Rabu, 27 Juli 2016

Analisis Perlindungan Merek Sebagai Hak Kekayaan Intelektual Berbentuk Intangible Assets (Harta Tidak Berwujud)






 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang baik bukan saja memerlukan peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang tepat, tetapi perlu pula didukung oleh administrasi, penegakan hukum serta program sosialisasi yang optimal tentang hak kekayaan intelektual.
Secara institusional, pada saat ini telah ada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual yang tugas dan fungsi utamanya adalah menyelenggarakan administrasi hak cipta paten, merek, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (semula disebut Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek) dibentuk pada  thaun 1998. Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat, baik yang berasal dari dunia industri dan perdagangan, maupun dari institusi yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan.
Di Indonesia, sistem perlindungan merek telah dimulai sejak tahun 1961, sistem perlindungan hak cipta dimulai sejak tahun 1982, sedangkan sistem paten baru dimulai sejak tahun 1991. Sebelum disempurnakan melalui peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pada tahun 2001, beberapa waktu yang lalu (tahun 1997) terhadap ketiga peraturan perundang-undangan tersebut telah dilakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan Persetujuan TRIPS (Trade Related aspects of Intellectual Property Rights).[1]
Fungsi merek sebagai tanda pembeda menjadi sangat penting seiring dengan berkembangnya persaingan usaha saat ini, agar merek yang digunakan dapat membedakan satu produk dengan produk lainnya, baik sejenis maupun tidak sejenis dalam perdagangan barang atau jasa. Dengan adanya merek dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa, maka dapat mencegah terjadinya persamaan merek yang dapat menimbulkan sengketa terhadap produk.
Fungsi merek selain sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi, yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama, atau badan hukum secara bersama-sama juga berfungsi sebagai alat promosi, sehingga promosi barang atau jasa terhadap merek produksinya dapat memberikan pengaruh terhadap konsumen untuk menggunakan merek tertentu.
Untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap suatu merek tertentu, maka pemilik merek harus mendaftarkan mereknya terlebih dahulu pada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut Ditjen HKI) karena Indonesia memberikan perlindungan hukum pada hak atas merek terdaftar.
Pemilik yang mendaftarkan mereknya akan mendapatkan sertifikat hak atas merek dan pemilik hak merek dapat mempertahankan haknya terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU Merek yang menyebutkan bahwa perlindungan hak atas merek terdaftar diberikan selama sepuluh tahun dihitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang.
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Merek baru No. 15 tahun 2001 pada tanggal 1 Agustus 201. Sebelumnya, Merek dilindungi berdasarkan Undang-Undang No.14 tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 19 tahun 1992 tentang Merek. Undang-undang No. 15 tahun 2001 sebagai pengganti Undang-undang No. 14 tahun 1997 juncto Undang-undang No. 19 tahun 1992 menganut sistem konstitutif  (first to file)  yang menggantikan sistem deklaratif (first to use) yang pertama kali dianut oleh Undang-undang  No.21 tahun 1961 tentanh Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. [2]
Menurut Undang-undang No.21 tahun 1961, siapa yang pertama-tama memakai suatu Merek di dalam wilayah Indonesia dianggap sebagai pihak yang berhak atas Merek yang bersangkutan.
Tentang Merek (selanjutnya disingkat UU Merek) dengan tujuan untuk memberi perlindungan terhadap pemilik merek. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa (Pasal 1 Angka 1 UU Merek).
Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Dalam praktek perdagangan, banyak praktek penggunaan merek yang tidak dilandasi dengan itikad baik yang dapat menimbulkan konflik antara pengusaha yang satu dengan pengusaha yang lainnya. Bagi merek yang sudah terdaftar, dapat dimintakan pembatalan merek dan penghapusan merek; sedangkan bagi yang belum terdaftar, dapat dilakukan upaya hukum perdata terhadap pengusaha yang berusaha menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar.

1.2  Identifikasi Masalah
1.      Bagaimanakah mekanisme merek sebagai Intangible Asset ?
2.      Bagaimanakah mekanisme Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia ?
3.      Bagaimanakah bentuk Perlindungan Negara terhadap Merek di Indonesia ?




BAB II
PEMBAHASAN
2.1  INTANGIBLE ASSETS
2.1.1        Pengertian Intangible Assets
Intangible Assets atau Aktiva Tidak Berwujud menurut Djarwanto (2004:28)[3] adalah jenis-jenis kekayaan dalam bentuk hak-hak yang dimiliki perusahaan. Hak ini diberikan kepada penemunya, penciptanya, atau penerimanya. Pemilikan hak ini dapat karena menemukan sendiri atau diperoleh dengan jalan membeli dari penemunya. Dimana hak-hak ini dilindungi oleh undang-undang.
Merek sebagai hak tidak berwujud memiliki reputasi “keterkenalan“ (public reputation)[4] masing-masing. Dimana public reputation itu sendiri berfungsi sebagai hak sekaligus harta yang tidak terlihat (intangible). Menurut Harahap (1996:81) berdasarkan reputasi (reputation) dan kemashuran (renown) suatu merek, merek dapat dibedakan dalam tiga jenis yaitu:
1.      Merek biasa (normal marks).
2.      Merek terkenal (well know marks) dan
3.      Merek termashur (famous marks).
Merek biasa adalah merek yang tergolong tidak memiliki reputasi tinggi, merek yang berderajat biasa ini dianggap kurang memberikan pancaran simbolis gaya hidup baik dari segi pemakaian dan teknologi, masyarakat konsumen melihat merek tersebut kualitasnya rendah. Merek semacam ini juga dianggap tidak memiliki drawing power yang mampu memberi sentuhan keakraban dan kekuatan mitos (mythical power) yang sugesti kepada masyarakat konsumen dan tidak mampu membentuk lapisan pasar dan pemakai (Harahap, 1996:80).[5]
Di atas merek biasa adalah merek terkenal adalah merek yang memiliki reputasi tinggi, karena memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik, sehingga jenis barang apa saja yang berada di bawah merek itu lanToyotaung menimbulkan sentuhan keakraban (familiar attachement) dan ikatan mitos (mythical contex) kepada segala lapisan konsumen (Harahap, 1996:82). [6]
Merek termashur yaitu merek yang karena perkembangannya telah dikenal secara luas di seluruh dunia, dan memiliki reputasi yang dapat digolongkan sebagai merek “aristokrat dunia” (Harahap, 1996:85).[7]
Merek dagang sebagai hak kekayaan tidak berwujud ini, menurut Rangkuti (2002:2) dapat dibagi dalam empat kelompok yaitu:
1.      Brand name (nama merek) yang merupakan bagian daripada yang dapat diucapkan misal Pepsodent merek dari pasta gigi dan Toyota merek dari mobil.
2.      Brand mark (tanda merek yang merupakan sebagian dari merek yang dapat dikenali namun tidak dapat diucapkan seperti lambang, desain, huruf atau warna khusus, misal Tiga Berlian Mitsubishi, Ferarri dengan kuda jingkrak.
3.      Trade mark (tanda merek dagang) yang merupakan merek atau sebagian dari merek yang dilindungi hukum karena kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu yang istimewa. Tanda dagang ini melindungi penjual dengan hak istimewanya untuk menggunakan nama merek.
4.      Copyright (hak cipta) yang merupakan hak istimewa yang dilindung i oleh undang-undang untuk memproduksi, menerbitkan dan menjual karya tulis, karya musik atau karya seni.

2.1.2        Jenis-jenis aktiva tak berwujud
Menurut Jumingan (2006:17) aktiva dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yaitu Aktiva Lancar, Investasi Jangka Panjang, Aktiva Tetap, Aktiva Tidak Berwujud, Beban Biaya yang Ditangguhkan, Aktiva Tidak Lancar Lainnya. Dimana yang termasuk tidak berwujud (Intangible) adalah :
1.        Hak Cipta (Copyright) - berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta: ''Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.''
2.        Paten (Patent) - berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten: ''Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.'' Berbeda dengan hak cipta yang melindungi sebuah karya, paten melindungi sebuah ide, bukan ekspresi dari ide tersebut. Pada hak cipta, seseorang lain berhak membuat karya lain yang fungsinya sama asalkan tidak dibuat berdasarkan karya orang lain yang memiliki hak cipta. Sedangkan pada paten, seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah karya yang cara bekerjanya sama dengan sebuah ide yang dipatenkan.
3.        Merk Dagang (Trademark) - berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek: “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf¬huruf, angka¬angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur¬unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.'' Contoh: Kacang Atom cap “Ayam Jantan”.
4.        Rahasia Dagang (Trade Secret) - menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang: ''Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis.'' Contoh: rahasia dari formula Parfum.
5.        Service Mark - adalah “kata, prase, logo, simbol, warna, suara, bau yang  digunakan oleh sebuah bisnis untuk mengindentifikasi sebuah layanan dan membedakannya dari kompetitornya. Pada prakteknya perlindungan hukum untuk merek dagang sedang service mark untuk identitasnya.  Contoh: “Pegadaian: menyelesaikan masalah tanpa masalah”.


2.2  MEREK
2.2.1        Pengertian Merek
Pengertian merek di antara negara peserta Uni Paris memiliki persepsi yang hampir mirip. Hal ini dikarenakan mereka mengacu pada ketentuan Konvensi Paris tentang definisi merek.
Selanjutnya negara-negara berkembang, mengadopsi pengertian merek dari model hukum tersebut untuk dikembangkan (Djumhana & Djubaidillah, 1997:155).[8]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 jo Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, merek adalah: “tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 1 ayat 1 tentang Merek, merek adalah: “tanda yang berupa gambar, nama, huruf-huruf, angka-­angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.”
Kamus Besar Bahasa Indonesia, memberikan pengertian merek sebagai tanda yang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dan sebagainya) pada barang-barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal. Cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya. Bermerek dapat diasumsikan bercap, bertanda dan sebagainya. (Poerwadarminta, 1991:649)[9].
Harsono Adisumarto, merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain, seperti pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi yang kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan bersama yang luas. Cap seperti itu memang merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik orang tertentu. Biasanya untuk membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari nama pemilik sendiri sebagai tanda pembedaan. (Adisumarto, 1990:44)[10]
Tirtaamidjaya, suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu tanda yang dibubuhkan di atas barang atau di atas bungkusannya, gunanya membedakan barang itu dengan barang-barang yang sejenis lainnya. (Saidin, 2002:344)[11]
HMN Purwosutjipto, merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis. (Purwosutjipto, 184:82)[12]
Mellisa Ung a trademark can be a “any word, name, symbol, or device, or any combination there of used by a person to identify and distinguish his or her goods, including a unique product, from those manufactured or sold by others and to indicate the source of the goods, even if that source is unknown. (Ung, 2008:4)[13].
Dari pengertian-pengertian tersebut, Saidin (2002:345)[14] mengambil suatu kesimpulan bahwa yang diartikan dengan perkataan merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Rangkuti (2002:36)[15] menyebutkan bahwa pemberian nama atau merek pada suatu produk hendaknya tidak hanya suatu simbol, karena merek memiliki enam tingkat pengertian:
 1)      Atribut
Setiap merek memiliki atribut. Atribut ini perlu dikelola dan diciptakan agar pelanggan dapat mengetahui dengan pasti atribut-atribut apa saja yang terkandung di dalam suatu merek.
2)      Manfaat
Selain atribut, merek juga memiliki serangkaian manfaat. Konsumen tidak hanya membeli atribut tapi juga membeli manfaat.
3)      Nilai
Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai bagi produsen. Merek yang memiliki nilai tinggi akan dihargai konsumen sebagai merek berkelas, sehingga dapat mencerminkan siapa pengguna merek tersebut.
4)      Budaya
Merek juga mewakili budaya tertentu. Misalnya Mercedez mewakili budaya Jerman yang terorganisasi dengan baik, memiliki cara kerja yang efisien dan selalu menghasilkan produk yang berkualitas.
5)      Kepribadian
Merek juga memiliki kepribad ian yaitu kepribadian bagi para penggunanya. Jadi diharapkan dengan menggunakan merek, kepribadian si pengguna akan tercermin bersamaan dengan merek yang digunakan.
6)      Pemakai
Merek juga menunjukkan jenis konsumen pemakai merek tersebut. Itulah sebabnya para pemasar selalu menggunakan analogi orang-orang terkenal untuk penggunaan mereknya.

2.2.2        Jenis Merek
Jenis merek dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, merek dagang, yaitu merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan barang dengan sejenis lainnya.
Kedua merek jasa, yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan jasa-jasa lainnya yang sejenis.
Dengan melihat arti kata merek dan obyek yang dilindungi maka merek digunakan untuk membedakan barang atau jasa produksi satu perusahaan dengan barang atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis.
Merek merupakan tanda pengenal asal barang dan jasa sekaligus menghubungkan barang dan jasa yang bersangkutan dengan produsennya, maka hal itu menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya tersebut sewaktu diperdagangkan.
Suatu merek dapat diterima sebagai merek atau cap dagang, syarat mutlak daripadanya ialah bahwa merek itu harus mempunyai daya pembeda yang cukup. Dengan kata lain, tanda yang dipakai (sign) haruslah sedemikian rupa sehingga mempunyai cukup kekuatan untuk membedakan barang hasil produksi sesuatu perusahaan atau barang perniagaan dari seseorang dari barang­barang orang lain (Gautama, 1977:33)[16].

2.2.3        Merek sebagai Hak Milik
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang  pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan (Pasal 570 KUHPerdata).[17]
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, yaitu: “Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk menggunakannya”.
Hak atas merek dapat diperoleh melalui dua sistem:
a.       Sistem deklaratif (first to use), yaitu bahwa pemakaian pertamalah yang berlaku untuk menentukan terciptanya suatu hak atas merek.
b.      Sistem konstitutif atau atributif (first to files), yaitu sistem yang mengatur bahwa hak atas merek akan tercipta karena pendaftarannya oleh orang yang telah mendaftarkan mereknya, maka dialah satu-satunya yang berhak atas sesuatu merek. (Gautama dan Rizawanto, 1997:83)[18]
Selain kedua sistem tersebut, yang mendasarkan hak atas merek timbul karena pemakaian pertama dan karena adanya suatu pendaftaran merek, ada pula yang merupakan sistem campuran dari kedua sistem tersebut, yaitu hak atas merek tercipta karena pemakaian pertama tetapi cara mempertahankan dari pihak ketiga, baik dari segi perdata maupun pidana harus didaftarkan. (Gautama, 1977:39)[19].
Hak khusus memakai merek ini sebagai suatu monopoli, hanya berlaku untuk suatu barang atau jasa tertentu. Oleh karena suatu merek memberi hak khusus atau hak mutlak pada yang bersangkutan maka hak itu dapat dipertahankan terhadap siapapun. Hak atas merek diberikan kepada pemilik merek yang beritikad baik.
Pemakaiannya meliputi pula barang ataupun jasa. Dengan demikian, menurut Gautama (1977:10)[20] yang berhak atas merek adalah orang yang mempunyai barang-barang tersebut, karena ia memiliki sesuatu perusahaan yang menghasilkan barang itu (pabrik) dan suatu perusahaan dagang, suatu badan usaha yang memperdagangkan barang-barang dengan merek bersangkutan.
Merek sebagai hak milik dapat dialihtangankan baik melalui pewarisan, hibah, wasiat maupun dengan cara perjanjian dalam bentuk akta notaris atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang. Pengalihan hak merek dapat dilakukan kepada perorangan maupun kepada badan hukum.
Walaupun sistem Undang-Undang Merek yang terdahulu telah mengikuti sistem ”prinsip pemakai pertama”, namun dalam kenyataannya prinsip yang digunakan berbeda. Hal ini disebabkan pendaftaran suatu merek dagang berarti bahwa pendaftar memiliki hak-hak khusus, maka telah dipergunakan oleh beberapa perusahaan untuk mengajukan merek dagang asing yang dikenal.
Beberapa merek dagang asing terkenal dimaksudkan untuk digunakan oleh pendaftar sendiri atau untuk dijual kepada perusahaan dalam negeri atau asing, sehingga pemilik asli merek dagang terkenal tersebut untuk memakainya sendiri bila ingin menembus ke pasar Indonesia. Dalam keadaan demikian pemilik asli merek dagang tersebut tidak dapat mempergunakan merek dagang tersebut, karena perusahaan lain telah mendaftarkannya dan mempunyai hak atas pendaftaran merek dagang tersebut lebih dahulu, sehingga ia dapat melarang pihak lain menggunakan merek dagang tersebut tanpa ijinnya.
Selain itu, Kantor Merek tidak akan dapat menerima dan akan menolak permohonan yang diajukan kemudian atas merek dagang yang sama walaupun pemohon adalah pemilik sendiri dari merek dagang, karena merek dagang tersebut telah didaftar terlebih dahulu oleh orang lain

2.2.4        Pendaftaran Merek
Pendaftaran merek dipandang sebagai upaya untuk memperoleh bukti atas hak kepemilikan merek yang didaftar, hal ini bukan berarti merek yang tidak didaftarkan secara formil akan dilarang peredarannya. Namun dalam pemahaman subyektifitas pendaftaran merek dimaksudkan untuk memberikan hak milik intelektual kepada pendaftar atas merek untuk kepentingan pembuktian hak atas merek tersebut apabila nanti dikemudian hari terjadi sengketa. Jadi pendaftaran merek pada hakekatnya merupakan upaya pemilik merek supaya dia dikenal sebagai pemilik atas merek yang didaftarkan, mendapatkan perlindungan atas merek yang didaftarkan tersebut dan nanti dikemudian hari memungkinkan mereknya akan menjadi merek terkenal.
Selama ini upaya perlindungan merek yang belum terdaftar secara formil dan yang banyak dihasilkan home industri perlindungannya hanya sebatas pada adanya suau temuan dalam sidang untuk menentukan ada tidaknya itikad baik dari pemilik merek yang belum terdaftar tersebut. Selama diketahui itikad baik itu ada merek tetap dapat diperdagangkan namun dalam suatu lokasi tertentu saja. Perlindungan hukum hak atas kekayaan intelektual, di Indonesia, dibidang merek dimulai dengan pendaftaran atas merek tersebut, terhadap merek yang tidak didaftarkan, dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa sepanjang suatu merek belum didaftarkan secara formil maka terhadapnya tidak ada perlindungan hukum yang diberikan.
Untuk dapat mengajukan pendaftaran atas sebuah merek, maka setiap pemohon harus memenuhi persyaratan dan tata cara permohonan serta lampiran yang harus dipenuhi dalam setiap pengajuan permohonan pendaftaran merek. Hal ini diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Merek yang memberikan penjelasan sebagai berikut :
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan mencantumkan: tanggal, bulan, dan tahun; nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon; nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna; nama negara dan tanggal permintaan merek  yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas. Permohonan ditandatangani Pemohon atau kuasanya; dalam hal ini, pemohon dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.
Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya. Dalam hal  permohonan diajukan oleh lebih dari satu pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka.  Dalam hal permohonan tersebut ditandatangani oleh satah satu dari pemohon yang berhak atas merek tersebut, maka harus melampirkan persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan. Dalam hal permohonan diajukan melalui kuasanya, surat kuasa itu untuk ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas merek tersebut.
Kuasa yang dimaksud adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden. Terhadap surat permohonan pendaftaran merek perlu dilampiri dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang dilegalisasi, bagi pemohon yang berasal dari luar negeri sesuai dengan ketentuan undang-undang harus memilih tempat kedudukan di Indonesia, biasanya dipilih pada alamat kuasa hukumnya; fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh notaris apabila permohonan diajukan atas nama badan hukum; fotokopi akta peraturan pemilikan bersama apabila permohonan diajukan atas nama lebih dari satu orang (merek kolektif); surat kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran dikuasakan; tanda pembayaran biaya permohonan; 20 (dua puluh) helai tiket merek ukuran maksimal 9 x 9 cm, minimal 2 x 2 cm; surat pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftaran tersebut adalah miliknya.
Proses pendaftaran merek yang dikenal dalam Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001 yang pertama adalah Pemeriksaan Formalitas. Hal ini diatur di dalam Pasal 13, 14, 15, 16, dan 17 Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001. Kedua adalah Pemeriksaan Substantif. Pengertian dari pemeriksaan substantif adalah pemeriksaan terhadap merek yang dimohonkan pendaftarannya. Pemeriksaan ini selanjutnya akan menentukan apakah suatu permohonan pendaftaran merek dapat diterima ataupun ditolak berdasarkan ketentuan Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 undang-Undang Merek.Ketiga adalah Pengumuman Permohonan. Hal ini diatur di dalam Pasal 21, 22, 24, 25, dan 26 Undang Undang Merek. Sepuluh hari setelah pemeriksaan substantif berakhir, maka terhadap pendaftaran merek yang telah mendapatkan persetujuan untuk didaftar, maka akan dilakukan pengumuman selama 3 (tiga) bulan. Dalam masa pengumuman ini jika ada pihak yang merasa keberatan atas permohonan pendaftaran tersebut, maka dapat mengajukan mekanisme keberatan. Kepada pemohon merek yang menerima keberatan dapat menyampaikan sanggahan dalam waktu 2 (dua) bulan sejak menerima keberatan tersebut.
Keempat adalah Penerbitan Sertifikat. Jika terhadap permohonan pendaftaran merek yang telah melampaui masa pengumuman, kemudian tidak diajukan keberatan ataupun pemeriksaan kembali atas keberatan tersebut, maka dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu pengumuman atau pemeriksaan tersebut maka Direktorat Jenderal HKI berhak menerbitkan sertifikat merek kepada pemohon/kuasanya seperti yang diatur di dalam Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Merek.

2.3  HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)
2.3.1        Pengertian Hak Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intelektual (H.K.I.) merupakan terjemahan dari Intellectual Property Rights (IPR). Istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci yaitu: “Hak”, “Kekayaan”, “Intelektual”. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Sedangkan “Kekayaan Intelektual” merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Terakhir “Hak atas Kekayaan Intelektual” (HKI) merupakan hak-hak (wewenang / kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas Kekayaan Intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku. “Hak” itu sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang pertama “Hak Dasar (Azasi)”, yang merupakan hak mutlak yang tidak dapat diganggugugat. Misalnya, hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keadilan, dan sebagainya. Kedua “Hak Amanat / Peraturan”, sehingga masyarakatlah yang menentukan, seberapa besar HKI yang diberikan kepada individu dan kelompok. Sesuai dengan hakekatnya pula, HKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible).
Terlihat bahwa HKI merupakan Hak Pemberian dari Umum (Publik) yang dijamin oleh Undang-undang. HKI bukan merupakan hak azasi, sehingga kriteria pemberian HKI merupakan hal yang dapat diperdebatkan oleh publik. Dari hal uraian di atas bisa disimpulkan HKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis.

2.3.2        Konsepsi dan Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Pembahasan  mengenai  merek  dan  hukum  merek  tidak  bisa  lepaskan  dari persoalan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Oleh karenanya dalam konteks ini perlu diuraikan pengertian, konsepsi dan pengaturan Hak Kekayaan Intelektual. Dari istilah Hak Kekayaan intelektual, paling tidak ada tiga kata kunci dari istilah tersebut, yaitu : Hak, kekayaan dan intelektual. Hak adalah milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu ( karena telah ditentukan oleh undang-undang ), atau wewenang yang digariskan menurut hukum. Adapun kekayaan adalah prihal yang ( bersifat, ciri ) kaya, harta yang menjadi milik orang, kekuasaan. Intelektual adalah cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, atau yang mempunyai kecerdasan tinggi, cendekiawan,  atau  totalitas  pengertian  atau  kesadaran  terutama  yang  menyangkut pemikiran dan pemahaman. Jadi, kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya ini dihasilkan atas kemampuan intelektual melalui pemikiran, daya cipta dan rasa yang memerlukan curahan tenaga, waktu dan biaya untuk memperoleh "produk" baru dengan landasan kegiatan penelitian atau yang sejenis.
Dengan landasan berfikir demikian maka bisa dipahami bahwa, Hak kekayaan Intektual adalah hak kebendaan, hak atas suatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio manusia.[21] Hak Kekayaan Intelektual sendiri merupakan terjemahan dari Intellectual Property Rights (IPR), istilah tersebut juga dipakai oleh Organisasi Internasional  yang mewadahi bidang H.K.I.  yaitu WIPO (World Intellectual Property Organization).[22] Jill McKeough dan Andrew Stewart memberikan definisi HKI sebagai berikut; Intellectual property is a generic term for the various right or bundles of rights which the law accords for the protection of creative effort or more, especially, for the protection of economic investments in creative effort.[23]  Dari definisi ini dapat dipahami bahwa HKI pada dasarnya adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan hak yang dilindungi hukum dalam konteks perlindungan ekonomis.
Dalam prakteknya di Indonesia, pada awalnya Intelectual Property Rights diterjemahkan dengan  hak  milik  intelektual,  namun  kemudian  pada  pada  tahun  2004  dengan  disahkannya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, istilah tersebut diterjemahkan dengan hak kekayaan intelektual.
Secara  prinsipil,  Hak Kekayaan  Intelektual  ada  agar  dapat  melindungi  ciptaan  serta invensi seseorang dari penggunaan atau peniruan yang dilakukan oleh pihak lain tanpa izin.[24]
Karya-karya intelektual tersebut baik di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra, maupun teknologi dilahirkan dengan mengorbankan tenaga, waktu, bahkan biaya yang tidak sedikit. Sehingga, perlindungan  yang  diberikan  dalam HKI akan  menjadikan  sebuah  insentif  bagi  pencipta  dan inventor.
Perlindungan hukum terhadap merek dibutuhkan karena 3 (tiga) hal yaitu pertama untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi para penemu merek, pemilik merek, atau pemegang hak merek; yang kedua adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan atas Hak Merek sehingga keadilan hukum dapat diberikan kepada pihak yang berhak; dan yang ketiga adalah untuk memberi manfaaat kepada masyarakat agar masyarakat lebih terdorong untuk membuat dan mengurus pendaftaran merek usaha mereka.[25]
Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar mutlak diberikan oleh pemerintah kepada pemegang dan pemakai hak atas merek untuk menjamin kepastian berusaha bagi para produsen; dan menarik investor bagi merek dagang asing, sedangkan perlindungan hukum yang diberikan kepda merek dagang lokal diharapkan agar pada suatu saat dapat berkembang secara meluas di dunia internasional.
Perlindungan hukum menurut Hadjon meliputi 2 (dua) macam perlindungan. Pertama adalah  perlindungan hukum preventif, dimana kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Kedua adalah perlindungan hukum represif, dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa. Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila.[26]
Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa sedangkan sebaliknya hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan-tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.[27]

2.3.3        Perlindungan Pemegang Hak Atas Merek Secara Preventif
A.    Sistem Pemeriksaan Pendaftaran Merek
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 bahwa proses pendaftaran merek meliputi beberapa tahap dengan cara yaitu: pemeriksaan formalitas, pemeriksaan substantif, pengumuman permohonan dan penerbitan sertifikat.
a)      Pemeriksaan Formalitas
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memeriksa seluruh kelengkapan permohonan. Adapun jangka waktu pemeriksaan formalitas ini adalah 30 hari khususnya terhadap permohonan yang sudah lengkap akan diberikan tanggal penerimaan permohonan (filling date) sedangkan terhadap permohonan yang belum lengkap akan disurati untuk memenuhi kelengkapan permohonan dimaksud. Adapun jangka waktu pemenuhan kelengkapan permohonan dimaksud ditetapkan 2 (dua) bulan sejak tanggal pengiriman surat tersebut. Pada prinsipnya bahwa tanggal pemenuhan kelengkapan adalah merupakan tanggal penerimaan permohonan (filling date). Namun demikian apabila pemohon dengan jangka waktu yang telah ditentukan di atas tidak memenuhi kelengkapan tersebut, maka permohonan dianggap ditarik kembali atas segala biaya yang telah dibayarkan tidak dapat kembali artinya biaya tersebut hilang. Selanjutnya untuk pemeriksaan formalitas dalam pendaftaran merek telah diatur secara rinci dalam Pasal 13, 14, 15, 16 dan 17 Undang­Undang Merek.
b)     Pemeriksaan Substantif
Yang dimaksud dengan pemeriksaan substantif adalah pemeriksaan terhadap merek yang dimohonkan pendaftarannya, maka dengan pemeriksaan ini akan ditentukan apakah suatu permohonan pendaftaran merek dapat diterima ataupun ditolak berdasarkan ketentuan Pasal 4, Pasal 5 atau Pasal 6 Undang -Undang Merek. Adapun lamanya pemeriksaan substantif diselesaikan dalam waktu paling lama 9 (sembilan) bulan sesuai dengan maksud Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Merek.
c)      Pengumuman Permohonan
Dalam jangka waktu paling lama 10 hari setelah berakhirnya pemeriksaan substantif, terhadap permohonan pendaftaran merek yang telah disetujui untuk didaftar akan dilakukan pengumuman selama 3 (tiga) bulan. Sedangkan dalam masa pengumuman bagi setiap pihak yang berkeberatan atas permohonan pendaftaran merek tersebut secara hukum dapat mengajukan keberatan. Karena Undang­Undang Merek pada dasarnya menjamin kepada pemohon merek yang menerima keberatan dan selanjutnya hal ini dapat menyampaikan sanggahan dalam waktu 2 (dua) bulan sejak menerima keberatan tersebut. Pada prinsipnya menurut Undang - Undang Merek baik terhadap keberatan maupun sanggahan tersebut akan dijadikan bahan dalam pemeriksaan. Namun untuk memperjelas pengaturan terhadap permohonan pendaftaran merek maka secara rinci diatur dalam Pasal 21, 22, 24, 25 dan 26 Undang-Undang Merek.
d)     Penerbitan Sertifikasi
Terhadap permohonan pendaftaran merek yang telah melampaui masa pengumuman dan tidak pula terdapat keberatan ataupun dilakukan pemeriksaan kembali atas keberatan tersebut maka dalam waktu paling lama 30 hari sejak berakhirnya jangka waktu pengumuman atau pemeriksaan tersebut maka Direktorat Jenderal berdasarkan Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Merek berhak menerbitkan atau memberikan sertifikat merek kepada Pemohon atau kuasanya dan hal ini dipertegas dengan Pasal 27 ayat 3 Undang­Undang Merek. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan Sertifikat Merek adalah merupakan tanda bukti hak atas merek tersebut.
Berkaitan dengan permasalahan pendaftaran merek berdasarkan Undang-Undang Merek maka setiap pemohon harus memperhatikan syarat dan tata cara permohonan serta lampiran yang harus dipenuhi dalam setiap pengajuan permohonan pendaftaran merek tersebut, yang diatur secara rinci dalam Pasal 7 Undang-Undang Merek selengkapnya sebagai berikut:
a)      Mengajukan permohonan pendaftaran dalam rangkap 4 (empat) yang diketik dalam bahasa Indonesia pada blanko formulir permohonan yang telah disediakan dan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasa, yang berisi:
-          Tanggal, bulan dan tahun permohonan.
-          Nama lengkap, kewarganegaraan dan alamat pemohon.
-          Nama lengkap dan alamat kuasa, apabila permohonan diajukan melalui kuasa.
-          Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna.
-          Nama negara dan tanggal permintaan pendaftaran merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak atas prioritas.
b)      Surat permohonan pendaftaran merek perlu dilampiri dengan:
-          Fotocopy KTP yang dilegalisir, bagi pemohon yang berasal dari luar negeri sesuai dengan ketentuan undang-undang harus memilih tempat kedudukan di Indonesia, biasanya dipilih pada alamat kuasa hukumnya.
-          Fotocopy akte pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh
notaris apabila permohonan diajukan atas nama badan hukum.
-          Fotocopy akte peraturan pemilikan bersama apabila permohonan diajukan atas nama lebih dari satu orang (merek kolektif).
-          Surat kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran dikuasakan.
-          Tanda pembayaran biaya permohonan.
-          20 (dua puluh) helai tiket merek (ukuran maksimal 9x9 cm, minimal 2x2 cm).
-          Surat pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftaran tersebut adalah miliknya.

B.     Pengaturan Sistem Perlindungan Merek di Indonesia
Pengaturan internasional mengenai HKI adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pengaturan HKI Indonesia. Adapun standar HKI Internasional beserta Sistem Administrasi Internasional telah menjadi sebuah sumber yang penting bagi hukum HKI Indonesia, di samping itu telah memberikan sumbangan kepada sistem Administrasi HKI di Indonesia. Indonesia telah menjadi peserta aktif dalam pengembangan HKI Internasional, khususnya melalui keikutsertaannya sebagai negara peserta Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Organisasi HKI Dunia (WIPO).
Penerapan Persetujuan TRIPs selain mengacu pada standar normatif yang telah ditentukan, maka terhadap negara-negara anggota diharapkan dapat menerapkan prinsip-prinsip GATT yang menjadi dasar penerapan persetujuan tersebut, yaitu:
pertama prinsip national treatment (prinsip perlakuan nasional), yakni pemilik HKI asing harus diberi perlindungan yang sama dengan warga negara dari negara yang bersangkutan;
kedua, prinsip most favoured nation (MFN) yaitu prinsip negara-negara yang diuntungkan, atau non diskriminasi antara pemilik HKI asing dengan pemilik HKI dari negara yang bersangkutan atau negara lain, ketiga aspek transparansi, juga merupakan salah satu prinsip utama GATT dengan memaksakan negara anggota untuk lebih terbuka dalam ketentuan perundang-undangan dan pelaksanaan aturan nasional dalam bidang perlindungan hak atas kekayaan intelektual.
Sesungguhnya perundingan Putaran Uruguay menetapkan sebuah paket komprehensif yang meliputi aturan-aturan perdagangan dengan dibentuknya WTO (World Trade Organization) mulai 1 Januari 1995, yang mengatur pula mengenai cara perlindungan HKI.
Pada dasarnya TRIPs menganut asas kesesuaian penuh (full compliance) maksudnya bahwa negara-negara anggota harus membuat hukum nasionalnya sendiri mengenai HKI sesuai dengan ketentuan Persetujuan TRIPs. Mengingat bahwa Indonesia menjadi salah satu anggota WTO yang secara otomatis terikat pada TRIPs, hal seperti ini dapat diwujudkan dengan penyempurnaan berbagai ketentuan undang-undang mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Indonesia menganut sistem “pendaftaran pertama” dengan tambahan kata-kata “pendaftar pertama yang beritikad baik”. Sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Merek menyebutkan bahwa Pemohon yang beritikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain ataupun dapat menimbulkan kondisi persaingan tidak sehat yang mengcoh atau menyesatkan konsumen.
Dapat disimpulkan bahwa pendaftaran merek pada prinsipnya harus disertai dengan itikad baik, apabila dalam pendaftaran merek tidak disertai dengan itikad baik maka secara hukum permohonan tersebut dapat dibatalkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Merek Tahun 2001.

C.    Jangka Waktu Perlindungan
Undang-Undang Merek mengatur mengenai jangka waktu perlindungan Merek Terdaftar diatur dalam Pasal 28, 35, 36, 37 dan 38 yang isinya sebagai berikut:
1)      Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Merek menyebutkan bahwa Merek Terdaftar mendapat perlindungan hukum jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang.
2)      Adapun Pasal 35 Undang-Undang Merek mengatur perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek Terdaftar.
a)      Pemilik Merek terdaftar setiap kali dapat mengajukan permohonan perpanjangan untuk jangka waktu yang sama.
b)      Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis oleh pemilik merek atau kuasanya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi Merek Terdaftar tersebut.
c)      Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Direktorat Jenderal.
3)      Pasal 36 Undang-Undang Merek, permohonan perpanjangan disetujui apabila:
a)      Merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang tersebut barang atau jasa sebagaimana disebut dalam Sertifikat Merek.
b)      Barang atau jasa sebagai dimaksud dalam huruf a masih diproduksi dan diperdagangkan.
4)      Pasal 37 Undang-Undang Merek, mengatur mengenai:
a)      Permohonan perpanjangan ditolak oleh Direktorat Jenderal, apabila permohonan tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagai dimaksud dalam Pasal 35 dan 36 Undang -Undang Merek.
b)      Permohonan perpanjangan ditolak oleh Direktorat Jenderal, apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal orang lain, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) hurufb dan ayat (2) Undang-Undang Merek.
c)      Penolakan permohonan perpanjangan diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasannya.
d)     Keberatan terhadap penolakan permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diajukan kepada pengadilan Niaga.
e)      Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diajukan kasasi.
5)      Pasal 38 Undang-Undang Merek menyebutkan bahwa:
a)      Perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek Terdaftar dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
b)      Perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar diberitahukan secara tertulis kepada Pemilik Merek atau Kuasanya.

2.3.4        Perlindungan Hak Atas Merek Secara Represif
Pelanggaran terhadap merek dapat terjadi karena adanya pelanggaran terhadap hak-hak pemilik merek terdaftar baik yang mencoba ataupun yang melakukan tindakan meniru atau memalsukan merek-merek terkenal di masyarakat, tanpa harus memikirkan hak-hak orang lain yang hak-haknya telah dilindungi secara hukum.
Dengan adanya perbuatan yang melanggar hukum tersebut dapat dimasukkan juga pada pelanggaran norma-norma sopan santun, moral dan norma-norma sosial lainnya dalam lalu lintas perdagangan, yang menjurus pada persaingan curang untuk mendapatkan keuntungan pribadi secara mudah. Hal yang demikian dapat mengacaukan perekonomian dalam skala nasional dan skala lokal.
Sesungguhnya hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk menggunakan sendiri mereknya atau memberi ijin kepada pihak lain untuk mempergunakannya. Selanjutnya hak khusus tersebut memberi makna bahwa barang siapa mempergunakan hak atas merek tanpa seijinnya, berarti yang mempergunakan hak tersebut telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun maksud perbuatan penggunaan merek tanpa hak berarti pihak pelaku telah melakukan kesalahan yang dapat mengakibatkan pemilik merek kemungkinan menderita kerugian, sedangkan pihak konsumen dapat pula dirugikan karena adanya kesan seolah -olah barang tersebut seperti aslinya.
Pelanggaran terhadap hak khusus tersebut berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang Merek memberi peluang bagi pemilik merek terdaftar untuk dapat mengajukan gugatan atau tuntutan ganti kerugian kepada orang yang mempergunakan merek tanpa hak, bahkan tidak menutup kemungkinan bagi negara untuk mengajukan tuntutan tindak pidana atas merek, hal ini menurut Noegroho Amin bahwa penggunaan merek tanpa hak dapat termasuk perbuatan melawan hukum dan dapat juga termasuk perbuatan pidana yaitu sebagai berikut:

A.    Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan yang dilakukan untuk maksud tertentu, dengan cara melanggar kepatutan ataupun itikad yang tidak dapat dibenarkan oleh orang banyak. Perbuatan melawan hukum dengan perbuatan pidana memiliki persamaan yaitu perbuatan tersebut melanggar larangan yang ada. Setiawan (1982:5)[28] memberikan perbedaan yaitu menurut hukum pidana perbuatan tersebut menyangkut ketertiban umum, sedangkan perbuatan melawan hukum bertujuan melindungi kepentingan-kepentingan individu dan hanya sekedar menyinggung ketertiban umum.
Adapun penggunaan merek terdaftar tanpa seijin pemiliknya berarti telah mempergunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya ataupun pada keseluruhannya pada merek terdaftar tanpa hak, maka perbuatan tersebut bertentangan dengan Pasal 3 Undang­-Undang Merek yaitu: ”Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk mempergunakannya.”
Terhadap pemilik merek terdaftar, yang mereknya dipergunakan pihak lain tanpa seijinnya, berarti penggunaan merek tersebut dilakukan tanpa hak, sehingga pemilik merek dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang Merek.

B.     Perbuatan Pidana
Penggunaan merek terdaftar tanpa seijin pemilik merek, berarti penggunaan dengan melakukan suatu perbuatan atau yang dilarang oleh suatu peraturan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Merek, yaitu pada intinya mengatur bahwa yang dapat mempergunakan merek terdaftar adalah pemilik merek atau orang lain yang diberi ijin untuk mempergunakannya, dan selanjutnya perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi pemiliknya atau karena adanya perbuatan melawan hukum dan perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan orang banyak, yaitu karena perbuatan pidana.
Menurut Moelyatno (2000:38)[29], yang dimaksud perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu.Jadi penggunaan merek terdaftar tanpa seijin pemilik merek berarti telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang maka pemilik merek wajib dilindungi secara hukum berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Merek. Adapun perbuatan tersebut menurut Pasal 90 Undang-Undang Merek diancam dengan hukuman pidana, namun secara tegas ketentuan ini mengatur bahwa perbuatan yang dilarang itu adalah perbuatan/menggunakan merek yang sama dengan pokok atau pada keseluruhannya tanpa seijin pemiliknya. Akibat perbuatan tersebut dapat menimbulkan kesan bahwa barang tersebut sama dengan merek terdaftar sehingga dapat menimbulkan kekeliruan khalayak ramai dalam pergaulan perniagaan. Seharusnya perbuatan tersebut dilarang karena menurut Pasal 90 Undang-Undang Merek bahwa perbuatan penggunaan merek terdaftar tanpa seijin pemilik merek merupakan kejahatan.
Dapat disimpulkan bahwa larangan-larangan penggunaan merek terdaftar diatur dalam Pasal 90, 91, 92, 93 Undang-Undang Merek juga meliputi larangan untuk memperdagangkan barang atau jasa yang patut diketahui barang-barang tersebut menggunakan merek orang lain tanpa hak. Larangan ini diatur dalam Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang Merek dan selanjutnya menurut Pasal 94 ayat (2) menyatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk tindak pidana pelanggaran.

D.    Sanksi Atas Pelanggaran Merek
Ketentuan mengenai sanksi bagi pelanggar hak merek orang lain dapat bersifat perdata, pidana ataupun administrasi bahkan dapat juga tindakan pencegahan yang sifatnya non yuridis.
a)      Penanganan Melalui Hukum Perdata
Pemakaian merek tanpa hak dapat digugat berdasarkan perbuatan melawan hukum, yang didasarkan pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan ”Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Dalam Hukum Perdata, pihak yang dirugikan dapat melakukan gugatan untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Adapun tindakan gugatan dari pihak yang dirugikan (Penggugat) mendasarkan gugatannya atas dasar persaingan curang. Menurut Parker J dalam tulisannya yang dikutip Djumhana dan Djubaedillah (1997:38)[30] hal tersebut dikategorikan perbuatan melanggar hukum. Demikian halnya sebagai pihak yang dirugikan harus dapat membuktikan bahwa dirinya menderita kerugian karena perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh penggugat tersebut.
Kendati demikian gugatan atas pelanggaran merek menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek berupa permintaan ganti rugi dan atau dengan perintah penghent ian dari semua pemakaian merek tersebut sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Merek. Ketentuan ini merupakan landasan untuk menindak terhadap pelanggaran‑pelanggaran merek terdaftar, dengan penerapan Pasal 76 Undang­Undang Merek tersebut sebagai dasar gugatan.
b)         Penanganan Melalui Hukum Pidana
Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur mengenai sanksi pidana terhadap suatu tindakan yang melanggar hak seseorang di bidang merek, yaitu Pasal 256 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: ”Barang siapa memakai merek yang tulen untuk barang atau bungkusnya, padahal merek itu bukan untuk barang atau bungkusnya itu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai barang itu seolah -olah merek tersebut ditentukan untuk barang-barang itu.”
Pasal 393 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dari Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan, atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya, dipakaikan secara palsu nama, firma atau mereka yang menjadi hak orang lain, atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu dengan ditambahkan nama, firma atau mereka yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”
Pasal 393 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Ketentuan pidana menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 diatur dalam Pasal 90, 91, 92, 93 dan 94 Undang-Undang Merek.
Adapun tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana merek diancam dengan pidana maksimum masing-masing yaitu:
a)      Lima tahun penjara dan atau denda maksimal Rp. 1.000.000.000,00 untuk penggunaan merek terdaftar yang sama pada keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.
b)      Empat tahun penjara dan/atau denda sebesar Rp. 800.000.000,00 untuk penggunaan merek terdaftar yang sama pada pokoknya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.
c)      Lima tahun penjara dan/atau denda Rp. 1.000.000.000,00 untuk penggunaan merek terdaftar yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi-geografis untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang terdaftar.
d)     Empat tahun penjara dan/atau denda Rp. 800.000.000,00 untuk penggunaan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi­geografis untuk barang yang sama atau jenis dengan barang terdaftar.
e)      Diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan 4.
f)       Empat tahun penjara dan/atau denda Rp. 800.000.000,00 untuk penggunaan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal yang bisa memperdaya atau menyesatkan masyarakat.
g)      Satu tahun penjara atau denda sebesar Rp. 200.000.000,00 bagi yang dalam sistem Hukum Indonesia, tetap memberlakukan asas­asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis yang mana Undang-­Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 merupakan peraturan khusus, sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan peraturan umum sehingga yang dipakai adalah peraturan khusus.

E.     Penanganan Melalui Administrasi Negara
Negara dapat menggunakan kekuasaannya dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hak intelektual, untuk melindungi pemilik hak yang sah. Tindakan yang bisa dilakukan melalui kewenangan administrasi negara diantaranya melalui Pabean, Standar Industri, Kewenangan Pengawasan Badan Penyiaran, Kewenangan Pengawasan Standar Periklanan. (Djumhana & Djubaidillah, 1997:207)[31]
a)      Penanganan Oleh Pabean
Dalam peraturan perundang-undangan kepabeanan di Indonesia, telah ada mekanis me hukum untuk melindungi merek. Ketentuan pada Bab X Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan memuat ketentuan Larangan Pembatasan Impor atau Ekspor serta Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Hasil Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual. Pelaksana tugas pokok dan funToyotai di bidang kepabeanan di Indonesia diemban oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menjalankan tugas kepabeanan berupa segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas bara ng yang masuk atau keluar Daerah Pabean dan pemungutan Bea Masuk. Meskipun telah diatur kewenangan instansi kepabeanan untuk mengawasi seluruh lalu lintas barang, tetapi dalam hal pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual ini, masih memerlukan peran serta pemilik atau pemegang Hak Atas Kekayaan Intelektual serta instansi teknis lainnya. Pemilik atau pemegang Hak Kekayaan Intelektual dapat meminta kepada Pengadilan Negeri Setempat (daerah hukumnya meliputi Kawasan Pabean, yaitu tempat kegiatan impor atau ekspor tersebut berlanToyotaung) untuk mengeluarkan perintah tertulis yang ditujukan kepada Pejabat Bea Cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari Kawasan Pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan).
b)      Penanganan oleh Badan Standar Industri
Barang-barang yang memakai merek tidak sah dapat kita duga tidak memenuhi persyaratan standar industri yang telah ditentukan, baik komposisinya maupun kualitasnya. Dengan demikian, barang tersebut dapat dikatakan di bawah standar (inferior quality goods or services), penggunaan merek yang tidak sah tersebut juga adalah usaha untuk mengelabui konsumen. Tindakan serupa tersebut merupakan salah satu objek pengawasan dari Badan Standar Industri. Kenyataan seperti itu mengharuskan badan tersebut mengeluarkan keputusan untuk melarang peredaran barang tersebut karena tidak terjaga keamanannya juga sekaligus merugikan konsumen dan pemilik merek.
c)      Penanganan oleh Badan Standar Periklanan
Pengawas periklanan dengan kewenangannya dapat mengontrol situasi persaingan di pasaran melalui kode etik periklanan. Dengan demikian, sedini mungkin dapat dicegah adanya pelanggaran terhadap hak merek orang lain. Pengawas periklanan bisa melarang iklan merek yang menyesatkan konsumen, sehingga konsumen dihindarkan dari kerugian.


BAB III
KESIMPULAN
3.1  KESIMPULAN
1.      Merek sebagai hak tidak berwujud memiliki reputasi “keterkenalan“[32] masing-masing. Dimana reputasi ini sekaligus menjadi harta yang tidak terlihat (intangible). Adapun kemashuran suatu merek, merek dapat dibedakan dalam tiga, yaitu : Merek biasa (normal marks), Merek terkenal (well know marks) dan Merek termashur (famous marks).
2.      Perlindungan hukum terhadap merek sangatlah dibutuhkan sekali. Alasannya adalah pertama, untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi para penemu merek, pemilik merek, atau pemegang hak merek; kedua, untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan atas Hak Merek sehingga keadilan hukum dapat diberikan kepada pihak yang berhak; dan ketiga adalah untuk memberi manfaaat kepada masyarakat agar masyarakat lebih terdorong untuk membuat dan mengurus pendaftaran merek usaha mereka.[33]
3.      Cara Pemerintah memberikan Perlindungan hukum HKI, dilakukan melalui dua jenis kebijakan. Pertama adalah melakukan perlindungan hukum dengan cara preventif, dimana kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Kedua perlindungan hukum dilakukan secara represif, dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa. Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila.[34]




DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian, Kebijakan Pemerintah Dalam Perlindungan HKI dan Liberalisasi Perdagangan Jasa Profesi di Bidang Hukum, Jakarta 2007.
Djarwanto, Pokok-pokok Analisa Laporan Keuangan, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Yogyakarta:BPFE, 2004.
Harahap, Sofyan S., Teori Akuntansi, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.
Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1999.
Poerwadarminta,W.J.S. Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka, Edisi Kedua, Jakarta, 1991.
Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, Akademika Pressindo, Jakarta, 1990.
O.K.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (intellectual Property Rights), RajaGrafindo Persada, Jakarta,2002.
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1980.
Mellisa Ung, 2008, Trade Mark Law And The Repercussions of Virtual Property, Common Law Conspectus, Catholic University of America, 2008.
Freddy Rangkuti, 2002, The Power of Brand Teknik Mengelola Brand Equity dan Strategi Pengembangan Merek Plus Analisa Kasus dengan SPSS, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1977
Gautama dan Rizawanto Winata, 1997, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (dalam Rangka WTO, TRIPs), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Cita Citrawinda, Hak Kekayaan Intelektual Tantangan Masa Depan, (Jakarta; Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003),
Muhammad Firmansyah, Tata Cara Mengurus HKI, (Jakarta: Visi Media, 2008),
Jill MeKeough dan Andrew Stewart, Intellectual Property Rights in Australia, (Australia: Butterworths.1997),
Helianti Hilman, Manfaat Perlindungan Terhadap Karya Intelektual pada Sistem HKI, Disampaikan pada Lokakarya Terbatas tentang “Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya”, 10-11 Februari 2004, Financial Club, Jakarta
Harahap, M. Yahya, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, Citra Adtya Bakti, Bandung. 1996,
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi rakyat di Indonesia: sebuah studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Administrasi,  (Surabaya: Paradaban ,2007),
Rachmad Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum , Alumni, Bandung.
Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, Jakarta.
Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HKI yang Benar, Pustaka Yustisia. Jakarta.


[1] Dirjen Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian, Kebijakan Pemerintah Dalam Perlindungan HKI dan Liberalisasi Perdagangan Jasa Profesi di Bidang Hukum, Jakarta 2007. Hal.4
[2] Dirjen Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian, Perlindungan Merek di Indonesia, Jakarta 2007. Hal.4
[3] Djarwanto, Pokok-pokok Analisa Laporan Keuangan, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Yogyakarta:BPFE, 2004. Hlm.28
[4] Harahap, Sofyan S., Teori Akuntansi, Bumi Aksara, Jakarta, 1996. Hlm.81
[5] Harahap, Sofyan S, Op.Cit, Hlm.80
[6] Harahap, Sofyan S, Op.Cit, Hlm.82
[7] Harahap, Sofyan S, Op.Cit,. Hlm.85
[8] Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1999. Hal.155
[9] Poerwadarminta,W.J.S. Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka, Edisi Kedua, Jakarta, 1991. Hal.649
[10] Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, Akademika Pressindo, Jakarta, 1990. Hal.44
[11] O.K.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (intellectual Property Rights), RajaGrafindo Persada, Jakarta,2002. Hal.344
[12] H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1980. Hal.82
[13] Mellisa Ung, 2008, Trade Mark Law And The Repercussions of Virtual Property, Common Law Conspectus, Catholic University of America, 2008. Hal.4
[14] Ibid, Saidin, hal.345
[15] Freddy Rangkuti, 2002, The Power of Brand Teknik Mengelola Brand Equity dan Strategi Pengembangan Merek Plus Analisa Kasus dengan SPSS, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal.36
[16] Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1977. Hal.33
[17] Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah , Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia,(Citra Aditya Bakti : Bandung,  1999). hlm. 17
[18] Gautama dan Rizawanto Winata, 1997, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia
(dalam Rangka WTO, TRIPs), Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal.83
[19] Op.cit. hal.39
[20] Op.Cit,. Hal 10
[21] Cita Citrawinda, Hak Kekayaan Intelektual Tantangan Masa Depan, (Jakarta; Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 17
[22] Muhammad Firmansyah, Tata Cara Mengurus HKI, (Jakarta: Visi Media, 2008), hal.2
[23] Jill MeKeough dan Andrew Stewart, Intellectual Property Rights in Australia, (Australia: Butterworths.1997), hal. 2
[24] Helianti Hilman, Manfaat Perlindungan Terhadap Karya Intelektual pada Sistem HKI, Disampaikan pada Lokakarya Terbatas tentang Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya”, 10-11 Februari 2004, Financial Club, Jakarta, hal. 4
[25]  Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HKI yang Benar, Pustaka Yustisia. Jakarta.hlm. 89
[26] Harahap, M. Yahya, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, Citra Adtya Bakti, Bandung. 1996, hlm 10.
[27] Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi rakyat di Indonesia: sebuah studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Administrasi,  (Surabaya: Paradaban ,2007), hlm. 2.
[28] Rachmad Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum , Alumni, Bandung. Hal.5
[29] Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, Jakarta. Hal.38
[30] Ibid, Djumhana dan Djubaedillahhal.38
[31] Ibid,. hal.29
[32] Harahap, Sofyan S., Teori Akuntansi, Bumi Aksara, Jakarta, 1996. Hlm.81
[33]  Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HKI yang Benar, Pustaka Yustisia. Jakarta.hlm. 89
[34] Harahap, M. Yahya, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, Citra Adtya Bakti, Bandung. 1996, hlm 10.

Tidak ada komentar:

Persyaratan Hak & Kewajiban Guru

BAB I PENDAHULUAN A.       LATAR BELAKANG MASALAH Di dalam   masyarakat tedapat bermacam-macam pekerjaan, seperti dokter, penga...