BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Pada hakikatnya seorang yang melakukan akad pernikahan saling berjanji serta
berkomitmen untuk saling membantu menghargai dan menghormati satu dengan
lainnya, sehingga tercapailah kebahagiaan dan cita-cita yang diinginkan, adapun
tujuan perkawinan tersebut adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah mawaddah dan rahmah.[2]
Namun, tidak
jarang tujuan yang dicita-citakan
sebelum perkawinan tidak tercapai, karena biasanya setelah perkawinan
berlangsung barulah tampak sifat asli dari pasangannya, suami yang dulunya baik
dan penyabar, berubah menjadi pemarah dan ringan tangan, kesalahan-kesalahan
kecil yang dilakukan isteri menjadi alasan bagi suami untuk melampiaskan
kemarahannya.
Persoalan rumah
tangga yang muncul dapat dipengaruhi oleh berbagai factor baik yang datang dari
dalam diri sendiri maupun dari orang lain. Biasanya penganiayaan suami terhadap
isteri dilandasi atas dasar ketergantungan ekonomi si isteri kepada suami
sehingga dengan alasan tersebut suami dapat merendahkan dan melakukan kekerasan
terhadap isterinya.[3]
Saat
permasalahan rumah tangga tidak dapat lagi diselesaikan dan saat amarah suami
semakin membutakan mata sehingga kekerasan terus di lakukan terhadap isterinya
maka islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian, hukum perkawinan
di Indonesia telah memberikan perlindungan bagi isteri atas penganiayaan yang
dilakukan suami terhadap isteri. Penganiayaan atau kekerasan serta kekejaman
dapat dijadikan alasan untuk memutuskan tali perkawinan sehingga ia akan bebas
dari penganiayaan yang dialaminya.
Perlindungan
tersebut terdapat dalam KHI pasal 116 point (d) dan PP No. 9 tahun 1975 pasal
19, “bahwa salah satu alasan perceraian adalah salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain”, tapi ternyata
KHI dan PP No. 9 tahun 1975 tidak cukup memberikan keberaniaan terhadap isteri
untuk keluar dari belenggu suami yang menganiaya dan melakukan kekerasan
terhadap dirinya.
Fakta-fakta
kekerasan dalam rumah tangga (domestic) yang ditemukan oleh beberapa lembaga
yang peduli terhadap perempuan menunjukkan jumlah yang jauh lebih besar dari
pada jumlah kekerasan terhadap perempuan di lingkungan lainnya, bahkan
dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan hampir seusia dengan sejarah
panjang peradaban umat manusia.[4]
Rumah tangga
merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang terbentukkarena adanya
ikatan perkawinan. Biasanya keluarga terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak.
Namun di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara yang
ikut bertempat tinggal, misalnya orang tua baik dari suami atau istri, saudara
kandung atau tiri dari kedua belah pihak, kemenakan dan keluarga yang lain yang
mempunyai hubungan darah. Di samping itu terdapat juga pembantu rumah tangga
yang bekerja dan tinggal bersama-sama dalam sebuah rumah (tinggal satu atap).[5]
Dalam lingkup
rumah tangga, keutuhan rumah tangga adalah tujuan setiap keluarga dan untuk
mewujudkannya, setiap anggota keluarga harus menyadari hak dan kewajibannya
masing-masing, termasuk pembantu rumah tangga, sehingga tidak terjadi
kesewenang-wenangan. Sampai sejauh ini kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
merupakan bentuk perbuatan yang dianggap baru dan telah menjadi wacana
tersendiri dalam keseharian kita, meskipun pada dasarnya bentuk-bentuk
kekerasan ini dapat ditemui dan terkait pada bentuk perbuatan pidana tertentu
seperti pembunuhan, penganiayaan, perkosaan dan pencurian.
Peningkatan
kasus KDRT, khususnya terhadap pembantu rumah tangga, tiap tahun semakin
bertambah. Tidak Hanya kasus kekerasan fisik yang umum dapat ditemukan, tetapi
juga sudah banyak terjadi kekerasan psikis yang tak jarang membuat korbannya
mengalami penderitaan psikis.
Masalah
perbedaan status sosial seringkali membuat majikan bertindak sewenang-wenang
dan memperlakukan pembantu rumah tangga (PRT) dengan sangat tidak adil.
Perlakuan yang keji dan sangat kasar sebagai ekspresi dari para majikan ketika
pembantu tersebut melakukan kesalahan, sama sekali dianggap tidak melanggar
hukum tetapi hanya sebagai perbuatan untuk membuat pembantu jera dan tidak
mengulangi kesalahannya lagi. Kelemahan posisi pembantu seringkali membuat
kasus-kasus kekerasan terhadap mereka tidak tersentuh oleh hukum. Apabila tetap
seperti itu, hal ini akan terus-menerus berlanjut dan pada akhirnya, pembantu
itu sendirilah yang akhirnya akan menjadi pihak yang paling dirugikan tetapi
tidak bias berbuat apa-apa.
Terlepas dari
hal tersebut, Tingginya angka kasus KDRT terhadap pembantu rumah tangga,
kemungkinan dapat terjadi akibat kesalahan pembantu itu sendiri. Apalagi
sekarang ini pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Makassar sangat pesat karena
angka kelahiran dan proses urbanisasi. Pertumbuhan jumlah penduduk tersebut,
tidak diikuti dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai. Dari jumlah tenaga
kerja yang mendaftar dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang diterima
sangat tidak sebanding, maka banyak tenaga kerja yang tidak berpendidikan
maupun yang berpendidikan yang tidak terjaring di perusahaan-perusahaan atau
lapangan kerja lainnya yang akhirnya mereka memilih untuk menjadi pembantu
rumah tangga.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah
teori tentang KDRT dan PKDRT ?
2. Bagaimanakah
analisa kasus dari KDRT terhadap pembantu yang dilakukan Ivan Haz ?
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Kekerasan Psikis
Dalam Rumah Tangga
1. Lingkup Rumah
Tangga
Rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat
yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan. Rumah tangga terdiri atas ayah,
ibu, dan anak-anak.
Pengertian rumah tangga tidak tercantum dalam ketentuan
khusus, tetapi dijelaskan dalam bentuk “keluarga” yang tercantum dalam Pasal 1
ke 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum acara Pidana yang berbunyi
“ keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajad tertentu
atau hubungan perkawinan’.[6]
Mengenai ruang lingkup rumah tangga, dimuat dalam Pasal 2
ayat (1) yang menyatakan : “Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini
meliputi :
a.
suami, isteri, dan anak;
b.
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud ada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c.
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.”
Pasal 2 ayat (1) tersebut kemudian dilengkapi dengan
penjelasan pada ayat (2) : “Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c
dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah
tangga yang bersangkutan.”
2.
Kekerasan Psikis Sebagai Salah Satu Bentuk Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, terdapat dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 antara lain : kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Terkhusus
bagi kekerasan psikis, dimuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
yang menyatakan : “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang”. Jenis-jenis kekerasan psikis antara lain :[7]
1)
Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan
fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan
penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut :
a)
Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat
atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
b)
Gangguan stres pasca trauma.
c)
Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau
buta tanpa indikasi medis).
d)
Depresi berat atau destruksi diri.
e)
Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya.
f)
Bunuh diri.
2)
Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan
ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan,
berupa salah satu atau beberapa hal-hal antara lain :
a)
Ketakutan dan perasaan terteror.
b)
Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak.
c)
Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual.
d)
Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala,
gangguan pencernaan tanpa indikasi medis).
e)
Fobia atau depresi temporer.
B.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1.
Pengertian KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi isu global dan
merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 1 deklarasi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
PBB,1993 :
“setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara
fisik,seksual dan psikologis termasuk ancaman tindakan
tertentu,pemaksaan,perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang,baik yang
terjadi di depan umum atau dalam kehidpan pribadi dinyatakan sebagai tindakan
pengambilan hak asasi.” Selain ketentuan menglobal,hukum nasional juga mengatur
masalah KDRT dalam UU No.23/tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan dalam
rumah tangga( UU PKDRT).[8]
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam
Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan
perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain
menegaskan bahwa:
a.
Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan
bebes dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b.
Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah
tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c.
Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan
adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau
masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan,
penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d.
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri
sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya
adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis
besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu,
isteri atau anak diancam hukuman pidana”
2.
Bentuk dan Ruang lingkup dalam KDRT
Yang dimaksud dalam ruang lingkup
dalam rumah tangga adalah :
a.
Suami,isteri dan anak
b.
Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang-orang yang
sebagaimana tercantum pada huruf (a) karena hubungan
darah,perkawinan,pensusuan,pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga, dan atau;
c.
Orang yang bekerja membantu tumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut
3.
Bentuk-bentuk KDRT
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah :
a.
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit,jatuh sakit, atau luka berat
b.
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang
menyebabkan ketakutan,hilangnya rasa percaya diri,hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tak berdaya dan atau penderitaan psikis berat seseorang
c.
Kekerasan seksual adalah setiap
perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,pemaksaan hubungan seksual
dengan cara yang tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
d.
Penelantaran rumah tangga, meliputi
dua hal :
1)
Orang yang mempunyai kewajiban secara
hukum atau karena persetujuan atau perjanjian memberikan kehidupan,perawatan
atau pemeliharaan pada orang tersebut dalam lingkup rumah tangga namun tidak
melaksanakan kewajibannya tersebut;
2)
Setiap orang yang menyebabkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut.
Bentuk bentuk kekereasan yang sering
di dapati dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya terjadi terhadap perempuan. Perilaku menampar,
memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan
rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya.
Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti
bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya adalah tindakan
kekerasan yang paling sering ditemui, kebanyakan tindakan kekerasan dilakukan
karena pelaku berada dalam keadaan mabuk
sehingga meminta korban untu melakukan hal-hal yang diinginkannya termasuk
perlakuan kekerasan seksual. Contoh kasus lain berupa tidak memberi nafkah
istri [9],bahkan
mengambil yang seharusnya adalah milik istri [10],hal
tersebut mengingkari batas-batas akses ekonomi seorang perempuan[11].
4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KDRT
Kekerasan dalam keluarga adalah implikasi dari ideologi gender. Hubungan ats
bawah yang hiearkis dalam keluarga, membuat pola hubungan itu sendiri menjadi
disharmonisasi. Nilai-nilai manusiawi yang semestinya termanifestasikan dalam
keluarga menjadi terkaburkan. Kekaburan inilah yang kemudian mengakibatkan
berbagai akibat yang bersifat akumulatif, akut, permanen. Tanpa disadari,
kalangan perempuan sendiri ikut serta dalam membangun struktur sosial itu,
hingga muncul korban diskriminasi ganda.
Strauss A. Murray mengidentifikasikan hal dominasi pria dalam konteks
struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga (Marital Violence) sebagai berikut :
1) Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai
superioritas sumberdaya dibandingkan dengan wanita sehingga mampu mengatur dan
mengendalikan wanita
2) Diskriminasi dan pembatasan dibidang
ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan
kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri)
ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri
mengalami tindakan kekerasan
3) Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja
menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yan
tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga
terjadi kekerasan dalam rumah tangga
4) Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik
menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorag bapak melakukan kekerasan terhadap anak agar
menjadi tertib
5) Orientasi peradilan pidana pada
laki-laki
Posisi wanita sebagai istri didalam
rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai
pelanggaran hukum, sehingga kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang
lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami
melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga[12]
.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan
masalah yang baru, tetapi tetap aktual
dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan memperlihatkan kecenderungan peningkatan.
untuk mengungkap kasus kekerasan dalam
rumah tangga ini ternyata tidak
segampang membalikkan tangan.
1) Masyarakat
membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki
harus kuat, berani dan tidak toleran.
2) Laki-laki dan
perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3) Budaya bahwa
istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
4) Kepribadian dan
kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
5) Pernah mengalami
kekerasan pada masa kanak-kanak.
6) Budaya bahwa
laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
7) Melakukan
imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau
dirinya.
8) Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya
dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
9) Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk
bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika
suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
10) Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban
sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi
hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri
sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
11) Wanita sebagai anak-anak
konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut
hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita.
Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
12) Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang
mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak
hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang
bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
5.
Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Hak-hak yang bisa di terima oleh korban KDRT
di dalamnya :
1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepoli-sian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial , atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
4) Pelayanan bimbingan rohani.
C.
Dampak dan
Pengaruh yang timbul dari KDRT
1.
Dampak Umum
Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami dampak
dalam berbagai bentuk, baik secara medis, emosional, personal (kepribadian)
maupun profesionalitas.
a.
Post Traumatic
Syndrome Stress
Bila korban kejahatan KDRT tidak melaporkan sebagai akibat
”kepasrahan” dirinya, maka korban akan mengalami Post Traumatic Syndrome Stress
(PTSS).
Ada beberapa hal yang menyebabkannya :
1)
The belief in
personal invulnerability, yaitu tidak percaya bahwa dirinya sudah menjadi korban.
Walaupun sebelumnya telah banyak terjadi kejahatan semacam itu, tidak pernah
terpikir bahwa kejadian tersebut akan menimpa dirinya. Hal ini menyebabkan
kecemasan yang mendalam
2)
The world as
meaningful, apa pun yang terjadi di dunia ini adalah sesuatu yang
teratur dan komprehensif. Maksudnya, apabila orang berbuat baik dan
berhati-hati niscaya ia akan terhindar dari penderitaan. Tetapi ternyata apa
yang diperkirakan tersebut tidak berjalan seperti itu, walaupun telah berbuat
baik dan berhati-hati ternyata dirinya tetap menjadi korban.
3)
Positive
self-perception, manusia selalu berusaha menjaga derajat dirinya, tetapi
pengalaman menjadi korban membuat mereka memiliki gambaran negatif. Dirinya adalah seorang yang lemah dantak
berdaya.
b.
Pengaruh
budaya partiakhal
Patriakh berarti peraturan atau kuasa dari
ayah. Patriakh pada awalnya dinyatakan sistem yang sah, baik dalam sosial,
ekonomi, dan hubungan politik, juga dalam rumah tangga. Pada umumnya sistem
patriakh memposisiskan perempuan selalu berada di bawah dan harus tunduk.
Keadaan ini mengakibatkan;
1)
Garis keturunan anak ditarik dari ayah
2)
Anak laki-laki lebih berharga daripada anak
perempuan
3)
Sebagai istri, tubuh perempuan, seks dan
melahirkan merupakan milik laki-laki
4)
Kedaulatan suami atas istrinya yang akhirnya
memposisikan istri sama seperti budak.
5)
Perempuan tidak mendapat tempat dalam dunia
politik dan struktur, maka pendidikan mereka terbatas hanya berkaitan dengan
keterampilan rumah tangga.
6)
Hak warisan dimiliki oleh laki-laki sepenuhnya,
sedangkan anak perempuan dan janda dibatasi terkadang juga harus diwakili oleh
laki-laki.
c.
Taumatic
of bullying
Kekerasan tak hanya dialami oleh para
isteri, tak kala seorang anak menjadi pelampiasan kemarahan pelaku. Tindak
kekerasan yang dialami seorang anak baik secara langsung maupun tidak
langsung(visual) membawa pengaruh yang sangat besar bagi seorang anak terutama
pada mentalitasnya.
Saat seseorang mengalami pelecehan ataupun
kekerasan, maka bagian otak manusia yang disebut limbik sistem akan bereaksi.
Limbik sistem ini adalah bagian otak yang terus melakukan scanning terhadap
segala hal yang terjadi pada seseorang. Saat mengalami pelecehan atau
kekerasan, limbik sistem akan meminta otak memproduksi kortisol atau hormon
stres. Ketika hormon stres melebihi
normal, apalagi dalam jangka waktu yang lama, bagian otak yang digunakan untuk
menganalisa kebijaksanaan dan proses berpikir itu tidak berjalan dengan
baik,Karena proses berpikirnya tidak berjalan sebagaimana mestinya,
perkembangan anak yang di-bully bisa terhambat.
2.
Dampak Khusus
a.
Dampak Pada
Perempuan/ istri.
Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban.
Rasa takut tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala tindak
tanduknya bahkan ketakutan dapat mengganggu tidurnya, memunculkan insomnia dan
mimpi-mimpi buruk. Gangguan tidur dapat memunculkan kebergantungan kepada
obat-obat tidur dan obat penenang. Dengan dasar dominasi perasaan takut,
respondan pengalaman psikologis yang sering muncul dari korban kekerasan
domestik maka muncul sikap seperti:
1)
Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, karena beberapa
alasan:.
-
Perasaan malu dan kebingungannya menghadapi kekerasan.
-
Keyakinannya bahwa ia bertanggungjawab atas kejadian
tersebut.
2)
Terisolasi
Perempuan korban
kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan jaringan dan dukungan personal.
3)
Perasaan tidak berdaya.
Perempuan korban
kekerasan sering berada dalam situasi learned helplessness fenomena yang
dideskripsikan secara detil oleh Lenore Walker (1979). Yang dimaksud
adalah mereka belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk mengendalikan, menghindari atau melarikan diri
dari situasinya ternyata tidak berhasil
4)
Menyalahkan diri (internalizes blame)
Perempuan korban
kekerasan, sama seperti kita dan orang-orang lain, sering mempercayai mitos-mitos tentang kekerasan
dalam hubungan intim dan dalam rumah
tangga.
5)
Ambivalensi
Pasangan yang
melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan kekerasan. Kadang kala ada saat bahwa ia merasa
pasangannya adalah laki-laki yang baik dan
mencintainya.
6)
Harga diri rendah.
Akhir dari
kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri. Perasaan berharga dan
keyakinan diri, kepercayaan akan kemampuan diri dirusakkan. Yang sangat
merendahkan adalah bahwa ia mendapat kekerasan dari orang yang dipilih menjadi pasangan, orang yang
seharusnya menyayangi, menghormati dan
menyenangkannya.
7)
Harapan.
Perempuan yang
menjadi korban berharap suaminya akan berubah, akan menjadi pasangan seperti
yang diimpikannya..
b.
Dampak Pada Anak-anak.
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak
terbatas kepada istri saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak bisa
mengalamipenganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat
menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya.
Paling tidak, setengah dari anak-anak yang hidup di dalam
rumah tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan, juga mengalami perlakuan
kejam. Sebagian besar tidak diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi
secara emosional maupun seksual. Kehadiran anak di rumah tidak membuat suami
tidak menganiaya istrinya. Bahkan dalam banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa
anaknya menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu
sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan menghina pasangannya.
Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat
traumatis bagi anak-anak. Mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak
mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha
menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Diantara
ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga
adalah:
1)
Sering gugup
2)
Suka menyendiri
3)
Cemas
4)
Sering ngompol
5)
Gelisah
6)
Gagap
7)
Sering menderita gangguan perut
8)
Sakit kepala dan asma
9)
Kejam pada binatang
10)
Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam
11)
Suka memukul teman
Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran
kepada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar
dari sebuah kehidupan Mengingat bahwa orangtua lebih sibuk dengan permasalahan
dan ketegangannya sendiri, sering terjadi bahwa orangtua tidak memberikan
perhatian pada kebutuhan anak, khususnya
kebutuhan psikologisnya untuk merasa aman, dicintai, didengarkan. Karena itu,
banyak hal dapat muncul [13],
seperti:
1)
Usia pra sekolah
a.
Keluhan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut.
b.
Adanya gangguan tidur seperti insomnia, takut gelap, ngompol.
c.
Kecemasan berlebihan bila berpisah dari orangtua.
2)
Usia sekolah
a.
Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak perempuan:
keluhan-keluhan somatik, perilaku menarik diri, pasif, tidak dapat mandiri,
sangat bergantung kepada ingin diterima orang lain, toleransi frustasi rendah,
atau justru kesabaran berlebihan, sikap penolong, khususnya perhatian untuk
dapat membantu ibu.
b.
Lebih umum (meskipun tidak eksklusif) pada anak laki-laki:
toleransi frustasi rendah, perilaku agresif, mengganggu, menggertak, berlagak
jagoan, tempertantrums (mudah sekali
marah dengan ekspresi fisik yang berlebihan, seperti menendang-nendang,
berteriak-teriak, dan berguling-guling, dsb.)
c.
Sebagian anak mengalami gangguan konsentrasi dan belajar,
sering membolos, kikuk, sering celaka, dianggap lambat, atau mengalami masalah
belajar.
3)
Remaja
Remaja
sangat mungkin menampilkan perilaku melarikan diri dan merusak diri sendiri.
Beberapa hal yang mungkin dilakukan adalah: lari dari kenyataan dengan
mengkonsumsi obat-obat adiktif dan alkohol, kabur dari rumah, perilaku seksual
bebas, agresivitas dan aktivitas kriminal.
4)
Dewasa
Anak
yang menyaksikan kejadian kekerasan berulang-ulang di rumahnya, dan menyaksikan
ibu (perempuan) menjadi korban dapat mengembangkan pola hubungan yang sama
dimasa dewasanya. Cukup banyak laki-laki pelaku kekerasan terhadap pasangan berasal
dari keluarga abusive dimasa kanaknya, biasa menyaksikan kekerasan yang
dilakukan ayah pada ibu, tidak jarang ia sendiri juga menjadi korban kekerasan
ayah. Sementara itu, perempuan yang dimasa kanaknya berada dalam suasana
keluarga demikian juga akan melihat dan belajar untuk meyakini bahwa laki-laki
adalah makhluk yang memang harus menang, keras kepala dan egois, harus serba
dilayani, sementara perempuan adalah
makhluk yang harus melayani, menyesuaikan diri, mencoba menyenangkan laki-laki dengan berbagai
cara.
D.
Penanggulangan
Tindak KDRT
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga diperlukan
cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a) Perlunya
keimanan yang kuat dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam
rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b) Harus
tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam
agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan
orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap
pendapat yang ada.
c) Harus
adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah
rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak
ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa
menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d) Butuh
rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota
keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika
sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas.
Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang
kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e) Seorang
istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga,
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim,
sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
E.
Perlindungan
bagi Korban KDRT.
UU PKDRT secara selektif membedakan
fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan
lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum
dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi
dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi,
mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi.
Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu
sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
Selain itu, UU PKDRT juga membagi
perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan
dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan
diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
a) Perlindungan
oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7
(tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan,
kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan
tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk
mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang
pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama
program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat
perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan
mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai
tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan
dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan
terhadap pelaku KDRT
b) Perlindungan
oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan
negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku
(mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan
sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan
kemitraan).
c) Perlindungan
dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang
diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat
melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama
30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas
pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan
dari pengadilan..
d) Pelayanan
tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi
terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan
laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas
permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang
mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
e) Pelayanan
pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi
rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan
lembaga terkait.
f) Pelayanan
relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban
memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.
g) Pelayanan
oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak,
kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.
BAB
III
KASUS POSISI
KASUS POSISI
Anggota DPR RI Fany
Syafriansyah atau yang dikenal dengan nama Ivan Haz ditahan Polda Metro Jaya. Putra
mantan Wakil Presiden RI ini diduga telah melakukan penganiayaan pembantunya
bernama Toipah (20). Berikut
kronologi kasus Ivan Haz
§ 1 Oktober 2015:
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Fanny Safriansyah alias Ivan Haz
dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena menganiaya pembantu rumah tangganya
Topiah. Topiah melaporkan perkara itu ke Polda Metro Jaya 1 Oktober 2015 dengan
didampingi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dalam laporan bernomor
LP/3933/IX/2015/PMJ/ Ditreskrimum, Topiah melaporkan Ivan dan istrinya, Anna,
atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Putra mantan Wakil Presiden Hamzah
Haz ini diduga melakukan penganiayaan terhadap pembantunya itu sejak Juni
hingga September 2015.
Puncaknya peristiwa tersebut
terjadi di lift Apartemen Ascot pada 29 September 2015. Berdasarkan hasil visum
terhadap Topiah, ditemukan tanda-tanda kekerasan di beberapa bagian tubuh
korban seperti tangan dan telinganya.
Awalnya, Ivan sempat membantah
melakukan penganiayaan terhadap Topiah. Menurut dia, luka yang diderita
pembantunya itu karena Topiah mencoba kabur dan melompat dari pagar rumah yang
tinggi. Kendati demikian, pihak kepolisian tetap menindak lanjuti laporan yang
dilayangkan Topiah.
§ 9 Oktober 2015:
Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan Indonesia (LPAPI) juga melaporkan Ivan
ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Laporan tersebut disampaikan oleh Wakil
Sekretaris LPAPI Dwi Nurdiansyah Santoso. Dwi menilai Ivan telah melanggar
Pasal 3 ayat 1, ayat 2, dan ayat 4 Peraturan DPR RI pun tentang Kode Etik. Di
hari yang sama Ivan mengelak menganiaya pembantunya. Menurut dia, Topiah sudah
beberapa kali teledor dan membuat anaknya terluka. Tapi, ketika ditanya
mengenai luka di tubuh anaknya, Topiah enggan mengakui kelalaiannya.
§ 19 Februari 2016:
Penyidik Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya menetapkan Ivan sebagai
tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga. Kepala
Subdirektorat Remaja Anak dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda Metro Jaya
AKBP Suparmo mengatakan, penyidik telah mengantongi surat izin dari Presiden RI
untuk memeriksa Ivan Haz sebagai tersangka pada, Selasa 22 Februari 2016.
Namun Ivan tidak memenuhi panggilan
alias mangkir. MKD juga memproses laporan atas Ivan. MKD memutuskan membentuk
panel dalam menyelidiki kasus Ivan Haz. Dengan pembentukan panel ini, politikus
PPP itu terancam hukuman berat. Belakangan, beredar video CCTV yang memuat
momen-momen Ivan menganiaya sang pembantu rumah tangganya. Anggota MKD dari
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maman Imanulhaq meyakini pria dalam
video itu adalah Ivan. Anggota MKD Maman Imanulhaq mengungkap kalimat yang
diutarakan Ivan di dalam video saat menganiaya pembantunya.
§ 22 Februari 2016:
Belum selesai kasus penganiayaan, van Haz kembali membuat ulah. Nama Ivan ada
di dalam daftar pelanggan seorang bandar narkoba yang diamankan tim Intel dan
POM Kostrad di Perumahan Kostrad, Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Setelah diterpa
dua perkara itu, anggota MKD Maman Imanulhaq mengungkap bahwa Ivan Haz jarang
hadir di parlemen alias sering bolos. Catatan MKD, Ivan hanya hadir saat
pelantikan anggota DPR saja. Kemungkinan besar MKD pun akan memecat Ivan Haz.
Keterlibatan Ivan dalam kasus dugaan narkoba, kasus kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) terhadap asisten rumah tangganya serta sering bolosnya ia di DPR
dianggap tak dapat ditoleransi.
§ 29 Februari 2016:
Ivan Haz akhirnya memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya. Anak mantan
Wakil Presiden Hamzah Haz tersebut dipanggil pihak kepolisian sebagai tersangka
kasus penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga. Anggota DPR RI tersebut
hadir ke Mapolda Metro Jaya didampingi kuasa hukumnya, Tito Hananta yang sudah
hadir lebih dulu untuk berkoordinasi dengan penyidik Ditreskrimum Polda Metro
Jaya.
BAB
IV
ANALISA KASUS
ANALISA KASUS
A.
Faktor penyebab
seorang pembantu menjadi korban kekerasan
Adapun faktor-faktor penyebab seorang pembantu menjadi korban
kekerasan psikis seperti pada kasus Topiah yang dianiaya Ivan Haz adalah karena
sebab sebagai berikut :
a.
Kelalaian
Kelalaian
yang dimaksud adalah ketika seorang pembantu sedang mengerjakan sesuatu dan
disaat yang sama pembantu tersebut melakukan pekerjaan lain yang tidak
bermanfaat sehingga pekerjaan utamanya terbengkalai.
b.
Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan
yang dimaksud adalah ketika seorang majikan memberi perintah tetapi pembantu
tersebut mengabaikan pekerjaan yang diberikan majikannya. Hasil penelitian
Penulis menunjukkan bahwa dari total 21 (dua puluh satu) kasus, ada 5 (lima)
kasus kekerasan psikis terhadap pembantu rumah tangga yang didasari oleh faktor
ketidak patuhan.
c.
Ketidakterampilan
Ketidakterampilan
yang dimaksud adalah suatu bentuk pekerjaan yang diambil dan di pilih tetapi
dilain hal belum menguasai dan menjiwai atas pekerjaannya, tidak serius dan
menjadi asal-asalan kerja atau setengah niat sehingga terjadi beberapa masalah
dan kendala, kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang sama sekali
tidak disadari oleh PRT. Dengan kata lain, ia tidak mengetahui atau menyadari
apakah tindakan tersebut benar atau salah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pembekalan ilmu pengetahuan karena rendahnya pendidikan si PRT tersebut. Hasil
penelitian Penulis menunjukkan bahwa dari total 18 (delapan belas) kasus, ada 4
(empat) kasus kekerasan psikis terhadap pembantu rumah tangga yang didasari
oleh faktor ketidakterampilan.
B.
Upaya Kepolisian Dalam Menanggulangi Kejahatan Kekerasan
Terhadap Pembantu Rumah Tangga
Jika berbicara mengenai upaya penanggulangan kejahatan, maka
bahasan mengenai hal tersebut tidak akan terlepas dari teori-teori
penanggulangan kejahatan dari kajian kriminologi. Secara teori, ada 3 (tiga)
upaya penanggulangan kejahatan, yaitu upaya pre-emtif, upaya preventif, dan
upaya represif.
Upaya pre-emtif adalah upaya awal yang dilakukan oleh pihak
kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Singkatnya, dalam upaya
pre-emtif ini, yang dihilangkan adalah niat dari calon pelaku. Upaya preventif
merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran
pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif yang ditekankan
adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan. Sedangkan upaya
represif ialah upaya yang dilakukan pada saat telah terjadi suatu tindak pidana
atau kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan
menjatuhkan hukuman maupun pembinaan-pembinaan ketika pelaku telah berada di
Lembaga Pemasyarakatan.
Penanggulangan kejahatan kekerasan psikis terhadap pembantu
rumah tangga, apabila dikaji secara viktimologis maka upaya yang dapat
dilakukan yaitu hanya upaya pre-emtif. Penanggulangan kejahatan yang bersifat
pre-emtif adalah suatu tindakan pencegahan dengan usaha-usaha yang dilakukan
sebelum terjadinya suatu kejahatan. Tindakan ini lebih baik dari pada represif,
karena tindakan ini memungkinan untuk tidak timbulnya kejahatan terlebih
dahulu. Dalam upaya pre-emtif, yang dicegah adalah niat dari si pelaku.
Tindakan pre-emtif ini, selain dilakukan oleh oleh aparat Polrestabes sendiri,
juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga agama, organisasi kepemudaan dan
lembaga-lembaga yang membidangi masalah perempuan.
BAB
V
Kesimpulan
& Saran
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis dalam bab
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa realisasi pemenuhan hak korban
kekerasan dalam rumah tangga khususnya pada pembantu rumah tangga belum
ter-realisasikan sesuai dengan Undang – Undang No 24 tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dimana dalam Undang – Undang tersebut pembantu
rumah tangga yang menjadi korban kekerasan mempunyai hak untuk mendapatkan
perlindungan baik secara jasmani maupun rohani tetapi pada kenyataannya,
menurut narasumber penulis bapak Irawan selaku penyidik di polres sleman
mengatakan bahwa upaya pemenuhan hak korban belum terrealisasikan karena pada
faktanya sebagian besar tidak ada kasus yang ditanganinya naik ke pengadilan,
tetapi diselesaikan secara kekeluargaan karena narasumber penulis mengatakan
tujuan si pelapor hanyalah memberikan efek jera kepada si pelaku agar tidak
mengulanginya lagi.
B.
Saran
1. Untuk memperjelas status pembantu rumah tangga maka
pemerintah harus mengkategorikan pembantu rumah tangga dalam Undang – Undang
tenaga kerja yaitu Undang – Undang No 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan
2.
Memberikan penyuluhan kepada masyarakat awam tentang
pemenuhan hak pembantu
DAFTAR PUSTAKA
A. Ghani Abdullah, Himpunan
Per-Undang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama,
( Jakarta : PT. Intermasa, 1991 ),
Cet Ke-1
Abdurrahman, KHI di
Indonesia, ( Jakarta : Akademika Pressindo, 2004 ), Edisi Pertama
Fathul Djannah, dkk, Kekerasan
Terhadap Isteri, ( Yogyakarta : LKIS ), Jurnal
Perempuan, Hukum itu Seksi ? edisi ke- 10 Februari – April 1999,
Moerti Hadiati Soeroso,
2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis Viktimologis, Sinar
Grafika, Jakarta,
A.Patra M.Zen,Panduan Bantuan Hukum di Indonesia :Pedoman
anda memahami
dan menyelesaikan masalah hukum (Jakarta
:YBHI,2007)
Ester Solang, “4 Bentuk kekerasan yang termasuk KDRT”,
Dr.Hj. Fathul Djannah,
S.H. M.S, et. al, Kekerasan terhadap
isteri (Yogyakarta : Lkis, 2002)
Nunuk
P. Murniati, Getar Gender,
Magelang : IndonesiaTera, 2004,
Sheila J. Vedebek, Keperawatan
Jiwa, Jakarta: EGC, 2008,
[1] A. Ghani Abdullah, Himpunan
Per-Undang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, ( Jakarta : PT.
Intermasa, 1991 ), Cet Ke-1 h. 187.
[2] Abdurrahman, KHI di Indonesia, (
Jakarta : Akademika Pressindo, 2004 ), Edisi Pertama h. 144.
[3]
Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, ( Yogyakarta : LKIS ),
h. 2.
[5] Moerti
Hadiati Soeroso, 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis,
Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 61.
[9] Ester
Solang, “4 Bentuk kekerasan yang termasuk
KDRT”, http://female.kompas.com/read/2014/10/12/230000220/4.Jenis.Kekerasan.yang.Termasuk.KDRT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar