang terkenal adalah Chang Tze dan Han Fei Tze (kira-kira 395 SM), hukumlah yang merupakan asas persatuan suatu negara, seluruh kekuasaan harus dipusatkan di tangan raja, rakyat harus tetap miskin dan lemah, ketakutan akan pidana membawa orang ke kebajikan, oarang-orang jahat harus menguasai orang-orang baik, diktator yang amoral.[20]
Dari keenam sekolah klasik tersebut, kadang-kadang dikatakan bahwa mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina. Berturut-turut: (1) kaum ilmuwan, (2) rahib-rahib, (3) okultisme (dari ahli-ahli magi), (4) kasta ksatria, (5) para pendebat, dan (6) ahli-ahli politik.
2.      Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu “transendensi di seberang segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”.[21]
Budhisme memasuki Tiongkok pada permulaan abad ke-1. Pengaruhnya besar sampai pada akhir abad ke-10. Beberapa nama yang terkenal adalah Chi-Tsang (549-632 M), Chih-K’ai (538-597 M), Shen Hsiu (600-700 M) dan lain-lain.[22]
3.      Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
4.      Jaman Modern (setelah 1900)
Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad  kedua puluh pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Inilah sejarah perkembangan filsafat China, yang merupakan filsafat Timur. Yang termasuk kepada filsafat Barat misalnya filsafat Yunani, filsafat Helenisme, “filsafat Kristiani”, filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern dan masa kini.[23]


B.     Ciri-ciri Filsafat Cina
Pertama-tama karena masalah politik dan pemerintahan merupakan masalah sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan, maka filsafat Cina berkecendrungan mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain ia cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia.
Para ahli sejarah pemikiran mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, Pertama, dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual.
Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar filosof Cina.
Ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
Kelima, filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.
Keenam, agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur.
Ketujuh, penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai.
Kedelapan, dilihat dari sudut pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang kokoh.[24]

C.    Perbedaan antara Filsafat Timur (Tiongkok) dan Filsafat Barat
a)      Filsafat Timur (Tiongkok)
1.      Etika merupakan pusatnya.
2.      Tingkah laku dan sikap manusia terhadap dunia sekitar merupakan kesatuan yang selaras dan seimbang, sebagai mikro kosmos dan makro kosmos.Manusia harus menyesuaikan diri dengan kodrat alam, sehingga harus harmoni hubungan manusia dengan dunia .
b)      Filsafat Barat
1.      Rasio merupakan pusatnya
2.      Ontologi, yaitu ilmu tentang sebab sebab yang pertama menduduki tempat sentral.
3.      Manusia menempatkan diri berhadapan dengan objek yang dipelajari, sehinga manusia berpikir dengan pertanyaan, seperti apa sebab terjadi peristiwa itu?. Bagaimana peristiwa itu?. Dari mana datangnya?, dll.[25] Filsafat Barat menanyakan hubungan sebab-akibat, mencari mengapa dan bagaimana objek yang diselidiki secara objektif.[26]

D.    Kepercayaan Masyarakat Cina/tionghoa Dahulu.
Mengakui adanya Tuhan Surga (Tien), Allah (Ti), dan Shang Ti, Tuhan Yang Mahatinggi yang mengatasi segala roh-roh (Shen). Magi (shu-shu) dan astrologi. Arwah-arwah prang mati akan hidup terus asal diberikan korban-korban.[27]
Sebelum Kung Fu Tze dan Meng Tze mengajarkan ajarannya, bangsa Cina percaya terhadap para dewa. Mereka memuja dan menganggap dewa-dewa memiliki kekuatan alam. Menurut kepercayaan bangsa Cina, dunia digambarkan sebagai segi empat dan diatasnya ditutupi oleh langit yang trdiri dari 9 lapisan. Ditengah-tengah dunia yang trbentuk segi empat teretak T’ien-hsia, sebuah daerah yang didiami oleh bangsa Cina. Daerah T’ien-hsia merupakan daerah yang didiami oleh bangsa-bangsa yang biadab. Diluar daerah bangsa-bangsa biadab terdapat daerah kosong dan menjadi tempat tinggal hantu-hantu dan Dewi Pa, yang menguasai musim kemarau.
Dewa-dewa yang menerima pemujaan  tinggi adalah:
o   Feng-pa (dewa angin)
o   Lei-Shih (dewa angin taufan dan digambarkan sebagai naga besar),
o   T’ai-Shah atau dewa yang menguasai bukit suci,
o   Ho-Po, tiap-tiap tahun diberi sesajen yang dijalankan oleh pendeta-pendeta perempuan dengan mempersembahkan gadis jelita sebagai istrinya. Gadis itu harus tercantik di seluruh cina dan sesudah dirias, ia disuruh terjun ke dalam arus sungai Hwang-Ho yang deras itu.[28]
Pengetahuan mereka masih bercorak kudus (sacral, sacred), “ pemberian” dari Thian (langit) dan bukan obyektif-empirik, hasil ikhtiar manusia secara sistematik. Cara berfikir pada umumnya masih berdasarkan firasat dan renungan, belum kritik analitik.[29]
Akar atau sumber alam pikiran rakyat Tiongkok adalah Taoisme dan Confuscianisme. Taoisme adalah pandangan hidup yang menitik-beratkan pada hal-hal yang sifatnya naturalistik yang berada dalam diri manusia. Selain itu, Conficianisme adalah suatu pandangan hidup yang menitikberatkan pada organisasi sosial dan menekankan kepada tanggunga jawab manusia terhadap masyarakat.[30]
Di negeri Cina pendidikan itu terikat dengan ajaran Khong Hu Chu, dengan kepercayaan bahwa ada lima indera dan lima pengaruh bintang serta lima warna, begitu pula ada lima keutamaan, yaitu keadilan, kedisiplinan, hikmah, kejujuran dan kebaikan.[31]

2.2  PERKEMBANGAN FILSAFAT INDIA
A.    Intisari Filsafat India
Pada hakekatnya, Filsafat India itu bersifat kejiwaan/kerohanian (spiritual). Dan yang memungkinkan India sampai dapat bertahan terhadap serbuan-serbuan sepanjang waktu dan terhadap kejadian-kejadian di luar perhitungan sepanjang Sejarah, adalah keteguhan jiwa/rohaninya, jadi bukanlah struktur politiknya atau pun organisasi sosialnya.
Filsafat India berpangkal pada keyakinan bahwa ada kesatuan fundamental antara manusia dan alam, harmoni antara individu dan kosmos. Harmoni ini harus disadari supaya dunia tidak dialami sebagai tempat keterasingan, sebagai penjara. Seorang anak di India harus belajar bahwa ia karib dengan semua benda, dengan dunia sekelilingnya, bahwa ia harus menyambut air yang mengalir dalam sungai, tanah subur yang memberi makanan, dan matahari yang terbit. Orang India tidak belajar untuk menguasai dunia, melainkan untuk berteman dengan dunia.
B.     Periodisasi Filsafat India
Sejarah Filsafat India dibatasi mulai dari 2000 SM sampai 1000 SM yang dapat dibagi menjadi  periode :
1.      Jaman Weda (1500-600 S.M.)
Bangsa Arya masuk India dari utara, sekitar 1500 S.M. Literatur suci mereka disebut Weda. Bagian terpenting dari Weda untuk filsafat India adalah Upanisad, yang sepanjang sejarah India akan menjadi sumber yang sangat kaya untuk inspirasi dan pembaharuan. Peradaban Arya  memiliki benih-benih pemikiran filsafat didalamnya dalam bentuk pujian-pujian dan nyanyian-nyanyian keagamaan dan dalam perkembanagan selanjutnya mulai ter dapat dalam Kitab Brahmana dan Kitab Upanisad.(S. Radhakrishnan, Vol.I: 1927: 57)[32]
Suatu tema yang menonjol dalam Upanisad adalah ajaran tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman adalah segi subyektif dari kenyataan, diri manusia. Brahman adalah segi obyektif, makro-kosmos, alam semesta. Upanisad mengajar bahwa manusia mencapai keselamatan (moksa, mukti) kalau ia menyadari identitas Atman dan Brahman.
2.      Jaman Skeptisisme (Epos) (600 S.M.-200 M.)
Sekitar tahun 600 S.M. Pada jaman ini mulai ada sistim-sistim filsafat (darsana) dan juga Kitab Ramayana dan Mahabarata yang mengandung kepahlawanan dan hubungan antara Tuhan dengan manusia serta sistim-sistim agama Buddha, Jaina, Siwa dan Wisnu. (S. Radhakrishnan, Vol.I: 1927: 57).
Para rahib mengajar suatu “metafisika” yang juga tidak sampai ke hati orang biasa. Reaksi datang dalam banyak bentuk. Yang terpenting adalah Buddhisme, ajaran dari pangeran Gautama Buddha, yang memberi pedoman praktis untuk mencapai keselamatan: bagaimana manusia mengurangi penderitaannya, bagaimana manusia mencapai terang budi.
Reaksi lain datang dari Jainisme dari Mahawira Jina. Di samping itu mulai juga kebaktian yang lebih eksklusif kepada Siwa dan Wisnu, dua bentuk agama yang lebih menarik daripada ritualisme dan spekulasi para imam dan rahib.
Sebagai kontra-reformasi, muncul dalam Hinduisme resmi enam sekolah ortodoks (disebut “ortodoks”, karena Buddhisme dan Jainisme, yang tidak berdasar Weda, dianggap bidaah). Yang terpenting dari sekolah ini adalah Samkhya dan Yoga. Yoga, dari kata “juj”, “menghubungkan”, mengajar suatu jalan (“marga”) untuk mencapai kesatuan dengan ilahi. Samkhya (artinya: “jumlah”, “hitungan”) mengajarkan tema terpenting hubungan alam-jiwa, kesadaran materi, hubungan Purusa-Prakriti.
3.      Jaman Puranis (300-1200)
Setelah tahun 300, Buddhisme mulai lenyap dari India. Buddhisme sekarang lebih penting di negara-negara tetangga daripada di India sendiri. Pemikiran India dalam “abad pertengahan”-nya dikuasai oleh spekulasi teologis, terutama mengenai inkarnasi-inkarnasi dewa-dewa. Banyak contoh cerita tentang inkarnasi dewa-dewa terdapat dalam dua epos besar, Mahabharata dan Ramayana.
Adanya pemikiran kritis rasional dalam filsafat India , dimana Sutra-sutra itu  mulai dikomentari oleh berbagai komentator-komentator dengan pandangan yang beragam. Muncul sistim-sistim filsafat seperti Samkya, Yoga, Mimamsa, Vedanta, Waisesika, dan Nyaya. (S. Radhakrishnan, Vol.I: 1927: 58) [33]
4.      Jaman Muslim (1200-1757)
Dua nama menonjol dalam periode muslim, yaitu nama pengarang sya’ir Kabir, yang mencoba untuk memperkembangkan suatu agama universal, dan Guru Nanak (pendiri aliran Sikh), yang mencoba menyerasikan Islam dan Hinduisme.
5.      Jaman Modern (setelah 1757)
Jaman modern, jaman pengaruh Inggris di India, mulai tahun 1757. Periode ini memperlihatkan perkembangan kembali dari nilai-nilai klasik India, bersama dengan pembaharuan sosial. Nama-nama terpenting dalam periode ini adalah Raja Ram Mohan Roy (1772-1833), yang mengajar suatu monoteisme berdasarkan Upanisad dan suatu moral berdasarkan khotbah di bukit dari Injil, Vivekananda (1863-1902), yang mengajar bahwa semua agama benar, tapi bahwa agama Hindu paling cocok untuk India; Gandhi (1869-1948), dan Rabindranath Tagore (1861-1941), pengarang syair dan pemikir religius yang membuka pintu untuk ide-ide dari luar.
Sejumlah pemikir India jaman sekarang melihat banyak kemungkinan untuk dialog antara filsafat Timur, yang dianggap terlalu mistik dan filsafat Barat, yang dianggap terlalu duniawi. Radhakrishnan (1888-1975) mengusulkan pembongkaran batas-batas ideologis untuk mencapai suatu sinkretisme hindu-kristiani, yang dapat berguna sebagai pola berpikir masa depan seluruh dunia. Sementara itu, filsafat India dapat belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat dapat belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenai identitas makrokosmos dan mikrokosmos.



5.2  PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM
Prof. Tohir Abdul Mu’in, menyatakan Apabila Filsafat tersebut disebut dengan Filsafat Arab, berarti mengeluarkan orang Iran, orang Afganistan, orang Pakistan dan orang India. 
Dengan menyebut Arab, berarti seharusnya mengecualikan Ibnu Sina dan al-Ghazali yang berasal dari Persia dan al-Farabi yang berasal dari Turki. Dan bukankah juga motif para filsuf ini lebih didorong oleh motif dan semangat peradaban Islam dibandingkan semangat ke Araban.[34]
Oleh sebab itu bisa lebih tepat digolongkan kedalam filsafat islam, karena kebanyakan pola dan dasar pemikirannya merupakan nilai islam namun ditulis dalam tulisan arab. Berikut ini periode pemikiran filsafat Islam:
·         Periode Mu’tazilah. Mulai abad ke-8 sampai abad ke-11
Periode Filsafat Pertama. Mulai dari abad ke-8 sampai dengan bad ke-11.
·         Periode Kalam Asy’ari’. Periode ini berlangsung mulai abad ke-9 sampai abad ke-11.
·         Periode Filsafat Kedua. Mulai abad ke-11 sampai abad ke-12.
·         Dalam periode Mutakallimin (700 – 900), muncul mazhab-mazhab al-Khawarij, Murji’ah, Qadariyyah, Jabariyyah, Mu’tazilah, Ahli Sunnah Wal-Jama’ah.
Setelah periode ini berlangsung, pemikiran filsafat komtemporer mulai berkembang yang mana diawali oleh pemikiran Mushthafa 'Abd al-Raziq (1885-1946), yang mana akal dan rasio semakin ditingkatkan dalam pemikirannya. Kemudian, kebanyakan pemikiran pada masa ini banyak dipengaruhi oleh filsafat barat.

A.    Faktor Munculnya Filsafat Islam
Filsafat Islam terdiri dari dua kata. Filsafat diartikan sebagai berpikir bebas, radikal dan dalam dataran makna. Bebas artinya tidak ada pikiran yang menghalangi bekerja. Sedangkan kata Islam , secara sematik berasal dari kata salima artinya menyerah, tunduk dan selamat. Jadi pada hakekatnya adalah berpikir bebas, radikal dan berada pada taraf makna yang memiliki sifat, corak dan karakter yang menyealamatkan dan menberikan kedamaian hati.[35]
Pemikiran filsafat masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai kaum Muslimin pada abad ke-8 Masehi atau abad ke-2 Hijriah di Suriah, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.
Dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve dijelaskan bahwa kebudayaan dan filsafat Yunani masuk ke daerah-daerah itu melalui ekspansi Alexander Agung, penguasa Macedonia (336-323 SM), setelah mengalahkan Darius pada abad ke-4 SM di kawasan Arbela (sebelah timur Tigris).
Alexander Agung datang dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, bahkan sebaliknya, ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Hal ini telah memunculkan pusat-pusat kebudayaan Yunani di wilayah Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antiokia di Suriah, Jundisyapur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia.
Pada masa Dinasti Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu nampak karena ketika itu perhatian penguasa Umayyah lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab. Pengaruh kebudayaan Yunani baru nampak pada masa Dinasti Abbasiyah karena orang-orang Persia pada masa itu memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahan pusat.
Para Khalifah Abbasiyah pada mulanya hanya tertarik pada ilmu kedokteran Yunani berikut dengan sistem pengobatannya. Tetapi kemudian mereka juga tertarik pada filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Perhatian pada filsafat meningkat pada zaman Khalifah Al-Makmun (198-218 H/813-833 M).
Kelahiran ilmu filsafat Islam tidak terlepas dari adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam.
Filasafat Islam tumbuh oleh dua lingkungan yang hidup sezaman yang sama-sama meletakkan sendi-sendi kajian rasional Islam. Menurut Madkour pertama, lingkungan kaum penerjemah yang memasok dunia Islam dengan buah pemikiran kelasik baik Timur maupun Barat. Kedua, lingkungan sekte teologis Islam, khususnya Muktazilah.[36]
Perkembangan filsafat Islam, hidup dan memainkan peran signifikan dalam kehidupan intelektual dunia Islam. Jamal al-DÄ«n al-Afgani, seorang murid Mazhab Mulla Shadra saat di Persia, menghidupkan kembali kajian filsafat Islam di Mesir. Di Mesir, sebagian tokoh agama dan intelektual terkemuka seperti Abd. al-Halim Mahmud, Syaikh al-Azhar al-marhum, menjadi  pengikutnya.
Filsafat Islam di Persia, juga terus berkembang dan memainkan peran yang sangat penting meskipun terdapat pertentangan dari kelompok ulama Syi’ah. Tetapi patut dicatat bahwa Ayatullah Khoemeni, juga mempelajari dan mengajarkan al-hikmah (filsafat Islam) selama berpuluh puluh tahun di Qum, sebelum memasuki arena politik, dan juga Murtadha Muthahhari, pemimpin pertama Dewan Revolusi Islam, setelah revolusi Iran 1979, adalah seorang filosof terkemuka. Demikian pula di Irak, Muhammad Baqir al-Shadr, pemimpin politik dan agama yang terkenal, adalah juga pakar filsafat Islam.

B.     Periodisasi  Perkembangan  Filsafat  Islam
Filsafat Islam mengalami masa gemilang mulai abad ke-8 smpai abad ke-13. pada masa ini berkembang penerjemah ke dalam bahasa arab karya-karya filosof Yunani atas dorongan khalifah-khalifah Bani Abbasiah, yaitu; Al-Mansyur,  Harun Al-rosyid, kemudian Al-Makmun. Berdirilah Perguruan Bait al Hikmah selain sebagai pusat penerjemah, juga menjadi pusat pengembangan filsafat dan sains.
Kontak pertama orang Islam dengan Ilmu Pengetahuan dan filsafat Yunani adalah pada saat Khalifah Harun Al Rasyid mengirimkan orang-oarang Islam ke Kerajaan Romawi di Eropa. Harun Nasution mengatakan ;
“Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Pada mulanya yang dipentingkan adalah buku-buku mengenai kedokteran, tetapi juga mengenai ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Buku-buku itu diterjemahkan dulu ke alam bahasa Syria, bahasa Ilmu pengetahuan di Mesopotamia diwaktu itu, kemudian baru ke dalam bahasa arab. Akhirnya penerjemah langsung ke dalam bahasa Arab,”[37]
Pemikiran Filsafat Islam telah muncul dan dikenal dalam alran-aliran teologis (kalamiah). Sejak abad 7 sampai tahun permulaan abad 13 kajian filosofis bercmpur dengan kajian-kajian teologik, bahkan hidup bersama berdampingan. Maka muncullah istilah suluk, al-Ittihad, hulul, wihdatul wujud. Ini semua bentuk-bentuk tasawuf berlandasakan pada sendi-sendi filsafat dan teori tentang al-Wujud (ontologi) dan al-Ma;rifah (epistimologi) mirip dengan teori para filosof.
Berbagai perbedaan yang timbul antara pemikiran yang rasional (filsafat) dengan rasa (tasawuf) tidak menyebabkan ada orang Islam yang didominasi oleh pemikiran akal secara total, demikian sebaliknya tidak ada yang di dominasi sepenuhnya oleh rasa (hati) seratus persen. Buktinya adalah tidak ada filpsof Islam maupun sufi yang meninggalkan iman, apalagi yang mengambil faham materialisme atau atheisme. Perkembangan periodisasi filsafat Islam sebagai berikut:
1.      Periode awal perkembangan Islam
Pemikiran mengenai filsafat pendidikan pada periode awal ini merupakan perwujudan dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan al-hadis, yang keseluruhannya membentuk kerangka umum ideologi Islam. Dengan kata lain, bahwa pemikiran pendidikan Islam dilihat dari segi al-Qur’an dan hadis, tidaklah muncul sebagai pemikiran yang terputus, terlepas hubungannya dengan masyarakat seperti yang digambarkan oleh Islam. Pemikiran itu berada dalam kerangka paradigma umum bagi masyarakat seperti yang dikehendaki oleh masyarakat. Dengan demikian pemikiran mengenai pendidikan yang dilihat dalam al-Qur’an dan hadis mendapatkan nilai ilmiahnya. Pada periode kehidupan Rasulullah Saw tampaknya mulai terbentuk pemikiran pendidikan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits secara murni. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran al-Qur’an yang diteladani oleh masyarakat dari sikap dan prilaku hidup Nabi Muhammad saw.
2.      Periode klasik
Periode klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan khulafa’ al-Rasyidun hingga awal masa imperialis Barat. Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Ummayah zaman keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga awal abad ke-19.
Walaupun pembagian ini bersifat tentative, namun terdapat beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar pembagian itu. Pertama, sistem pemerintahan; kedua, luas wilayah kekuasaan; ketiga, kemajuan-kemajuan yang dicapai; dan  keempat, hubungan  antar  negara.
Dari dasar pertimbangan tersebut, maka diketahui bahwa di awal periode klasik terlihat munculnya sejumlah pemikiran mengenai pendidikan. Pemikiran mengenai pendidikan tersebut tampak disesuaikan dengan kepentingan dan tempat serta waktu.
Perkembangan filsafat pendidikan Islam pada periode klasik ini masih menyimpan tokoh-tokoh seperti ; Ibnu Masarrah (269-319) yang pemikirannya menyangkut tentang jiwa dan sifat-sifat manusia, Ibnu Maskawaih (330-421), pemikirannya tentang pentingnya pendidikan akhlak, Ibnu Sina (370-428), karya besarnya as-Syifa dan al-Qanun al-Tibb sebuah karya ensiklopedi kedokteran, dan Al-Gazali (450/1058-505/1111 M), karya besarnya sering menjadi acuan berbagai pandangan masyarakat dan sangat terkenal yaitu Ihya’ Ulum al-Din, menurutnya bahwa pendidikan yang baik adalah yang dapat mengantarkan manusia kepada keridhaan Allah swt., yang tentunya selamat hidup dunia dan akhirat.
3.      Periode Modern
Periode modern merujuk pada pembagian periodesasi sejarah Islam, yaitu menurut Harun Nasution, bahwa periode modern dimulai sejak tahun 1800 M. periode ini ditandai dengan dikuasainya Bani Abbas dan Bani Ummaiyah secara politik dan dilumpuhkan oleh imperialis Barat.
Namun ada tiga kerajaan besar Islam yang masih memegang hegemoni kekuasaan Islam, yaitu Turki Usmani (Eropa Timur dan Asia-Afrika), kerajaan Safawi (Persia), dan kerajaan Mughol (India).
Puncak dari pemikiran filsafat pendidikan Islam periode modern terangkum dalam komperensi pendidikan Islam sedunia di Makkah tahun 1977 sebagai awal pencetusan konsep tentang penanganan pendidikan Islam. Selanjutnya di Islamabad (1980) menghasilkan pedoman tentang pembuatan pola kurikulum, di Dhakka (1981) menghasilkan tentang perkembangan buku teks, dan di Jakarta (1982) telah menghasilkan tentang metodologi pengajaran.

C.    Ciri - Ciri Filsafat  Islam
Setiap ragam pemikiran dan kebudayaan memiliki ciri khas dan pola pikir nya masing-masing. Berikut ini ciri-ciri filsafat islam adalah sebagai berikut :
1.      Sebagai Filsafat Relegius
Topik-topik filsafat Islam bersifat relegius, dimulai dengan meng-Esakan Tuhan dan menganalisis secara universal dan menukik ke teori keTuhanan yang tak terdahuluaisebelunya. Seolah-olah menyaingi alairan kalamiah Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang mengoreksi kekurangan nya dan berkonsentrasi mengambarkan Allah Yang Maha Agung dalam pola yang berlandasan tajrid (pengabstrakan), tanzih (penyucian), keesaan mutlak dan kesempurnaan total. Dari Yang Esa ber-emanasi segala sesuatu. Karena Ia  pencita, maka Ia menciptakan dari bukan sesuau, menciptakan alam sejak azzali, mengatur dan menatanya. Karena alam merupakan akibat bagi-Nya, maka dalam wujud dan keabadian-Nya, maka Ia menciptakannya karena semata-mata anugerah-Nya.[38]
2.      Filsafat Rasional
Akal manusia juga merupakan salah satu potensi jiwa dan disebut rasional soul. Walaupun berciri khas relegius-spritual, tetapi tetap bertumpu pada akal dalam menafsirkan problematika ketuhanan, manusia dan alam, karena wajib al-wujud adalah akal murni. Ia adalah obyek berpikir sekaligus obyek pemikiran.[39]
3.      Filsafat Sinkretis
Filsafat Islam memadukan antara sesama filosof. Memadukan berarti mendekatkan dan mengumpulkan dua sudut, dalam filsafat ada aspek-aspek yang tidak  sesuai dengan agama. Sebaliknya sebagian dari teks agama ada yang tidak sejalan dengan sudut pandang filsafat. Para filosuf Islam secara khusus konsentrasi mempelajari Plato dan Ariestoteles. Untuk itu mereka menerjemahkan dialog-dialog penting Plato. Republik, hukum, Themaus, Sophis, Paidon, dan Apologia (pidato pembelaan Socretes).[40]
4.      Filsafat yang Berhubungan Kuat dengan Ilmu Pengetahuan
Saling take and give, karena dalam kajian-kajian filosof terdapat ilmu pengetahun dan sejumlah problematika saintis, sebaliknya dalam saintis terdapat prinsip-prinsip dan teori-teori filosofis.  Filosof Islam menganggap ilmu-ilmu pengetahuan rasional sebagai bagian dari filsafat.  Misalnya adalah buku As-Syifa’   milik Ibnu  Sina yang merupakan Encyclopedia,  Al-Qanun, kemudian Al-Kindi mengkaji masalah-masalah matematis dan fisis. Al-Farabi mempunyai kajian Ilmu ukur dan mekanik.[41]




D.    Tokoh – Tokoh  Filsafat  Islam
1.      Al-Kindi
Hidup  pada tahun 796-873 M  pada masa  khalifah al-Makmun dan  al-Mu’tashim. Al-Kindi  menganut aliran Mu’tazilah dan kemudian belajar filsafat.  Menurut Al-Kindi filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan. Kata Al-Kindi : Filsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah filsafat utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab dari segala yang benar. Masih menurut Al-Kindi kebenaran ialah bersesuaian apa yang ada dalam akal dan yang ada diluar akal.
Di dalam alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indra. Benda-beanda ini merupakan juz’iyat. Yang terpenting bagi filsafat bukan  juz’iyat yang tak terhingga banyaknya, tetapi yang terpenting adalah hakekat yang terdapat dalam juz’iyat, yaitu kauliyat.[42]  Kemudian filsafatnya yang lain yaitu tentang jiwa an roh.
2.      Al-Farabi
Al-Farabi hidup tahun 870-950 M, dia meninggal dalam usia 80 tahun. Filsafatnya yang terkenal adalah teori emanasi (pancaran). Filsafatnya mengatakan bahwa yang banyak ini timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Satu tidak berubah, jauh dari materi , jauh dari arti banyak, Maha sempurna dan tidak berhajat apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam  materi yang banyak ini dari yang Maha satu?
Menurut Al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi atau pancaran dari Tuhan yang berubah menjadi suatu maujud. Perubahan itu mulai dari akal pertama sampai akal kesepuluh. Kemudian dari akal kesepuluh muncullah berupa bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari empat unsur: api, udara, air dan tanah. Pada falsaft kenabian dia mengatakan bahwa Nabi dan rasul adalah pilihan, dan komunikasi dengan akal kesepuluh terjadi bukan atas usaha sendiri tetapi atas pemberian Tuhan.[43].
3.      Ibnu Sina
Ibnu Sina lahir di Asyfana 980 M dan wafat di Isfahana tahun 1037 M. pemikiran terpenting yang dihasilkan oleh Ibnu Sina adalah tentang jiwa.  Ibnu Sina juga manganut paham pancaran, jiwa manusia memancar dari akal kesepuluh. Dia membagi jiwa dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan (nafsu nabatiyah), jiwa binatang ( nafsu hayanawiyah), dan jiwa manusia (nafsu natiqah).
Filsafat tentang wahyu dan nabi ia berpendapat, bahwa Tuhan menganugrahkan akal meteriil yang besar lagi kuat yang disebut al-hads (intuisi). Tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif  dan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal yang seperti ini mempunyai daya suci (quwwatul qudsiyah). Ini bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, dan terdapat hanya pada nabi-nabi.[44]
Dari beberapa kajian diatas, filosof muslim dlam pemikirannaya selalu bersandar kepada Tuhan, meskipun rasio digunakan secara bebas dab radikal  namun masih terkendali oleh wahyau yang merupakan pangkal dari agama Islam.
4.      Ibnu Miskawaih (W. 1030 M).
Beliau lebih dikenal dengan filsafat akhlaknya yang tetuang dalam bukunya, Tahzib al-Akhlak. Menurutnya, akhlak adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran yang dibawa sejak lahir. Kemudian ia berpendapat bahwa jiwa tidak berbentuk jasmani dan mempunyai bentuk tersendiri. Jiwa memiliki tiga daya yang pembagiannya sama dengan pembagian al-Kindi. Kesempurnaan yang dicari oleh manusia ialah kebajikan dalam bentuk  ilmu  pengetahuan dan tidak tunduk pada hawa nafsu  serta  keberanian dan  keadilan.











BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa filsafat lahir dari Yunani, namun ada juga yang mengatakan bahwa filsafat dimulai dari Islam. Ada lagi yang berpendapat asal mula filsafat dari gabungan dari keduanya.
Filsafat Barat adalah hasil pemikiran radikal oleh filosof Barat sejak abad pertengahan sampai  modern, sedangkan filsafat Islam adalah berpikir bebas, radikaldan berada pada taraf makna yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan kedamaian hati.
Perjalanan filsafat Barat dimulai dari masa Yunani Kuno, yang terfokus pada pemikiran asal kejadian alam secara rasional. Segala sesuatu harus atas dasar logika. Kemudian masa abad pertengahan filsafat berubah arah menjadi bersifat teosentrik, segala kebenaran ukurannya adalah ketaatan Gereja,  maka mereka banyak berasal dari kalangan pendeta (agamawan). Pada perjalanan berikutnya para pendeta dogmatis itu ditinggal para ilmuwan yang kemudian beralih pada pemikiran yang bercorak  bebas, radikal, dan rasional yang realis.
Filsafat Islam segala bentuk pemikiran ilmuwan muslim yang mendalam secara teoritis maupu.n empiris, bersifat unversal yang berlandaskan wahyau. Filsafat Islam merupakan pengembangan filsafat Plato dan Aristoteles yang telah dilandasi dengan ajaran Islam dan memadukan antara filsafat dan Agama. Filsafat yang bercirikan religius dan berusaha sekuat tenaga memasukkan teks agama dengan akal.
Perbandingan  antara  Filsafat Barat dan Filsafat Islam   adalah  sebagai berikut :
Persamaannya, sama-sama berpikir radikal, bebas. Kedua-duanya menggunakan logikal akal, dialektika.  Kedua-duanya berfikir tentang realitas alam, kosmologi.
Perbedaannya:
a.      Filsafat Barat
-          Mengguakan rasio
-          Berpijak pada hal-hal yang konkrit
-          Hanya berfilsafat
b.      Filsafat Islam
-          Berfilsafat menggunakan akal dan bersandar pada wahyu.
-          Ruang lingkup pembahasannya yang abstrak maupun konkrit, fisik maupun metafisik.
-          Berfilsafat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memahami realitas alam.
-          Berfilsafat dimulai dengan keimanan kepada Allah.
2.      Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka setiap pembahasan mengenai konsep menjalani kehidupan ini diharapkan memiliki dua misi, yaitu hidup saat ini (dunia) dan hidup setelah mati (akhirat). Melalui kajian ini diharapkan agar upaya dan usaha yang menjadi pembaharuan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan moril.
























DAFTAR PUSTAKA

-          Susanto, A. 2011. Filsafat ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta:Bumi Aksara,
-          Suriasumantri, Jujun S.2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
-          A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dari A Sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997,
-          John B. Watson Psychology as the Behaviorist Views It. ( Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989
-          Dr. A. Supratiknya, Teori-Teori Sifat Dan Behavioristik, Kanisius, Yogyakarta, 1993,
-          Harun Nasution, Filsafat Agama, 1979, penerbit Bulan Bintang, Jakarta,
-          Archadi. Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Rajawali Pers.
-          I Wayan Badrika., Sejarah Nasional dan Umum, Jakarta: Erlangga, 2004,
-          Burhanuddin Salam., Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2000,
-          SI Poeradisastra., Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern,  Jakarta: Guna Aksara, 1986,
-          Abdur Rahman Umdirah, Metode Al-Qur’an dalam Pendidikan, Surabaya: Mutiara Ilmu.,
-          Radhakrshnan, Sarvepalli: “ Indian Philophy” Vol. I, London, George Allen & Unwin Ltd., 1927,
-          Radhakrshnan, Sarvepalli: “ Indian Philophy” Vol. I, London, George Allen & Unwin Ltd., 1927,
-          Musa Asy’ari, Filsafat Islam, (Yogyakarta; LESFI,1999),
-          Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),
-          Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), cet. Ke-12,
-          Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),
-          Harun  Nasutiaon, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta; Universitas Indonesia, 1982)
-          http://labibsyauqi.blogspot.com/2009/06/filsafat-cina-sejarah-singkat-tokoh-dan.html
-          http://filsafat-unhi.blogspot.com/2012/12/filsafat-timur-tiongkok.html
-          http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab4.html




[1] Susanto, A. 2011. Filsafat ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta:Bumi Aksara, hlm.136
[2] Suriasumantri, Jujun S.2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm.119
     [3] A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dari A Sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:32
     [4]John B. Watson adalah pendiri aliran psikologi behaviorisme. Ia pernah belajar di Universitas Chicago yang merupakan pusat fungsionalisme. Namun karena tidak setuju dengan fungsionalisme akhirnya ia pindah ke Universitas John Hopkins. Karya  Watson yang dianggap sebagai titik tolak berdirinya psikologi behaviorisme adalah Psychology as the Behaviorist Views It. ( Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989, hal:238-239
     [5] Dr. A. Supratiknya, Teori-Teori Sifat Dan Behavioristik, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal:211
[6] Harun Nasution, Filsafat Agama, 1979, penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Hal.9
[7] http://labibsyauqi.blogspot.com/2009/06/filsafat-cina-sejarah-singkat-tokoh-dan.html
[8] Archadi. Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 95
[9] I Wayan Badrika., Sejarah Nasional dan Umum, Jakarta: Erlangga, 2004, hal. 182.
[10] http://labibsyauqi.blogspot.com
[11] Fi um hal. 96
[12]  I Wayan Badrika,  Loc. Cit.
[13]  Burhanuddin Salam., Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hal. 70.
[14]  http://labibsyauqi.blogspot.com
[15]  Burhanuddin Salam, Loc. Cit.
[16]  http://labibsyauqi.blogspot.com
[17]  I Wayan Badrika, Loc. Cit.
[18]  Burhanuddin Salam, Op. Cit, hal. 71
[19]  http://labibsyauqi.blogspot.com
[20]  Burhanuddin Salam, Loc. Cit. 71
[21]  http://labibsyauqi.blogspot.com
[22]  Burhanuddin Salam, Op. Cit, hal. 72
[23]  http://labibsyauqi.blogspot.com
[24]  Ibid.,
[25]  http://filsafat-unhi.blogspot.com/2012/12/filsafat-timur-tiongkok.html
[26] Burhanuddin Salam., Op. Cit, hal. 68
[27] Ibid., hal. 69
[28] I Wayan Badrika, Op.Cit, hal.183
[29] SI Poeradisastra., Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern,  Jakarta: Guna Aksara, 1986, hal.5
[30] Fil um
[31] Abdur Rahman Umdirah, Metode Al-Qur’an dalam Pendidikan, Surabaya: Mutiara Ilmu., hal. 16
[32] Radhakrshnan, Sarvepalli: “ Indian Philophy” Vol. I, London, George Allen & Unwin Ltd., 1927, hal.57
[33] Radhakrshnan, Sarvepalli: “ Indian Philophy” Vol. I, London, George Allen & Unwin Ltd., 1927, hal 58
[34] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab4.html
[35] Musa Asy’ari, Filsafat Islam, (Yogyakarta; LESFI,1999), hal. 6
[36] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 115
[37] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), cet. Ke-12, hal. 4
[38] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal.245
[39] Ibid, hal. 247
[40] Ibid, hal. 250
[41] Ibid, hal. 250
[42] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), cet. Ke-12, hal 7
[43] Harun  Nasutiaon, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta; Universitas Indonesia, 1982) , hal. 20
[44] Ibid, hal. 27

Tidak ada komentar:

Persyaratan Hak & Kewajiban Guru

BAB I PENDAHULUAN A.       LATAR BELAKANG MASALAH Di dalam   masyarakat tedapat bermacam-macam pekerjaan, seperti dokter, penga...