1.1 Latar
Belakang
Pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang baik
bukan saja memerlukan peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan
intelektual yang tepat, tetapi perlu pula didukung oleh administrasi, penegakan
hukum serta program sosialisasi yang optimal tentang hak kekayaan intelektual.
Secara institusional, pada saat ini telah ada
Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual yang tugas dan fungsi utamanya
adalah menyelenggarakan administrasi hak cipta paten, merek, desain industri,
dan desain tata letak sirkuit terpadu. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual (semula disebut Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek)
dibentuk pada thaun 1998. Direktorat
Jendral Hak Kekayaan Intelektual yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh
masyarakat, baik yang berasal dari dunia industri dan perdagangan, maupun dari
institusi yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan.
Di Indonesia, sistem perlindungan merek telah dimulai
sejak tahun 1961, sistem perlindungan hak cipta dimulai sejak tahun 1982,
sedangkan sistem paten baru dimulai sejak tahun 1991. Sebelum disempurnakan
melalui peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pada tahun 2001, beberapa
waktu yang lalu (tahun 1997) terhadap ketiga peraturan perundang-undangan
tersebut telah dilakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan
Persetujuan TRIPS (Trade Related aspects
of Intellectual Property Rights).[1]
Fungsi
merek sebagai tanda pembeda menjadi sangat penting seiring dengan berkembangnya
persaingan usaha saat ini,
agar merek yang digunakan dapat membedakan satu produk dengan produk lainnya,
baik sejenis maupun tidak sejenis dalam perdagangan barang atau jasa. Dengan
adanya merek dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa, maka dapat mencegah
terjadinya persamaan merek yang dapat menimbulkan sengketa terhadap produk.
Fungsi
merek selain sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi, yang dihasilkan seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama,
atau badan hukum secara bersama-sama juga berfungsi sebagai alat promosi, sehingga promosi barang atau jasa
terhadap merek produksinya dapat memberikan pengaruh terhadap konsumen untuk menggunakan merek tertentu.
Untuk
mendapatkan perlindungan hukum terhadap suatu merek tertentu, maka pemilik
merek harus mendaftarkan mereknya terlebih dahulu pada Direktorat Jendral Hak
Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut Ditjen HKI) karena Indonesia memberikan
perlindungan hukum pada hak atas merek terdaftar.
Pemilik
yang mendaftarkan mereknya akan mendapatkan sertifikat hak atas merek dan
pemilik hak merek dapat mempertahankan haknya terhadap setiap pelanggaran yang
dilakukan oleh pihak lain yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU Merek yang
menyebutkan bahwa perlindungan hak atas merek terdaftar diberikan selama
sepuluh tahun dihitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan
itu dapat diperpanjang.
Pemerintah
Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Merek baru No. 15 tahun 2001 pada
tanggal 1 Agustus 201. Sebelumnya,
Merek
dilindungi berdasarkan Undang-Undang No.14 tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 19 tahun 1992 tentang Merek. Undang-undang No. 15 tahun 2001
sebagai pengganti Undang-undang No. 14 tahun 1997 juncto Undang-undang No. 19
tahun 1992 menganut sistem konstitutif (first to file) yang menggantikan sistem deklaratif (first to use) yang pertama kali dianut
oleh Undang-undang No.21 tahun 1961
tentanh Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. [2]
Menurut
Undang-undang No.21 tahun 1961, siapa yang pertama-tama memakai suatu Merek di
dalam wilayah Indonesia dianggap sebagai pihak yang berhak atas Merek yang
bersangkutan.
Tentang Merek (selanjutnya disingkat
UU Merek) dengan tujuan untuk memberi perlindungan terhadap pemilik merek.
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,angka-angka,
susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa (Pasal 1 Angka
1 UU Merek).
Hak
atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek
yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, dengan
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk
menggunakannya. Dalam praktek perdagangan, banyak praktek penggunaan merek yang
tidak dilandasi dengan itikad baik yang dapat menimbulkan konflik antara
pengusaha yang satu dengan pengusaha yang lainnya. Bagi merek yang sudah
terdaftar, dapat dimintakan pembatalan merek dan penghapusan merek; sedangkan
bagi yang belum terdaftar, dapat dilakukan upaya hukum perdata terhadap
pengusaha yang berusaha menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar.
1.2 Identifikasi
Masalah
1.
Bagaimanakah
mekanisme merek sebagai Intangible Asset
?
2.
Bagaimanakah
mekanisme Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia ?
3.
Bagaimanakah
bentuk Perlindungan Negara terhadap Merek di Indonesia ?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 INTANGIBLE
ASSETS
2.1.1
Pengertian Intangible Assets
Intangible
Assets atau Aktiva
Tidak Berwujud menurut Djarwanto (2004:28)[3]
adalah jenis-jenis kekayaan dalam bentuk hak-hak yang dimiliki perusahaan. Hak
ini diberikan kepada penemunya, penciptanya, atau penerimanya. Pemilikan hak
ini dapat karena menemukan sendiri atau diperoleh dengan jalan membeli dari
penemunya. Dimana hak-hak ini dilindungi oleh undang-undang.
Merek sebagai hak tidak berwujud memiliki reputasi
“keterkenalan“ (public reputation)[4]
masing-masing. Dimana public reputation
itu sendiri berfungsi sebagai hak sekaligus harta yang tidak terlihat (intangible). Menurut Harahap (1996:81) berdasarkan reputasi (reputation)
dan kemashuran (renown) suatu merek, merek dapat dibedakan dalam
tiga jenis yaitu:
1.
Merek biasa (normal marks).
2.
Merek terkenal (well know marks) dan
3.
Merek termashur (famous marks).
Merek
biasa adalah merek yang tergolong tidak memiliki reputasi tinggi, merek yang
berderajat biasa ini dianggap kurang memberikan pancaran simbolis gaya hidup
baik dari segi pemakaian dan teknologi, masyarakat konsumen melihat merek
tersebut kualitasnya rendah. Merek semacam ini juga dianggap tidak memiliki drawing
power yang mampu memberi sentuhan keakraban dan kekuatan mitos (mythical
power) yang sugesti kepada masyarakat konsumen dan tidak mampu membentuk
lapisan pasar dan pemakai (Harahap, 1996:80).[5]
Di
atas merek biasa adalah merek terkenal adalah merek yang memiliki reputasi
tinggi, karena memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik, sehingga
jenis barang apa saja yang berada di bawah merek itu lanToyotaung menimbulkan
sentuhan keakraban (familiar attachement) dan ikatan mitos (mythical
contex) kepada segala lapisan konsumen (Harahap, 1996:82). [6]
Merek
termashur yaitu merek yang karena perkembangannya telah dikenal secara luas di
seluruh dunia, dan memiliki reputasi yang dapat digolongkan sebagai merek
“aristokrat dunia” (Harahap, 1996:85).[7]
Merek dagang sebagai hak kekayaan tidak berwujud ini,
menurut Rangkuti (2002:2) dapat dibagi
dalam empat kelompok yaitu:
1.
Brand name (nama
merek) yang merupakan bagian daripada yang dapat diucapkan misal Pepsodent
merek dari pasta gigi dan Toyota merek dari mobil.
2.
Brand mark (tanda
merek yang merupakan sebagian dari merek yang dapat dikenali namun tidak dapat
diucapkan seperti lambang, desain, huruf atau warna khusus, misal Tiga Berlian
Mitsubishi, Ferarri dengan kuda jingkrak.
3.
Trade mark (tanda
merek dagang) yang merupakan merek atau sebagian dari merek yang dilindungi
hukum karena kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu yang istimewa. Tanda dagang ini melindungi penjual dengan hak
istimewanya untuk menggunakan nama merek.
4.
Copyright
(hak cipta) yang merupakan hak istimewa yang dilindung i oleh undang-undang untuk memproduksi,
menerbitkan dan menjual karya tulis, karya musik atau karya seni.
2.1.2
Jenis-jenis aktiva tak berwujud
Menurut Jumingan (2006:17) aktiva dikelompokkan ke
dalam beberapa bagian, yaitu Aktiva Lancar, Investasi Jangka Panjang, Aktiva
Tetap, Aktiva Tidak Berwujud, Beban Biaya yang Ditangguhkan, Aktiva Tidak
Lancar Lainnya. Dimana yang termasuk tidak berwujud (Intangible) adalah :
1.
Hak Cipta (Copyright) - berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002 Tentang Hak Cipta: ''Hak Cipta
adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.''
2.
Paten (Patent) - berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten: ''Paten adalah
hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya
di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya.'' Berbeda dengan hak cipta yang melindungi sebuah karya, paten
melindungi sebuah ide, bukan ekspresi dari ide tersebut. Pada hak cipta,
seseorang lain berhak membuat karya lain yang fungsinya sama asalkan tidak
dibuat berdasarkan karya orang lain yang memiliki hak cipta. Sedangkan pada
paten, seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah karya yang cara bekerjanya
sama dengan sebuah ide yang dipatenkan.
3.
Merk Dagang (Trademark) - berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 Tentang Merek: “Merek adalah
tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf¬huruf, angka¬angka, susunan warna,
atau kombinasi dari unsur¬unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.'' Contoh: Kacang
Atom cap “Ayam Jantan”.
4.
Rahasia Dagang (Trade
Secret) - menurut
pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang: ''Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak
diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis.'' Contoh: rahasia
dari formula Parfum.
5.
Service Mark - adalah “kata,
prase, logo, simbol, warna, suara, bau yang
digunakan oleh sebuah bisnis untuk mengindentifikasi sebuah layanan dan
membedakannya dari kompetitornya. Pada prakteknya perlindungan hukum untuk
merek dagang sedang service mark untuk identitasnya. Contoh: “Pegadaian: menyelesaikan masalah
tanpa masalah”.
2.2 MEREK
2.2.1
Pengertian Merek
Pengertian merek di antara negara peserta Uni Paris memiliki
persepsi yang hampir mirip. Hal ini dikarenakan mereka mengacu pada ketentuan
Konvensi Paris tentang definisi merek.
Selanjutnya negara-negara berkembang, mengadopsi pengertian
merek dari model hukum tersebut untuk dikembangkan (Djumhana &
Djubaidillah, 1997:155).[8]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 jo Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, merek adalah: “tanda berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa”. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 1 ayat 1
tentang Merek, merek adalah: “tanda yang
berupa gambar, nama, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi
dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang dan jasa.”
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
memberikan pengertian merek
sebagai tanda yang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dan sebagainya)
pada barang-barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal. Cap (tanda) yang
menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya. Bermerek dapat
diasumsikan bercap, bertanda dan sebagainya. (Poerwadarminta, 1991:649)[9].
Harsono Adisumarto, merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik
seseorang dengan milik orang lain, seperti pada pemilikan ternak dengan memberi
tanda cap pada punggung sapi yang kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan
bersama yang luas. Cap seperti itu memang merupakan tanda
pengenal untuk menunjukkan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik orang
tertentu. Biasanya untuk membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari
nama pemilik sendiri sebagai tanda pembedaan. (Adisumarto, 1990:44)[10]
Tirtaamidjaya, suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu
tanda yang dibubuhkan di atas barang atau di atas bungkusannya, gunanya membedakan
barang itu dengan barang-barang yang sejenis lainnya. (Saidin, 2002:344)[11]
HMN Purwosutjipto, merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda
tertentu dipribadikan sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis.
(Purwosutjipto, 184:82)[12]
Mellisa Ung a trademark can
be a “any word, name, symbol, or device, or any combination there of used by a
person to identify and distinguish his or her goods, including a unique
product, from those manufactured or sold by others and to indicate the source
of the goods, even if that source is unknown. (Ung, 2008:4)[13].
Dari pengertian-pengertian tersebut, Saidin (2002:345)[14]
mengambil suatu kesimpulan bahwa yang diartikan dengan perkataan merek adalah
suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis
yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau badan
hukum dengan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang
lain, yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Rangkuti
(2002:36)[15] menyebutkan bahwa
pemberian nama atau merek pada suatu produk hendaknya tidak hanya suatu simbol,
karena merek memiliki enam tingkat pengertian:
1)
Atribut
Setiap
merek memiliki atribut. Atribut ini perlu dikelola dan diciptakan agar
pelanggan dapat mengetahui dengan pasti atribut-atribut apa saja yang terkandung
di dalam suatu merek.
2)
Manfaat
Selain
atribut, merek juga memiliki serangkaian manfaat. Konsumen tidak hanya membeli
atribut tapi juga membeli manfaat.
3)
Nilai
Merek
juga menyatakan sesuatu tentang nilai bagi produsen. Merek yang memiliki nilai
tinggi akan dihargai konsumen sebagai merek berkelas, sehingga dapat
mencerminkan siapa pengguna merek tersebut.
4)
Budaya
Merek
juga mewakili budaya tertentu. Misalnya Mercedez mewakili budaya Jerman yang
terorganisasi dengan baik, memiliki cara kerja yang efisien dan selalu
menghasilkan produk yang berkualitas.
5)
Kepribadian
Merek
juga memiliki kepribad ian yaitu kepribadian bagi para penggunanya. Jadi
diharapkan dengan menggunakan merek, kepribadian si pengguna akan tercermin
bersamaan dengan merek yang digunakan.
6)
Pemakai
Merek
juga menunjukkan jenis konsumen pemakai merek tersebut. Itulah sebabnya para
pemasar selalu menggunakan analogi orang-orang terkenal untuk penggunaan
mereknya.
2.2.2
Jenis Merek
Jenis merek dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, merek
dagang, yaitu merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan
barang dengan sejenis lainnya.
Kedua merek jasa, yaitu merek yang digunakan pada jasa
yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau
badan hukum untuk membedakan jasa-jasa lainnya yang sejenis.
Dengan melihat arti kata merek dan obyek yang dilindungi
maka merek digunakan untuk membedakan barang atau jasa produksi satu perusahaan
dengan barang atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis.
Merek merupakan tanda pengenal asal barang dan jasa
sekaligus menghubungkan barang dan jasa yang bersangkutan dengan produsennya,
maka hal itu menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan
reputasi barang dan jasa hasil usahanya tersebut sewaktu diperdagangkan.
Suatu merek dapat diterima sebagai merek atau cap dagang,
syarat mutlak daripadanya ialah bahwa merek itu harus mempunyai daya pembeda
yang cukup. Dengan kata lain, tanda yang dipakai (sign) haruslah
sedemikian rupa sehingga mempunyai cukup kekuatan untuk membedakan barang hasil
produksi sesuatu perusahaan atau barang perniagaan dari seseorang dari barangbarang
orang lain (Gautama, 1977:33)[16].
2.2.3
Merek sebagai Hak Milik
Hak
milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu barang secara lebih leluasa
dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh
kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya
itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan
penggantian kerugian yang pantas,
berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan (Pasal 570 KUHPerdata).[17]
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, yaitu:
“Hak atas merek adalah hak eksklusif yang
diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum
merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut
atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk menggunakannya”.
Hak atas merek dapat diperoleh melalui dua sistem:
a.
Sistem
deklaratif (first to use), yaitu bahwa pemakaian pertamalah yang berlaku
untuk menentukan terciptanya suatu hak atas merek.
b.
Sistem
konstitutif atau atributif (first to files), yaitu sistem yang mengatur
bahwa hak atas merek akan tercipta karena pendaftarannya oleh orang yang telah mendaftarkan
mereknya, maka dialah satu-satunya yang berhak atas sesuatu merek. (Gautama dan
Rizawanto, 1997:83)[18]
Selain kedua sistem tersebut, yang mendasarkan hak atas
merek timbul karena pemakaian pertama dan karena adanya suatu pendaftaran
merek, ada pula yang merupakan sistem campuran dari kedua sistem tersebut,
yaitu hak atas merek tercipta karena pemakaian pertama tetapi cara
mempertahankan dari pihak ketiga, baik dari segi perdata maupun pidana harus
didaftarkan. (Gautama, 1977:39)[19].
Hak khusus memakai merek ini sebagai suatu monopoli,
hanya berlaku untuk suatu barang atau jasa tertentu. Oleh karena suatu merek
memberi hak khusus atau hak mutlak pada yang bersangkutan maka hak itu dapat
dipertahankan terhadap siapapun. Hak atas merek diberikan kepada pemilik merek
yang beritikad baik.
Pemakaiannya meliputi pula barang ataupun jasa. Dengan
demikian, menurut Gautama (1977:10)[20]
yang berhak atas merek adalah orang yang mempunyai barang-barang tersebut,
karena ia memiliki sesuatu perusahaan yang menghasilkan barang itu (pabrik) dan
suatu perusahaan dagang, suatu badan usaha yang memperdagangkan barang-barang
dengan merek bersangkutan.
Merek sebagai hak milik dapat dialihtangankan baik
melalui pewarisan, hibah, wasiat maupun dengan cara perjanjian dalam bentuk
akta notaris atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang.
Pengalihan hak merek dapat dilakukan kepada perorangan maupun kepada badan
hukum.
Walaupun sistem Undang-Undang Merek yang terdahulu telah
mengikuti sistem ”prinsip pemakai pertama”, namun dalam kenyataannya prinsip
yang digunakan berbeda. Hal ini disebabkan pendaftaran suatu merek dagang
berarti bahwa pendaftar memiliki hak-hak khusus, maka telah dipergunakan oleh
beberapa perusahaan untuk mengajukan merek dagang asing yang dikenal.
Beberapa merek dagang asing terkenal dimaksudkan untuk
digunakan oleh pendaftar sendiri atau untuk dijual kepada perusahaan dalam
negeri atau asing, sehingga pemilik asli merek dagang terkenal tersebut untuk
memakainya sendiri bila ingin menembus ke pasar Indonesia. Dalam keadaan
demikian pemilik asli merek dagang tersebut tidak dapat mempergunakan merek
dagang tersebut, karena perusahaan lain telah mendaftarkannya dan mempunyai hak
atas pendaftaran merek dagang tersebut lebih dahulu, sehingga ia dapat melarang
pihak lain menggunakan merek dagang tersebut tanpa ijinnya.
Selain itu, Kantor Merek tidak akan dapat menerima dan
akan menolak permohonan yang diajukan kemudian atas merek dagang yang sama
walaupun pemohon adalah pemilik sendiri dari merek dagang, karena merek dagang
tersebut telah didaftar terlebih dahulu oleh orang lain
2.2.4
Pendaftaran Merek
Pendaftaran merek dipandang sebagai upaya untuk
memperoleh bukti atas hak kepemilikan merek yang didaftar, hal ini bukan
berarti merek yang tidak didaftarkan secara formil akan dilarang peredarannya.
Namun dalam pemahaman subyektifitas pendaftaran merek dimaksudkan untuk
memberikan hak milik intelektual kepada pendaftar atas merek untuk kepentingan
pembuktian hak atas merek tersebut apabila nanti dikemudian hari terjadi
sengketa. Jadi pendaftaran merek pada hakekatnya merupakan upaya pemilik merek
supaya dia dikenal sebagai pemilik atas merek yang didaftarkan, mendapatkan
perlindungan atas merek yang didaftarkan tersebut dan nanti dikemudian hari
memungkinkan mereknya akan menjadi merek terkenal.
Selama ini upaya perlindungan merek yang belum terdaftar
secara formil dan yang banyak dihasilkan home industri perlindungannya
hanya sebatas pada adanya suau temuan dalam sidang untuk menentukan ada
tidaknya itikad baik dari pemilik merek yang belum terdaftar tersebut. Selama
diketahui itikad baik itu ada merek tetap dapat diperdagangkan namun dalam
suatu lokasi tertentu saja. Perlindungan hukum hak atas kekayaan intelektual,
di Indonesia, dibidang merek dimulai dengan pendaftaran atas merek tersebut,
terhadap merek yang tidak didaftarkan, dari hasil penelitian di atas dapat
disimpulkan bahwa sepanjang suatu merek belum didaftarkan secara formil maka
terhadapnya tidak ada perlindungan hukum yang diberikan.
Untuk
dapat mengajukan pendaftaran atas sebuah merek, maka setiap pemohon harus
memenuhi persyaratan dan tata cara permohonan serta lampiran yang harus
dipenuhi dalam setiap pengajuan permohonan pendaftaran merek. Hal ini diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Merek yang memberikan
penjelasan sebagai berikut :
Permohonan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal
dengan mencantumkan: tanggal, bulan, dan tahun; nama lengkap, kewarganegaraan,
dan alamat pemohon; nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan diajukan
melalui kuasa; warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya
menggunakan unsur-unsur warna; nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal permohonan
diajukan dengan hak prioritas. Permohonan
ditandatangani Pemohon atau kuasanya; dalam hal ini, pemohon dapat terdiri dari
satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.
Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya. Dalam
hal permohonan diajukan oleh lebih dari
satu pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama
pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. Dalam hal permohonan tersebut ditandatangani
oleh satah satu dari pemohon yang berhak atas merek tersebut, maka harus
melampirkan persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan. Dalam hal
permohonan diajukan melalui kuasanya, surat kuasa itu untuk ditandatangani oleh
semua pihak yang berhak atas merek tersebut.
Kuasa
yang dimaksud adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. Ketentuan mengenai
syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual,
diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pengangkatannya diatur
dengan Keputusan Presiden. Terhadap surat permohonan pendaftaran merek perlu
dilampiri dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang dilegalisasi, bagi pemohon
yang berasal dari luar negeri sesuai dengan ketentuan undang-undang harus
memilih tempat kedudukan di Indonesia, biasanya dipilih pada alamat kuasa
hukumnya; fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh notaris
apabila permohonan diajukan atas nama badan hukum; fotokopi akta peraturan
pemilikan bersama apabila permohonan diajukan atas nama lebih dari satu orang
(merek kolektif); surat kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran dikuasakan;
tanda pembayaran biaya permohonan; 20 (dua puluh) helai tiket merek ukuran
maksimal 9 x 9 cm, minimal 2 x 2 cm; surat pernyataan bahwa merek yang
dimintakan pendaftaran tersebut adalah miliknya.
Proses pendaftaran merek yang dikenal dalam Undang-Undang
Merek Nomor 15 tahun 2001 yang
pertama adalah Pemeriksaan Formalitas. Hal ini diatur di dalam Pasal 13, 14,
15, 16, dan 17 Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001. Kedua adalah
Pemeriksaan Substantif. Pengertian dari pemeriksaan substantif adalah
pemeriksaan terhadap merek yang dimohonkan pendaftarannya. Pemeriksaan ini
selanjutnya akan menentukan apakah suatu permohonan pendaftaran merek dapat
diterima ataupun ditolak berdasarkan ketentuan Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6
undang-Undang Merek.Ketiga adalah Pengumuman Permohonan. Hal ini diatur di
dalam Pasal 21, 22, 24, 25, dan 26 Undang Undang Merek. Sepuluh hari setelah
pemeriksaan substantif berakhir, maka terhadap pendaftaran merek yang telah
mendapatkan persetujuan untuk didaftar, maka akan dilakukan pengumuman selama 3
(tiga) bulan. Dalam masa pengumuman ini jika ada pihak yang merasa keberatan
atas permohonan pendaftaran tersebut, maka dapat mengajukan mekanisme
keberatan. Kepada pemohon merek yang menerima keberatan dapat menyampaikan
sanggahan dalam waktu 2 (dua) bulan sejak menerima keberatan tersebut.
Keempat adalah Penerbitan Sertifikat. Jika terhadap
permohonan pendaftaran merek yang telah melampaui masa pengumuman, kemudian
tidak diajukan keberatan ataupun pemeriksaan kembali atas keberatan tersebut,
maka dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu
pengumuman atau pemeriksaan tersebut maka Direktorat Jenderal HKI berhak
menerbitkan sertifikat merek kepada pemohon/kuasanya seperti yang diatur di
dalam Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Merek.
2.3 HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)
2.3.1
Pengertian Hak Kekayaan Intelektual
Hak
Kekayaan Intelektual (H.K.I.) merupakan terjemahan dari Intellectual Property Rights (IPR). Istilah tersebut terdiri dari
tiga kata kunci yaitu: “Hak”, “Kekayaan”, “Intelektual”. Kekayaan merupakan
abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Sedangkan
“Kekayaan Intelektual” merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan
daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya
tulis, karikatur, dan seterusnya. Terakhir “Hak atas Kekayaan Intelektual”
(HKI) merupakan hak-hak (wewenang / kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas
Kekayaan Intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum
yang berlaku. “Hak” itu sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang pertama
“Hak Dasar (Azasi)”, yang merupakan hak mutlak yang tidak dapat diganggugugat.
Misalnya, hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keadilan, dan sebagainya.
Kedua “Hak Amanat / Peraturan”, sehingga masyarakatlah yang menentukan,
seberapa besar HKI yang diberikan kepada individu dan kelompok. Sesuai dengan
hakekatnya pula, HKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya
tidak berwujud (intangible).
Terlihat
bahwa HKI merupakan Hak Pemberian dari Umum (Publik) yang dijamin oleh
Undang-undang. HKI bukan merupakan hak azasi, sehingga kriteria pemberian HKI
merupakan hal yang dapat diperdebatkan oleh publik. Dari hal uraian di atas
bisa disimpulkan HKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu
kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam
berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang
kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis.
2.3.2
Konsepsi dan Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Pembahasan mengenai merek
dan hukum merek
tidak bisa
lepaskan dari
persoalan Hak Kekayaan Intelektual
(HKI). Oleh karenanya dalam konteks ini perlu
diuraikan pengertian, konsepsi dan pengaturan Hak Kekayaan Intelektual. Dari
istilah Hak Kekayaan intelektual, paling tidak ada tiga kata kunci dari istilah tersebut, yaitu : Hak, kekayaan
dan
intelektual. Hak adalah milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk
berbuat sesuatu (
karena telah ditentukan oleh undang-undang ), atau wewenang yang digariskan menurut hukum. Adapun kekayaan adalah prihal yang ( bersifat, ciri ) kaya, harta yang
menjadi milik orang, kekuasaan. Intelektual adalah cerdas, berakal dan
berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, atau yang mempunyai kecerdasan tinggi, cendekiawan, atau
totalitas
pengertian atau kesadaran
terutama yang
menyangkut pemikiran dan pemahaman. Jadi, kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia yang
dapat berupa karya di bidang
teknologi, ilmu
pengetahuan, seni dan sastra. Karya ini dihasilkan atas kemampuan intelektual melalui pemikiran, daya cipta dan rasa yang
memerlukan curahan tenaga, waktu dan biaya untuk memperoleh "produk" baru dengan landasan kegiatan
penelitian atau yang sejenis.
Dengan landasan berfikir demikian maka bisa dipahami bahwa, Hak kekayaan Intektual adalah hak kebendaan, hak atas suatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio manusia.[21] Hak Kekayaan Intelektual sendiri merupakan
terjemahan
dari Intellectual Property
Rights (IPR), istilah tersebut juga
dipakai oleh Organisasi
Internasional
yang mewadahi bidang H.K.I. yaitu WIPO (World Intellectual Property
Organization).[22] Jill McKeough dan Andrew Stewart memberikan definisi HKI sebagai berikut; “Intellectual property is a generic term for the various right or bundles of rights which the
law
accords for the protection of creative
effort or more, especially,
for
the
protection of economic investments in creative effort.”[23] Dari definisi ini dapat dipahami bahwa HKI pada dasarnya adalah sebuah istilah yang
digunakan untuk menjelaskan hak yang
dilindungi hukum
dalam konteks perlindungan
ekonomis.
Dalam
prakteknya di Indonesia, pada awalnya Intelectual Property Rights diterjemahkan dengan
hak
milik intelektual,
namun kemudian pada
pada
tahun
2004 dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004,
istilah
tersebut diterjemahkan dengan hak
kekayaan intelektual.
Secara prinsipil, Hak Kekayaan
Intelektual
ada
agar dapat
melindungi ciptaan
serta invensi seseorang dari penggunaan atau peniruan yang dilakukan oleh pihak lain tanpa izin.[24]
Karya-karya intelektual tersebut baik di bidang
ilmu pengetahuan, seni,
sastra, maupun teknologi
dilahirkan dengan mengorbankan tenaga, waktu, bahkan biaya yang tidak
sedikit. Sehingga, perlindungan
yang
diberikan dalam HKI akan
menjadikan
sebuah
insentif bagi
pencipta
dan
inventor.
Perlindungan hukum terhadap merek dibutuhkan karena 3
(tiga) hal yaitu pertama untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi para penemu
merek, pemilik merek, atau pemegang hak merek; yang kedua adalah untuk mencegah
terjadinya pelanggaran dan kejahatan atas Hak Merek sehingga keadilan hukum
dapat diberikan kepada pihak yang berhak; dan yang ketiga adalah untuk memberi
manfaaat kepada masyarakat agar masyarakat lebih terdorong untuk membuat dan
mengurus pendaftaran merek usaha mereka.[25]
Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar mutlak
diberikan oleh pemerintah kepada pemegang dan pemakai hak atas merek untuk
menjamin kepastian berusaha bagi para produsen; dan menarik investor bagi merek
dagang asing, sedangkan perlindungan hukum yang diberikan kepda merek dagang
lokal diharapkan agar pada suatu saat dapat berkembang secara meluas di dunia
internasional.
Perlindungan hukum menurut Hadjon meliputi 2 (dua) macam
perlindungan. Pertama adalah
perlindungan hukum preventif,
dimana kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Kedua adalah perlindungan hukum represif, dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa.
Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila
dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila.[26]
Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa sedangkan sebaliknya hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum
yang preventif sangat besar artinya
bagi tindakan-tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak
karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong
untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada
diskresi.[27]
2.3.3
Perlindungan Pemegang Hak Atas Merek Secara Preventif
A. Sistem Pemeriksaan Pendaftaran Merek
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 bahwa proses
pendaftaran merek meliputi beberapa tahap dengan cara yaitu: pemeriksaan
formalitas, pemeriksaan substantif, pengumuman permohonan dan penerbitan
sertifikat.
a) Pemeriksaan Formalitas
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memeriksa seluruh
kelengkapan permohonan. Adapun jangka waktu pemeriksaan formalitas ini adalah
30 hari khususnya terhadap permohonan yang sudah lengkap akan diberikan tanggal
penerimaan permohonan (filling date) sedangkan terhadap permohonan yang
belum lengkap akan disurati untuk memenuhi kelengkapan permohonan dimaksud.
Adapun jangka waktu pemenuhan kelengkapan permohonan dimaksud ditetapkan 2
(dua) bulan sejak tanggal pengiriman surat tersebut. Pada prinsipnya bahwa
tanggal pemenuhan kelengkapan adalah merupakan tanggal penerimaan permohonan (filling
date). Namun demikian apabila pemohon dengan jangka waktu yang telah
ditentukan di atas tidak memenuhi kelengkapan tersebut, maka permohonan
dianggap ditarik kembali atas segala biaya yang telah dibayarkan tidak dapat
kembali artinya biaya tersebut hilang. Selanjutnya untuk pemeriksaan formalitas
dalam pendaftaran merek telah diatur secara rinci dalam Pasal 13, 14, 15, 16
dan 17 UndangUndang Merek.
b) Pemeriksaan Substantif
Yang
dimaksud dengan pemeriksaan substantif adalah pemeriksaan terhadap merek yang
dimohonkan pendaftarannya, maka dengan pemeriksaan ini akan ditentukan apakah suatu permohonan
pendaftaran merek dapat diterima ataupun ditolak berdasarkan ketentuan Pasal 4,
Pasal 5 atau Pasal 6 Undang -Undang Merek. Adapun lamanya pemeriksaan
substantif diselesaikan dalam waktu paling lama 9 (sembilan) bulan sesuai
dengan maksud Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Merek.
c) Pengumuman Permohonan
Dalam
jangka waktu paling lama 10 hari setelah berakhirnya pemeriksaan substantif,
terhadap permohonan pendaftaran merek yang telah disetujui untuk didaftar akan
dilakukan pengumuman selama 3 (tiga) bulan. Sedangkan dalam masa pengumuman bagi setiap pihak yang
berkeberatan atas permohonan pendaftaran merek tersebut secara hukum dapat
mengajukan keberatan. Karena UndangUndang Merek pada dasarnya menjamin kepada
pemohon merek yang menerima keberatan dan selanjutnya hal ini dapat
menyampaikan sanggahan dalam waktu 2 (dua) bulan sejak menerima keberatan
tersebut. Pada prinsipnya menurut Undang - Undang Merek baik terhadap keberatan
maupun sanggahan tersebut akan dijadikan bahan dalam pemeriksaan. Namun untuk
memperjelas pengaturan terhadap permohonan pendaftaran merek maka secara rinci
diatur dalam Pasal 21, 22, 24, 25 dan 26 Undang-Undang Merek.
d) Penerbitan Sertifikasi
Terhadap permohonan pendaftaran merek yang telah
melampaui masa pengumuman dan tidak pula terdapat keberatan ataupun dilakukan
pemeriksaan kembali atas keberatan tersebut maka dalam waktu paling lama 30
hari sejak berakhirnya jangka waktu pengumuman atau pemeriksaan tersebut maka
Direktorat Jenderal berdasarkan Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Merek berhak
menerbitkan atau memberikan sertifikat merek kepada Pemohon atau kuasanya dan
hal ini dipertegas dengan Pasal 27 ayat 3 UndangUndang Merek. Jadi dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan Sertifikat Merek adalah merupakan tanda
bukti hak atas merek tersebut.
Berkaitan dengan permasalahan pendaftaran merek
berdasarkan Undang-Undang Merek maka setiap pemohon harus memperhatikan syarat
dan tata cara permohonan serta lampiran yang harus dipenuhi dalam setiap
pengajuan permohonan pendaftaran merek tersebut, yang diatur secara rinci dalam
Pasal 7 Undang-Undang Merek selengkapnya sebagai berikut:
a)
Mengajukan permohonan pendaftaran dalam rangkap 4 (empat) yang diketik dalam bahasa
Indonesia pada blanko formulir permohonan yang telah disediakan dan
ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasa, yang berisi:
-
Tanggal,
bulan dan tahun permohonan.
-
Nama
lengkap, kewarganegaraan dan alamat pemohon.
-
Nama
lengkap dan alamat kuasa, apabila permohonan diajukan melalui kuasa.
-
Warna-warna
apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna.
-
Nama
negara dan tanggal permintaan pendaftaran merek yang pertama kali dalam hal
permohonan diajukan dengan hak atas prioritas.
b)
Surat permohonan pendaftaran merek
perlu dilampiri dengan:
-
Fotocopy
KTP yang dilegalisir, bagi pemohon yang berasal dari luar negeri sesuai dengan
ketentuan undang-undang harus memilih tempat kedudukan di Indonesia, biasanya
dipilih pada alamat kuasa hukumnya.
-
Fotocopy
akte pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh
notaris apabila permohonan diajukan atas nama badan hukum.
notaris apabila permohonan diajukan atas nama badan hukum.
-
Fotocopy
akte peraturan pemilikan bersama apabila permohonan diajukan atas nama lebih
dari satu orang (merek kolektif).
-
Surat
kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran dikuasakan.
-
Tanda
pembayaran biaya permohonan.
-
20
(dua puluh) helai tiket merek (ukuran maksimal 9x9 cm, minimal 2x2 cm).
-
Surat
pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftaran tersebut
adalah miliknya.
B. Pengaturan Sistem Perlindungan Merek di Indonesia
Pengaturan internasional mengenai HKI adalah bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari sistem pengaturan HKI Indonesia. Adapun standar HKI
Internasional beserta Sistem Administrasi Internasional telah menjadi sebuah sumber
yang penting bagi hukum HKI Indonesia, di samping itu telah memberikan
sumbangan kepada sistem Administrasi HKI di Indonesia. Indonesia telah menjadi
peserta aktif dalam pengembangan HKI Internasional, khususnya melalui
keikutsertaannya sebagai negara peserta Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan
Organisasi HKI Dunia (WIPO).
Penerapan Persetujuan TRIPs selain mengacu pada standar
normatif yang telah ditentukan, maka terhadap negara-negara anggota diharapkan
dapat menerapkan prinsip-prinsip GATT yang menjadi dasar penerapan persetujuan
tersebut, yaitu:
pertama prinsip national treatment (prinsip
perlakuan nasional), yakni pemilik HKI asing harus diberi perlindungan yang
sama dengan warga negara dari negara yang bersangkutan;
kedua, prinsip most favoured nation (MFN) yaitu
prinsip negara-negara yang diuntungkan, atau non diskriminasi antara pemilik HKI
asing dengan pemilik HKI dari negara yang bersangkutan atau negara lain, ketiga
aspek transparansi, juga merupakan salah satu prinsip utama GATT dengan
memaksakan negara anggota untuk lebih terbuka dalam ketentuan
perundang-undangan dan pelaksanaan aturan nasional dalam bidang perlindungan
hak atas kekayaan intelektual.
Sesungguhnya perundingan Putaran Uruguay menetapkan
sebuah paket komprehensif yang meliputi aturan-aturan perdagangan dengan
dibentuknya WTO (World Trade Organization) mulai 1 Januari 1995, yang
mengatur pula mengenai cara perlindungan HKI.
Pada dasarnya TRIPs menganut asas kesesuaian penuh (full
compliance) maksudnya bahwa negara-negara anggota harus membuat hukum
nasionalnya sendiri mengenai HKI sesuai dengan ketentuan Persetujuan TRIPs.
Mengingat bahwa Indonesia menjadi salah satu anggota WTO yang secara otomatis
terikat pada TRIPs, hal seperti ini dapat diwujudkan dengan penyempurnaan berbagai
ketentuan undang-undang mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang
disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Indonesia menganut sistem “pendaftaran pertama” dengan
tambahan kata-kata “pendaftar pertama
yang beritikad baik”. Sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang
Merek menyebutkan bahwa Pemohon yang beritikad baik adalah Pemohon yang
mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk
membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan
usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain ataupun dapat menimbulkan
kondisi persaingan tidak sehat yang mengcoh atau menyesatkan konsumen.
Dapat disimpulkan bahwa pendaftaran merek pada prinsipnya
harus disertai dengan itikad baik, apabila dalam pendaftaran merek tidak
disertai dengan itikad baik maka secara hukum permohonan tersebut dapat
dibatalkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Merek Tahun 2001.
C. Jangka Waktu Perlindungan
Undang-Undang Merek mengatur mengenai jangka waktu
perlindungan Merek Terdaftar diatur dalam Pasal 28, 35, 36, 37 dan 38 yang
isinya sebagai berikut:
1)
Ketentuan
Pasal 28 Undang-Undang Merek menyebutkan bahwa Merek Terdaftar mendapat
perlindungan hukum jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan
jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang.
2)
Adapun
Pasal 35 Undang-Undang Merek mengatur perpanjangan jangka waktu perlindungan
Merek Terdaftar.
a)
Pemilik
Merek terdaftar setiap kali dapat mengajukan permohonan perpanjangan untuk
jangka waktu yang sama.
b)
Permohonan
perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis oleh
pemilik merek atau kuasanya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum
berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi Merek Terdaftar tersebut.
c)
Permohonan
perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Direktorat
Jenderal.
3)
Pasal
36 Undang-Undang Merek, permohonan perpanjangan disetujui apabila:
a)
Merek
yang bersangkutan masih digunakan pada barang tersebut barang atau jasa
sebagaimana disebut dalam Sertifikat Merek.
b)
Barang
atau jasa sebagai dimaksud dalam huruf a masih diproduksi dan diperdagangkan.
4)
Pasal
37 Undang-Undang Merek, mengatur mengenai:
a)
Permohonan
perpanjangan ditolak oleh Direktorat Jenderal, apabila permohonan tersebut
tidak memenuhi ketentuan sebagai dimaksud dalam Pasal 35 dan 36 Undang -Undang
Merek.
b)
Permohonan
perpanjangan ditolak oleh Direktorat Jenderal, apabila merek tersebut mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal orang lain,
dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
hurufb dan ayat (2) Undang-Undang Merek.
c)
Penolakan
permohonan perpanjangan diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau
kuasanya dengan menyebutkan alasannya.
d)
Keberatan
terhadap penolakan permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat diajukan kepada pengadilan Niaga.
e)
Terhadap
putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat
diajukan kasasi.
5)
Pasal
38 Undang-Undang Merek menyebutkan bahwa:
a)
Perpanjangan
jangka waktu perlindungan Merek Terdaftar dicatat dalam Daftar Umum Merek dan
diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
b)
Perpanjangan
jangka waktu perlindungan Merek terdaftar diberitahukan secara tertulis kepada
Pemilik Merek atau Kuasanya.
2.3.4
Perlindungan
Hak Atas Merek Secara Represif
Pelanggaran terhadap merek dapat terjadi karena adanya
pelanggaran terhadap hak-hak pemilik merek terdaftar baik yang mencoba ataupun
yang melakukan tindakan meniru atau memalsukan merek-merek terkenal di masyarakat,
tanpa harus memikirkan hak-hak orang lain yang hak-haknya telah dilindungi
secara hukum.
Dengan adanya perbuatan yang melanggar hukum tersebut
dapat dimasukkan juga pada pelanggaran norma-norma sopan santun, moral dan
norma-norma sosial lainnya dalam lalu lintas perdagangan, yang menjurus pada
persaingan curang untuk mendapatkan keuntungan pribadi secara mudah. Hal yang
demikian dapat mengacaukan perekonomian dalam skala nasional dan skala lokal.
Sesungguhnya hak atas merek adalah hak khusus yang
diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek
untuk menggunakan sendiri mereknya atau memberi ijin kepada pihak lain untuk
mempergunakannya. Selanjutnya hak khusus tersebut memberi makna bahwa barang
siapa mempergunakan hak atas merek tanpa seijinnya, berarti yang mempergunakan
hak tersebut telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Adapun maksud perbuatan penggunaan merek tanpa hak berarti pihak
pelaku telah melakukan kesalahan yang dapat mengakibatkan pemilik merek
kemungkinan menderita kerugian, sedangkan pihak konsumen dapat pula dirugikan
karena adanya kesan seolah -olah barang tersebut seperti aslinya.
Pelanggaran terhadap hak khusus tersebut berdasarkan
Pasal 76 Undang-Undang Merek memberi peluang bagi pemilik merek terdaftar untuk
dapat mengajukan gugatan atau tuntutan ganti kerugian kepada orang yang
mempergunakan merek tanpa hak, bahkan tidak menutup kemungkinan bagi negara
untuk mengajukan tuntutan tindak pidana atas merek, hal ini menurut Noegroho
Amin bahwa penggunaan merek tanpa hak dapat termasuk perbuatan melawan hukum
dan dapat juga termasuk perbuatan pidana yaitu sebagai berikut:
A. Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan yang
dilakukan untuk maksud tertentu, dengan cara melanggar kepatutan ataupun itikad
yang tidak dapat dibenarkan oleh orang banyak. Perbuatan melawan hukum dengan
perbuatan pidana memiliki persamaan yaitu perbuatan tersebut melanggar larangan
yang ada. Setiawan (1982:5)[28]
memberikan perbedaan yaitu menurut hukum pidana perbuatan tersebut
menyangkut ketertiban umum, sedangkan perbuatan melawan hukum bertujuan
melindungi kepentingan-kepentingan individu dan hanya sekedar menyinggung
ketertiban umum.
Adapun penggunaan merek terdaftar tanpa seijin pemiliknya
berarti telah mempergunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya ataupun
pada keseluruhannya pada merek terdaftar tanpa hak, maka perbuatan tersebut
bertentangan dengan Pasal 3 Undang-Undang Merek yaitu: ”Hak atas merek adalah
hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek terdaftar dalam daftar
umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut
atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk mempergunakannya.”
Terhadap pemilik merek terdaftar, yang mereknya
dipergunakan pihak lain tanpa seijinnya, berarti penggunaan merek tersebut
dilakukan tanpa hak, sehingga pemilik merek dapat mengajukan gugatan ganti rugi
dan atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek
tersebut berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang Merek.
B. Perbuatan Pidana
Penggunaan merek terdaftar tanpa seijin pemilik merek,
berarti penggunaan dengan melakukan suatu perbuatan atau yang dilarang oleh
suatu peraturan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Merek,
yaitu pada intinya mengatur bahwa yang dapat mempergunakan merek terdaftar
adalah pemilik merek atau orang lain yang diberi ijin untuk mempergunakannya,
dan selanjutnya perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi pemiliknya
atau karena adanya perbuatan melawan hukum dan perbuatan tersebut dapat
merugikan kepentingan orang banyak, yaitu karena perbuatan pidana.
Menurut Moelyatno
(2000:38)[29], yang
dimaksud perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu.Jadi penggunaan merek terdaftar tanpa seijin pemilik merek berarti
telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang maka pemilik merek
wajib dilindungi secara hukum berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Merek. Adapun
perbuatan tersebut menurut Pasal 90 Undang-Undang Merek diancam dengan hukuman
pidana, namun secara tegas ketentuan ini mengatur bahwa perbuatan yang dilarang
itu adalah perbuatan/menggunakan merek yang sama dengan pokok atau pada
keseluruhannya tanpa seijin pemiliknya. Akibat perbuatan tersebut dapat
menimbulkan kesan bahwa barang tersebut sama dengan merek terdaftar sehingga
dapat menimbulkan kekeliruan khalayak ramai dalam pergaulan perniagaan.
Seharusnya perbuatan tersebut dilarang karena menurut Pasal 90 Undang-Undang
Merek bahwa perbuatan penggunaan merek terdaftar tanpa seijin pemilik merek
merupakan kejahatan.
Dapat disimpulkan bahwa larangan-larangan penggunaan
merek terdaftar diatur dalam Pasal 90, 91, 92, 93 Undang-Undang Merek juga
meliputi larangan untuk memperdagangkan barang atau jasa yang patut diketahui
barang-barang tersebut menggunakan merek orang lain tanpa hak. Larangan ini
diatur dalam Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang Merek dan selanjutnya menurut
Pasal 94 ayat (2) menyatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk tindak pidana
pelanggaran.
D. Sanksi Atas Pelanggaran Merek
Ketentuan mengenai sanksi bagi pelanggar hak merek orang
lain dapat bersifat perdata, pidana ataupun administrasi bahkan dapat juga
tindakan pencegahan yang sifatnya non yuridis.
a) Penanganan Melalui Hukum Perdata
Pemakaian merek tanpa hak dapat digugat berdasarkan
perbuatan melawan hukum, yang didasarkan pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyatakan ”Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Dalam Hukum Perdata, pihak yang dirugikan dapat melakukan
gugatan untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Adapun
tindakan gugatan dari pihak yang dirugikan (Penggugat) mendasarkan gugatannya
atas dasar persaingan curang. Menurut Parker
J dalam tulisannya yang dikutip Djumhana dan Djubaedillah (1997:38)[30]
hal tersebut dikategorikan perbuatan melanggar hukum. Demikian
halnya sebagai pihak yang dirugikan harus dapat membuktikan bahwa dirinya
menderita kerugian karena perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
penggugat tersebut.
Kendati demikian gugatan atas pelanggaran merek menurut
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek berupa permintaan ganti rugi
dan atau dengan perintah penghent ian dari semua pemakaian merek tersebut
sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Merek.
Ketentuan ini merupakan landasan untuk menindak terhadap pelanggaran‑pelanggaran
merek terdaftar, dengan penerapan Pasal 76 UndangUndang Merek tersebut sebagai
dasar gugatan.
b)
Penanganan
Melalui Hukum Pidana
Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
mengatur mengenai sanksi pidana terhadap suatu tindakan yang melanggar hak
seseorang di bidang merek, yaitu Pasal 256 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana: ”Barang siapa memakai merek yang tulen untuk barang atau bungkusnya,
padahal merek itu bukan untuk barang atau bungkusnya itu dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain pakai barang itu seolah -olah merek tersebut
ditentukan untuk barang-barang itu.”
Pasal 393 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Barang
siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dari
Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan, atau mempunyai
persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau
sepatutnya harus diduganya, dipakaikan secara palsu nama, firma atau mereka
yang menjadi hak orang lain, atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah
tempat tertentu dengan ditambahkan nama, firma atau mereka yang demikian
sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”
Pasal 393 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Jika
pada waktu melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak adanya pemidanaan
yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga dapat dijatuhkan pidana
penjara paling lama sembilan bulan.
Ketentuan pidana menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 diatur dalam Pasal 90, 91, 92, 93 dan 94 Undang-Undang Merek.
Adapun tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindak
pidana merek diancam dengan pidana maksimum masing-masing yaitu:
a)
Lima
tahun penjara dan atau denda maksimal Rp. 1.000.000.000,00 untuk penggunaan
merek terdaftar yang sama pada keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa
sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.
b)
Empat
tahun penjara dan/atau denda sebesar Rp. 800.000.000,00 untuk penggunaan merek
terdaftar yang sama pada pokoknya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan.
c)
Lima
tahun penjara dan/atau denda Rp. 1.000.000.000,00 untuk penggunaan merek
terdaftar yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi-geografis untuk barang
yang sama atau sejenis dengan barang terdaftar.
d)
Empat
tahun penjara dan/atau denda Rp. 800.000.000,00 untuk penggunaan tanda yang sama
pada pokoknya dengan indikasigeografis untuk barang yang sama atau jenis
dengan barang terdaftar.
e)
Diberlakukan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan 4.
f)
Empat
tahun penjara dan/atau denda Rp. 800.000.000,00 untuk penggunaan tanda yang
dilindungi berdasarkan indikasi-asal yang bisa memperdaya atau menyesatkan
masyarakat.
g)
Satu
tahun penjara atau denda sebesar Rp. 200.000.000,00 bagi yang dalam sistem
Hukum Indonesia, tetap memberlakukan asasasas Lex Specialis Derogat Lex
Generalis yang mana Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun
2001 merupakan peraturan khusus, sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
merupakan peraturan umum sehingga yang dipakai adalah peraturan khusus.
E. Penanganan
Melalui
Administrasi
Negara
Negara
dapat menggunakan kekuasaannya dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hak
intelektual, untuk melindungi pemilik hak yang sah. Tindakan yang bisa
dilakukan melalui kewenangan administrasi negara diantaranya melalui Pabean,
Standar Industri, Kewenangan Pengawasan Badan Penyiaran, Kewenangan Pengawasan
Standar Periklanan. (Djumhana & Djubaidillah, 1997:207)[31]
a)
Penanganan
Oleh Pabean
Dalam
peraturan perundang-undangan kepabeanan di Indonesia, telah ada mekanis me
hukum untuk melindungi merek. Ketentuan pada Bab X Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan memuat ketentuan Larangan Pembatasan Impor atau Ekspor
serta Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Hasil Pelanggaran Hak Atas Kekayaan
Intelektual. Pelaksana tugas pokok dan funToyotai di bidang kepabeanan di
Indonesia diemban oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai menjalankan tugas kepabeanan berupa segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas bara ng yang masuk atau keluar
Daerah Pabean dan pemungutan Bea Masuk. Meskipun telah diatur kewenangan
instansi kepabeanan untuk mengawasi seluruh lalu lintas barang, tetapi dalam
hal pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran Hak Atas Kekayaan
Intelektual ini, masih memerlukan peran serta pemilik atau pemegang Hak Atas
Kekayaan Intelektual serta instansi teknis lainnya. Pemilik atau pemegang Hak
Kekayaan Intelektual dapat meminta kepada Pengadilan Negeri Setempat (daerah
hukumnya meliputi Kawasan Pabean, yaitu tempat kegiatan impor atau ekspor
tersebut berlanToyotaung) untuk mengeluarkan perintah tertulis yang ditujukan
kepada Pejabat Bea Cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang
impor atau ekspor dari Kawasan Pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga
merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia
(Pasal 10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan).
b)
Penanganan
oleh Badan Standar Industri
Barang-barang
yang memakai merek tidak sah dapat kita duga tidak memenuhi persyaratan standar
industri yang telah ditentukan, baik komposisinya maupun kualitasnya. Dengan
demikian, barang tersebut dapat dikatakan di bawah standar (inferior quality
goods or services), penggunaan merek yang tidak sah tersebut juga adalah
usaha untuk mengelabui konsumen. Tindakan
serupa tersebut merupakan salah satu objek pengawasan dari Badan Standar
Industri. Kenyataan seperti itu mengharuskan badan tersebut mengeluarkan
keputusan untuk melarang peredaran barang tersebut karena tidak terjaga
keamanannya juga sekaligus merugikan konsumen dan pemilik merek.
c)
Penanganan
oleh Badan Standar Periklanan
Pengawas periklanan dengan kewenangannya dapat mengontrol
situasi persaingan di pasaran melalui kode etik periklanan. Dengan demikian,
sedini mungkin dapat dicegah adanya pelanggaran terhadap hak merek orang lain.
Pengawas periklanan bisa melarang iklan merek yang menyesatkan konsumen,
sehingga konsumen dihindarkan dari kerugian.
BAB
III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
1.
Merek
sebagai hak tidak berwujud memiliki reputasi “keterkenalan“[32]
masing-masing. Dimana reputasi ini sekaligus menjadi harta yang tidak terlihat (intangible). Adapun kemashuran suatu merek, merek dapat dibedakan dalam tiga,
yaitu : Merek
biasa (normal marks),
Merek
terkenal (well know marks) dan Merek termashur (famous marks).
2.
Perlindungan
hukum terhadap merek sangatlah dibutuhkan sekali. Alasannya adalah pertama, untuk menjamin adanya kepastian
hukum bagi para penemu merek, pemilik merek, atau pemegang hak merek; kedua, untuk mencegah terjadinya
pelanggaran dan kejahatan atas Hak Merek sehingga keadilan hukum dapat
diberikan kepada pihak yang berhak; dan ketiga
adalah untuk memberi manfaaat kepada masyarakat agar masyarakat lebih terdorong
untuk membuat dan mengurus pendaftaran merek usaha mereka.[33]
3.
Cara
Pemerintah memberikan Perlindungan hukum HKI, dilakukan melalui dua jenis
kebijakan. Pertama adalah melakukan perlindungan
hukum dengan cara preventif, dimana
kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Kedua perlindungan hukum dilakukan secara represif, dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa.
Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila
dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila.[34]
DAFTAR
PUSTAKA
Dirjen Industri
Kecil Menengah Departemen Perindustrian, Kebijakan Pemerintah Dalam
Perlindungan HKI dan Liberalisasi Perdagangan Jasa Profesi di Bidang Hukum,
Jakarta 2007.
Djarwanto,
Pokok-pokok Analisa Laporan Keuangan, Edisi Kedua, Cetakan Pertama,
Yogyakarta:BPFE, 2004.
Harahap, Sofyan
S., Teori Akuntansi, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.
Muhammad
Djumhana dan R.Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan
Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1999.
Poerwadarminta,W.J.S.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka, Edisi Kedua, Jakarta, 1991.
Harsono
Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, Akademika Pressindo, Jakarta, 1990.
O.K.Saidin,
Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (intellectual Property Rights), RajaGrafindo
Persada, Jakarta,2002.
H.M.N
Purwosutjipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan,
Jakarta, 1980.
Mellisa Ung,
2008, Trade Mark Law And The Repercussions of Virtual Property, Common Law
Conspectus, Catholic University of America, 2008.
Freddy Rangkuti,
2002, The Power of Brand Teknik Mengelola Brand Equity dan Strategi
Pengembangan Merek Plus Analisa Kasus dengan SPSS, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Sudargo Gautama,
Hukum Merek Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1977
Gautama dan
Rizawanto Winata, 1997, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (dalam Rangka WTO,
TRIPs), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Cita Citrawinda,
Hak Kekayaan Intelektual Tantangan Masa Depan, (Jakarta; Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003),
Muhammad
Firmansyah, Tata Cara Mengurus HKI, (Jakarta: Visi Media, 2008),
Jill MeKeough
dan Andrew Stewart, Intellectual Property Rights in Australia, (Australia:
Butterworths.1997),
Helianti Hilman,
Manfaat Perlindungan Terhadap Karya Intelektual pada Sistem HKI, Disampaikan
pada Lokakarya Terbatas tentang “Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum
Bisnis Lainnya”, 10-11 Februari 2004, Financial Club, Jakarta
Harahap, M.
Yahya, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1992, Citra Adtya Bakti, Bandung. 1996,
Philipus M.
Hadjon, Perlindungan Hukum bagi rakyat di Indonesia: sebuah studi Tentang
Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Administrasi, (Surabaya: Paradaban
,2007),
Rachmad
Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum , Alumni, Bandung.
Moeljatno, 2000,
Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, Jakarta.
Iswi Hariyani,
Prosedur Mengurus HKI yang Benar, Pustaka Yustisia. Jakarta.
[1]
Dirjen Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian, Kebijakan Pemerintah
Dalam Perlindungan HKI dan Liberalisasi Perdagangan Jasa Profesi di Bidang
Hukum, Jakarta 2007. Hal.4
[2]
Dirjen Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian, Perlindungan Merek di
Indonesia, Jakarta 2007. Hal.4
[3]
Djarwanto, Pokok-pokok Analisa Laporan Keuangan, Edisi Kedua, Cetakan Pertama,
Yogyakarta:BPFE, 2004. Hlm.28
[4]
Harahap, Sofyan S., Teori Akuntansi, Bumi Aksara, Jakarta, 1996. Hlm.81
[5]
Harahap, Sofyan S, Op.Cit, Hlm.80
[6]
Harahap, Sofyan S, Op.Cit, Hlm.82
[7]
Harahap, Sofyan S, Op.Cit,. Hlm.85
[8]
Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan
Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1999. Hal.155
[9]
Poerwadarminta,W.J.S. Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka, Edisi Kedua,
Jakarta, 1991. Hal.649
[10]
Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, Akademika Pressindo, Jakarta,
1990. Hal.44
[11]
O.K.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (intellectual Property
Rights), RajaGrafindo Persada, Jakarta,2002. Hal.344
[12]
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan,
Jakarta, 1980. Hal.82
[13]
Mellisa Ung, 2008, Trade Mark Law And The Repercussions of Virtual Property,
Common Law Conspectus, Catholic University of America, 2008. Hal.4
[14]
Ibid, Saidin, hal.345
[15]
Freddy Rangkuti, 2002, The Power of Brand Teknik Mengelola Brand Equity dan
Strategi Pengembangan Merek Plus Analisa Kasus dengan SPSS, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. Hal.36
[16]
Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1977.
Hal.33
[17]
Muhammad Djumhana dan R.
Djubaedillah , Hak Milik
Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia,(Citra
Aditya Bakti : Bandung, 1999). hlm. 17
[18]
Gautama dan Rizawanto Winata, 1997, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia
(dalam Rangka WTO, TRIPs), Citra Aditya Bakti,
Bandung. Hal.83
[19]
Op.cit. hal.39
[20]
Op.Cit,. Hal 10
[21] Cita Citrawinda, Hak Kekayaan Intelektual Tantangan Masa Depan, (Jakarta; Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 17
[22]
Muhammad Firmansyah, Tata Cara Mengurus HKI, (Jakarta: Visi Media, 2008), hal.2
[23]
Jill
MeKeough dan Andrew Stewart, Intellectual Property Rights in Australia, (Australia: Butterworths.1997), hal. 2
[24]
Helianti Hilman, Manfaat Perlindungan Terhadap Karya Intelektual pada Sistem HKI, Disampaikan
pada Lokakarya Terbatas tentang “Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya”, 10-11 Februari 2004, Financial Club, Jakarta, hal. 4
[26]
Harahap, M. Yahya, Tinjauan
Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, Citra Adtya Bakti,
Bandung. 1996, hlm 10.
[27]
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi rakyat di Indonesia: sebuah studi
Tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Administrasi, (Surabaya:
Paradaban ,2007), hlm. 2.
[30]
Ibid, Djumhana dan Djubaedillahhal.38
[31]
Ibid,. hal.29
[32]
Harahap, Sofyan S., Teori Akuntansi, Bumi Aksara, Jakarta, 1996. Hlm.81
[34]
Harahap, M. Yahya,
Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992,
Citra Adtya Bakti, Bandung. 1996, hlm 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar