A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada dasarnya,
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem pemerintahan
Indonesia dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), dalam hal
ini terlihat bahwa kata “hukum” dijadikan lawan kata “kekuasaan”. Tetapi
apabila kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan
pemaksaan maka secara filosofis dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak
tertentu yang menguntungkan dirinya tetapi merugikan orang lain.
Dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
menentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Mengandung arti bahwa segala perilaku yang ada
dalam suatu negara, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang diperintah
(rakyat) harus berdasarkan atas aturan-aturan hukum dan bukan berdasarkan atas
kekuasaan. Hukum dijadikan sebagai panglima dalam kehidupan bernegara.
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis akan
mengangkat permasalahan dalam makalah ini, yakni:
1.
Mengapa penegakkan hukum di Indonesia tidak berjalan
sesuai dengan tujuan?
2.
Bagaimana pengaruh Filsafat Ilmu terhadap pelaksanaan good governance?
B.
SEJARAH FILSAFAT HUKUM
Pada awalnya para filsuf. Tak
ada perhatian yang dominan terhadap persoalan dirinya sebagai makhluk “Anima
Intelektiva”. Era filsuf di zaman pra-Socrates lebih banyak tertuju pada
alam semesta. Tampak pada penyelidikan yang dilakukan oleh Thales, dengan
asal-usul alam semesta ini bersumber dari air. Dan beberapa hasil penyelidkan
alam semesta lainnya seperti Anaximander yang berbeda dengan Thales, bahwa justru
segala isi alam semesta ini bersumber dari udara.
Observasi dan kesimpulan yang
diberikan oleh para Filsuf tersebut adalah penyelidikan pada wilayah “Fisika”,
bukan Metafisika. Dalam wilayah metafisika, penyelidikan dilakukan melalui “Diri
Manusia Itu Sendiri (Human Being).” Sehingga memunculkan pembahasan etika
dan moral.
Dari sinilah, sehingga “hukum”
itu erat kaitannya dengan filsafat. Oleh karena apa yang dibicarakan oleh
filsafat sebagai etika dan moral dapat diserah-terimakan dalan genggaman
“hukum”. Hukum menjadi induk kedua pokok persoalan tersebut. Demikian, maka
dalam aliran hukum alam (eternal law)
yang ramai diperdebatkan adalah keterkaitan hukum dan moral.
Filsafat hukum merupakan bagian
dari filsafat, maka hal yang penting untuk dipelajari sebelum memahami, apa itu
fisafat hukum ? terlebih dahulu apa yang dimaksud filsafat secara umum.
Menurut asal katanya filsafat
berasal dari kata yunani “Filosofia”. Filosofia merupakan kata majemuk
terdiri dari dua kata, “Filo” dan “Sophia”. Filo berarti cinta
dan Sophia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian Filosofia berarti Cinta
Akan Kebijaksanaan..
Terdapat banyak pengertian filsafat, setidaknya dapat
menjadi pegangan awal. Pengertian filsafat dari beberapa filsuf yang dirangkum
oleh Hasbullah Bakry dalam “Sistematika Filsafat”, sebagai berikut:
- Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli (Plato).
- Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (Aristoteles).
- Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakikat sebenarnya (Al- Farabi).
- Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan (Descartes).
- Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan: a) apakah yang dapat kita ketahui ? dijawab oleh metafisika; b)apakah yang seharusnya kita kerjakan ? dijawab oleh etika; c)sampai dimana harapan kita ? dijawab oleh agama; d) apakah yang dinamakan manusia ? di jawab oleh antropologi (Immanuel kant).[1]
Menurut hemat penulis untuk
mengetahui koneksitas “Ilmu Hukum” dan “Filsafat”, sederhana saja
dengan mencari pengertian hukum itu berdasarkan terminologi dalam arti bahasa
Arab. Dalam bahasa Arab, hukum berasal dari asal kata haqama_hikmaa_hikmaatun.
Berarti hakim, hikmat, bijaksana. Sehingga kata “kewicaksanaan” dalam
filosophia (Sophia) identik dengan arti hukum itu secara terminologi. Substansi
terdalam hukum juga adalah dalam pencapaian kebijaksanaan. Bukankah sasaran
hukum adalah keadilan, dan keadilan merupakan tujuan utama dari sikap yang
bijaksana (Sophia).
Penamaan filsafat hukum dari
berbagai negara terdapat perbedaan. Di Belanda digunakan istilah Wijbegeerte
Van Het Recht. Di Jerman digunakan istilah Rechtsphilosophie.
Prancis menggunakan istilah Cours De Philosophie Du Droit. Di Inggris
menggunakan istilah Philosophy Of Law. Bahakan ada yang menggunakan kata
Jurisprudence seperti Paton, Charles Conway dan Dias.
Sama halnya dengan pengertian filsafat hukum oleh L.B
Curzon (1985: 7) juga memakai istilah Jurisprudence dalam menghinpun
beberapa pendapat penulis, diantaranya:
- Jurisprudence adalah pengetahuan tentang sesuatu yang berkaitan dengan perihal ketuhanan maupun tentang kemanusiaan, pengetahuan tentang keadilan dan sebaliknya (Ulpian).
- Jurisprudence adalah ilmu pengetahuan formal tentang hukum positif (Holland).
- Jurisprudence adalah gabunga keilmuwan tentang prinsip-prinsip yang sebenarnya dari hukum (Allen).
- Jurisprudence adalah penelitian para ahli hukum tentang ajaran, tujuan dan daya kerja hukum yang berawal dari pengetahuan saat ini dalam disiplin lain dari pada hukum (Stone)
- Jurisprudence adalah suatu nama yang diterapkan terhadap cara penelitian tertentu atas hukum, suatu penelitian tentang tujuan hukum, suatu penelitian tentang tujuan hukum umum yang abstrak, umum dan teoritis yang mencoba meletakkan secara tepat prinsip-prinsip yang sebenarnya serta sistem hukumnya (Fitzgerald).
- Jurisprudence adalah semata-mata hukum pada umumnya. Setiap tindakan untuk mengembalikan suatu keadaan pada suatu peraturan adalah suatu upaya jurisprudence, walaupun menurut namanya dibatasi sampai peraturan-peraturan terluas serta konsepsi-konsepsi yang paling fundamental (Holmes).
- Teori jurisprudence berkenaan dengan teori pemikiran tentang hukum pada dasar-dasar yang paling memungkinkan (Dias).
- Jurisprudence adalah suatu diskusi teoritis secara umum tentang hukum dan prinsip-prinsipnya, sebagaimana dipertentangkan terhadap studi atas peraturan-peraturan hukum yang nyata (Jolowicz).
- Mencakup penelitian untuk mencari konsepsi-konsepsi mutakhir dalam istilah atas nama semua pengetahuan hukum dapat sungguh-sungguh dipahami (Hall).
- Jurisprudence adalah pengetahuan tentang hukum dalam berbagi bentuk dan manifestasinya (Wortley).
- Sebagai suatu studi tentang asumsi dasar dari para Juris (Cross).
- Pokok masalah dari jurisprudence adalah sangat luas, meliputi kefilsafatan, kesejarahan, sebagaimana halnya teori komponen hukum secara analitis (Bodenheimer)[2]
Pegangan dasar untuk memahami
arti filsafat hukum, tetap dikembalikan kepada asal-usul filsafat hukum yakni
filsafat hukum merupakan cabang Filsafat Moral dan Etika. Disamping itu,
objek pembahasan filsafat yakni pencarian hakikat atau inti terdalam daripada
hukum, karena dalam cabang ilmu hukum tidak diketemukan jawabannya.
Salah satu penulis yang
mengemukakan bahwa hukum ini tidak ada pendefenisiannya dan amat sulit
didefeniskan adalah Karl N. Lieweellyn (1962: 3),”kesulitan dalam memberikan
konsep tentang “hukum” adalah karena terlampau banyaknya perihal yang terkait,
sementara satu sama lain diantara perihal yang terkait ini sangat berbeda.”
Jika mengalami jalan buntu yang seperti ini, tak pelak Filsafat hukum akan
bekerja, dan bekerjanya itu adalah sebuah proses yang terus mencermati hukum
dalam memberi jawaban hakikat “hukum”
C.
SEJARAH HUKUM DI INDONESIA
Momentum reformasi tahun 1998 yang diawali
dengan tumbangnya orde baru, kembali menegaskan bahwa hukum adalah panglima
dalam kehidupan bernegara. Bukan ekonomi atau politik sebagaimana yang
diangung-agungkan pada era orde baru. Sebagai panglima dalam kehidupan
bernegara, hukum diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan warga negara tanpa
membedakan suku, agama, ras dan golongan.
Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh founding father pada tanggal 17 Agustus
1945 adalah awal pemberlakukan hukum nasional yang didasarkan pada landasan
ideologi dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pada awal
kemerdekaan, Indonesia belum memiliki hukum yang bersumber dari nilai-nilai
yang hidup di masyarakat yang berlaku secara nasional namun berdasarkan
pertimbangan politik dan nasionalisme, segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada masa kolonial Belanda masih tetap berlaku melalui proses
nasionalisasi, sepanjang sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka,
berdaulat dan religius.
Produk peraturan perundang-undangan kolonial Belanda
yang mengalami proses nasionalisasi diantaranya: Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi dari Wetboek
van Straafrechts, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan nasionalisasi
dari Burgerlijk Wetboek, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang merupakan nasionalisasi dari Wetboek van Koophandel. Selain menggantikan nama, pasal-pasal yang
tidak sesuai kebutuhan diganti dan ditambah dengan yang baru berdasarkan
nilai-nilai budaya bangsa.
Adanya nasionalisasi produk hukum kolonial Belanda ke hukum nasional, Indonesia telah
menganut sistem hukum civil law system yang
dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental termasuk Belanda. Pada perkembangan
selanjutnya, sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak selalu dipengaruhi
oleh Civil Law System. Terdapat empat
dari lima sistem hukum yang memengaruhi hukum di Indonesia, yaitu Civil Law System, Common Law System,
Socialist Law System dan Traditional
Law System.[3]
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dipahami dari
sudut pandang yang berbeda. Hukum berposisi sebagai penolong bagi pihak yang
diuntungkan dan menjadi kejam bagi pihak yang dirugikan. Hukum harus bersikap
netral bagi setiap pencari keadilan dan bukan bersifat diskriminatif, memihak
pada yang kuat dan berkuasa.
Permasalahan hukum di Indonesia timbul karena beberapa
hal, baik dari sistem peradilan, perangkat hukum, inkonsistensi penegakkan hukum,
intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Banyak perkara yang melibatkan
pihak penguasa atau oknum aparat penegak hukum yang bias sebelum masuk
pengadilan atau diputus bebas oleh hakim. Hal ini akan memunculkan pemahaman
ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum.
D.
FILSAFAT ILMU HUKUM
Filsafat Ilmu hukum adalah cabang filsafat yang
membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa
orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah
umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai
hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam
lembaga hukum. Dimana pengertian tersebut juga dapat ditinjau dari segi :
1. Segi semantik: perkataan filsafat
berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’,yang berasal dari bahasa Yunani,
‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ cinta, suka (loving), dan ‘sophia’
pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi’philosophia’ berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta kepadakebenaran. Maksudnya, setiap orang yang
berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut
‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya ‘failasuf”. Pecinta pengetahuan ialah orang
yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuanhidupnya, atau perkataan lain,
mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
2. Segi praktis : dilihat dari
pengertian praktisnya, filsafat bererti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’.
Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat.
Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah
semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar
juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak
benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf.
Supaya hukum yang dibangun dan dibentuk
memiliki landasan yang kokoh untuk jangka panjang dan tidak akan
dipertentangkan dengan pemahaman filsafat barat dan timur, pengetahuan tentang
filsafat hukum barat yang masih mendominasi pengetahuan filsafat hukum
Indonesia seharusnya diselaraskan dengan filsafat Pancasila sebagai Dasar
Negara RI.
Berikut ini adalah pengertian Filsafat Hukum
menurut beberapa ahli :
1. Menurut Apeldoorn,
Filsafat Hukum ialah petunjuk-petunjuk
mengenai nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan sekaligus menunjukkan ke
arah mana nilai-nilai tersebut akan berkembang.
2.
Lili Rasjidi
Filsafat Hukum merupakan refleksi teoritis
(intelektual) tentang hukum yang paling tua dan dapat dikatakan merupakan induk
dari semua refleksi teoritis tentang hukum.
3.
J. Gejssels
Filsafat Hukum adalah filsafat umum yang
mengarahkan refleksinya terhadap hukum dan gejala hukum.
4.
D.H.M. Meuwssen,
Pengertian Filsafat Hukum yaitu filsafat yang
merenungkan semua persoalan fundamental dan masalah-masalah perbatasan yang
berkaitan dengan gejala hukum.[4]
E.
RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM
Berkaitan dengan ajaran
filsafat hukum, maka Ruang Lingkup
Filsafat Hukum tidak lepas dari ajaran filsafat itu sendiri,
seperti :
1.
Antology hukum merupakan ilmu yang mempelajari hakekat hukum, contohnya
hakekat demokrasi, hubungan hukum dan moral lainnya.
2.
Axiology hukum yaitu mempelajari isi dari nilai seperti : kebenaran,
keadilan, kebebasan, kewajaran, penyalahgunaan wewenang lainnya.
3.
ideology hukum, yakni mempelajari secara terperinci dari keseluruhan
orang dan masyarakat yang memberikan dasar atau legitimasi bagi keberadaan
lembaga-lembaga hukum yang akan datang, sistem hukum atau bagian-bagian
dari sistem hukum.
4.
Teleology hukum merupakan ilmu yang menentukan isi dan tujuan hukum.
5.
Keilmuan hukum ialah ilmu meta teori bagi hukum.
6.
Logika hukum yaitu mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dan
sistem hukum dan struktur sistem hukum.[5]
F.
PEMBAHASAN FILSAFAT HUKUM DI INDONESIA
Salah satu fungsi
hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang
lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Guna
terciptanya ketertiban didalam masyarakat diperlukan suatu tatanan. Hukum
sebagai salah satu bentuk tatanan disamping kebiasaan dan kesusilaan, berperan
besar dalam terciptanya ketertiban. Hukum disini adalah hukum tertulis seperti
peraturan perundang-undang, putusan hakim (jurisprudensi),
perjanjian (traktat).
Perkembangan ilmu
hukum diawali oleh filsafat dan disusul oleh dogmatik hukum (ilmu hukum
positif). Diantara keduanya terdapat perbedaan yang tajam. Filsafat hukum
sangat spekulatif, sedangkan hukum
positif sangat teknis. Sehingga untuk menjebatani keduanya diperlukan teori
hukum yang semula berbentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer). Teori hukum berisi ciri-ciri umum seperti
asas-asas hukum maupun permasalahan yang sama dari berbagai sistem hukum.[6]
Dogmatik hukum
(ilmu hukum positif), teori hukum, filsafat hukum pada akhirnya harus diarahkan
kepada praktik hukum. Praktik hukum menyangkut dua aspek utama, yaitu
pembentukan hukum dan penerapan hukum.[7]
Kedua aspek tersebut diharapkan mampu mengatasi gejala hukum yang timbul
dimasyarakat sebagaimana tertuang dalam dogmatik hukum.
- Penegakkan Hukum (Law Enforcement)
Montesquieu membagi kekuasaan dalam tiga bidang yakni eksekutif, yudikatif dan legislatif
yang selanjutnya dikenal dengan Trias Politika. Indonesia berdasarkan UUD 1945
tidak menganut paham Trias Politika. Meski demikian pelembagaan berbagai
kekuasaan negara menunjukkan dengan tegas bahwa para perumus UUD 1945 sangat
dipengaruhi oleh ajaran Trias Politika.[8]
Pelembagaan berbagai kekuasaan negara dalam UUD 1945 tidak dipisahkan secara
tegas yang akan menimbulkan checking power
with power. Namun demikian masing-masing lembaga pemegang kekuasaan tetap
ada keterkaitan dan koordinasi (checks
and balances).
Sejak bergulirnya reformasi tahun 1998 yang
menumbangkan rezim orde baru, telah membawa perubahan besar dalam bidang
kehidupan politik dan hukum di Indonesia. Dalam bidang politik, telah banyak
bermunculan partai-partai politik dan masyarakat diberikan kebebasan dalam
membentuk dan memilih partai politik sesuai dengan aspirasinya. Dalam bidang
hukum, adanya amandemen UUD 1945 yang dijadikan dasar untuk menyelaraskan
berbagai peraturan perundang-undangan dibawah UUD untuk mencapai tujuan negara.
Meski reformasi telah berhasil mengganti kepemimpinan
nasional, bukan berarti permasalahan telah selesai. Dalam bidang hukum,
munculnya kasus korupsi yang melibatkan pejabat baik dipusat maupun didaerah,
munculnya Peraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi, timbulnya perselisihan antara lembaga penegak hukum seperti
kepolisian dengan KPK, dan masih banyak permasalahan negara yang butuh
penanganan yang serius dari pemerintah. Proses penegakkan hukum masih diskrimitatif dan tidak konsisten serta
parameter yang digunakan tidak objektif dan cendrung mengedepankan kepentingan
kelompok tertentu.
Perjalanaan reformasi selama hampir sebelas tahun
telah menyisakan permasalahan yang sama dengan masa orde baru yaitu
transparansi dalam penegakkan hukum. Hukum harus diposisikan sebagai panglima
dalam tingkah laku kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Baik masyarakat,
aparat pemerintah termasuk didalamnya aparat penegak hukum harus tunduk pada
hukum tanpa adanya diskriminatif dan segala permasalahan hukum wajib
diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku.
Penegakkan hukum di Indonesia saat ini masih jauh dari
harapan. Suatu gambaran diperoleh dalam penegakkan hukum di Indonesia, yakni
hukum akan ditegakkan manakala pihak-pihak yang terlibat adalah masyarakat
lemah. Namun hukum akan kehilangan fungsinya manakala
pihak yang terlibat menyangkut atau ada sangkut pautnya dengan oknum aparat
penegak hukum, penguasa dan pengusaha (orang kaya).
Salah satu contoh dari gambaran tersebut adalah
penanganan kasus dugaan suap PT Masaro Radiokom yang menimbulkan permasalahan
hukum antara pimpinan KPK nonaktif dengan Kabareskrim Mabes Polri. Tidak
transparannya proses pemeriksaan dan penyelidikan serta pengalaman masa lalu terhadap kinerja
kepolisian yang buruk menimbulkan opini masyarakat yang tidak percaya kepada
hukum. Tekad
pemberantasan korupsi di Indonesia semakin kabur dan tidak jelas. Aparat
penegak hukum yang diharapkan mampu melaksanakan pemberantasan korupsi ternyata
diduga tersangkut kasus korupsi. Dalam hal ini hukum tidak berfungsi dengan
baik.
Menurut Soerjono Soekamto, hukum dapat berfungsi
dengan baik diperlukan keserasian dan hubungan antara empat faktor, yakni:[9]
1.
Hukum dan peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan
perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan
lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum
tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala ketidakserasian antara hukum
tertulis dengan hukum kebiasaan, dan seterusnya.
2.
Mentalitas Petugas yang menegakkan hukum.
Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas
pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah
baik, akan tetapi jika mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi pada
sistem penegakkan hukum.
3.
Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan
hukum.
Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas
penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum
tidak akan berjalan dengan semestinya.
4.
Kesadaran dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Menurut Lawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat
tiga unsur dalam sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance)
dan Kultur Hukum (Legal Culture).[10]
Kendala penegakkan hukum di Indonesia disebabkan oleh keterpurukan dalam tiga unsur sistem hukum yang mengalami
pergeseran dari cita-cita dalam UUD 1945. Sebagai sumber hukum tertinggi, UUD
1945 telah menggariskan dasar bagi terlaksananya pemerintahan yang baik (good governance).
2. Substansi Hukum (legal substance).
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh
orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka
keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang
hidup (living law), bukan hanya
aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law
books).[11] Idealnya
tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan sebuah tatanan hukum nasional
yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan relasi antara warga negara,
pemerintah dan dunia internasional secara baik. Tujuan politik hukum yaitu
menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan, demokratis,
otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat,
bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik.[12]
Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan
suatu produk hukum yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang
berpotensi menimbulkan gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu
peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan
dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara.
Seringkali substansi hukum yang termuat didalam suatu
produk perundang-undangan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan kelompok
tertentu. Sehingga hukum yang dihasilkan tidak resposif terhadap perkembangan masyarakat. Akibat yang lebih luas
adalah hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan dan bukan sebagai pengontrol
kekuasaan atau membatasi kesewenangan yang sedang berkuasa.
Peraturan perundang-undangan dibuat oleh kekuasaan
yang diberikan wewenang oleh undang-undang. Menurut UUD 1945 kekuasaan membuat
undang-undang diberikan kepada DPR sebagai legislatif
dan Presiden sebagai Eksekutif. Dalam
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD
1945 menyebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang”.[13]
Rancangan undang-undang tersebut dibahas secara bersama-sama antara DPR dan
Presiden untuk mendapatkan persetujuan secara bersama.
DPR sebagai lembaga legislatif yang salah satu tugasnya adalah membuat undang-undang.
Produk undang-undang yang dihasilkan harus sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat, berbangsa dan bernegara yang tidak bertentangan dengan konstitusi
negara. Untuk saat ini, hampir sebahagian besar produk perundang-undangan yang
dihasilkan lembaga DPR masih jauh dari harapan. Terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang tidak relefan dan cendrung dipaksakan serta tidak
responsif.
Bahkan dalam UU kesehatan yang baru dikeluarkan salah
satu contoh, ayat yang mengatur tentang tembakau tidak tercantum. Tidak
diaturnya (hilangnya) ayat tentang tembakau dalam UU Kesehatan mencerminkan
bahwa kualitas dari anggota DPR patut diragukan.
Menurut Satjipto Rahardjo yang mengutib dari Radbruch,
terdapat nilai-nilai dasar dari hukum, yaitu Keadilan, Kegunaan dan Kepastian
hukum.[14]
Tidak jarang ketiga nilai dasar hukum tersebut saling bertentangan dalam
penegakkan hukum. Bila hal tersebut terjadi maka yang harus diutamakan adalah
keadilan, mengingat tujuan hukum adalah terciptanya rasa keadilan dimasyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang tidak responsif dan
demokratis hanya akan menimbulkan opini dimasyarakat yang dapat menggangu
stabilitas hukum, keamanan ekonomi dan politik. Sehingga untuk membentuk
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi yang berkembang
dimasyarakat harus bebas dari intervensi dan kepentingan pihak-pihak atau
kelompok tertentu.
- Struktur Hukum.
Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang
tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan secara
keseluruhan.[15] Struktur
hukum merupakan institusionalisasi kedalam beradaan hukum. Struktur hukum
disini meliputi lembaga negara penegak hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan,
Kepolisian, Advokat dan lembaga penegak hukum yang secara khusus diatur oleh
undang-undang seperti KPK. Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh
undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Termasuk dalam struktur hukum yakni hirarki peradilan
umum di Indonesia dan unsur struktur yang meliputi jumlah dan jenis pengadilan,
yurisdiksinya, jumlah hakim agung dan hakim lainnya.
Terdapat adagium yang menyatakan fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum
harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat
penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya
suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak
hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
Sudah terlalu sering kita mendengar bahkan melihat
diberbagai pemberitaan media massa, adanya oknum aparat penegak hukum yang
melakukan penyelewengan terhadap perkara-perkara tertentu demi kepentingan
pribadi maupun kelompoknya. Ketika penegak hukum memiliki kepentingan terhadap
suatu perkara maka sejak saat itulah hukum dikesampingkan. Sungguh ironis,
disaat masyarakat menghendaki terciptanya keadilan tercoreng oleh perbuatan
yang dilakukan oknum aparat penegak hukum.
Kebebasan peradilan adalah merupakan essensilia daripada suatu negara hukum,
sehingga oleh karena tegaknya prinsip-prinsip daripada suatu negara hukum
sebagian besar adalah tergantung dari ada atau tidaknya kebebasan peradilan
didalam negara tersebut.[16]
Sebagai sarana parameter penerapan demokrasi, kebebasan badan peradilan dalam
memeriksa dan memutus perkara harus dijamin oleh konstitusi.
Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi yang
bukan saja sebagai tempat terakhir menentukan hukum dalam arti konkret akan
tetapi juga sebagai tempat melahirkan asas dan kaedah hukum baru serta
teori-teori baru mengenai hukum.[17]
Makamah Agung juga memiliki kewenangan membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan pada tingkat kasasi,
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung.
Fungsi kontrol dari Makamah Agung mempunyai arti
penting bagi usaha penegakkan hukum di Indonesia karena dengan efektifnya
fungsi kontrol maka usaha penegakkan hukum menjadi lebih terjamin. Patut
disayangkan sekalipun fungsi ini tetap berjalan namun tidak begitu efektif,
bahkan sekarang banyak bermunculan makelar kasus yang berkeliaran di lingkungan
Makamah Agung. Bagaimana akan melakukan fungsi kontrol terhadap pengadilan lain
jika dari dalam sendiri tidak mampu melakukan kontrol atau pengawasan.
Sebagai contoh adalah lemahnya pengawasan Makamah Agung
dalam bidang administrasi putusan kasasi yang berakibat munculnya putusan palsu
(kasasi palsu). Sistem MA yang tertutup dan publik tidak memiliki akses
mengikuti sampai tuntas sebagai salah satu faktor penyebabnya. Sehingga perlu
adanya pembaharuan di MA yang meliputi Hakim Agung dan tata kerja sistem
kendali administrasi atau pembaharuan yang menyeluruh. Dengan kekuasaan dan
fasilitas yang semakin besar disatu pihak dan tidak ada pengawasan eksternal
dipihak lain, dapat menjadikan MA lebih menyeramkan dari keadaan sekarang.[18]
Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup
ruang lingkup yang sangat luas, meliputi; petugas strata atas, menengah dan
bawah. Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman
salah satunya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam
penegakkan hukum, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai
berikut:[19]
a.
Sampai sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang
ada,
b.
Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,
c.
Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh
petugas kepada masyarakat,
d.
Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan
yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas
pada wewenangnya.
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan
penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang
mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya
pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain
sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan
peran penting dalam memfingsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi
kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila
peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya
masalah masih terbuka.
- Budaya Hukum.
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8)
adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai,
pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan.[20]
Hukum dipercaya sebagai suatu lembaga penyeimbang yang
kuat terhadap ancaman disintegrasi dalam hidup bermasyarakat akibat benturan
kekuatan yang sama-sama ingin berkuasa dan sekaligus membatasi kesewenangan
yang sedang berkuasa. Hukum dalam bentuknya yang asli bersifat membatasi
kekuasaan dan berusaha untuk memungkinkan terjadinya keseimbangan dalam hidup
bermasyarakat. Berbeda dengan kekuasaan yang agresif dan ekspansionis, hukum
cendrung bersifat kompromistis, damai dan penuh dengan kesepakatan-kesepakatan
dalam kehidupan sosial dan politik.[21]
Hukum bisa bekerja sesuai dengan fungsinya jika
masyarakat patuh dan tunduk terhadap hukum yang berlaku. Hal ini bukan berarti
penyelesaian sengketa dimasyarakat diluar institusi hukum tidak dibenarkan.
Konstitusi sendiri mengakui hal tersebut, yakni dalam Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan bahwa
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam Undang-undang.”[22]
Peristiwa penyelesaian sengketa diluar institusi hukum
oleh masyarakat dibenarkan dan dijamin oleh konstitusi sepanjang penyelesaian
tersebut sesuai dengan undang-undang yang berlaku serta norma-norma yang ada
dimasyarakat. Sengketa masyarakat adat yang telah diselesaikan melalui
mekanisme hukum adat hendaknya negara tidak mencapurinya, dalam arti tidak
diproses kemabali lewat pengadilan. Bila hal tersebut terjadi akan menimbulkan
sengketa antara masyarakat adat dengan negara. Sebagai contoh sengketa antar
masyarakat adat Suku Anak Dalam yang terjadi di Kabupaten Sarolangun Jambi yang
telah diselesaikan melalui hukum adat masing-masing namun diambil alih oleh PN
Sarolangun. Akibat dari hal tersebut masyarakat Suku Anak Dalam menentang dan
timbul konflik dengan pengadilan.
Masyarakat yang menyerahkan sengketa atau permasalahan
hukumnya kepada institusi hukum kecuali didorong oleh kepentingan terlihat juga
adanya faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat
mengenai hukum. Orang secara sadar datang kepada hukum (pengadilan) disebabkan
oleh penilaian yang positif mengenai institusi hukum. Dengan demikian,
keputusan untuk membawa sengketa tersebut kedepan pengadilan pada hakikatnya
merupakan hasil positif dari bekerjanya berbagai faktor tersebut.[23]
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan
wujud kepercayaan masyarakat terhadap tegaknya hukum di Indonesia. Kepercayaan
masyarakat terhadap hukum akan bergeser manakala hukum tersebut tidak dapat
memberikan jaminan keadilan dan menimbulkan kerugian baik materi maupun non
materi. Berbelit-belitnya proses peradilan menyebabkan para pihak yang terlibat
menghendaki penyelesaian secara cepat dengan berbagai cara.
Cara yang ditempuh tersebut terkadang bertentangan
dengan aturan hukum yang berlaku dan aparat penegak hukum sendiri membuka
peluang terhadap cara yang dilakukan para pihak. Sehingga dampak yang lebih
luas adalah budaya hukum yang terbentuk dimasyarakat tidak selaras dengan
tujuan dan cita-cita hukum. Hukum dijadikan bisnis bagi para pihak yang
terlibat beserta aparat penegak hukum yang didalamnya terdapat tawar-menawar
perkara.
Sebagai contoh kecil rusaknya budaya hukum
dimasyarakat yakni penyelesaian terhadap pelanggaran lalu lintas yang dilakukan
melalui proses damai antara aparat penegak hukum dengan masyarakat yang melanggar.
Proses damai tersebut berisi tawar-menawar harga sebuah pelanggaran. Selain itu
juga usaha masyarakat untuk menghidar bila sudah berhadapan dengan permasalahan
hukum. Hal tersebut lebih disebabkan karena masyarakat tidak percaya terhadap
proses hukum di Indonesia.
Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum
masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya
hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama
ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan
salah satu indikator berfungsinya hukum.
Baik substansi hukum, struktur hukum maupun
budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam
pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola hidup aman,
tertib, tentram dan damai.
Disamping
tiga unsur sistem hukum yang penulis sebutkan diatas, kurikulum S1 pada
Perguruan Tinggi Hukum di Indonesia juga bermasalah. PTH yang ada di Indonesia
dalam pelaksanaan pendidikan kepada mahasiswa selalu terfokus pada
pelaksanaan/penerapan dari suatu produk peraturan perundang-undangan (corong
UU).[24]
Sehingga hasil yang dicapai oleh mahasiswa hukum setelah menyelesaikan studinya
akan menghasilkan sarjana hukum yang berusaha menerapkan peraturan
perundang-undangan sebagaimana adanya.
Idealnya
dalam kurikulum pada PTH berorientasi pada:[25]
-
Law Reform and Development,
-
Ius Constituendum,
-
Comperative Law (Ius
Comperendum)
-
Global Trend
-
Membentuk
pemikir/perancang/pembaharuan
Demikian
kompleknya permasalahan dalam penegakkan hukum di Indonesia yang tidak hanya
bermuara pada sistem hukum namun juga pada proses penciptaan aparat penegak
hukum melalui kurikulum PTH, sehingga untuk pembenahannya dibutuhkan komitmen
kuat dan tegas dari pembentuk kebijakan dalam merumuskan politik hukum nasional
(legislatif, eksekutif dan yudikatif), aparat penegak hukum, kalangan akademisi
hukum, ahli-ahli hukum dan masyarakat melalui peningkatan kesadaran hukum
masyarakat dengan selalu berpedoman pada landasan filosofis (pancasila) dan
konstitusional (UUD 1945) serta norma-norma yang ada dan berkembang
dimasyarakat.
- Pengaruh Penegakkan Hukum terhadap Pelaksanaan Good Governance.
Ubi sociates
ibi ius dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Hukum bukanlah suatu
institusi yang statis, hukum berubah dari waktu kewaktu. Hukum berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakat. Munculnya konsep Rule of Law tidak secara tiba-tiba melainkan hasil dari beberapa
proses perkembangan hukum didunia.
Saat ini negara-negara didunia termasuk Indonesia
pada umumnya termasuk kedalam kategori hukum yang moderen. Menurut Satjipto
Rahardjo, modernitas mempunyai ciri-ciri:[26]
1.
Mempunyai bentuk tertulis.
2.
Hukum itu berlaku untuk seluruh wilayah negara.
3.
Hukum merupakan instrumen yang dipakai secara sadar
untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.
Hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat[27]
dapat diamati dari produk perundang-undang dan yurisprudensi. Pada negara yang
menganut sistem hukum civil law system
fungsi hukum ini akan terasa, karena dalam civil
law system lebih menonjolkan peraturan perundang-undangan. Sehingga untuk
mencapai pembahuruan dalam masyarakat yang mengarah pada terciptanya
kesejahteraan diperlukan hukum yang baik sesuai dengan hukum yang hidup didalam
masyarakat atau mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Salah satu ciri hukum moderen yakni hukum merupakan
instrumen yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan
politik masyarakatnya. Sebagai salah satu indikator suatu negara telah mengarah
pada hukum moderen, bentuk, mekanisme, dan substansi perundang-undangan
menempati posisi penting. Dalam pembentukan hukum apakah telah rasional,
transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan
ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas,
ortodoks, dan reduksionistik.
Terciptanya hukum moderen erat kaitannya dengan
pelaksanaan good governance. Untuk
melangkah kearah hukum moderen, perlu adanya pembenahan dalam pemerintahan
melalui good governance. Good governance menurut Lembaga
Administrasi Negara (LAN) adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam
melaksanakan penyediaan public good and
service.[28] Pinto
mengartikan governance sebagai
praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam
pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi pada
khususnya.[29]
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang mampu
menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung
jawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara yang mencakup asas
kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum,
asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas
akuntabilitas.
Konsep pemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud bila pemerintahan diselenggarakan
dengan transparan, responsif, partisipasif, taat pada ketentuan hukum,
berorientasi pada konsensus, adanya kebersamaan, akuntabilitas dan memiliki
visi yang strategis. Pemerintahan dikatakan baik jika tujuan bersama dijalankan
dengan baik, memperhatikan proses pembuatan keputusan, menjalankan fungsi
peraturan, kekuasaan dijalankan sebagaimana mestinya dan lembaga yang teratur.
Good governance
dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satu syarat kehidupan demokrasi adalah adanya penegakkan hukum yang adil
dan dilaksanakan tanpa pandang buluh. Sebagai langkah awal penciptaan good governance adalah membangun sistem
hukum yang sehat, baik perangkat lunak (soft
ware), perangkat keras (hard ware),
maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya (human ware).[30]
Sumber
daya manusia sebagai faktor penentu berhasil atau tidaknya pelaksanaan
penegakkan hukum dalam konteks good
governance, harus benar-benar memiliki kualitas. Kualitas dalam hal ini
ialah kualitas dari segi keilmuan dalam bidang law making dan law enfocement
dengan cara:[31]
-
Menghilangkan
kebijakan-kebijakan yang bermasalah dan orientasi parsial,
-
Tidak
dibenarkan untuk mendatangkan saksi ahli dari kalangan ahli/pakar hukum pada
sidang pengadilan, karena asumsinya adalah para penegak hukum merupakan
ahli/pakar dibidang hukum.
-
Penegakkan
hukum harus dengan Ilmu Hukum dan bukan dengan ilmu lain (power/politik uang)
Tujuan penegakan hukum antara lain adalah untuk
menjamin adanya kepastian hukum yang juga merupakan salah satu asas umum
penyelenggaraan negara. Setiap tindakan aparat hukum baik pada tingkat
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun upaya hukum, eksekusi dan eksaminasi
harus selalu berpegang kepada aturan hukum yang juga merupakan ciri dari good governance. Penegakkan hukum tidak hanya dimaksudkan untuk
menjatuhkan hukuman kepada setiap pelanggar hukum, penegakkan hukum juga dimaksudkan agar
pelaksanaannya harus selalu berpedoman kepada tata cara atau prosedur yang
telah digariskan oleh undang-undang dengan memperhatikan budaya hukum yang
hidup di masyarakat terutama harus mampu menangkap rasa keadilan yang hidup di
masyarakat.
Aparat penegak hukum juga dituntut untuk memperhatikan
asas tertib penyelengaraan negara. Salah satu ciri penegakkan hukum yang baik tercermin dari
tertib administrasi di dalam proses penegakkan hukum serta adanya keterpaduan dan keserasian antar aparat
penegak hukum khususnya dalam sistem peradilan pidana yang dikenal dengan integrated criminal justice system.
Keterpaduan antar aparat penegak hukum tersebut tidak
boleh disalahartikan sehingga hanya mengedepankan kerjasama antar aparat hukum
saja yang dapat mengakibatkan terjadinya bias yang mengarah kepada tidak
tertibnya administrasi atau bahkan dilanggarnya hukum. Kerja sama antar aparat hukum
dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakkan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan
serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara. Dengan kata
lain, keterpaduan dimaksudkan untuk terciptanya efektifitas dan efisiensi yang
merupakan ciri lain dari good governance
dengan tetap selalu memperhatikan hukum dan tertib administrasi.
Aparat penegak hukum yang juga merupakan bagian dari
masyarakat luas dituntut untuk senantiasa memperhatikan Asas Kepentingan Umum.
Aparat penegak hukum harus selalu peka dan aspiratif terhadap perkembangan
masyarakat yang semakin sadar hukum dan kritis terhadap praktek hukum yang ada.
Reformasi hukum sebagai salah satu dari agenda reformasi yang dituntut oleh
masyarakat tidak hanya menghendaki adanya perbaikan pada materi atau peraturan
hukum, melainkan juga peningkatan kinerja aparat penegak hukum. Kepekaan aparat
penegak hukum harus tergambar jelas pada pola perilaku dan profesionalisme
serta kinerja aparat penegak hukum yang merupakan cerminan dari Asas
Profesionalitas. Setiap aparat penegak hukum dituntut untuk selalu meningkatkan
kemampuan dirinya baik secara teknis maupun akademis, karena hal tersebut
merupakan konsekuensi logis dari cepatnya perkembangan teknologi modern yang
juga berpengaruh kepada perkembangan psikologi masyarakat modern. Aparat
penegak hukum dituntut untuk selalu bersedia mengikuti perkembangan ilmu sesuai
dengan kemajuan teknologi dengan tanpa meninggalkan sosial budaya bangsanya.
Etika profesi aparat penegak hukum harus selalu diorientasikan kepada
kepentingan umum masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Hasan
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, tahun 1993,
cet. ke 9
·
Johni
Najwan, SH, MH, Ph.D, filsafat hukum untuk Mahasiswa Program Magister Ilmu
Hukum, Senin, 2009.
·
Titik
Triwulan Tutik, 2006. Pengantar ilmu Hukum. Yang menerbitkan Prestasi
Pustakaraya : Jakarta.
·
Philipus
M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2009
·
Moh.
Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum diIndonesia, Gama Media, Yogyakarta,
1999
·
Soerjono
Soekamto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1998
·
Achmad
Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia,
Ciawi-Bogor, Cetakan Kedua, 2005
·
Imam
Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2008
·
Amandemen
pertama UUD 1945.
·
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan kelima, 2000,
hal. 19.
·
Abdurrahman,
SH, Aneka Masalah dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung,
1980
·
Bagir
Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH. UI Press, Yogyakarta, 2004, hal. 116.
·
Zainuddin,
Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 95.
·
Peter
Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2009
·
Roscoe
Pound Introduction to the Philosophy of
Law (1954).
·
Lembaga
Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,
Akuntabilitas dan good Governance, Jakarta, 2000, hal. 1.
·
Pinto
dalam Sadjijono, Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, LaksBang Yogyakarta, Yogyakarta, Cetakan kedua,
2005, hal. 180.
·
Ibid
[1] Hasan
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, tahun 1993,
cet. ke 9
[2] Hasan
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, tahun 1993,
cet. ke 9
[3]
Johni Najwan, SH, MH, Ph.D, filsafat
hukum untuk Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum, Senin, 2009.
[4] Titik
Triwulan Tutik, 2006. Pengantar ilmu Hukum. Yang menerbitkan Prestasi
Pustakaraya : Jakarta.
[5] Titik
Triwulan Tutik, 2006. Pengantar ilmu Hukum. Yang menerbitkan Prestasi
Pustakaraya : Jakarta.
[6]
Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri
Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2009, hal. 9.
[8]
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum diIndonesia,
Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 274.
[9]
Soerjono Soekamto, Teori Sosiologi
tentang Pribadi dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal.
83-84.
[10]
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan
Solusinya, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, Cetakan Kedua, 2005, hal. 1.
[12]
Imam Syaukani, A. Ahsin
Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum,
PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2008, hal. 72.
[13]
Amandemen pertama UUD 1945.
[14]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan kelima, 2000, hal. 19.
[15]
Achmad Ali, Op Cit.
[16]
Abdurrahman, SH, Aneka Masalah dalam Praktek Penegakan Hukum
di Indonesia, Alumni, Bandung,
1980, hal. 1.
[17]
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH. UI
Press, Yogyakarta, 2004, hal. 116.
[19]
Zainuddin, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 95.
[20]
Achmad Ali, Op Cit, hal. 2.
[21]
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media
Group, Jakarta,
2009, hal. 83.
[22]
Amandemen kedua UUD 1945.
[23]
Satjipto Rahardjo, Op Cit, hal. 154 –
155.
[24]
Johni Najwan, SH, MH, Ph.D, Disampaikan
pada kuliah filsafat hukum untuk Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Jambi, Senin 19 Oktober 2009.
[27]
Berasal dari Roscoe Pound
dalam bukunya yang terkenal An
Introduction to the Philosophy of Law (1954).
[28]
Lembaga Administrasi Negara
dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Akuntabilitas dan good
Governance, Jakarta,
2000, hal. 1.
[29]
Pinto dalam Sadjijono, Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good
Governance, LaksBang Yogyakarta, Yogyakarta,
Cetakan kedua, 2005, hal. 180.
[30]
Sadjijono, Op.Cit, hlm. 189.
[31]
Johni Najwan, SH, MH, Ph.D, Op.Cit, Senin 7 Desember 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar