BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Kebebasan merupakan suatu nilai
yang dijunjung tinggi oleh manusia. Manusia akan mungkin merealisasikan dirinya
secara penuh jika ia bebas.[1] Keinginan manusia untuk bebas merupakan
keinginan yang sangat mendasar.[2]
Dalam sejarah manusia gagasan
tentang arti “bebas” yang sebenarnya selalu berbeda dan berubah-ubah. Hal ini
dikarenakan pengalaman tiap individu manusia merasakan substansi hakikat
kebebasan itu sendiri beraneka ragam. Sehingga untuk menjawab persoalan tetnang
arti “kebebasan” itu bukan hanya seringkali berbeda, namun juga sering kali
bertentangan.[3]
Louis Leahy berpendapat bahwa
kebebasan merupakan salah satu karakter dasar manusia. Manusia adalah makhluk
yang secara esensial berkehendak. Dalam perbuatan berkehendaknya, ke-akuan
manusia hadir dalam dirinya dan menguasainya. Karena itu pada dasarnya manusia
tidak dapat tidak berkehendak.[4]
Pada prinsipnya, kebebasan
manusia itu adalah “nyata” dan “semu”. Mengapa demikian ?, karena kebebasan itu
dalam kenyataannya merupakan suatu yang bersifat "fragile"; kebebasan bersifat sensitif dan rapuh. Manusia
adalah makhluk yang bebas, namun sekaligus manusia adalah makhluk yang harus
senantiasa memperjuangkan kebebasannya.
Aktualitas ide kebebasan manusia
juga didasarkan pada kenyataan adanya perkembangan arti kebebasan sesuai dengan
situasi dan kondisi manusia. Arti dan makna kebebasan pada jaman sekarang,
tidak bisa disamakakan dengan pengertian kebebasan dalam masyarakat kuno atau
masyarakat pra-modern.
Pada jaman penjajahan kebebasan
mungkin lebih diartikan sebagai keadaan terlepas dari penindasan oleh penjajah.
Namun pada masyarakat modern, arti kebebasan mempunyai makna yang lebih luas.
Kebebasan pada jaman sekarang bukan hanya berarti sekedar terbebas dari keadaan
terjajah, namun mungkin lebih berarti bebas untuk mengangtualkan diri di
tengah-tengah perkembangan jaman ini. Dunia modern diwarnai oleh berbagai perkembangan
teknologi, ilmu pengetahuan, dan budaya. Sehingga pola pikir manusia semakin
mengarah pada antroposentrisme.
Pada zaman kuno manusia mengandalkan
prinsip-prinsip spiritual dalam setiap peristiwa hidupnya. Namun di jaman
modern manusia lebih percaya pada kemampuan intelektualnya sendiri dalam
menafsirkan kehidupan. Dalam jaman modern segala tesis yang tidak dapat
diterima secara logis akan ditolak. Manusia modern semakin tenggelam dalam
pendewaan otonomi rasio.
Konsekuensianya adalah, kehidupan
spiritual tidak lebih hanya sebagai pengakuan formal yang dangkal. Kesediaan
manusia untuk menyerahkan diri pada kekuatan Ilahi hanya menjadi sekedar
romantisme spiritual yang tidak mempunyai relevansi konkrit dengan kehidupan
manusia.[5]
Sebaliknya pengakuan manusia akan kebebasan dirinya menjadi segala-galanya
dalam hidupnya.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang
tersebut diatas, adapun yang menjadi pokok permasalahan penulisan ini antara
lain:
1.
Apakah
substansi sebenarnya yang dimaksud dengan kebebasan manusia ?
2.
Kenapa
determinasi membuat manusia disebut makhluk yang tidak bebas ?
3.
Bagaimana
hubungan determinasi dengan kebebasan manusia ?
BAB
II
KEBEBASAN MANUSIA DAN DETERMINASI
KEBEBASAN MANUSIA DAN DETERMINASI
2.1 KEBEBASAN
MANUSIA
Arti kebebasan tiap individu
berbeda, karena kebebasan itu sendiri bukanlah sesuatu yang mutlak. Kebebasan
mempunyai karakter relatif atau dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia,
dimana kebebasan itu sendiri selalu bercampur dengan ketidak-bebasan.
Maka manusia sebenarnya tidak
pernah bebas secara penuh.[6] Meskipun kebebasan mutlak itu tidak pernah
ada, tapi tidak menjadi faktor yang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia
dalam pemahaman masing-masing individu. Oleh karena itu dalam kebebasan insani
selalu terkandung berbagai aspek atau komponen yang saling mempengaruhi dan
yang saling terjalin satu sama lain.
Kata kebebasan sering diartikan
sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban.[7]
Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya tidak mungkin dapat dipaksakan
atau ditentukan dari luar.[8]
Manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki secara sendiri
perbuatan-perbuatannya.
Kebebasan adalah suatu kondisi
tiadanya paksaan pada aktivitas.[9]
Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan
bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada
manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada
perbuatannya.[10] Hal itu juga berarti bahwa kebebasan
mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan internal definitif penentuan diri,
pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. “Freedom is
self-determination”.[11]
Berdasarkan pengertian itu dapat
dikatakan bahwa kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan
kelakuan yang hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau
benda-benda.
Kebebasan yang nampak secara
sekilas pada hewan bukanlah kebebasan sejati. Mereka dapat menggerakkan
tubuhnya ke mana saja, tetapi semuanya itu sebenarnya bukan berasal dari diri
binatang itu sendiri. Gerakan binatang bukanlah hasil dorongan internal diri hewan
tersebut. Kebebasan mereka adalah kebebasan sebagai produk dorongan-dorongan
instingtualnya.
Dengan istilah instingtual yang dimaksudkan
adalah tidak adanya peran akal budi dan kehendak. Dalam arti itu sebenarnya di
dalam diri binatang-binatang tidak ada kebebasan. Di dalam diri binatang tidak
ada self-determination atau kemampuan internal untuk menentukan dirinya.
Sedang manusia mempunyai
kemampuan untuk berhasrat dan berkeinginan. Ia mempunyai kecenderungan dan
kehendak yang bebas. Manusia mempunyai kemampuan memilih. Karena itu dikatakan
bahwa manusia adalah tuan atas perbuatannya sendiri.[12]
Kebebasan sejati hanya terdapat di dalam diri manusia karena di dalam diri
manusia ada akal budi dan kehendak bebas. Kebebasan sebagai penentuan diri ini mengandaikan
peran akal budi dan kehendak bebas manusia.
Kebebasan pada manusia, pada
hakikatnya terdiri dari beberapa jenis kebebasan yang di maksudkan manusia
sebagai makhluk berakal dan ber naluri. Diantaranya adalah:
1.
Kebebasan
Fisik
Kebebasan
fisik menurut Louis Leahy adalah tidak adanya tekanan atau paksaan pada jasmaniah atau fisik.[13]
Artinya tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan eksternal yang bersifat
fisik atau material.[14]
Maka dalam konteks ini orang menganggap dirinya bebas jika ia bisa bergerak ke
mana saja tanpa ada rintangan-rintangan eksternal. Ia dikatakan bebas secara
fisik jika tidak dicegah secara fisik untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia
kehendaki.
Seorang
tahanan di sebuah sel tidak mempunyai kebebasan dalam arti ini karena dia
secara fisik dibatasi. Dia akan bebas jika masa tahanannya sudah lewat.[15]
Dengan demikian paksaan di sini berarti bahwa fisik manusia diperalat oleh
faktor eksternal untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang tidak ia
kehendaki atau yang ia kehendaki.
Jangkaun
kebebasan fisik juga ditentukan oleh kemampuan badan manusia itu sendiri.
Jangkauan itu terbatas, namun hal itu tidak mengurangi kebebasan, melainkan
justru mencirikan kebebasan manusia.
Contohnya:
bahwa manusia tidak bisa terbang itu bukan merupakan pengekangan terhadap
kebebasannya. Hal itu semata-mata disebabkan oleh kemampuan badan manusia yang
terbatas. Jadi sekali lagi yang dimaksud paksaan terhadap kebebasan fisik ini
adalah pengekangan atau paksaan yang datang dari luar diri manusia. Misalnya
dari kelompok atau orang lain.[16]
Kebebasan
dalam pengertian ini bisa terdapat pada manusia atau binatang, bahkan pada
tumbuhan atau objek yang tidak berjiwa sekalipun. Kebebasan yang membedakan pada
manusia dan yang ada pada binatang serta benda-benda lain adalah aspek kehendak
akal budi manusia. Memang secara lahiriah binatang menggerakkan tubuhnya
sendiri, namun akar dari gerakan itu adalah dorongan insting. Sedangkan manusia
bergerak karena dorongan kehendak. Maka tidak heran bila perilaku manusia
beraneka ragam. Sebab manusia mampu memiliki pola gerakan yang jauh lebih
banayak darpada hewan dan tumbuhan, serta benda-benda lainnya.
Kebebasan
fisik ini adalah bentuk kebebasan yang paling sederhana atau dangkal. Karena
bisa saja orang yang tidak bebas secara fisik, namun ia merasa sungguh-sungguh
bebas. Banyak para pejuang keadilan dan kebenaran pernah ditahan atau bahkan
disiksa, namun mereka tetap merasa bebas. Tiadanya kebebasan fisik bisa
disertai kebebasan dalam arti yang lebih mendalam.[17] Kebebasan fisik sebenarnya bukan merupakan
kebebasan yang sejati. Ia hanya merupakan bentuk kebebasan dalam pengertian
yang sangat sederhana. Namun demikian kebebasan ini dapat menjadi sarana untuk
mencapai kebebasan yang sejati.
2.
Kebebasan
Psikologis
Kebebasan
psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis.[18]
Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk
mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai
kemampuan dan kemungkinan untuk memilih berbagai alternatif. Karena itulah
Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan untuk memilih
atau kebebasan berkehendak.[19]
Kebebasan
memilih atau kebebasan berkehendak sering pula dikatakan dalam arti kebebasan
untuk mengambil keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau merupakan kemampuan
untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karya, atau merupakan kemampuan
untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang
terus-menerus ditawarkan kepada manusia.[20]
Kebebasan
psikologis berkaitan erat dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang berakal
budi. Manusia “bisa” berpikir sebelum bertindak. Ia menyadari dan
mempertimbangkan tindakan-tindakannya.[21]
Karena itu jika orang bertindak secara bebas, itu artinya ia tahu apa yang
dilakukan dan tahu mengapa melakukannya.[22]
Jadi
kebebasan berkehendak mengandaikan kesadaran dan kemampuan berpikir maupun
kemampuan menilai dan mempertimbangkan arti dan bobot perbuatan sebelum manusia
membuat suatu keputusan untuk bertindak.[23]
Dalam
kebebasan psikologis kemungkinan memilih merupakan aspek yang penting. Konsekuensinya
adalah tidak ada kebebasan jika tidak ada kemungkinan untuk memilih. Orang
dikatakan bebas dalam pengertian ini jika ia mempunyai kemungkinan untuk
melakukan tindakan A dan bukan B.[24]
Walaupun
memilih adalah aspek yang penting, namun aspek ini tidak bisa dijadikan tolok
ukur untuk menilai kebebasan psikologis.[25]
Mengapa? Karena pemilihan bukan merupakan hakekat kebebasan psikologis. Hakekat
kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
3.
Kebebasan
Moral
Louis
Leahy mendefinisikan kebebasan moral sebagai ketiadaan paksaan moral hukum atau
kewajiban.[26]
Kebebasan moral tidak sama dengan kebebasan psikologis. Meskipun antara berhubungan
erat, namun kebebasan moral dibatasi dengan nilai-nilai etika moral. Pembatasan
ini menjadi kode etik bagi moral, yang cukup menyulitkan moral untuk
mengacuhkannya atau melabraknya. Sehingga kebebasan moral mengandaikan
kebebasan psikologis. Sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan
moral.[27]
Contohnya
suatu ketika saya berjalan dan melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir
jalan tanpa pemilik. Reaksi yang dipikirkan dan niat yang hendak dilakukan saat
itu adalah mengambil dompet tersebut. Namun setelah mengambil dompet dan
melihat isinya, maka lahirlah dua pilihan yang berbeda, yaitu “mengembalikan pada
pemiliknya atau tidak akan mengembalikan pada pemiliknya.”
Dalam
hal ini saya mempunyai kemungkinan atau kebebasan untuk memilih. Saya mempunyai
kebebasan psikologis. Di lain pihak dalam tindakan saya itu tidak ada kebebasan
moral. Alasannya adalah tindakan saya secara moral tidak bisa
dipertanggung-jawabkan. Mengambil barang orang lain yang bukan hak saya.
Jadi
dalam pengertian inilah kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis.
Kebebasan moral dapat dibatasi dengan pemberian larangan atau pewajiban secara
moral.[28]
Orang yang tidak berada dibawah tekanan sebuah larangan atau berada dibawah
suatu kewajiban adalah bebas dalam arti moral.[29]
4.
Kebebasan
Horisontal dan Kebebasan Vertikal
Kebebasan
yang ada dalam diri manusia memperlihatkan diri sebagai suatu kemampuan yang
dengannya manusia membentuk diri secara moral. Ada bentuk-bentuk kebebasan yang
pada dasarnya tidak berkaitan dengan bidang-bidang moral, seperti kebebasan
fisik. Namun keputusan-keputusan kebebasan yang sejati biasanya senantiasa
berhubungan dengan tanggung jawab moral.[30]
Keputusan
kebebasan sejati biasanya tidak tergantung hanya pada soal puas atau tidak
puas, atau soal untung atau tidak untung secara jasmani. Artinya keputusan itu
tidak didasarkan pada pemuasan aspek inferior manusia, atau tuntutan-tuntutan
egoisme manusia, atau keuntungan-keuntungan pribadi yang sempit, namun lebih
dalam dari itu, keputusan itu di dasarkan pada pertimbangan pemuasan kodrat
spiritual, atau tuntutan cinta kasih dan kemurahan hati terhadap sesama
manusia. Inilah yang oleh Louis Leahy disebut kebebasan horisontal.[31]
Jadi
dalam pemahaman Louis Leahy kebebasan manusia yang sejati adalah kebebasan yang
senantiasa terarah kepada sesama manusia. Dengan kata lain kebebasan itu tidak
dilakukan “hanya” demi “kepentingan-kepentingan” diri secara pribadi malainkan
juga demi tuntutan hubungan kepada sesama manusia. Dan inilah yang disebut
aspek horisontal kebebasan manusia.
Dasar
pemahaman ini adalah aspek moral dari kebebasan manusia. Manusia yang bebas
tidak hanya dituntut untuk mempertanggung-jawabkan kebebasannya kepada dirinya
sendiri, malainkan juga kepada sesamanya.
Aspek
lain dari kebebasan adalah aspek vertikal. Louis Leahy mengartikan kebebasan
vertikal sebagai keputusan yang menyangkut tingkatan di mana orang ingin
membangun seluruh hidupnya; sebagai keputusan yang tidak lagi menyangkut
sarana-sarana, tetapi tujuan.[32]
Tujuan manusia adalah kebahagiaan. Di sini muncul persoalan apa itu isi
kebahagiaan manusia? Bisa saja orang mengartikan kebahagiaan itu dari mengejar
keuntungan-keuntungan pribadi. Kebahagiaan juga dapat diartikan sebagai apa
yang memberikan kesenangan terbesar padanya.
Misalnya
uang banyak atau harta berlimpah yang menguntungkan dirinya. Dalam semua
kegiatan itu manusia memang bebas. Namun kebebasan vertikal tidak diartikan
secara demikian. Kebebasan vertikal mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang
lebih tinggi dari sekedar kepuasan egoisme, seksual, finansial, sosial, politik
dan sebagainya. Kebebasan vertikal merupakan kebebasan yang terarah kepada
kebahagiaan yang sejati. Dalam pemikiran
Louis Leahy kebahagiaan sejati itu adalah Tuhan.
Jadi
kebebasan vertikal adalah kebebasan yang tertuju pada Tuhan. Dasar pemikiran
ini adalah karena hakekat manusia yang terbuka baik secara horisontal maupun
secara vertikal.[33]
Sebagai makhluk yang mempunyai keterbukaan vertikal secara moral manusia juga
harus mengarahkan kebebasannya secara vertikal.
2.1 DETERMINASI
Kata determinasi berasal dari
bahasa latin “determinare” yang berarti menentukan batas atau membatasi.
Determinasi sebagai bentuk pemahaman filosofis yang menyatakan bahwa “Segala sesuatu di dunia ini, termasuk
manusia, ditentukan oleh hukum sebab akibat.” [34]
Paham ini mengakui bahwa, tidak
ada hal yang terjadi berdasarkan kebebasan berkehendak atau kebebasan memilih.
Juga di dunia ini tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan.[35]
Artinya sesuatu hal itu bisa terjadi karena telah ditentukan untuk terjadi. Dengan
pernyataan itu aliran determinisme hendak mengatakan bahwa di dunia ini tidak
ada kebebasan mutlak.[36]
Selanjutnya dalam pandangan
determinasi, menyatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor
yang dapat ditunjukkan secara jelas. Faktor-faktor itu berupa motif yang tidak
disadari, [37]
pengaruh masa kecil, pengaruh keturunan, pengaruh kultural, dan lain
sebagainya.[38]
Aliran ini pun berpendapat bahwa
seandainya manusia mengingat dan mengetahui apa saja yang dapat
mempengaruhinya, maka semua tindakan manusia dapat diperhitungkan sebelumnya.
Kalau sekarang manusia belum bisa
menentukan dan belum mengetahui apa yang akan dilakukan dalam menghadapi
hal-hal tertentu yang mungkin akan terjadi, itu karena manusia belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal-hal yang menentukan tindakan-tindakannya,[39]
atau bahkan karena manusia tidak mau memperhatikan sebab-sebab yang menentukan
setiap tindakan mereka.[40]
Dalam dunia ilmu pengetahuan kata
determinisme itu terserap dan tersamarkan dalam bentuk istilah. Istilah-istilah itu muncul karena
aneka ragam pandangan dan pertimbangan dalam pemikiran.
1.
Determinisme
Universal
Determinisme universal merupakan
teori tentang alam semesta. Teori ini mengatakan bahwa setiap peristiwa yang
terjadi di alam semesta merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari
sebab-sebab yang mendahului. Sebab-sebab itu adalah hukum alam.[41]
Determinisme universal juga berpendapat bahwa bentuk jagat raya ini merupakan
hasil determenasi dari hukum-hukum alam yang ada di dalamnya.[42]
2.
Behaviorisme
Behaviorisme berasal dari kata [behavior]
yang berarti tingkah laku atau kebiasaan. Behaviorisme merupakan aliran
dalam psikologi yang mempelajari perilaku manusia.[43]
Secara khusus pusat perhatian mereka adalah perilaku manusia yang nampak. Di
dalamnya mereka berusaha mengamati hubungan antara stimulus (rangsangan)
dan respon (tanggapan). John B. Watson[44]
menyatakan bahwa kepribadian manusia merupakan hasil pembentukan kebiasaan dan
kemampuan, terutama yang ditentukan oleh orang lain. Pembiasaan ini pada
akhirnya menciptakan (refleks kondisional), yaitu suatu pola tingkah
laku yang terjadi secara spontan karena pembiasaan terus-menerus.[45]
Pavlov, seorang penganut behaviorisme
di Rusia, membuktikan bahwa jika seekor anjing terus-menerus mendengar suatu
tanda (bunyi) tertentu, misalnya lonceng, sebelum diberi makan, maka binatang
itu akan mengeluarkan air liur setiap kali mendengar lonceng.[46]
Suatu refleks kondisional terjadi. Teori ini juga mengatakan bahwa
keputusan-keputusan dan pilihan manusia merupakan hasil gabungan dari rentetan
sebab-sebab yang sangat kompleks.[47]
3.
Fatalisme
Fatalisme berasal dari kata Latin
[fatum] yang berarti nasib atau takdir.[48]
Fatalisme adalah paham yang menyatakan bahwa semua kejadian alam semesta dan
hidup manusia berada di bawah kuasa penuh suatu prinsip mutlak, yaitu nasib.
Menurut aliran ini manusia tidak memiliki kebebasan karena semua pilihannya
sudah ditentukan oleh nasib.[49]
4.
Predestinasi.
Predestinasi berasal dari bahasa
Latin [praedestinare] yang berarti meramal atau menebak. Predestinasi
mengajarkan bahwa peristiwa yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan
terjadi telah ditentukan untuk terjadi oleh Allah.[50]
Dalam konteks teologi aliran ini mengajarkan bahwa keselamatan atau penghukuman
manusia, mulai dari awal sampai akhir, sudah ditentukan oleh Allah.[51]
Dengan gagasannya itu penganut predestinasi menyatakan bahwa Allah memiliki
kekuasaan absolut. Allah menentukan bukan hanya disposisi final manusia tetapi
juga seluruh peristiwa hidup manusia. Dan karena itulah predestinasi juga
termasuk salah satu aliran determinisme.[52]
2.2
DETERMINISME FISIK
Determinisme fisik atau juga
disebut determinisme naturalis,dimana
menurut Louis Leahy adalah determinisme hukum-hukum dari alam semesta sebagai
sistem material.[53]
Hukum-hukum alam semesta pada dasarnya merupakan rangkaian dari hukum sebab dan
akibat.[54]
Aliran ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini telah dideterminasikan
secara kausal.
Atau dengan kata lain segala
sesuatu yang ada di dunia ini harus mempunyai sebab.[55]
Jika tidak memiliki sebab pasti tidak ada.[56]
Karena manusia hidup dalam alam semesta, maka manusia secara pasti tidak bisa
menghindarkan dirinya dari hukum-hukum itu.[57]
Semua tindakan dan keputusan yang diambil oleh manusia merupakan bentuk
determinasi faktor-faktor fisik yang bisa di kalkulasi lebih dahulu. Dengan
demikian pada dasarnya manusia tidak memiliki kebebasan selama dia hidup dalam
kosmos. Manusia di dalam kosmos adalah manusia yang hidupnya terikat pada
determinisme lingkungan fisik.
Disini, manusia dimengerti
sebagai sebuah sistem material yang tidak memiliki kehendak bebas.[58]
Dengan demikian determinisme fisik pada dasarnya merupakan bentuk aliran
materialisme. Dimana materialisme mereduksi pribadi manusia menjadi sistem
material belaka. Aliran materialisme yang ekstrim disebut materialisme
mekanistik.
Aliran ini mengembangkan prinsip
bahwa dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya dideterminasikan oleh
hukum-hukum yang pasti dan tak dapat berubah. Dunia dan segala sesuatu yang ada
di dalamnya adalah sebuah mesin, karena segalanya telah ditentukan oleh
sebab-sebab yang mendahuluinya.[59]
Begitu juga ajaran mekanistik,
yang menyatakan bahwa hakekat manusia di dunia ini, dimengerti sebagai sebuah
mesin.[60]
Ajaran ini berawal dari para filsuf atomis (Leukippos,
Demokritos dan Epikuros). Dalam
perkembangannya, kemudian aliran ini dihidupkan kembali oleh Thomas Hobbes dan
dikembangkan oleh La Mettrie.[61]
1.
Para
Filsof Atomis
Leukippos adalah pendasar aliran
atomisme.[62]
Sedangkan Demokritos dari Abdera
merupakan salah satu filsof atomis yang mengembangkan ajaran Leukippos. Menurut
Leukippos dan Demokritos semua substansi terdiri atas atom-atom.[63]
Dimana atom-atom itu tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan serta tidak
berubah. Aliran atomisme ini kemudian dikembangkan oleh Epikuros yang
melahrikan teori bahwa segala yang ada terdiri atas atom-atom.[64]
Dia juga mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada ditentukan oleh hukum-hukum
fisik. Dan tentang manusia dia mengatakan bahwa manusia tidak memiliki
kebebasan karena semua tindakan manusia dideterminasikan oleh gerakan
atom-atom.[65]
Dengan ajarannya itu kaum atomis
mereduksir seluruh realitas menjadi unsur-unsur yang terdiri dari atom-atom.[66]
Konsep mereka tentang manusia
juga didasarkan pada pandangannya tentang atom-atom. Antara lain Demokritos
mengatakan bahwa jiwa manusia terdiri atas atom-atom.[67]
Konsekuensinya semua pengenalan
pada manusia juga berlangsung berdasarkan atom-atom. Sistem pemikiran para
atomis ini disebut materialisme karena mereka menyamakan realitas dengan
unsur-unsur material yang mekanistis.[68]
Di Jerman aliran materialisme
diajarkan oleh Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel. Menurut mereka alam semesta ini terdiri dari
atom-atom yang dikuasai oleh hukum-hukum fisis-kimiawi. Kemungkinan tertinggi
atom-atom itu adalah membentuk manusia.[69]
Kesadaran dan jiwa yang ada dalam
diri manusia itu pada dasarnya hanya sebuah sistem kerja dari otak. Karena itu
manusia, sebagaimana juga dunia, tetap merupakan suatu yang bersifat material.
Kemungkinan-kemungkinan manusia untuk bertindak tidak melebihi kemungkinan
kombinasi-kombinasi atom. Dan karena itu tindakan manusia juga tidak pernah
melampaui potensi-potensi jasmani.[70]
Dengan menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk manusia, ditentukan oleh
hukum-hukum material, aliran ini beranggapan bahwa sebenarnya manusia tidak
memiliki kebebasan.[71]
2.
Thomas
Hobbes
Thomas Hobbes dikenal sebagai
tokoh materialisme modern. Tentang materialisme Hobbes mengatakan dua hal. Yang
pertama adalah bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat material (korporeisme).
Yang kedua adalah bahwa segala
kejadian di dunia ini merupakan gerak yang terjadi karena keharusan
(mekanisisme).[72]
Gagasan tentang alam semesta itu juga diterapkan pada manusia. Manusia pada
dasarnya hanyalah sebuah bagian dari sistem material yang ada di dunia.
Konsekuensinya manusia tidak bisa melepaskan diri dari determinisme alamiah.
Kebebasan manusia merupakan ilusi belaka.[73]
Selain itu, hidup manusia adalah
gerak anggota-anggota tubuhnya yang pada dasarnya disebabkan oleh pengaruh
mekanistis hawa atmosfir.[74]
Bila realitas manusia ditentukan oleh dunia material dan gerak, maka tidak ada
tempat lagi bagi kebebasan. Di dalam mekanisisme Hobbes tidak ada kemungkinan
lain bagi manusia untuk tidak bereaksi dengan gerak itu.[75]
3.
La
Mettrie
Pandangan La Mettrie tentang
materialisme terlihat secara jelas dalam dua bukunya, yaitu “L’homme Machine”
(manusia mesin) dan “L’homme Plante” (manusia tumbuhan).[76]
Melalui bukunya yang berjudul “L’homme Machine” (manusia mesin), La
Mettrie hendak menggambarkan hakekat manusia yang seperti mesin. Mesin
merupakan sesuatu yang direncanakan dan distrukturkan untuk melakukan suatu pekerjaan.[77]
Mesin dibuat dengan tujuan tertentu. Mesin mempunyai pola-pola fungsional yang
ditentukan oleh pembuatnya. Mesin sama sekali tidak mempunyai kebebasan, karena
semua yang ada di dalamnya telah disusun dan dirangkai sedemikian rupa sehingga
dapat bekerja sesuai dengan keinginan pembuatnya. Begitu juga di dalam diri
manusia tidak ada kebebasan.
Alasannya adalah karena manusia
merupakan bagian dari dunia. Padahal dunia dalam pandangan materialisme adalah
dunia yang dikuasai oleh hukum-hukum material. Sebagai bagian dari dunia,
manusia dikuasai oleh dunia. Maka manusia dikuasai oleh hukum-hukum material.
Dalam hal ini manusia tidak memiliki pilihan lain kecuali tunduk dan
menyerahkan diri pada hukum yang telah menentukannya itu.
2.3
DETERMINISME
BIOLOGIS
Determinisme biologis
berpretensi bahwa hidup manusia telah diprogram sebelumnya oleh faktor-faktor
hereditas (gen-gen). Gagasan pokok determinisme ini didasarkan pada pengalaman
universal bahwa secara psikologis manusia tergantung secara mutlak pada keadaan
biologis organismenya.[78]
Dengan kata lain seluruh kegiatan psikis manusia itu secara mutlak ditentukan
oleh keadaan aktual organismenya.[79]
Determinisme biologis dengan
demikian memandang hidup manusia sebagai suatu sifat atau menifestasi
organisme. Selanjutnya organisme merupakan suatu sistem kompleks dan
terorganisir yang mampu memperbanyak dirinya berdasar organisme terdahulu.[80]
Sifat dan perilaku manusia ditentukan oleh unsur DNA.[81]
1.
Charles
Darwin
Menurut Darwin manusia tunduk
pada hukum alam.[82]
Manusia adalah organisme yang telah mencapai tingkat perkembangan tertinggi.
Dikatakan begitu karena manusia adalah organisme yang mampu beradaptasi dan
mempunyai peradaban serta kebudayaan. Manusia mempunyai sifat yang dinamis dan
sifat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
Manusia yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan pasti akan musnah.[83]
Karena itu perilaku manusia pada dasarnya merupakan bentuk respons terhadap
lingkungan yang mempunyai nilai survival. Dalam arti ini manusia tunduk pada
alam. Konsekuensinya manusia sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk
menentukan sendiri hidupnya. Darwin juga
mengatakan bahwa hidup organisme, termasuk manusia, diatur oleh faktor-faktor
genetis (gen-gen). [84]
2.
James
Watson
James Watson bersama sejumlah
ahli-ahli molekuler mereduksikan pengertian hidup manusia ke dalam tingkat
organisasi makromolekul. Dan dia berpendapat bahwa organisasi makromolekuler
itu merupakan pola dasar bagi semua organisme yang hidup di dunia. Manusia
sebagai salah satu bentuk organisme yang hidup juga terdiri dari segala macam makromolekuler.
Proses hidup pada sel diatur oleh DNA yang sekaligus menentukan sifat dan
perilaku manusia.[85]
2.4
DETERMINISME
SOSIOLOGIS
Determinisme
sosiologis mengatakan bahwa manusia begitu ditentukan oleh faktor-faktor
sosial.[86]
Manusia adalah hasil hubungan-hubungan sosial. Manusia tidak memiliki kebebasan
karena tindakan-tindakan dan keputusan-keputusannya selalu ditentukan oleh
lingkungan sosialnya.[87]
Dengan demikian manusia selalu dilihat dalam kerangka jaringan struktur
lingkungan sosialnya.[88]
Tindakan manusia bukanlah sesuatu yang spontan, melainkan sebagai hasil
perhitungan dengan struktur sosialnya.[89]
1.
Auguste
Comte
Auguste Comte mengambil alih
gagasan Aristoteles yang melihat masyarakat sebagai suatu orde.[90]
Orde adalah susunan yang tetap dan tertib. Orde dilatar-belakangi oleh
pemikiran bahwa manusia saling membutuhkan dan saling melengkapi. Dengan kata
lain orde didasarkan pada sifat sosial manusia.
Manusia adalah Zoon Politicon.
Namun demikian menurut Comte, susunan masyarakat yang tetap dan tertib itu
bukanlah masyarakat yang statis. Comte berpendapat bahwa masyarakat bersifat
dinamis.[91]
Masyarakat bersifat dinamis
karena kehidupan manusia berada dibawah kuasa hukum evolusi.[92]
Hukum evolusi mengandaikan perubahan yang terus-menerus. Hukum evolusi tidak
bisa dibelokkan oleh manusia. Maka manusia harus ikut saja dan harus
mengadaptasikan diri. Kalau tidak, manusia akan digilas oleh roda sejarah.[93]
Dalam arti itulah manusia tidak memiliki kebebasan. Dan memang menurut Comte
kebebasan individu justru harus ditolak. Comte melihat manusia sebagai makhluk
non-rasional.
Maka kebebasan individu justru
akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat itu sendiri. Kebebasan manusia
dalam masyarakat sama absurd-nya dengan kebebasan manusia dalam dunia
matematika. Dalam dunia matematika manusia tidak punya pilihan lain kecuali
harus menerima bahwa dua ditambah dua adalah empat.[94]
Demikian juga dalam masyarakat manusia tidak punya pilihan lain kecuali harus
menerima keputusan golongan tertinggi dalam masyarakat.
2.
David
Emile Durkheim
Durkheim melihat masyarakat atau
realitas sosial sebagai wadah paling sempurna bagi kehidupan manusia.[95]
Masyarakat berada di atas segala-galanya.[96]
Masyarakat sangat menentukan perkembangan individu-individu yang hidup di
dalamnya. Kehendak, agama, kategori pikir, bahkan realitas jiwa yang paling dalam pun bersifat
sosial.[97]
Masyarakat atau kenyataan sosial mempunyai kemampuan menguasai segala
kehidupan, termasuk individu-individu, dengan tekanan eksternal. Hal itu
terjadi ketika norma-norma dan nilai-nilai sosial diterapkan, atau bahkan
dipaksakan pada individu-individu.[98]
Dalam arti inilah manusia tidak memiliki kebebasan.
3.
Talcolt
Parsons
Sama dengan Comte, Parsons juga
melihat manusia sebagai makhluk non-rasional. Menurut Parsons manusia memiliki
kebebasan untuk memperjuangkan apa yang mereka inginkan, akan tetapi manusia
tidak mempunyai kebebasan memperoleh apa
yang mereka perjuangkan.
Manusia memiliki kebebasan untuk
memperjuangkan suatu perubahan, akan tetapi ia tidak memiliki kebebasan untuk
menentukan jenis perubahan yang mereka inginkan.[99]
Jadi jelas sekali bahwa dalam
kaca mata Parsons, manusia tidak memiliki kebebasan menentukan dirinya sendiri.
Kebebasan manusia adalah kebebasan yang ditentukan oleh golongan
tertinggi dalam masyarakat.[100]
Parsons berpikir seperti itu
karena dia melihat bahwa manusia bersifat non-rasional. Manusia dapat
diibaratkan dengan benda yang kosong. Dan adalah tugas masyarakat untuk
mengisinya dengan norma-norma dan nilai-nilai. Norma-norma dan nilai-nilai itu
akan membuat hidup manusia menjadi lebih manusiawi. Dengan demikian hidup
manusia adalah hidup yang ditentukan oleh norma dan nilai yang ditentukan oleh
masyarakat.[101]
2.5
DETERMINISME
TEOLOGIS
Determinisme teologis menyatakan
bahwa hidup manusia telah ditentukan oleh Tuhan.[102] Allah adalah Kebaikan sempurna. Ia
Maha-mengetahui dan Maha-kuasa. Ia berada di atas segala sesuatu dan menguasai
segala sesuatu. Berdasarkan keyakinan ini kaum determinis teologis menyusun dua
tesis. Tesis pertama adalah bahwa Tuhan telah meramalkan semua yang akan
dilakukan oleh manusia. Apa yang telah diketahui oleh Tuhan sebelumnya secara
mutlak harus direalisasikan. Jadi semua yang akan kita lakukan telah ditentukan
dan diputuskan terlebih dahulu oleh Tuhan. Karena itu manusia tidak memiliki
kebebasan. Manusia tidak mempunyai kemungkinan lain selain tunduk pada kehendak
Allah.[103]
Tesis kedua yang dijadikan dasar determinisme teologis adalah bahwa seandainya
manusia bebas maka ia pasti tidak tergantung pada Tuhan. Seandainya manusia
bebas maka ia pasti tidak membutuhkan Tuhan. Karena itu Tuhan tidak perlu ada.[104]
Kenyataannya manusia tergantung pada Tuhan. Maka manusia tidak bebas.
1.
Spinoza
Spinoza mengatakan bahwa “Yang
Tak Berhingga” (Tuhan dan Alam) merupakan yang satu dan merupakan
segala-galanya. Sedangkan yang disebut “berhingga” (gejala-gejala dan
benda-benda di dunia) itu hanya bisa berada dan hanya bisa dipikirkan berkat
keberadaan Yang Tak Berhingga.[105]
Spinoza kemudian membuat pembedaan di dalam Alam dan Allah. Dia menggunakan
istilah “Natura naturans” dan “Natura
naturata”. Natura naturans adalah Allah “atau”[106]
Alam sebagai asal-usul atau pencipta yang asali. Sedangkan natura naturata
adalah Allah atau Alam yang kelihatan.[107]
Dalam konteks pemahaman itu,
manusia dimengerti sebagai cara berada dari Yang Tak Berhingga.
Dan tugas manusia adalah berusaha melihat dengan mata rasionya bahwa segala
sesuatu di dunia ini merupakan
manifestasi dari Tuhan. Dengan demikian manusia tidak mempunyai kemungkinan
lain untuk bertindak selain “harus” melihat semua pengalaman dan segala sesuatu
yang ada di dunia ini sebagai substansi yang satu, yaitu Tuhan.
2.
Leibniz
Menurut Leibniz dunia ini terdiri
dari banyak substansi. Substansi-substansi itu disebut ”monade”.[108]
Monade-monade itu tidak bersifat jasmani dan tidak dapat dibagi-bagi. Monade
bersifat tertutup. Suatu monade tidak dapat mempengaruhi monade lain. Namun
demikian suatu monade dapat mengenal realitas di luar dirinya, karena setiap
monade mencerminkan semua monade yang lain.[109]
Monade menurut kodratnya bersifat aktif. Monade memiliki dua aktivitas, yaitu
mengenal dan menghendaki. [110]
Ajaran Leibniz tentang monade itu juga diterapkan pada manusia. Menurutnya jiwa
manusia merupakan suatu monade, sedangkan tubuh manusia terdiri atas banyak
monade. Dalam hal ini jiwa dapat menjalin hubungan dengan tubuh karena ada
prinsip harmoni yang mengaturnya. Prinsip itu adalah Allah. Allah adalah “pre-established
harmony” antara monade-monade.[111]
Leibniz menjelaskan konsep pre-established harmony ini dengan dua arloji
yang menunjukkan waktu yang persis sama. Bagimana hal itu bisa terjadi? Bukan
karena yang satu mempengaruhi yang lain, tetapi karena ada seorang tukang yang
telah mencocokkan dua arloji itu. Demikian juga dengan semua hal yang ada di
dunia ini. Pada saat penciptaan semua monade diatur sedemikian rupa oleh Allah
sehingga terdapat keselarasan antara semua monade.[112]
Dengan ajaran tentang monade,
Leibniz berkeyakinan bahwa semua peristiwa di dunia ini telah diatur oleh
Allah. Karena manusia termasuk bagian dari dunia, maka seluruh hidup manusia pada hakekatnya sudah diatur
sedemikian rupa oleh Allah pada saat penciptaan. Dalam arti ini manusia tidak
memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri hidupnya.
3.
Agustinus
Dalam pemikiran Agustinus, Allah
adalah kebaikan tertinggi. Tak ada yang baik kecuali karena kaitannya dengan
Allah. Apapun yang baik mendapat kebaikannya dari Allah. Apapun yang bernilai,
bernilai karena berpartisipasi dalam Allah. Allah adalah prinsip terakhir
segala kebaikan moral.[113] Dan dalam kaitannya dengan manusia, Agustinus
mengatakan bahwa hakekat manusia senantiasa “sudah” terarah kepada Allah.
Manusia adalah ciptaan Allah.[114]
Dan Allah adalah rahasia hakekat manusia. Karena itu manusia secara batin
senantiasa terikat pada Allah. Allah adalah sumber eksistensi manusia.
Agustinus sebenarnya menekankan
dimensi kehendak dalam diri manusia.[115]
Artinya bahwa Agustinus juga mengakui adanya kebebasan manusia untuk memilih
antara yang baik dan yang buruk. Namun
pengakuan dimensi kebebasan itu dalam arti tertentu tidak ada artinya. Mengapa?
Karena, seperti Louis Leahy sendiri katakan, manusia senantiasa mengarahkan
semua tindakannya kepada kebaikan. Walaupun manusia itu secara obyektif (dilihat dari sudut pandanag moral) melakukan
kejahatan, namun paling tidak
kejahatannya itu dalam arti tertentu (secara subyektif) merupakan suatu
kebaikan. Dalam pengertian ini secara hakiki manusia telah dideterminasikan
untuk senantiasa mengarahkan tindakan-tindakannya kepada kebaikan. Dan Kebaikan
tertinggi dalam konsep Agustinus adalah Tuhan.
2.6
DETERMINISME
KETIDAKSADARAN
Determinisme
ketidaksadaran berpendapat bahwa tindakan-tindakan manusia merupakan akibat
dari kecenderungan-kecenderungan instingtif yang tidak disadari.[116]
Motif-motif yang sadar merupakan suatu penipuan. Motif-motif sadar itu
sebenarnya hanyalah bentuk semu kebebasan manusia.[117]
Manusia dikuasai oleh struktur-struktur ketidaksadaran,[118]
tetapi manusia sendiri tidak menguasai struktur ini.[119]
Dengan menemukan aspek
ketidaksadaran dalam diri manusia, Freud membuka dimensi baru pemahaman tentang
manusia.[120]
Freud percaya bahwa alam semesta dikuasai oleh hukum-hukum alam yang sifatnya
Universal. Konsekuensinya manusia, sebagai bagian dari alam, juga dikuasi dan
harus tunduk pada hukum-hukum itu.[121]
Di dalam alam semesta ini tidak ada sesuatu pun yang terjadi secara spontan dan
kebetulan. Menurut Freud kebebasan
manusia pada dasarnya hanyalah sebuah ilusi. Mengapa? Karena keterikatakan pada
hukum-hukum alam semesta itu mencakup segala-galanya. Dengan kata lain segala
sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini telah dideterminir oleh hukum-hukum
alam. Semua peristiwa dan segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai
penyebab,[122]
walaupun sifatnya tak sadar.[123]
Pandangan bahwa segala sesuatu di
dunia ini mempunyai penyebab dibuktikan oleh Freud dengan teorinya tentang
hidup psikis. Menurut Freud psikis manusia terdiri atas tiga instansi, yaitu Id,
Ego, dan Superego.[124]
Freud juga melihat manusia sebagai sistem energi yang kompleks. Dan Freud
menamakan energi dalam hidup psikis manusia itu dengan energi psike.[125] Energi psikis ini
dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi tidak dapat hilang.
Energi psikis ini diarahkan pada tujuan-tujuan tertentu dan sering kali tanpa
disadari. Jembatan antara energi psikis dan kepribadian adalah Id dengan
insting-instingnya. Insting merupakan sumber perangsang bagi tindakan manusia.[126]
Dalam konteks ini Freud mengatakan bahwa tindakan manusia juga dapat dirangsang
oleh pangaruh dari luar dirinya. Namun pengaruh atau perangsang dari luar itu
pada umumnya sangat sedikit pengaruhnya bila dibanding pengaruh dari dalam
dirinya. Orang dapat menghindarkan pengaruh dari luar, akan tetapi ia tidak
bisa menghindarkan diri dari perangsang dari dalam (insting-insting).[127]
Jadi dalam pemikiran Freud
dorongan-dorongan dari insting-insting ini diartikan sebagai penyebab
semua perbuatan manusia.[128]
Freud memberikan contoh lain yang memperlihatkan bahwa perbuatan manusia selalu
mempunyai penyebab berdasarkan kejadian-kejadian remeh sehari-hari. Misalnya
orang melupakan nama atau peristiwa, orang yang salah ucap, orang yang salah
tulis dan lain sebagainya. Menurut Freud kejadian-kejadian remeh itu ternyata
bukan merupakan kejadian yang terjadi secara kebetulan. Sebaliknya semua
kejadian itu mempunyai alasan, walaupun alasan itu tidak disadari.[129]
Mengapa orang lupa mengirim surat? Hal itu tidak terjadi secara kebetulan, akan
tetapi karena isi surat itu tidak sesuai dengan hatinya. Dan Karena itu ia
tidak ingin mengirimkannya.
Berdasarkan pemikiran di atas
akhirnya Freud mengambil kesimpulan bahwa hidup psikis manusia terbukti
dideterminir seluruhnya. Hal itu terlihat bahwa semua perbuatan manusia tidak
terjadi secara kebetulan, melainkan selalu mempunyai alasan,[130]
walaupun alasan itu tidak disadari.
BAB
III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Manusia dikatakan sebagai makhluk
yang berkehendak bebas dan kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. Namun
demikian harus diakui bahwa kebebasan manusia bukanlah sesuatu yang absolut.
Melainkan, kebebasan manusia merupakan kebebasan yang bersituasi.
Mengapa? Karena manusia adalah
makhluk yang hidup di dalam dunia yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri,
disesuaikan dengan keadaan geografis, budaya dan zamannya. Dalam konteks ini
berarti harus dikatakan bahwa di samping diri manusia sendiri, juga ada faktor-faktor
di luar dirinya yang ikut menentukan hidupnya.
Namun faktor-faktor dari luar
diri manusia ini pun pada dasarnya juga bukan merupakan sesuatu yang secara
absolut mempengaruhi dan menentukan keputusan dan tindakan bebas manusia.
Karena manusia ternyata mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan bebasnya,
walaupun dia hidup ditengah-tengah dunia yang bersifat deterministis.
Berdasarkan realitas semacam itu maka disimpulkan bahwa antara determinisme dan
kebebasan manusia merupakan dua hal yang sama-sama terbatas.
Aliran
determinisme, apapun bentuk dan istilahnya, pada dasarnya berpijak pada garis
pemikiran yang sama, yaitu bahwa segala sesuatu di dunia ini ditentukan oleh
hukum sebab akibat.[131]
Konsekuensi logis dari pemikiran itu adalah bahwa di dunia ini tidak ada
kebebasan.
Perbedaan
di antara bentuk aliran determinisme itu terletak pada aspek sudut pandang dan
tekanan yang berbeda dalam melihat faktor-faktor determinan. Seperti determinisme
biologis mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan karena hidup manusia
tergantung pada faktor-faktor genetis. Sedangkan determinisme teologis
berpendapat bahwa manusia tidak bebas karena seluruh hidupnya telah ditentukan
oleh Tuhan dan seluruh hidup manusia tergantung pada Tuhan, dan lain
sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Leahy,
Louis, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal,
Gramedia, Jakarta, 1984
Abdullah,
Taufik dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1965
Adisusilo,
Sutarjo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, 1983
Asy’arie,
Musa, Drs., (ed), Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial: Sebuah Bungan Rampai
Filsafat, Sinar Harapan, Jakarta, 1986
Bagus,
Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Darmanto,
JT dan Sudharto PH, (penyunting), Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah
Bungan Rampai, Erlangga, Jakarta, 1986
Ensiklopedi
Nasional Indonesia, Vol.3, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989
Mustopo,
M. Habib, Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia Dan Budaya, Usaha nasional,
Surabaya, 1989
Pinanggiyo,
St., Tanggung Jawab Dan Kebebasan Manusia Dalam Perspektif Islam-Kristen,
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1994
Poedjawiyatna,
Prof. Ir., Etika: Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta, Jakarta, 1996
--------,
Manusia Dengan Alamnya: Filsafat Manusia, Bina Aksara, Jakarta, 1981
Poespowardojo,
Soerjanto, dan K. Bertens, Sekitar Manusia: Bunga Rampai Tentang Filsafat
Manusia, Gramedia, Jakarta, 1978
Putra,
Nusa, Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1994
Soekanto,
Soerjono, Prof. DR., S.H., M.A., dan Ratih Lestarini, S.H., Fungsionalisme Dan
Teori Konflik Dalam Perkembangan Sosiologi, Sinar Grafika, Jakarta, 1988
Susanto,
Laurentius Heru, Filsafat Kebebasan Albert Camus, STFT Widya Sasana, Malang,
1991
Sutrisno,
F.X. Mudji, dan F. Budi Hardiman (ed), Para Filsuf Penentu Gerak Jaman,
Kanisius, Yogyakarta, 1992
Widjaja,
A.W., Drs., Manusia Indonesia: Individu keluarga Dan Masyarakat, Akademika
Pressindo, Jakarta, 1986
[44]John
B. Watson adalah pendiri aliran psikologi behaviorisme. Ia pernah belajar di
Universitas Chicago yang merupakan pusat fungsionalisme. Namun karena tidak
setuju dengan fungsionalisme akhirnya ia pindah ke Universitas John Hopkins.
Karya Watson yang dianggap sebagai titik
tolak berdirinya psikologi behaviorisme adalah Psychology as the Behaviorist
Views It. ( Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, PT. Cipta Adi
Pustaka, Jakarta, 1989, hal:238-239
[92]Hukum
evolusi yang dimaksud oleh Comte terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap
teologis, tahap metafisis, dan tahap positif-ilmiah. Di sebut tahap teologis
karena manusia dalam tahap ini masih memerlukan dewa-dewa untuk menerangkan
realitas hidupnya. Dalam tahap metafisis manusia mulai memakai prinsip-prinsip
abstrak-metafisis untuk merenangkan kenyataan. Dan dalam tahap positif-ilmiah
manusia sudah menggunakan metode positif-ilmiah dalam menerangkan kenyataan. (
DR. Harry Hamersma, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, Kanisius, Yogyakarta,
1981, hal:41 dan Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi: Klasik dan Modern,
jilid 1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal:84-86)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar