Rabu, 27 Juli 2016

Hukum KDRT ( Kekerasan Dalam Rumah Tangga ) dan Tinjauan Kasus Hukum Ivan Haz


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga  (Rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[1] Pada hakikatnya seorang yang melakukan akad pernikahan saling berjanji serta berkomitmen untuk saling membantu menghargai dan menghormati satu dengan lainnya, sehingga tercapailah kebahagiaan dan cita-cita yang diinginkan, adapun tujuan perkawinan tersebut adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.[2]
Namun, tidak jarang tujuan  yang dicita-citakan sebelum perkawinan tidak tercapai, karena biasanya setelah perkawinan berlangsung barulah tampak sifat asli dari pasangannya, suami yang dulunya baik dan penyabar, berubah menjadi pemarah dan ringan tangan, kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan isteri menjadi alasan bagi suami untuk melampiaskan kemarahannya. 
Persoalan rumah tangga yang muncul dapat dipengaruhi oleh berbagai factor baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun dari orang lain. Biasanya penganiayaan suami terhadap isteri dilandasi atas dasar ketergantungan ekonomi si isteri kepada suami sehingga dengan alasan tersebut suami dapat merendahkan dan melakukan kekerasan terhadap isterinya.[3]
Saat permasalahan rumah tangga tidak dapat lagi diselesaikan dan saat amarah suami semakin membutakan mata sehingga kekerasan terus di lakukan terhadap isterinya maka islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian, hukum perkawinan di Indonesia telah memberikan perlindungan bagi isteri atas penganiayaan yang dilakukan suami terhadap isteri. Penganiayaan atau kekerasan serta kekejaman dapat dijadikan alasan untuk memutuskan tali perkawinan sehingga ia akan bebas dari penganiayaan yang dialaminya.
Perlindungan tersebut terdapat dalam KHI pasal 116 point (d) dan PP No. 9 tahun 1975 pasal 19, “bahwa salah satu alasan perceraian adalah salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain”, tapi ternyata KHI dan PP No. 9 tahun 1975 tidak cukup memberikan keberaniaan terhadap isteri untuk keluar dari belenggu suami yang menganiaya dan melakukan kekerasan terhadap dirinya.
Fakta-fakta kekerasan dalam rumah tangga (domestic) yang ditemukan oleh beberapa lembaga yang peduli terhadap perempuan menunjukkan jumlah yang jauh lebih besar dari pada jumlah kekerasan terhadap perempuan di lingkungan lainnya, bahkan dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan hampir seusia dengan sejarah panjang peradaban umat manusia.[4]
Rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang terbentukkarena adanya ikatan perkawinan. Biasanya keluarga terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Namun di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara yang ikut bertempat tinggal, misalnya orang tua baik dari suami atau istri, saudara kandung atau tiri dari kedua belah pihak, kemenakan dan keluarga yang lain yang mempunyai hubungan darah. Di samping itu terdapat juga pembantu rumah tangga yang bekerja dan tinggal bersama-sama dalam sebuah rumah (tinggal satu atap).[5]
Dalam lingkup rumah tangga, keutuhan rumah tangga adalah tujuan setiap keluarga dan untuk mewujudkannya, setiap anggota keluarga harus menyadari hak dan kewajibannya masing-masing, termasuk pembantu rumah tangga, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan. Sampai sejauh ini kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk perbuatan yang dianggap baru dan telah menjadi wacana tersendiri dalam keseharian kita, meskipun pada dasarnya bentuk-bentuk kekerasan ini dapat ditemui dan terkait pada bentuk perbuatan pidana tertentu seperti pembunuhan, penganiayaan, perkosaan dan pencurian.
Peningkatan kasus KDRT, khususnya terhadap pembantu rumah tangga, tiap tahun semakin bertambah. Tidak Hanya kasus kekerasan fisik yang umum dapat ditemukan, tetapi juga sudah banyak terjadi kekerasan psikis yang tak jarang membuat korbannya mengalami penderitaan psikis.
Masalah perbedaan status sosial seringkali membuat majikan bertindak sewenang-wenang dan memperlakukan pembantu rumah tangga (PRT) dengan sangat tidak adil. Perlakuan yang keji dan sangat kasar sebagai ekspresi dari para majikan ketika pembantu tersebut melakukan kesalahan, sama sekali dianggap tidak melanggar hukum tetapi hanya sebagai perbuatan untuk membuat pembantu jera dan tidak mengulangi kesalahannya lagi. Kelemahan posisi pembantu seringkali membuat kasus-kasus kekerasan terhadap mereka tidak tersentuh oleh hukum. Apabila tetap seperti itu, hal ini akan terus-menerus berlanjut dan pada akhirnya, pembantu itu sendirilah yang akhirnya akan menjadi pihak yang paling dirugikan tetapi tidak bias berbuat apa-apa.
Terlepas dari hal tersebut, Tingginya angka kasus KDRT terhadap pembantu rumah tangga, kemungkinan dapat terjadi akibat kesalahan pembantu itu sendiri. Apalagi sekarang ini pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Makassar sangat pesat karena angka kelahiran dan proses urbanisasi. Pertumbuhan jumlah penduduk tersebut, tidak diikuti dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai. Dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang diterima sangat tidak sebanding, maka banyak tenaga kerja yang tidak berpendidikan maupun yang berpendidikan yang tidak terjaring di perusahaan-perusahaan atau lapangan kerja lainnya yang akhirnya mereka memilih untuk menjadi pembantu rumah tangga.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.      Bagaimanakah teori tentang KDRT dan PKDRT ?
2.      Bagaimanakah analisa kasus dari KDRT terhadap pembantu yang dilakukan Ivan Haz ?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga
1.      Lingkup Rumah Tangga
Rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan. Rumah tangga terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak.
Pengertian rumah tangga tidak tercantum dalam ketentuan khusus, tetapi dijelaskan dalam bentuk “keluarga” yang tercantum dalam Pasal 1 ke 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum acara Pidana yang berbunyi “ keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajad tertentu atau hubungan perkawinan’.[6]
Mengenai ruang lingkup rumah tangga, dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan : “Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a.       suami, isteri, dan anak;
b.      orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud ada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c.       orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.”
Pasal 2 ayat (1) tersebut kemudian dilengkapi dengan penjelasan pada ayat (2) : “Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.”

2.      Kekerasan Psikis Sebagai Salah Satu Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 antara lain : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Terkhusus bagi kekerasan psikis, dimuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang menyatakan : “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang”. Jenis-jenis kekerasan psikis antara lain :[7]
1)             Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut :
a)      Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
b)      Gangguan stres pasca trauma.
c)      Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis).
d)     Depresi berat atau destruksi diri.
e)      Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya.
f)       Bunuh diri.
2)             Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal-hal antara lain :
a)      Ketakutan dan perasaan terteror.
b)      Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak.
c)      Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual.
d)     Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis).
e)      Fobia atau depresi temporer.

B.     Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1.      Pengertian KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi isu global dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 deklarasi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan PBB,1993 :
“setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik,seksual dan psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu,pemaksaan,perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang,baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidpan pribadi dinyatakan sebagai tindakan pengambilan hak asasi.” Selain ketentuan menglobal,hukum nasional juga mengatur masalah KDRT dalam UU No.23/tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga( UU PKDRT).[8]
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a.       Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk  kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b.      Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c.       Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d.      Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam hukuman pidana”

2.      Bentuk dan Ruang lingkup dalam KDRT
Yang dimaksud dalam ruang lingkup dalam rumah tangga adalah :
a.       Suami,isteri dan anak
b.      Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang-orang yang sebagaimana tercantum pada huruf (a) karena hubungan darah,perkawinan,pensusuan,pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, dan atau;
c.       Orang yang bekerja membantu tumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut
3.      Bentuk-bentuk KDRT
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah :
a.       Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,jatuh sakit, atau luka berat
b.      Kekerasan psikis adalah perbuatan yang menyebabkan ketakutan,hilangnya rasa percaya diri,hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tak berdaya dan atau penderitaan psikis berat seseorang
c.       Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
d.      Penelantaran rumah tangga, meliputi dua hal :
1)      Orang yang mempunyai kewajiban secara hukum atau karena persetujuan atau perjanjian memberikan kehidupan,perawatan atau pemeliharaan pada orang tersebut dalam lingkup rumah tangga namun tidak melaksanakan kewajibannya tersebut;
2)      Setiap orang yang menyebabkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Bentuk bentuk kekereasan yang sering di dapati dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya terjadi terhadap perempuan. Perilaku menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya.
Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya adalah tindakan kekerasan yang paling sering ditemui, kebanyakan tindakan kekerasan dilakukan karena  pelaku berada dalam keadaan mabuk sehingga meminta korban untu melakukan hal-hal yang diinginkannya termasuk perlakuan kekerasan seksual. Contoh kasus lain berupa tidak memberi nafkah istri [9],bahkan mengambil yang seharusnya adalah milik istri [10],hal tersebut mengingkari batas-batas akses ekonomi seorang perempuan[11].

4.      Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KDRT
Kekerasan dalam keluarga adalah implikasi dari ideologi gender. Hubungan ats bawah yang hiearkis dalam keluarga, membuat pola hubungan itu sendiri menjadi disharmonisasi. Nilai-nilai manusiawi yang semestinya termanifestasikan dalam keluarga menjadi terkaburkan. Kekaburan inilah yang kemudian mengakibatkan berbagai akibat yang bersifat akumulatif, akut, permanen. Tanpa disadari, kalangan perempuan sendiri ikut serta dalam membangun struktur sosial itu, hingga muncul korban diskriminasi ganda.
Strauss A. Murray mengidentifikasikan hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (Marital Violence) sebagai berikut :
1)      Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumberdaya dibandingkan dengan wanita sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita
2)      Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan
3)      Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yan tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga
4)      Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorag bapak melakukan kekerasan terhadap anak agar menjadi tertib
5)      Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri didalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga[12] .
Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang  baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan  memperlihatkan kecenderungan peningkatan. untuk mengungkap kasus kekerasan  dalam rumah tangga ini ternyata tidak  segampang membalikkan tangan.
1)       Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2)       Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3)       Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
4)       Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
5)       Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
6)       Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
7)       Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang  sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
8)       Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
9)       Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
10)   Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.  Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
11)   Wanita sebagai anak-anak
konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.  Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
12)   Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup.  Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

5.      Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Hak-hak yang bisa di terima oleh korban KDRT di dalamnya :
1)      Perlindungan dari pihak keluarga, kepoli-sian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial , atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
2)      Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3)      Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
4)      Pelayanan bimbingan rohani.

C.    Dampak dan Pengaruh yang timbul dari KDRT
1.      Dampak Umum
Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami dampak dalam berbagai bentuk, baik secara medis, emosional, personal (kepribadian) maupun profesionalitas. 
a.      Post Traumatic Syndrome Stress
Bila korban kejahatan KDRT tidak melaporkan sebagai akibat ”kepasrahan” dirinya, maka korban akan mengalami Post Traumatic Syndrome Stress (PTSS).
Ada beberapa hal yang menyebabkannya :
1)               The belief in personal invulnerability, yaitu tidak percaya bahwa dirinya sudah menjadi korban. Walaupun sebelumnya telah banyak terjadi kejahatan semacam itu, tidak pernah terpikir bahwa kejadian tersebut akan menimpa dirinya. Hal ini menyebabkan kecemasan yang mendalam
2)               The world as meaningful, apa pun yang terjadi di dunia ini adalah sesuatu yang teratur dan komprehensif. Maksudnya, apabila orang berbuat baik dan berhati-hati niscaya ia akan terhindar dari penderitaan. Tetapi ternyata apa yang diperkirakan tersebut tidak berjalan seperti itu, walaupun telah berbuat baik dan berhati-hati ternyata dirinya tetap menjadi korban.
3)               Positive self-perception, manusia selalu berusaha menjaga derajat dirinya, tetapi pengalaman menjadi korban membuat mereka memiliki gambaran negatif.  Dirinya adalah seorang yang lemah dantak berdaya.
b.      Pengaruh budaya partiakhal
Patriakh berarti peraturan atau kuasa dari ayah. Patriakh pada awalnya dinyatakan sistem yang sah, baik dalam sosial, ekonomi, dan hubungan politik, juga dalam rumah tangga. Pada umumnya sistem patriakh memposisiskan perempuan selalu berada di bawah dan harus tunduk. Keadaan ini mengakibatkan;
1)      Garis keturunan anak ditarik dari ayah
2)      Anak laki-laki lebih berharga daripada anak perempuan
3)      Sebagai istri, tubuh perempuan, seks dan melahirkan merupakan milik laki-laki
4)      Kedaulatan suami atas istrinya yang akhirnya memposisikan istri sama seperti budak.
5)      Perempuan tidak mendapat tempat dalam dunia politik dan struktur, maka pendidikan mereka terbatas hanya berkaitan dengan keterampilan rumah tangga.
6)      Hak warisan dimiliki oleh laki-laki sepenuhnya, sedangkan anak perempuan dan janda dibatasi terkadang juga harus diwakili oleh laki-laki.
c.       Taumatic of bullying
Kekerasan tak hanya dialami oleh para isteri, tak kala seorang anak menjadi pelampiasan kemarahan pelaku. Tindak kekerasan yang dialami seorang anak baik secara langsung maupun tidak langsung(visual) membawa pengaruh yang sangat besar bagi seorang anak terutama pada mentalitasnya.
Saat seseorang mengalami pelecehan ataupun kekerasan, maka bagian otak manusia yang disebut limbik sistem akan bereaksi. Limbik sistem ini adalah bagian otak yang terus melakukan scanning terhadap segala hal yang terjadi pada seseorang. Saat mengalami pelecehan atau kekerasan, limbik sistem akan meminta otak memproduksi kortisol atau hormon stres. Ketika hormon stres melebihi normal, apalagi dalam jangka waktu yang lama, bagian otak yang digunakan untuk menganalisa kebijaksanaan dan proses berpikir itu tidak berjalan dengan baik,Karena proses berpikirnya tidak berjalan sebagaimana mestinya, perkembangan anak yang di-bully bisa terhambat.

2.      Dampak Khusus
a.      Dampak Pada Perempuan/ istri.
Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban. Rasa takut tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala tindak tanduknya bahkan ketakutan dapat mengganggu tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Gangguan tidur dapat memunculkan kebergantungan kepada obat-obat tidur dan obat penenang. Dengan dasar dominasi perasaan takut, respondan pengalaman psikologis yang sering muncul dari korban kekerasan domestik maka muncul sikap seperti:
1)      Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, karena beberapa alasan:.
-          Perasaan malu dan kebingungannya menghadapi kekerasan.
-          Keyakinannya bahwa ia bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
2)      Terisolasi
Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan jaringan dan  dukungan personal.
3)      Perasaan tidak berdaya.
Perempuan korban kekerasan sering berada dalam situasi learned helplessness fenomena yang dideskripsikan secara detil oleh Lenore Walker (1979). Yang  dimaksud  adalah mereka belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk  mengendalikan, menghindari atau melarikan diri dari situasinya ternyata tidak  berhasil
4)      Menyalahkan diri (internalizes blame)
Perempuan korban kekerasan, sama seperti kita dan orang-orang lain, sering  mempercayai mitos-mitos tentang kekerasan dalam hubungan intim dan dalam  rumah tangga.
5)      Ambivalensi
Pasangan yang melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan kekerasan.  Kadang kala ada saat bahwa ia merasa pasangannya adalah laki-laki yang baik  dan mencintainya.
6)      Harga diri rendah.
Akhir dari kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri. Perasaan berharga dan keyakinan diri, kepercayaan akan kemampuan diri dirusakkan. Yang sangat merendahkan adalah bahwa ia mendapat kekerasan dari orang  yang dipilih menjadi pasangan, orang yang seharusnya menyayangi,  menghormati dan menyenangkannya.
7)      Harapan.
Perempuan yang menjadi korban berharap suaminya akan berubah, akan menjadi pasangan seperti yang diimpikannya..
b.      Dampak Pada Anak-anak.
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas kepada istri saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalamipenganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya.
Paling tidak, setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan, juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar tidak diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional maupun seksual. Kehadiran anak di rumah tidak membuat suami tidak menganiaya istrinya. Bahkan dalam banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan menghina pasangannya.
Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak. Mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah:
1)      Sering gugup
2)      Suka menyendiri
3)      Cemas
4)      Sering ngompol
5)      Gelisah
6)      Gagap
7)      Sering menderita gangguan perut
8)      Sakit kepala dan asma
9)      Kejam pada binatang
10)  Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam
11)  Suka memukul teman
Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran kepada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah kehidupan Mengingat bahwa orangtua lebih sibuk dengan permasalahan dan ketegangannya sendiri, sering terjadi bahwa orangtua tidak memberikan perhatian  pada kebutuhan anak, khususnya kebutuhan psikologisnya untuk merasa aman, dicintai, didengarkan. Karena itu, banyak hal dapat muncul [13], seperti:
1)      Usia pra sekolah
a.       Keluhan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut.
b.      Adanya gangguan tidur seperti insomnia, takut gelap, ngompol.
c.       Kecemasan berlebihan bila berpisah dari orangtua.
2)      Usia sekolah
a.       Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak perempuan: keluhan-keluhan somatik, perilaku menarik diri, pasif, tidak dapat mandiri, sangat bergantung kepada ingin diterima orang lain, toleransi frustasi rendah, atau justru kesabaran berlebihan, sikap penolong, khususnya perhatian untuk dapat membantu ibu.
b.      Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak laki-laki: toleransi frustasi rendah, perilaku agresif, mengganggu, menggertak, berlagak jagoan, tempertantrums  (mudah sekali marah dengan ekspresi fisik yang berlebihan, seperti menendang-nendang, berteriak-teriak, dan berguling-guling, dsb.)
c.       Sebagian anak mengalami gangguan konsentrasi dan belajar, sering membolos, kikuk, sering celaka, dianggap lambat, atau mengalami masalah belajar.
3)      Remaja
Remaja sangat mungkin menampilkan perilaku melarikan diri dan merusak diri sendiri. Beberapa hal yang mungkin dilakukan adalah: lari dari kenyataan dengan mengkonsumsi obat-obat adiktif dan alkohol, kabur dari rumah, perilaku seksual bebas, agresivitas dan aktivitas kriminal.
4)      Dewasa
Anak yang menyaksikan kejadian kekerasan berulang-ulang di rumahnya, dan menyaksikan ibu (perempuan) menjadi korban dapat mengembangkan pola hubungan yang sama dimasa dewasanya. Cukup banyak laki-laki pelaku kekerasan terhadap pasangan berasal dari keluarga abusive dimasa kanaknya, biasa menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayah pada ibu, tidak jarang ia sendiri juga menjadi korban kekerasan ayah. Sementara itu, perempuan yang dimasa kanaknya berada dalam suasana keluarga demikian juga akan melihat dan belajar untuk meyakini bahwa laki-laki adalah makhluk yang memang harus menang, keras kepala dan egois, harus serba dilayani, sementara  perempuan adalah makhluk yang harus melayani, menyesuaikan diri,  mencoba menyenangkan laki-laki dengan berbagai cara.

D.    Penanggulangan Tindak KDRT
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a)      Perlunya keimanan yang kuat dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b)      Harus  tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
c)      Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d)     Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e)      Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

E.     Perlindungan bagi Korban  KDRT.
UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
a)       Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT
b)      Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).
c)       Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan..
d)      Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
e)       Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.
f)       Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
g)      Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.


BAB III
KASUS POSISI

Anggota DPR RI Fany Syafriansyah atau yang dikenal dengan nama Ivan Haz ditahan Polda Metro Jaya. Putra mantan Wakil Presiden RI ini diduga telah melakukan penganiayaan pembantunya bernama Toipah (20). Berikut kronologi kasus Ivan Haz
§  1 Oktober 2015: Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Fanny Safriansyah alias Ivan Haz dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena menganiaya pembantu rumah tangganya Topiah. Topiah melaporkan perkara itu ke Polda Metro Jaya 1 Oktober 2015 dengan didampingi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dalam laporan bernomor LP/3933/IX/2015/PMJ/ Ditreskrimum, Topiah melaporkan Ivan dan istrinya, Anna, atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Putra mantan Wakil Presiden Hamzah Haz ini diduga melakukan penganiayaan terhadap pembantunya itu sejak Juni hingga September 2015.
Puncaknya peristiwa tersebut terjadi di lift Apartemen Ascot pada 29 September 2015. Berdasarkan hasil visum terhadap Topiah, ditemukan tanda-tanda kekerasan di beberapa bagian tubuh korban seperti tangan dan telinganya.
Awalnya, Ivan sempat membantah melakukan penganiayaan terhadap Topiah. Menurut dia, luka yang diderita pembantunya itu karena Topiah mencoba kabur dan melompat dari pagar rumah yang tinggi. Kendati demikian, pihak kepolisian tetap menindak lanjuti laporan yang dilayangkan Topiah.
§  9 Oktober 2015: Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan Indonesia (LPAPI) juga melaporkan Ivan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Laporan tersebut disampaikan oleh Wakil Sekretaris LPAPI Dwi Nurdiansyah Santoso. Dwi menilai Ivan telah melanggar Pasal 3 ayat 1, ayat 2, dan ayat 4 Peraturan DPR RI pun tentang Kode Etik. Di hari yang sama Ivan mengelak menganiaya pembantunya. Menurut dia, Topiah sudah beberapa kali teledor dan membuat anaknya terluka. Tapi, ketika ditanya mengenai luka di tubuh anaknya, Topiah enggan mengakui kelalaiannya.
§  19 Februari 2016: Penyidik Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya menetapkan Ivan sebagai tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga. Kepala Subdirektorat Remaja Anak dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Suparmo mengatakan, penyidik telah mengantongi surat izin dari Presiden RI untuk memeriksa Ivan Haz sebagai tersangka pada, Selasa 22 Februari 2016.
Namun Ivan tidak memenuhi panggilan alias mangkir. MKD juga memproses laporan atas Ivan. MKD memutuskan membentuk panel dalam menyelidiki kasus Ivan Haz. Dengan pembentukan panel ini, politikus PPP itu terancam hukuman berat. Belakangan, beredar video CCTV yang memuat momen-momen Ivan menganiaya sang pembantu rumah tangganya. Anggota MKD dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maman Imanulhaq meyakini pria dalam video itu adalah Ivan. Anggota MKD Maman Imanulhaq mengungkap kalimat yang diutarakan Ivan di dalam video saat menganiaya pembantunya.
§  22 Februari 2016: Belum selesai kasus penganiayaan, van Haz kembali membuat ulah. Nama Ivan ada di dalam daftar pelanggan seorang bandar narkoba yang diamankan tim Intel dan POM Kostrad di Perumahan Kostrad, Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Setelah diterpa dua perkara itu, anggota MKD Maman Imanulhaq mengungkap bahwa Ivan Haz jarang hadir di parlemen alias sering bolos. Catatan MKD, Ivan hanya hadir saat pelantikan anggota DPR saja. Kemungkinan besar MKD pun akan memecat Ivan Haz. Keterlibatan Ivan dalam kasus dugaan narkoba, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap asisten rumah tangganya serta sering bolosnya ia di DPR dianggap tak dapat ditoleransi.
§  29 Februari 2016: Ivan Haz akhirnya memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya. Anak mantan Wakil Presiden Hamzah Haz tersebut dipanggil pihak kepolisian sebagai tersangka kasus penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga. Anggota DPR RI tersebut hadir ke Mapolda Metro Jaya didampingi kuasa hukumnya, Tito Hananta yang sudah hadir lebih dulu untuk berkoordinasi dengan penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya.


BAB IV
ANALISA KASUS

A.    Faktor penyebab seorang pembantu menjadi korban kekerasan
Adapun faktor-faktor penyebab seorang pembantu menjadi korban kekerasan psikis seperti pada kasus Topiah yang dianiaya Ivan Haz adalah karena sebab sebagai berikut :
a.       Kelalaian
Kelalaian yang dimaksud adalah ketika seorang pembantu sedang mengerjakan sesuatu dan disaat yang sama pembantu tersebut melakukan pekerjaan lain yang tidak bermanfaat sehingga pekerjaan utamanya terbengkalai.
b.      Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan yang dimaksud adalah ketika seorang majikan memberi perintah tetapi pembantu tersebut mengabaikan pekerjaan yang diberikan majikannya. Hasil penelitian Penulis menunjukkan bahwa dari total 21 (dua puluh satu) kasus, ada 5 (lima) kasus kekerasan psikis terhadap pembantu rumah tangga yang didasari oleh faktor ketidak patuhan.
c.       Ketidakterampilan
Ketidakterampilan yang dimaksud adalah suatu bentuk pekerjaan yang diambil dan di pilih tetapi dilain hal belum menguasai dan menjiwai atas pekerjaannya, tidak serius dan menjadi asal-asalan kerja atau setengah niat sehingga terjadi beberapa masalah dan kendala, kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang sama sekali tidak disadari oleh PRT. Dengan kata lain, ia tidak mengetahui atau menyadari apakah tindakan tersebut benar atau salah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pembekalan ilmu pengetahuan karena rendahnya pendidikan si PRT tersebut. Hasil penelitian Penulis menunjukkan bahwa dari total 18 (delapan belas) kasus, ada 4 (empat) kasus kekerasan psikis terhadap pembantu rumah tangga yang didasari oleh faktor ketidakterampilan.

B.     Upaya Kepolisian Dalam Menanggulangi Kejahatan Kekerasan Terhadap Pembantu Rumah Tangga
Jika berbicara mengenai upaya penanggulangan kejahatan, maka bahasan mengenai hal tersebut tidak akan terlepas dari teori-teori penanggulangan kejahatan dari kajian kriminologi. Secara teori, ada 3 (tiga) upaya penanggulangan kejahatan, yaitu upaya pre-emtif, upaya preventif, dan upaya represif.
Upaya pre-emtif adalah upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Singkatnya, dalam upaya pre-emtif ini, yang dihilangkan adalah niat dari calon pelaku. Upaya preventif merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan. Sedangkan upaya represif ialah upaya yang dilakukan pada saat telah terjadi suatu tindak pidana atau kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman maupun pembinaan-pembinaan ketika pelaku telah berada di Lembaga Pemasyarakatan.
Penanggulangan kejahatan kekerasan psikis terhadap pembantu rumah tangga, apabila dikaji secara viktimologis maka upaya yang dapat dilakukan yaitu hanya upaya pre-emtif. Penanggulangan kejahatan yang bersifat pre-emtif adalah suatu tindakan pencegahan dengan usaha-usaha yang dilakukan sebelum terjadinya suatu kejahatan. Tindakan ini lebih baik dari pada represif, karena tindakan ini memungkinan untuk tidak timbulnya kejahatan terlebih dahulu. Dalam upaya pre-emtif, yang dicegah adalah niat dari si pelaku. Tindakan pre-emtif ini, selain dilakukan oleh oleh aparat Polrestabes sendiri, juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga agama, organisasi kepemudaan dan lembaga-lembaga yang membidangi masalah perempuan.


BAB V
Kesimpulan & Saran

A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis dalam bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa realisasi pemenuhan hak korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya pada pembantu rumah tangga belum ter-realisasikan sesuai dengan Undang – Undang No 24 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dimana dalam Undang – Undang tersebut pembantu rumah tangga yang menjadi korban kekerasan mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan baik secara jasmani maupun rohani tetapi pada kenyataannya, menurut narasumber penulis bapak Irawan selaku penyidik di polres sleman mengatakan bahwa upaya pemenuhan hak korban belum terrealisasikan karena pada faktanya sebagian besar tidak ada kasus yang ditanganinya naik ke pengadilan, tetapi diselesaikan secara kekeluargaan karena narasumber penulis mengatakan tujuan si pelapor hanyalah memberikan efek jera kepada si pelaku agar tidak mengulanginya lagi.

B.     Saran
1.  Untuk memperjelas status pembantu rumah tangga maka pemerintah harus mengkategorikan pembantu rumah tangga dalam Undang – Undang tenaga kerja yaitu Undang – Undang No 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan
2.      Memberikan penyuluhan kepada masyarakat awam tentang pemenuhan hak pembantu


DAFTAR PUSTAKA

A. Ghani Abdullah, Himpunan Per-Undang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, ( Jakarta : PT. Intermasa,     1991 ), Cet Ke-1
Abdurrahman, KHI di Indonesia, ( Jakarta : Akademika Pressindo, 2004 ), Edisi Pertama
Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, ( Yogyakarta : LKIS ),  Jurnal Perempuan, Hukum itu Seksi ? edisi ke- 10 Februari – April 1999,
Moerti Hadiati Soeroso, 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta,
A.Patra M.Zen,Panduan Bantuan Hukum di Indonesia :Pedoman anda memahami dan menyelesaikan masalah hukum (Jakarta :YBHI,2007)
Ester Solang, “4 Bentuk kekerasan yang termasuk KDRT”,
Dr.Hj. Fathul Djannah, S.H. M.S, et. al, Kekerasan terhadap isteri (Yogyakarta : Lkis, 2002)
Nunuk P. Murniati, Getar Gender, Magelang : IndonesiaTera, 2004,
Sheila J. Vedebek, Keperawatan Jiwa, Jakarta: EGC, 2008,




[1]  A. Ghani Abdullah, Himpunan Per-Undang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, ( Jakarta : PT. Intermasa,     1991 ), Cet Ke-1 h. 187.
[2]  Abdurrahman, KHI di Indonesia, ( Jakarta : Akademika Pressindo, 2004 ), Edisi Pertama h. 144.
[3] Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, ( Yogyakarta : LKIS ), h. 2.
[4] Jurnal Perempuan, Hukum itu Seksi ? edisi ke- 10 Februari – April 1999, h. 113
[5] Moerti Hadiati Soeroso, 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 61.
[6] Moerti Hadiati Soeroso. Ibid., Hal. 61.
[7] Ibid
       [8] A.Patra M.Zen,Panduan Bantuan Hukum di Indonesia :Pedoman anda memahami dan menyelesaikan masalah hukum (Jakarta :YBHI,2007) hal 119.
       [9] Ester Solang, “4 Bentuk kekerasan yang termasuk KDRT”, http://female.kompas.com/read/2014/10/12/230000220/4.Jenis.Kekerasan.yang.Termasuk.KDRT.
        [10] Dr.Hj. Fathul Djannah, S.H. M.S, et. al, Kekerasan terhadap isteri (Yogyakarta : Lkis, 2002) hal.42.
       [11] A.Patra M.Zen,Op.Cit, hal 117.
       [12]  Nunuk P. Murniati, Getar Gender, Magelang : IndonesiaTera, 2004, Hlm. 225-226
       [13] Sheila J. Vedebek, Keperawatan Jiwa, Jakarta: EGC, 2008, Hlm. 274

Tidak ada komentar:

Persyaratan Hak & Kewajiban Guru

BAB I PENDAHULUAN A.       LATAR BELAKANG MASALAH Di dalam   masyarakat tedapat bermacam-macam pekerjaan, seperti dokter, penga...