Rabu, 27 Juli 2016

Analisis Filsafat Ilmu Tentang Kebebasan Manusia Menurut Pandangan Filsafat Aliran Determinasi






BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Kebebasan merupakan suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia. Manusia akan mungkin merealisasikan dirinya secara penuh jika ia bebas.[1]  Keinginan manusia untuk bebas merupakan keinginan yang sangat mendasar.[2]
Dalam sejarah manusia gagasan tentang arti “bebas” yang sebenarnya selalu berbeda dan berubah-ubah. Hal ini dikarenakan pengalaman tiap individu manusia merasakan substansi hakikat kebebasan itu sendiri beraneka ragam. Sehingga untuk menjawab persoalan tetnang arti “kebebasan” itu bukan hanya seringkali berbeda, namun juga sering kali bertentangan.[3]
Louis Leahy berpendapat bahwa kebebasan merupakan salah satu karakter dasar manusia. Manusia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak. Dalam perbuatan berkehendaknya, ke-akuan manusia hadir dalam dirinya dan menguasainya. Karena itu pada dasarnya manusia tidak dapat tidak berkehendak.[4]
Pada prinsipnya, kebebasan manusia itu adalah “nyata” dan “semu”. Mengapa demikian ?, karena kebebasan itu dalam kenyataannya merupakan suatu yang bersifat "fragile"; kebebasan bersifat sensitif dan rapuh. Manusia adalah makhluk yang bebas, namun sekaligus manusia adalah makhluk yang harus senantiasa memperjuangkan kebebasannya.
Aktualitas ide kebebasan manusia juga didasarkan pada kenyataan adanya perkembangan arti kebebasan sesuai dengan situasi dan kondisi manusia. Arti dan makna kebebasan pada jaman sekarang, tidak bisa disamakakan dengan pengertian kebebasan dalam masyarakat kuno atau masyarakat pra-modern.
Pada jaman penjajahan kebebasan mungkin lebih diartikan sebagai keadaan terlepas dari penindasan oleh penjajah. Namun pada masyarakat modern, arti kebebasan mempunyai makna yang lebih luas. Kebebasan pada jaman sekarang bukan hanya berarti sekedar terbebas dari keadaan terjajah, namun mungkin lebih berarti bebas untuk mengangtualkan diri di tengah-tengah perkembangan jaman ini. Dunia modern diwarnai oleh berbagai perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan budaya. Sehingga pola pikir manusia semakin mengarah pada antroposentrisme.
Pada zaman kuno manusia mengandalkan prinsip-prinsip spiritual dalam setiap peristiwa hidupnya. Namun di jaman modern manusia lebih percaya pada kemampuan intelektualnya sendiri dalam menafsirkan kehidupan. Dalam jaman modern segala tesis yang tidak dapat diterima secara logis akan ditolak. Manusia modern semakin tenggelam dalam pendewaan otonomi rasio.
Konsekuensianya adalah, kehidupan spiritual tidak lebih hanya sebagai pengakuan formal yang dangkal. Kesediaan manusia untuk menyerahkan diri pada kekuatan Ilahi hanya menjadi sekedar romantisme spiritual yang tidak mempunyai relevansi konkrit dengan kehidupan manusia.[5] Sebaliknya pengakuan manusia akan kebebasan dirinya menjadi segala-galanya dalam hidupnya.

1.2  RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, adapun yang menjadi pokok permasalahan penulisan ini antara lain:
1.      Apakah substansi sebenarnya yang dimaksud dengan kebebasan manusia ?
2.      Kenapa determinasi membuat manusia disebut makhluk yang tidak bebas ?
3.      Bagaimana hubungan determinasi dengan kebebasan manusia ?






BAB II
KEBEBASAN MANUSIA DAN DETERMINASI


2.1  KEBEBASAN MANUSIA
Arti kebebasan tiap individu berbeda, karena kebebasan itu sendiri bukanlah sesuatu yang mutlak. Kebebasan mempunyai karakter relatif atau dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia, dimana kebebasan itu sendiri selalu bercampur dengan ketidak-bebasan.
Maka manusia sebenarnya tidak pernah bebas secara penuh.[6]  Meskipun kebebasan mutlak itu tidak pernah ada, tapi tidak menjadi faktor yang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia dalam pemahaman masing-masing individu. Oleh karena itu dalam kebebasan insani selalu terkandung berbagai aspek atau komponen yang saling mempengaruhi dan yang saling terjalin satu sama lain.
Kata kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban.[7] Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar.[8] Manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya.
Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas.[9] Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya.[10]  Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. “Freedom is self-determination”.[11]
Berdasarkan pengertian itu dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau benda-benda.
Kebebasan yang nampak secara sekilas pada hewan bukanlah kebebasan sejati. Mereka dapat menggerakkan tubuhnya ke mana saja, tetapi semuanya itu sebenarnya bukan berasal dari diri binatang itu sendiri. Gerakan binatang bukanlah hasil dorongan internal diri hewan tersebut. Kebebasan mereka adalah kebebasan sebagai produk dorongan-dorongan instingtualnya.
Dengan istilah instingtual yang dimaksudkan adalah tidak adanya peran akal budi dan kehendak. Dalam arti itu sebenarnya di dalam diri binatang-binatang tidak ada kebebasan. Di dalam diri binatang tidak ada self-determination atau kemampuan internal untuk menentukan dirinya.
Sedang manusia mempunyai kemampuan untuk berhasrat dan berkeinginan. Ia mempunyai kecenderungan dan kehendak yang bebas. Manusia mempunyai kemampuan memilih. Karena itu dikatakan bahwa manusia adalah tuan atas perbuatannya sendiri.[12] Kebebasan sejati hanya terdapat di dalam diri manusia karena di dalam diri manusia ada akal budi dan kehendak bebas. Kebebasan sebagai penentuan diri ini mengandaikan peran akal budi dan kehendak bebas manusia.
Kebebasan pada manusia, pada hakikatnya terdiri dari beberapa jenis kebebasan yang di maksudkan manusia sebagai makhluk berakal dan ber naluri. Diantaranya adalah:

1.      Kebebasan Fisik
Kebebasan fisik menurut Louis Leahy adalah tidak adanya tekanan atau  paksaan pada jasmaniah atau fisik.[13] Artinya tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan eksternal yang bersifat fisik atau material.[14] Maka dalam konteks ini orang menganggap dirinya bebas jika ia bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-rintangan eksternal. Ia dikatakan bebas secara fisik jika tidak dicegah secara fisik untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia kehendaki.

Seorang tahanan di sebuah sel tidak mempunyai kebebasan dalam arti ini karena dia secara fisik dibatasi. Dia akan bebas jika masa tahanannya sudah lewat.[15] Dengan demikian paksaan di sini berarti bahwa fisik manusia diperalat oleh faktor eksternal untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang tidak ia kehendaki atau yang ia kehendaki.
Jangkaun kebebasan fisik juga ditentukan oleh kemampuan badan manusia itu sendiri. Jangkauan itu terbatas, namun hal itu tidak mengurangi kebebasan, melainkan justru mencirikan kebebasan manusia.
Contohnya: bahwa manusia tidak bisa terbang itu bukan merupakan pengekangan terhadap kebebasannya. Hal itu semata-mata disebabkan oleh kemampuan badan manusia yang terbatas. Jadi sekali lagi yang dimaksud paksaan terhadap kebebasan fisik ini adalah pengekangan atau paksaan yang datang dari luar diri manusia. Misalnya dari kelompok atau orang lain.[16]
Kebebasan dalam pengertian ini bisa terdapat pada manusia atau binatang, bahkan pada tumbuhan atau objek yang tidak berjiwa sekalipun. Kebebasan yang membedakan pada manusia dan yang ada pada binatang serta benda-benda lain adalah aspek kehendak akal budi manusia. Memang secara lahiriah binatang menggerakkan tubuhnya sendiri, namun akar dari gerakan itu adalah dorongan insting. Sedangkan manusia bergerak karena dorongan kehendak. Maka tidak heran bila perilaku manusia beraneka ragam. Sebab manusia mampu memiliki pola gerakan yang jauh lebih banayak darpada hewan dan tumbuhan, serta benda-benda lainnya.
Kebebasan fisik ini adalah bentuk kebebasan yang paling sederhana atau dangkal. Karena bisa saja orang yang tidak bebas secara fisik, namun ia merasa sungguh-sungguh bebas. Banyak para pejuang keadilan dan kebenaran pernah ditahan atau bahkan disiksa, namun mereka tetap merasa bebas. Tiadanya kebebasan fisik bisa disertai kebebasan dalam arti yang lebih mendalam.[17]  Kebebasan fisik sebenarnya bukan merupakan kebebasan yang sejati. Ia hanya merupakan bentuk kebebasan dalam pengertian yang sangat sederhana. Namun demikian kebebasan ini dapat menjadi sarana untuk mencapai kebebasan yang sejati.
2.      Kebebasan Psikologis
Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis.[18] Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk memilih berbagai alternatif. Karena itulah Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan untuk memilih atau kebebasan berkehendak.[19]
Kebebasan memilih atau kebebasan berkehendak sering pula dikatakan dalam arti kebebasan untuk mengambil keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau merupakan kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karya, atau merupakan kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus ditawarkan kepada manusia.[20]
Kebebasan psikologis berkaitan erat dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Manusia “bisa” berpikir sebelum bertindak. Ia menyadari dan mempertimbangkan tindakan-tindakannya.[21] Karena itu jika orang bertindak secara bebas, itu artinya ia tahu apa yang dilakukan dan tahu mengapa melakukannya.[22]
Jadi kebebasan berkehendak mengandaikan kesadaran dan kemampuan berpikir maupun kemampuan menilai dan mempertimbangkan arti dan bobot perbuatan sebelum manusia membuat suatu keputusan untuk bertindak.[23]
Dalam kebebasan psikologis kemungkinan memilih merupakan aspek yang penting. Konsekuensinya adalah tidak ada kebebasan jika tidak ada kemungkinan untuk memilih. Orang dikatakan bebas dalam pengertian ini jika ia mempunyai kemungkinan untuk melakukan tindakan A dan bukan B.[24]
Walaupun memilih adalah aspek yang penting, namun aspek ini tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan psikologis.[25] Mengapa? Karena pemilihan bukan merupakan hakekat kebebasan psikologis. Hakekat kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
3.      Kebebasan Moral
Louis Leahy mendefinisikan kebebasan moral sebagai ketiadaan paksaan moral hukum atau kewajiban.[26] Kebebasan moral tidak sama dengan kebebasan psikologis. Meskipun antara berhubungan erat, namun kebebasan moral dibatasi dengan nilai-nilai etika moral. Pembatasan ini menjadi kode etik bagi moral, yang cukup menyulitkan moral untuk mengacuhkannya atau melabraknya. Sehingga kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral.[27]
Contohnya suatu ketika saya berjalan dan melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir jalan tanpa pemilik. Reaksi yang dipikirkan dan niat yang hendak dilakukan saat itu adalah mengambil dompet tersebut. Namun setelah mengambil dompet dan melihat isinya, maka lahirlah dua pilihan yang berbeda, yaitu “mengembalikan pada pemiliknya atau tidak akan mengembalikan pada pemiliknya.”
Dalam hal ini saya mempunyai kemungkinan atau kebebasan untuk memilih. Saya mempunyai kebebasan psikologis. Di lain pihak dalam tindakan saya itu tidak ada kebebasan moral. Alasannya adalah tindakan saya secara moral tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Mengambil barang orang lain yang bukan hak saya.
Jadi dalam pengertian inilah kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Kebebasan moral dapat dibatasi dengan pemberian larangan atau pewajiban secara moral.[28] Orang yang tidak berada dibawah tekanan sebuah larangan atau berada dibawah suatu kewajiban adalah bebas dalam arti moral.[29]
4.      Kebebasan Horisontal dan Kebebasan Vertikal
Kebebasan yang ada dalam diri manusia memperlihatkan diri sebagai suatu kemampuan yang dengannya manusia membentuk diri secara moral. Ada bentuk-bentuk kebebasan yang pada dasarnya tidak berkaitan dengan bidang-bidang moral, seperti kebebasan fisik. Namun keputusan-keputusan kebebasan yang sejati biasanya senantiasa berhubungan dengan tanggung jawab moral.[30]
Keputusan kebebasan sejati biasanya tidak tergantung hanya pada soal puas atau tidak puas, atau soal untung atau tidak untung secara jasmani. Artinya keputusan itu tidak didasarkan pada pemuasan aspek inferior manusia, atau tuntutan-tuntutan egoisme manusia, atau keuntungan-keuntungan pribadi yang sempit, namun lebih dalam dari itu, keputusan itu di dasarkan pada pertimbangan pemuasan kodrat spiritual, atau tuntutan cinta kasih dan kemurahan hati terhadap sesama manusia. Inilah yang oleh Louis Leahy disebut kebebasan horisontal.[31]
Jadi dalam pemahaman Louis Leahy kebebasan manusia yang sejati adalah kebebasan yang senantiasa terarah kepada sesama manusia. Dengan kata lain kebebasan itu tidak dilakukan “hanya” demi “kepentingan-kepentingan” diri secara pribadi malainkan juga demi tuntutan hubungan kepada sesama manusia. Dan inilah yang disebut aspek  horisontal kebebasan manusia.
Dasar pemahaman ini adalah aspek moral dari kebebasan manusia. Manusia yang bebas tidak hanya dituntut untuk mempertanggung-jawabkan kebebasannya kepada dirinya sendiri, malainkan juga kepada sesamanya.
Aspek lain dari kebebasan adalah aspek vertikal. Louis Leahy mengartikan kebebasan vertikal sebagai keputusan yang menyangkut tingkatan di mana orang ingin membangun seluruh hidupnya; sebagai keputusan yang tidak lagi menyangkut sarana-sarana, tetapi tujuan.[32] Tujuan manusia adalah kebahagiaan. Di sini muncul persoalan apa itu isi kebahagiaan manusia? Bisa saja orang mengartikan kebahagiaan itu dari mengejar keuntungan-keuntungan pribadi. Kebahagiaan juga dapat diartikan sebagai apa yang memberikan kesenangan terbesar padanya.
Misalnya uang banyak atau harta berlimpah yang menguntungkan dirinya. Dalam semua kegiatan itu manusia memang bebas. Namun kebebasan vertikal tidak diartikan secara demikian. Kebebasan vertikal mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang lebih tinggi dari sekedar kepuasan egoisme, seksual, finansial, sosial, politik dan sebagainya. Kebebasan vertikal merupakan kebebasan yang terarah kepada kebahagiaan yang sejati.  Dalam pemikiran Louis Leahy kebahagiaan sejati itu adalah Tuhan.
Jadi kebebasan vertikal adalah kebebasan yang tertuju pada Tuhan. Dasar pemikiran ini adalah karena hakekat manusia yang terbuka baik secara horisontal maupun secara vertikal.[33] Sebagai makhluk yang mempunyai keterbukaan vertikal secara moral manusia juga harus mengarahkan kebebasannya secara vertikal.

2.1  DETERMINASI
Kata determinasi berasal dari bahasa latin “determinare” yang berarti menentukan batas atau membatasi. Determinasi sebagai bentuk pemahaman filosofis yang menyatakan bahwa “Segala sesuatu di dunia ini, termasuk manusia, ditentukan oleh hukum sebab akibat.” [34]
Paham ini mengakui bahwa, tidak ada hal yang terjadi berdasarkan kebebasan berkehendak atau kebebasan memilih. Juga di dunia ini tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan.[35] Artinya sesuatu hal itu bisa terjadi karena telah ditentukan untuk terjadi. Dengan pernyataan itu aliran determinisme hendak mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada kebebasan mutlak.[36]
Selanjutnya dalam pandangan determinasi, menyatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor yang dapat ditunjukkan secara jelas. Faktor-faktor itu berupa motif yang tidak disadari, [37] pengaruh masa kecil, pengaruh keturunan, pengaruh kultural, dan lain sebagainya.[38]
Aliran ini pun berpendapat bahwa seandainya manusia mengingat dan mengetahui apa saja yang dapat mempengaruhinya, maka semua tindakan manusia dapat diperhitungkan sebelumnya.
Kalau sekarang manusia belum bisa menentukan dan belum mengetahui apa yang akan dilakukan dalam menghadapi hal-hal tertentu yang mungkin akan terjadi, itu karena manusia belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal-hal yang menentukan tindakan-tindakannya,[39] atau bahkan karena manusia tidak mau memperhatikan sebab-sebab yang menentukan setiap tindakan mereka.[40]
Dalam dunia ilmu pengetahuan kata determinisme itu terserap dan tersamarkan dalam bentuk  istilah. Istilah-istilah itu muncul karena aneka ragam pandangan dan pertimbangan dalam pemikiran.
1.                  Determinisme Universal
Determinisme universal merupakan teori tentang alam semesta. Teori ini mengatakan bahwa setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari sebab-sebab yang mendahului. Sebab-sebab itu adalah hukum alam.[41] Determinisme universal juga berpendapat bahwa bentuk jagat raya ini merupakan hasil determenasi dari hukum-hukum alam yang ada di dalamnya.[42]
2.                  Behaviorisme
Behaviorisme berasal dari kata [behavior] yang berarti tingkah laku atau kebiasaan. Behaviorisme merupakan aliran dalam psikologi yang mempelajari perilaku manusia.[43] Secara khusus pusat perhatian mereka adalah perilaku manusia yang nampak. Di dalamnya mereka berusaha mengamati hubungan antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). John B. Watson[44] menyatakan bahwa kepribadian manusia merupakan hasil pembentukan kebiasaan dan kemampuan, terutama yang ditentukan oleh orang lain. Pembiasaan ini pada akhirnya menciptakan (refleks kondisional), yaitu suatu pola tingkah laku yang terjadi secara spontan karena pembiasaan terus-menerus.[45]
Pavlov, seorang penganut behaviorisme di Rusia, membuktikan bahwa jika seekor anjing terus-menerus mendengar suatu tanda (bunyi) tertentu, misalnya lonceng, sebelum diberi makan, maka binatang itu akan mengeluarkan air liur setiap kali mendengar lonceng.[46] Suatu refleks kondisional terjadi. Teori ini juga mengatakan bahwa keputusan-keputusan dan pilihan manusia merupakan hasil gabungan dari rentetan sebab-sebab yang sangat kompleks.[47]
3.                  Fatalisme
Fatalisme berasal dari kata Latin [fatum] yang berarti nasib atau takdir.[48] Fatalisme adalah paham yang menyatakan bahwa semua kejadian alam semesta dan hidup manusia berada di bawah kuasa penuh suatu prinsip mutlak, yaitu nasib. Menurut aliran ini manusia tidak memiliki kebebasan karena semua pilihannya sudah ditentukan oleh nasib.[49]
4.                  Predestinasi.
Predestinasi berasal dari bahasa Latin [praedestinare] yang berarti meramal atau menebak. Predestinasi mengajarkan bahwa peristiwa yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi telah ditentukan untuk terjadi oleh Allah.[50] Dalam konteks teologi aliran ini mengajarkan bahwa keselamatan atau penghukuman manusia, mulai dari awal sampai akhir, sudah ditentukan oleh Allah.[51] Dengan gagasannya itu penganut predestinasi menyatakan bahwa Allah memiliki kekuasaan absolut. Allah menentukan bukan hanya disposisi final manusia tetapi juga seluruh peristiwa hidup manusia. Dan karena itulah predestinasi juga termasuk salah satu aliran determinisme.[52]

2.2      DETERMINISME FISIK
Determinisme fisik atau juga disebut determinisme naturalis,dimana menurut Louis Leahy adalah determinisme hukum-hukum dari alam semesta sebagai sistem material.[53] Hukum-hukum alam semesta pada dasarnya merupakan rangkaian dari hukum sebab dan akibat.[54] Aliran ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini telah dideterminasikan secara kausal.
Atau dengan kata lain segala sesuatu yang ada di dunia ini harus mempunyai sebab.[55] Jika tidak memiliki sebab pasti tidak ada.[56] Karena manusia hidup dalam alam semesta, maka manusia secara pasti tidak bisa menghindarkan dirinya dari hukum-hukum itu.[57] Semua tindakan dan keputusan yang diambil oleh manusia merupakan bentuk determinasi faktor-faktor fisik yang bisa di kalkulasi lebih dahulu. Dengan demikian pada dasarnya manusia tidak memiliki kebebasan selama dia hidup dalam kosmos. Manusia di dalam kosmos adalah manusia yang hidupnya terikat pada determinisme lingkungan fisik.
Disini, manusia dimengerti sebagai sebuah sistem material yang tidak memiliki kehendak bebas.[58] Dengan demikian determinisme fisik pada dasarnya merupakan bentuk aliran materialisme. Dimana materialisme mereduksi pribadi manusia menjadi sistem material belaka. Aliran materialisme yang ekstrim disebut materialisme mekanistik.
Aliran ini mengembangkan prinsip bahwa dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya dideterminasikan oleh hukum-hukum yang pasti dan tak dapat berubah. Dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah sebuah mesin, karena segalanya telah ditentukan oleh sebab-sebab yang mendahuluinya.[59]
Begitu juga ajaran mekanistik, yang menyatakan bahwa hakekat manusia di dunia ini, dimengerti sebagai sebuah mesin.[60] Ajaran ini berawal dari para filsuf atomis (Leukippos, Demokritos dan Epikuros). Dalam perkembangannya, kemudian aliran ini dihidupkan kembali oleh Thomas Hobbes dan dikembangkan oleh La Mettrie.[61]


1.                  Para Filsof Atomis
Leukippos adalah pendasar aliran atomisme.[62] Sedangkan  Demokritos dari Abdera merupakan salah satu filsof atomis yang mengembangkan ajaran Leukippos. Menurut Leukippos dan Demokritos semua substansi terdiri atas atom-atom.[63] Dimana atom-atom itu tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan serta tidak berubah. Aliran atomisme ini kemudian dikembangkan oleh Epikuros yang melahrikan teori bahwa segala yang ada terdiri atas atom-atom.[64] Dia juga mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada ditentukan oleh hukum-hukum fisik. Dan tentang manusia dia mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan karena semua tindakan manusia dideterminasikan oleh gerakan atom-atom.[65]
Dengan ajarannya itu kaum atomis mereduksir seluruh realitas menjadi unsur-unsur yang terdiri dari atom-atom.[66]
Konsep mereka tentang manusia juga didasarkan pada pandangannya tentang atom-atom. Antara lain Demokritos mengatakan bahwa jiwa manusia terdiri atas atom-atom.[67]
Konsekuensinya semua pengenalan pada manusia juga berlangsung berdasarkan atom-atom. Sistem pemikiran para atomis ini disebut materialisme karena mereka menyamakan realitas dengan unsur-unsur material yang mekanistis.[68]
Di Jerman aliran materialisme diajarkan oleh Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel.  Menurut mereka alam semesta ini terdiri dari atom-atom yang dikuasai oleh hukum-hukum fisis-kimiawi. Kemungkinan tertinggi atom-atom itu adalah membentuk manusia.[69]

Kesadaran dan jiwa yang ada dalam diri manusia itu pada dasarnya hanya sebuah sistem kerja dari otak. Karena itu manusia, sebagaimana juga dunia, tetap merupakan suatu yang bersifat material. Kemungkinan-kemungkinan manusia untuk bertindak tidak melebihi kemungkinan kombinasi-kombinasi atom. Dan karena itu tindakan manusia juga tidak pernah melampaui potensi-potensi jasmani.[70] Dengan menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk manusia, ditentukan oleh hukum-hukum material, aliran ini beranggapan bahwa sebenarnya manusia tidak memiliki kebebasan.[71]
2.                  Thomas Hobbes
Thomas Hobbes dikenal sebagai tokoh materialisme modern. Tentang materialisme Hobbes mengatakan dua hal. Yang pertama adalah bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat material (korporeisme).
Yang kedua adalah bahwa segala kejadian di dunia ini merupakan gerak yang terjadi karena keharusan (mekanisisme).[72] Gagasan tentang alam semesta itu juga diterapkan pada manusia. Manusia pada dasarnya hanyalah sebuah bagian dari sistem material yang ada di dunia. Konsekuensinya manusia tidak bisa melepaskan diri dari determinisme alamiah. Kebebasan manusia merupakan ilusi belaka.[73]
Selain itu, hidup manusia adalah gerak anggota-anggota tubuhnya yang pada dasarnya disebabkan oleh pengaruh mekanistis hawa atmosfir.[74] Bila realitas manusia ditentukan oleh dunia material dan gerak, maka tidak ada tempat lagi bagi kebebasan. Di dalam mekanisisme Hobbes tidak ada kemungkinan lain bagi manusia untuk tidak bereaksi dengan gerak itu.[75]
3.                  La Mettrie
Pandangan La Mettrie tentang materialisme terlihat secara jelas dalam dua bukunya, yaitu “L’homme Machine” (manusia mesin) dan “L’homme Plante” (manusia tumbuhan).[76] Melalui bukunya yang berjudul “L’homme Machine” (manusia mesin), La Mettrie hendak menggambarkan hakekat manusia yang seperti mesin. Mesin merupakan sesuatu yang direncanakan dan distrukturkan  untuk melakukan suatu pekerjaan.[77] Mesin dibuat dengan tujuan tertentu. Mesin mempunyai pola-pola fungsional yang ditentukan oleh pembuatnya. Mesin sama sekali tidak mempunyai kebebasan, karena semua yang ada di dalamnya telah disusun dan dirangkai sedemikian rupa sehingga dapat bekerja sesuai dengan keinginan pembuatnya. Begitu juga di dalam diri manusia tidak ada kebebasan.
Alasannya adalah karena manusia merupakan bagian dari dunia. Padahal dunia dalam pandangan materialisme adalah dunia yang dikuasai oleh hukum-hukum material. Sebagai bagian dari dunia, manusia dikuasai oleh dunia. Maka manusia dikuasai oleh hukum-hukum material. Dalam hal ini manusia tidak memiliki pilihan lain kecuali tunduk dan menyerahkan diri pada hukum yang telah menentukannya itu.

2.3      DETERMINISME BIOLOGIS
Determinisme biologis berpretensi bahwa hidup manusia telah diprogram sebelumnya oleh faktor-faktor hereditas (gen-gen). Gagasan pokok determinisme ini didasarkan pada pengalaman universal bahwa secara psikologis manusia tergantung secara mutlak pada keadaan biologis organismenya.[78] Dengan kata lain seluruh kegiatan psikis manusia itu secara mutlak ditentukan oleh keadaan aktual organismenya.[79]
Determinisme biologis dengan demikian memandang hidup manusia sebagai suatu sifat atau menifestasi organisme. Selanjutnya organisme merupakan suatu sistem kompleks dan terorganisir yang mampu memperbanyak dirinya berdasar organisme terdahulu.[80] Sifat dan perilaku manusia ditentukan oleh unsur DNA.[81]
1.                  Charles Darwin
Menurut Darwin manusia tunduk pada hukum alam.[82] Manusia adalah organisme yang telah mencapai tingkat perkembangan tertinggi. Dikatakan begitu karena manusia adalah organisme yang mampu beradaptasi dan mempunyai peradaban serta kebudayaan. Manusia mempunyai sifat yang dinamis dan sifat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
Manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan pasti akan musnah.[83] Karena itu perilaku manusia pada dasarnya merupakan bentuk respons terhadap lingkungan yang mempunyai nilai survival. Dalam arti ini manusia tunduk pada alam. Konsekuensinya manusia sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri hidupnya.  Darwin juga mengatakan bahwa hidup organisme, termasuk manusia, diatur oleh faktor-faktor genetis (gen-gen). [84]
2.                  James Watson
James Watson bersama sejumlah ahli-ahli molekuler mereduksikan pengertian hidup manusia ke dalam tingkat organisasi makromolekul. Dan dia berpendapat bahwa organisasi makromolekuler itu merupakan pola dasar bagi semua organisme yang hidup di dunia. Manusia sebagai salah satu bentuk organisme yang hidup juga terdiri dari segala macam makromolekuler. Proses hidup pada sel diatur oleh DNA yang sekaligus menentukan sifat dan perilaku manusia.[85]

2.4      DETERMINISME SOSIOLOGIS
Determinisme sosiologis mengatakan bahwa manusia begitu ditentukan oleh faktor-faktor sosial.[86] Manusia adalah hasil hubungan-hubungan sosial. Manusia tidak memiliki kebebasan karena tindakan-tindakan dan keputusan-keputusannya selalu ditentukan oleh lingkungan sosialnya.[87] Dengan demikian manusia selalu dilihat dalam kerangka jaringan struktur lingkungan sosialnya.[88] Tindakan manusia bukanlah sesuatu yang spontan, melainkan sebagai hasil perhitungan dengan struktur sosialnya.[89]
1.                  Auguste Comte
Auguste Comte mengambil alih gagasan Aristoteles yang melihat masyarakat sebagai suatu orde.[90] Orde adalah susunan yang tetap dan tertib. Orde dilatar-belakangi oleh pemikiran bahwa manusia saling membutuhkan dan saling melengkapi. Dengan kata lain orde didasarkan pada sifat sosial manusia.
Manusia adalah Zoon Politicon. Namun demikian menurut Comte, susunan masyarakat yang tetap dan tertib itu bukanlah masyarakat yang statis. Comte berpendapat bahwa masyarakat bersifat dinamis.[91]
Masyarakat bersifat dinamis karena kehidupan manusia berada dibawah kuasa hukum evolusi.[92] Hukum evolusi mengandaikan perubahan yang terus-menerus. Hukum evolusi tidak bisa dibelokkan oleh manusia. Maka manusia harus ikut saja dan harus mengadaptasikan diri. Kalau tidak, manusia akan digilas oleh roda sejarah.[93] Dalam arti itulah manusia tidak memiliki kebebasan. Dan memang menurut Comte kebebasan individu justru harus ditolak. Comte melihat manusia sebagai makhluk non-rasional.
Maka kebebasan individu justru akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat itu sendiri. Kebebasan manusia dalam masyarakat sama absurd-nya dengan kebebasan manusia dalam dunia matematika. Dalam dunia matematika manusia tidak punya pilihan lain kecuali harus menerima bahwa dua ditambah dua adalah empat.[94] Demikian juga dalam masyarakat manusia tidak punya pilihan lain kecuali harus menerima keputusan golongan tertinggi dalam masyarakat.
2.                  David Emile Durkheim
Durkheim melihat masyarakat atau realitas sosial sebagai wadah paling sempurna bagi kehidupan manusia.[95] Masyarakat berada di atas segala-galanya.[96] Masyarakat sangat menentukan perkembangan individu-individu yang hidup di dalamnya. Kehendak, agama, kategori pikir, bahkan  realitas jiwa yang paling dalam pun bersifat sosial.[97] Masyarakat atau kenyataan sosial mempunyai kemampuan menguasai segala kehidupan, termasuk individu-individu, dengan tekanan eksternal. Hal itu terjadi ketika norma-norma dan nilai-nilai sosial diterapkan, atau bahkan dipaksakan pada individu-individu.[98] Dalam arti inilah manusia tidak memiliki kebebasan.
3.                  Talcolt Parsons
Sama dengan Comte, Parsons juga melihat manusia sebagai makhluk non-rasional. Menurut Parsons manusia memiliki kebebasan untuk memperjuangkan apa yang mereka inginkan, akan tetapi manusia tidak mempunyai kebebasan  memperoleh apa yang mereka perjuangkan.
Manusia memiliki kebebasan untuk memperjuangkan suatu perubahan, akan tetapi ia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan jenis perubahan yang mereka inginkan.[99]
Jadi jelas sekali bahwa dalam kaca mata Parsons, manusia tidak memiliki kebebasan menentukan dirinya sendiri. Kebebasan manusia adalah kebebasan yang ditentukan oleh golongan tertinggi dalam masyarakat.[100] 
Parsons berpikir seperti itu karena dia melihat bahwa manusia bersifat non-rasional. Manusia dapat diibaratkan dengan benda yang kosong. Dan adalah tugas masyarakat untuk mengisinya dengan norma-norma dan nilai-nilai. Norma-norma dan nilai-nilai itu akan membuat hidup manusia menjadi lebih manusiawi. Dengan demikian hidup manusia adalah hidup yang ditentukan oleh norma dan nilai yang ditentukan oleh masyarakat.[101]

2.5      DETERMINISME TEOLOGIS
Determinisme teologis menyatakan bahwa hidup manusia telah ditentukan oleh Tuhan.[102]  Allah adalah Kebaikan sempurna. Ia Maha-mengetahui dan Maha-kuasa. Ia berada di atas segala sesuatu dan menguasai segala sesuatu. Berdasarkan keyakinan ini kaum determinis teologis menyusun dua tesis. Tesis pertama adalah bahwa Tuhan telah meramalkan semua yang akan dilakukan oleh manusia. Apa yang telah diketahui oleh Tuhan sebelumnya secara mutlak harus direalisasikan. Jadi semua yang akan kita lakukan telah ditentukan dan diputuskan terlebih dahulu oleh Tuhan. Karena itu manusia tidak memiliki kebebasan. Manusia tidak mempunyai kemungkinan lain selain tunduk pada kehendak Allah.[103] Tesis kedua yang dijadikan dasar determinisme teologis adalah bahwa seandainya manusia bebas maka ia pasti tidak tergantung pada Tuhan. Seandainya manusia bebas maka ia pasti tidak membutuhkan Tuhan. Karena itu Tuhan tidak perlu ada.[104] Kenyataannya manusia tergantung pada Tuhan. Maka manusia tidak bebas.
1.                  Spinoza
Spinoza mengatakan bahwa “Yang Tak Berhingga” (Tuhan dan Alam) merupakan yang satu dan merupakan segala-galanya. Sedangkan yang disebut “berhingga” (gejala-gejala dan benda-benda di dunia) itu hanya bisa berada dan hanya bisa dipikirkan berkat keberadaan Yang Tak Berhingga.[105] Spinoza kemudian membuat pembedaan di dalam Alam dan Allah. Dia menggunakan istilah “Natura naturans” dan “Natura  naturata”. Natura naturans adalah Allah “atau”[106] Alam sebagai asal-usul atau pencipta yang asali. Sedangkan natura naturata adalah Allah atau Alam yang kelihatan.[107] 
Dalam konteks pemahaman itu, manusia dimengerti sebagai cara berada dari Yang Tak Berhingga. Dan tugas manusia adalah berusaha melihat dengan mata rasionya bahwa segala sesuatu  di dunia ini merupakan manifestasi dari Tuhan. Dengan demikian manusia tidak mempunyai kemungkinan lain untuk bertindak selain “harus” melihat semua pengalaman dan segala sesuatu yang ada di dunia ini sebagai substansi yang satu, yaitu Tuhan.
2.                  Leibniz
Menurut Leibniz dunia ini terdiri dari banyak substansi. Substansi-substansi itu disebut ”monade”.[108] Monade-monade itu tidak bersifat jasmani dan tidak dapat dibagi-bagi. Monade bersifat tertutup. Suatu monade tidak dapat mempengaruhi monade lain. Namun demikian suatu monade dapat mengenal realitas di luar dirinya, karena setiap monade mencerminkan semua monade yang lain.[109] Monade menurut kodratnya bersifat aktif. Monade memiliki dua aktivitas, yaitu mengenal dan menghendaki. [110] Ajaran Leibniz tentang monade itu juga diterapkan pada manusia. Menurutnya jiwa manusia merupakan suatu monade, sedangkan tubuh manusia terdiri atas banyak monade. Dalam hal ini jiwa dapat menjalin hubungan dengan tubuh karena ada prinsip harmoni yang mengaturnya. Prinsip itu adalah Allah. Allah adalah “pre-established harmony” antara monade-monade.[111] Leibniz menjelaskan konsep pre-established harmony ini dengan dua arloji yang menunjukkan waktu yang persis sama. Bagimana hal itu bisa terjadi? Bukan karena yang satu mempengaruhi yang lain, tetapi karena ada seorang tukang yang telah mencocokkan dua arloji itu. Demikian juga dengan semua hal yang ada di dunia ini. Pada saat penciptaan semua monade diatur sedemikian rupa oleh Allah sehingga terdapat keselarasan antara semua monade.[112]
Dengan ajaran tentang monade, Leibniz berkeyakinan bahwa semua peristiwa di dunia ini telah diatur oleh Allah. Karena manusia termasuk bagian dari dunia, maka seluruh  hidup manusia pada hakekatnya sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah pada saat penciptaan. Dalam arti ini manusia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri hidupnya.
3.                  Agustinus
Dalam pemikiran Agustinus, Allah adalah kebaikan tertinggi. Tak ada yang baik kecuali karena kaitannya dengan Allah. Apapun yang baik mendapat kebaikannya dari Allah. Apapun yang bernilai, bernilai karena berpartisipasi dalam Allah. Allah adalah prinsip terakhir segala kebaikan moral.[113]  Dan dalam kaitannya dengan manusia, Agustinus mengatakan bahwa hakekat manusia senantiasa “sudah” terarah kepada Allah. Manusia adalah ciptaan Allah.[114] Dan Allah adalah rahasia hakekat manusia. Karena itu manusia secara batin senantiasa terikat pada Allah. Allah adalah sumber eksistensi manusia.
Agustinus sebenarnya menekankan dimensi kehendak dalam diri manusia.[115] Artinya bahwa Agustinus juga mengakui adanya kebebasan manusia untuk memilih antara yang baik dan yang buruk.  Namun pengakuan dimensi kebebasan itu dalam arti tertentu tidak ada artinya. Mengapa? Karena, seperti Louis Leahy sendiri katakan, manusia senantiasa mengarahkan semua tindakannya kepada kebaikan. Walaupun manusia itu secara obyektif  (dilihat dari sudut pandanag moral) melakukan kejahatan,  namun paling tidak kejahatannya itu dalam arti tertentu (secara subyektif) merupakan suatu kebaikan. Dalam pengertian ini secara hakiki manusia telah dideterminasikan untuk senantiasa mengarahkan tindakan-tindakannya kepada kebaikan. Dan Kebaikan tertinggi dalam konsep Agustinus adalah Tuhan.

2.6      DETERMINISME KETIDAKSADARAN
Determinisme ketidaksadaran berpendapat bahwa tindakan-tindakan manusia merupakan akibat dari kecenderungan-kecenderungan instingtif yang tidak disadari.[116] Motif-motif yang sadar merupakan suatu penipuan. Motif-motif sadar itu sebenarnya hanyalah bentuk semu kebebasan manusia.[117] Manusia dikuasai oleh struktur-struktur ketidaksadaran,[118] tetapi manusia sendiri tidak menguasai struktur ini.[119]
Dengan menemukan aspek ketidaksadaran dalam diri manusia, Freud membuka dimensi baru pemahaman tentang manusia.[120] Freud percaya bahwa alam semesta dikuasai oleh hukum-hukum alam yang sifatnya Universal. Konsekuensinya manusia, sebagai bagian dari alam, juga dikuasi dan harus tunduk pada hukum-hukum itu.[121] Di dalam alam semesta ini tidak ada sesuatu pun yang terjadi secara spontan dan kebetulan.  Menurut Freud kebebasan manusia pada dasarnya hanyalah sebuah ilusi. Mengapa? Karena keterikatakan pada hukum-hukum alam semesta itu mencakup segala-galanya. Dengan kata lain segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini telah dideterminir oleh hukum-hukum alam. Semua peristiwa dan segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai penyebab,[122] walaupun sifatnya tak sadar.[123]
Pandangan bahwa segala sesuatu di dunia ini mempunyai penyebab dibuktikan oleh Freud dengan teorinya tentang hidup psikis. Menurut Freud psikis manusia terdiri atas tiga instansi, yaitu Id, Ego, dan Superego.[124] Freud juga melihat manusia sebagai sistem energi yang kompleks. Dan Freud menamakan energi dalam hidup psikis manusia itu dengan energi psike.[125] Energi psikis ini dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi tidak dapat hilang. Energi psikis ini diarahkan pada tujuan-tujuan tertentu dan sering kali tanpa disadari. Jembatan antara energi psikis dan kepribadian adalah Id dengan insting-instingnya. Insting merupakan sumber perangsang bagi tindakan manusia.[126] Dalam konteks ini Freud mengatakan bahwa tindakan manusia juga dapat dirangsang oleh pangaruh dari luar dirinya. Namun pengaruh atau perangsang dari luar itu pada umumnya sangat sedikit pengaruhnya bila dibanding pengaruh dari dalam dirinya. Orang dapat menghindarkan pengaruh dari luar, akan tetapi ia tidak bisa menghindarkan diri dari perangsang dari dalam (insting-insting).[127] Jadi  dalam pemikiran Freud dorongan-dorongan dari insting-insting ini diartikan sebagai penyebab semua  perbuatan manusia.[128] Freud memberikan contoh lain yang memperlihatkan bahwa perbuatan manusia selalu mempunyai penyebab berdasarkan kejadian-kejadian remeh sehari-hari. Misalnya orang melupakan nama atau peristiwa, orang yang salah ucap, orang yang salah tulis dan lain sebagainya. Menurut Freud kejadian-kejadian remeh itu ternyata bukan merupakan kejadian yang terjadi secara kebetulan. Sebaliknya semua kejadian itu mempunyai alasan, walaupun alasan itu tidak disadari.[129] Mengapa orang lupa mengirim surat? Hal itu tidak terjadi secara kebetulan, akan tetapi karena isi surat itu tidak sesuai dengan hatinya. Dan Karena itu ia tidak ingin mengirimkannya.
Berdasarkan pemikiran di atas akhirnya Freud mengambil kesimpulan bahwa hidup psikis manusia terbukti dideterminir seluruhnya. Hal itu terlihat bahwa semua perbuatan manusia tidak terjadi secara kebetulan, melainkan selalu mempunyai alasan,[130] walaupun alasan itu tidak disadari.







BAB III
KESIMPULAN


Manusia dikatakan sebagai makhluk yang berkehendak bebas dan kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. Namun demikian harus diakui bahwa kebebasan manusia bukanlah sesuatu yang absolut. Melainkan, kebebasan manusia merupakan kebebasan yang bersituasi.
Mengapa? Karena manusia adalah makhluk yang hidup di dalam dunia yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri, disesuaikan dengan keadaan geografis, budaya dan zamannya. Dalam konteks ini berarti harus dikatakan bahwa di samping diri manusia sendiri, juga ada faktor-faktor di luar dirinya yang ikut menentukan hidupnya.
Namun faktor-faktor dari luar diri manusia ini pun pada dasarnya juga bukan merupakan sesuatu yang secara absolut mempengaruhi dan menentukan keputusan dan tindakan bebas manusia. Karena manusia ternyata mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan bebasnya, walaupun dia hidup ditengah-tengah dunia yang bersifat deterministis. Berdasarkan realitas semacam itu maka disimpulkan bahwa antara determinisme dan kebebasan manusia merupakan dua hal yang sama-sama terbatas.
Aliran determinisme, apapun bentuk dan istilahnya, pada dasarnya berpijak pada garis pemikiran yang sama, yaitu bahwa segala sesuatu di dunia ini ditentukan oleh hukum sebab akibat.[131] Konsekuensi logis dari pemikiran itu adalah bahwa di dunia ini tidak ada kebebasan.
Perbedaan di antara bentuk aliran determinisme itu terletak pada aspek sudut pandang dan tekanan yang berbeda dalam melihat faktor-faktor determinan. Seperti determinisme biologis mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan karena hidup manusia tergantung pada faktor-faktor genetis. Sedangkan determinisme teologis berpendapat bahwa manusia tidak bebas karena seluruh hidupnya telah ditentukan oleh Tuhan dan seluruh hidup manusia tergantung pada Tuhan, dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA

Leahy, Louis, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal, Gramedia, Jakarta, 1984
Abdullah, Taufik dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1965
Adisusilo, Sutarjo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1983
Asy’arie, Musa, Drs., (ed), Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial: Sebuah Bungan Rampai Filsafat, Sinar Harapan, Jakarta, 1986
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Darmanto, JT dan Sudharto PH, (penyunting), Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bungan Rampai, Erlangga, Jakarta, 1986
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989
Mustopo, M. Habib, Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia Dan Budaya, Usaha nasional, Surabaya, 1989
Pinanggiyo, St., Tanggung Jawab Dan Kebebasan Manusia Dalam Perspektif Islam-Kristen, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1994
Poedjawiyatna, Prof. Ir., Etika: Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta, Jakarta, 1996
--------, Manusia Dengan Alamnya: Filsafat Manusia, Bina Aksara, Jakarta, 1981
Poespowardojo, Soerjanto, dan K. Bertens, Sekitar Manusia: Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, Gramedia, Jakarta, 1978
Putra, Nusa, Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Soekanto, Soerjono, Prof. DR., S.H., M.A., dan Ratih Lestarini, S.H., Fungsionalisme Dan Teori Konflik Dalam Perkembangan Sosiologi, Sinar Grafika, Jakarta, 1988
Susanto, Laurentius Heru, Filsafat Kebebasan Albert Camus, STFT Widya Sasana, Malang, 1991
Sutrisno, F.X. Mudji, dan F. Budi Hardiman (ed), Para Filsuf Penentu Gerak Jaman, Kanisius, Yogyakarta, 1992
Widjaja, A.W., Drs., Manusia Indonesia: Individu keluarga Dan Masyarakat, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986


   [1] Laurentius Heru Susanto, Filsafat Kebebasan Albert Camus, STFT Widya Sasana, Malang, 1991, hal: 02
   [2]  DR. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal:5
   [3]  Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal:xviii
   [4] Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal, Gramedia, Jakarta, 1984, hal: 111
   [5] Drs. Musa Asyarie (ed), Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial: Sebuah Bunga Rampai Filsafat, Sinar Harapan, Jakarta, 1986, hal 14
   [6] Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:6
   [7] Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:44
   [8] Peter King, Towards A Theory Of The General Will, dalam History Of Philosophy Quarterly, Vol.4, No.1, Januari, 1987, hal: 42
   [9] Richard Taylor, Metaphysics, (third edition), Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, United States of America, 1983, hal:41 dan Arthur Ripstein, The General Will, dalam History Of Philosophy Quarterly, Vol.9, No.1, Januari, 1992, hal:59
   [10] P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:90
   [11]Definisi ini kami kutip dari sub-judul pembahasan Freedom Means Responsibility, (German Grisez / Russell Shaw, Beyond The New Morality: The Responsibility Of Freedom, University Of Notre Dame Press, London, 1974, hal:6)
   [12] F.X. Mudji Sutrisno, Nilai Manusia, dalam Basis, No.7, Tahun XXXVII, 1998, hal:244
   [13] Louis Leahy, Op.Cit., hal:116
   [14] Lorens bagus,Op.Cit., hal:406
   [15] Christopher Gilbert, Freedom And Enslavement: Descartes On Passions And The Will, dalam History of Philosophy Quarterly, Vol.15, No.2, April 1998, hal:183
   [16] Laurentius Heru Susanto, Op.Cit., hal:84
   [17] K. Bertens, Op.Cit., hal:103
   [18] Louis Leahy, Op.Cit., hal:117
   [19] Louis Leahy, Op.Cit., hal:117
   [20] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992, hal:408 dan Louis Leahy, Op.Cit., hal:117
   [21] Antonio Maher Lopes, Konsep Kebebasan Menurut Jean Paul Sartre, STFT Widya Sasana, Malang, 1991, hal:23-25
   [22] K. Bertens, Op.Cit., hal:109
   [23] Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:54
   [24]Louis O. Kattsoff, Op.Cit., hal:409
   [25] K. Bertens, Op.Cit., hal:109
   [26] Louis Leahy, Op.Cit., hal:116
   [27] K. Bertens, Op.Cit., hal:111
   [28] Contoh dalam: William H. Halverson, A Concise Introduction To Philosophy, (third edition), New York, 1976, hal:260-261
   [29] DR. Franz magnis-Suseno, SJ, dkk, Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1989, hal:20-21
   [30] Robert Sokolowski, Moral Action: A Phenomenological Study, Indiana University Press, Blommington, 1985, hal:71
   [31] Louis Leahy, Op.Cit., hal:133-134
   [32] Louis Leahy, Op.Cit., hal:135
   [33] Pembahasan kami pada bagian 2.1.2 tentang hekekat manusia sebagai makhluk yang subsisten dan terbuka
     [34] Encyclopedia International, Vol.5, Grolier Incorporated, New York, Montreal, 1963, hal:566 dan Antony Harrison-Barbet, Mastering Philosophy, The macmillan Press Ltd., London, 1990, hal:326
     [35] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol. 4, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989, hal:317 dan  William F. Frankena, Ethics, second edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1973, hal:73
     [36] J.L. Mackie, Ethics: Inventing Rights And Wrong, Pinguin Group, London, 1990, hal:217
     [37] DR. H. Devos, Pengantar Etika, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1987, hal:144
     [38] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.4,  Op.Cit., hal:317
     [39] Prof. I.R. Poedjawiyatna, Manusia Dengan Alamnya: Filsafat Manusia, Bina Aksara, Jakarta, 1981, hal:117
     [40] Robert C. Solomon dan Drs. R. Andre Karo-Karo, Etika: Suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta, 1987, hal:93
     [41] Michael Slote, Selective Necessity And The Free-Will Problem, dalam The Journal Of Philosophy, Vol.LXXIX, No.1, January, 1982, hal:5
     [42] William H. Halverson, A Concise Introduction To Philosophy, third edition, Random Hause, New York, 1976, hal:247
     [43] A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dari A Sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:32
     [44]John B. Watson adalah pendiri aliran psikologi behaviorisme. Ia pernah belajar di Universitas Chicago yang merupakan pusat fungsionalisme. Namun karena tidak setuju dengan fungsionalisme akhirnya ia pindah ke Universitas John Hopkins. Karya  Watson yang dianggap sebagai titik tolak berdirinya psikologi behaviorisme adalah Psychology as the Behaviorist Views It. ( Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989, hal:238-239
     [45] Dr. A. Supratiknya, Teori-Teori Sifat Dan Behavioristik, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal:211
     [46] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, Op.Cit., hal:328
     [47] R.A. Hinde, Biological Bases Of Human Social Behaviour, McGraw-Hill Book Company, New York, 1974, hal:35
     [48] Lorens Bagus, Op.Cit., hal 228
     [49] Joseph M. de More, Christian Philosophy, Vera-Reyes, Inc., Philippines, 1980, hal:188
     [50] Paul Edward (ed), The Encyclopedia Of Philosophy, Vol.3, Macmillan Pub. Co. Inc and The Free Press, 1967, hal:363
     [51] Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, Gandum Mas, Malang, 1996, hal:32
     [52] Lorens Bagus, Op.Cit., hal:881
     [53] Louis Leahy, Op.Cit., hal:136
     [54] Grolier Universal Encyclopedia, Vol.3, Grolier Incorporated, New York, Montreal, 1965, hal:467
     [55] Michael  E. Levin, Metaphysics And The Mindbody Problem, Qlorendom Press, Oxford, 1979, hal:227
     [56] Ed. L. Miller, Questions That Matter: An Invitation To Philosophy, second edition, McGraw-Hill, Inc., United States Of America, 1987, hal:175
     [57] Prof. Ir. Poedjawiyatna, Etika: Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal:18
     [58] Prof. Ir. Poedjawiyatna, Op.Cit., hal:18
     [59] The Catholic Encyclopedia For school and Home, Vol.3, St. Josephs Seminary and College, Philiphines, 1965, hal:474
     [60] Ed. L. Miller, Op.Cit., hal:177
     [61] Encyclopedia Americana, Vol.12, Americana Corporation, New York, 1975, hal: 47
     [62] Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:61
     [63] Dagobert D. Runes and 72 Authorities, Dictionary Of Philosophy: Ancient-Medieval-Modern, Littlefield, Adams and Co., United States Of America, 1959, hal:75
     [64] Vernon J. Bourke, History Of Ethic: Grace-Roman To Early Modern Ethics, Vol.1, A. Division of Doubleday and Company, Inc., Garden City, Yew York, 1968, hal:56
     [65] P. Huby, Greek Ethic, St. Martins Press, Inc., Yew York, 1967, hal:14
     [66] Eduard Zeller, Outlines Of The History Of Greek Philosophy, thirteenth edition, Meridian Book, Yew York, 1957, hal:82
     [67] P. Huby, Op.Cit., hal:14
     [68] Dr. K. Bertens, Op.Cit., hal:65
     [69] DR. P.A. van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, 1988, Hal:108
     [70] DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:108
     [71] Ed. L. Miller, Op.Cit., hal:153
     [72] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980, hal:33
     [73] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal:204
     [74] Dr. Harun Hadiwijono, Op.Cit., hal:33
     [75] Silvano Ponticelli, CM, Sejarah Filsafat Renaisan, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1996, hal:66
     [76] DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:108
     [77] The Catholic Encyclopedia For school and Home, Op.Cit., hal:474
     [78] Robert Maynard Hutchins, Charles Darwin: The Origin Of Species, Encyclopaedia Britannica, Inc., Chicago, 1990, hal:9
     [79] Louis Leahy, Op.Cit., hal:137
     [80] DR. Soelaksono Sastrodihardjo, Konsep Manusia Dalam Biologi, dalam Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, Erlangga, Jakarta, 1986, hal:19
     [81] Frank N. Magill, Survey Of Social Science: Psychology, Vol.3, Salem Press, Inc., United States Of America, 1993, hal:1192-1195
     [82] DR. Soelaksono Sastrodihardjo, Op.Cit., hal:21
     [83] DR. Franz Dahler, Asal Dan Tudjuan Manusia (Teori Evolusi), Kanisius, Yogyakarta, 1971, Hal:21
     [84] Y. Silabakti, Konsep Tentang Manusia Dalam Biologi, dalam Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, Erlangga, Jakarta, 1986, hal:19
     [85] DR. Soelaksono Sastrodihardjo, Op.Cit., hal:23
     [86] Kingsley Davis, Human Society, The Macmillan Company, New York, 1969, hal:52
     [87] Louis Leahy, Op.Cit., hal:138
     [88] Peter Worsley, dkk, Introducing Sociology, Penguin Book Ltd, England, 1970, hal:356
     [89] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., Gambaran Tentang Manusia Dari Sudut Sosiologi, dalam  Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, Erlangga, Jakarta, 1986, hal:64
     [90] K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal:19
     [91] K.J. Veeger, Op.Cit., hal:19
     [92]Hukum evolusi yang dimaksud oleh Comte terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positif-ilmiah. Di sebut tahap teologis karena manusia dalam tahap ini masih memerlukan dewa-dewa untuk menerangkan realitas hidupnya. Dalam tahap metafisis manusia mulai memakai prinsip-prinsip abstrak-metafisis untuk merenangkan kenyataan. Dan dalam tahap positif-ilmiah manusia sudah menggunakan metode positif-ilmiah dalam menerangkan kenyataan. ( DR. Harry Hamersma, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1981, hal:41 dan Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, jilid 1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal:84-86)
     [93] K.J. Veeger, Op.Cit., hal:19
     [94] Dr. Loekman Soetrisno, Konsep Tentang Manusia Dalam Sosiologi, dalam Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, Erlangga, Jakarta, 1986, hal:57-58
     [95] Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal:16
     [96] Johaness Messner, Social Ethics: Natural Law In The Western World, B. Herder Book, Inc., St. Louis and London, 1965, hal:4
     [97] Djuretna A. Imam Muhni, Moral Dan Religi: Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hal:28
     [98] DR. W.A. Gerungan Dipl. Psych, Psikologi Sosial, PT. Eresco, Bandung, 1991, hal:36
     [99] Dr. Loekman Soetrisno, Op.Cit., hal. 58
     [100] Ian Craib, Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons Sampai Habermas, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hal:61
     [101] Prof. DR. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Ratih Lestarini, S.H., Fungsionalisme  Dan Teori Konflik Dalam Perkembangan Sosiologi, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hal:38
     [102] Louis Leahy, Op.Cit., hal:139-140
     [103] St. Pinanggiyo, Tanggung Jawab Dan Kebebasan Manusia Dalam Perspektif Islam-Kristen, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1994, hal:26
     [104] Louis Leahy, Op.Cit., hal:139-140
     [105] DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:75-76
     [106]Kami menggunakan kata sambung atau karena Spinoza rupanya menyebut sejajar antara Allah dan Alam. Keduanya disebut dengan sebutan yang sama, yaitu Yang Tak Berhingga.
     [107] DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:77
     [108] Frederick Mayer, A History Of Modern Philosophy, American Book Company, United States Of America, 1951, hal:159
     [109] DR. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal:48
     [110] DR. K. Bertens, Op.Cit., hal:49
     [111] Frederick Mayer, Op.Cit., hal:159
     [112] DR. K. Bertens, Op.Cit., hal:49
     [113] Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19,  Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:67
     [114] FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (ed), Para Filsuf Penentu Gerak Jaman, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal:34
     [115] Robert Paul Mohan, Philosophy Of History: An Introduction, The Bruce Publishing Company, United States Of America, 1970, hal:35-36
     [116] Ronie, Manusia Dan Tujuan Hidup: Menurut Teologi Pembebasan, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1993, hal:67
     [117] Louis Leahy, Op.Cit., hal:141
     [118] K. Bertens, Sigmund Freud: Memperkenalkan Psikoanalisa, Gramedia, Jakarta, 1984, hal:xii
     [119] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Gramedia, Jakarta, 1985, hal:402
     [120] John A. Hutchison, Living Options In World Philosophy, The University Press Of Hawaii And The Research Corporation Of The University Of Hawaii, Honolulu, 1977, hal:95
     [121] K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 1987, hal:46
     [122] William Hasker, Metaphysics: Constructing A World View, Downers Grove, Illionis: Intervarsity Press, 1983, hal:32
     [123] K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Op. Cit., hal:46
     [124] John W.M. Verhaar, SJ, Identitas Manusia: Menurut Psikologi Dan Psikiatri Abad Ke-20, Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1989, hal:18
     [125] Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Theories Of Personality, third edition, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1978, hal:36
     [126]DR. Rudolf Metz, A Hundred Years Of British Philosophy,The Macmillan Company, New York, 1950, hal:769
     [127]  Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hal:150
     [128] Robert Maynard Hutchins, (ed), The Major Works Of Sigmund Freud: Great Book Of The Western World, Encyclopaedia Britannica, Inc., Chicago, 1990, hal:428
     [129] K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Op. Cit., hal:48
     [130] John Hospers, An Introduction To Philosophical Analysis, second edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1967, hal:317
   [131] Antony Harrison-Barbet, Op.Cit., hal:326

Tidak ada komentar:

Persyaratan Hak & Kewajiban Guru

BAB I PENDAHULUAN A.       LATAR BELAKANG MASALAH Di dalam   masyarakat tedapat bermacam-macam pekerjaan, seperti dokter, penga...