Rabu, 27 Juli 2016

Kajian Filsafat Jepang dalam Memahami Prinsip Kaizen sebagai Falsafah Kerja Masyarakat Jepang







BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Istilah filsafat di negara Jepang disebut Kitetsugaku yang berarti ilmu mencari kebenaran/kebijaksanaan. Istilah ini diperkenalkan oleh Nishi Amane yang selanjutnya istilah ini diganti menjadi tetsugaku.
Keberadaan sejarah filsafat di Jepang tidak cukup untuk membuktikan bahwa filsafat Jepang cukup dikenal. Dapat dikatakan bahwa filsafat yang ada di Jepang diadopsi dari filsafat Cina (dan juga mengadopsi dari Barat). Sebab Jepang tidak memiliki filsafat asli.
Pada mulanya, ketika agama Buddha masuk ke Jepang tepatnya ketika kerajaan Korea mengirimkan delegasi kepada kaisar Kimmeo Teno di Jepang. Disamping membawa hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha (Ali, 1988).[1]
Beberapa tahun kemudian berbagai buku dan literatur tentang Buddhism yang memuat banyak tentang filsafat dan nilai-nilai prinsip mulai masuk lewat negara China pada masa dynasty Sui.
Setelah empatpuluh tahun Kaisar Jepang Pangeran Shotoku meresmikan Buddha sebagai agama resmi negara. Sebagai agama baru tentu saja tidak lepas dari penolakan dan juga tekanan.
Pada masa pemerintahan militer Oda Nobunaga, agama Buddha mengalami masa suram karena pemerintah saat itu bersikap antipati terhadap agama ini. Hal ini disebabkan karena pada masa itu muncul banyak pemberotakan oleh rakyat menentang pemerintah yang kebetulan didukung oleh pendeta Buddha khususnya dari sekte Tendai di kuil Hiei.
Pemberontakan akhirnya berakhir dengan penyerbuan ke kuil di yang terletak di atas puncak bukit itu dan membunuh ribuan pengikutnya. Setelah terjadi beberapa peristiwa buruk, maka pada tahun 1867 pemerintah Tokugawa menyerahkan kekuasaan pada kaisar Meiji.
Dengan demikian pemerintahan Tokugawa berakhir dan kekuasaan penuh berada di tangan kaisar. Kemudian muncullah Restorasi Meiji. Restorasi Meiji ini muncul akibat dari kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan Shogun yang dianggap lemah. Hal tersebut diawali dengan peristiwa terjadinya pembukaan Jepang oleh Commodore Perry (Perjanjian Shimoda, 30 Maret 1854).
Hal tersebut disebabkan : (1) Pemerintah Bakufu berpegang pada politik Isolasi, karena takut akan masuknya pedagang-pedagang asing yang berakibat masuknya juga imperialisme asing. (2) Pada tahun 1842 Tiongkok telah dibuka untuk bangsa Asing oleh Inggris, dan habis dibagi dalam daerah-daerah pengaruh antara Inggris, Perancis, Rusia. Jadi tinggal Jepang saja yang belum tersentuh. (3) Amerika serikat membutuhkan tempat transit, dalam pelayaran antara panatai barat USA dan kebetulan Jepang memiliki pelabuhan alam yang baik dan mengandung kemungkinan-kemungkinan perdagangan (teh, sutera) yang sangat menguntungkan. (4) Kepulauan Jepang merupakan batu loncatan ke Tiongkok yang baik. (Soebantardjo, 1958: 7)[2]
Pada masa Periode Meiji (1868-1912) pemerintah menetapkan Shito sebagai agama resmi negara sehingga secara tidak langsung menempatkan agama Buddha dalam posisi yang berseberangan. Pada masa itu banyak kuil Buddha yang ditutup dan pemerintah memaksa para rahib untuk berkeluarga.
Sejak itu sampai sekarang banyak kuil yang beralih status menjadi Kuil Keluarga yaitu kuil yang pengelolaanya dilakukan secara perorangan dan wariskan secara turun temurun dari bapak ke anaknya.
Walaupun banyak kuil yang ditutup, namun buku-buku dan ajaran berkenaan prinsip-prinsip dan falsafah hidup sudah tersebar di kalangan masyarakat tradisional Jepang. Inilah awal mulanya perkembangan filsafat di jepang.
Melalui perkembangan ini, banyak sekali bermunculan falsafah-falsafah hidup yang baru, sehingga terbagi menjadi beberapa aliran filsafat. Dalam beberapa aliran filsafat ini salah satu prinsip yang populer dikenal sampai sekarang adalah falsafah Kaizen.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah, bagaimana falsafah kaizen ini mampu membangun jiwa semangat masyarakat Jepang sampai sekarang. Mengapa dengan falsafah ini ekonomi Jepang tetap kuat menghadapi krisis minyak bumi dan resesi dunia. Mengapa sementara di kebanyakan negara industri Barat produktifitas merosot dan inflasi melonjak, di Jepang inflasi berhasil ditekan rendah, dan produktifitas bahkan meningkat?. Selain itu, mengapa barang-barang ekspor Jepang makin kuat daya saingnya di pasaran internasional?. Dimana Jepang dapat menggeser Inggris sebagai penghasil utama sepeda motor. Bahkan Jepang dapat mengalahkan Jerman Barat dalam produksi mobil dan kamera, juga dapat melampaui industri jam Swiss yang terkenal, dan dapat menyaingi komputer AS?
Tak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut terjadi karena faktor tertentu yang dimiliki oleh bangsa Jepang itu sendiri. Makalah ini akan membahas faktor filsafat Jepang, yaitu Kaizen, yang diperkirakan memiliki kontribusi sangat besar dalam membangun sumber daya manusia, sehingga mereka mampu dalam bersaing di kancah global.
Dalam bahasa Jepang, kaizen berarti perbaikan berkesinambungan. Istilah ini mencakup pengertian perbaikan yang melibatkan semua orang –baik manajer dan karyawan—dan melibatkan biaya dalam jumlah yak seberapa. Filsafat kaizen berpandangan bahwa cara hidup kita—apakah itu kehidupan kerja atau kehidupan sosial maupun kehidupan rumah tangga—hendaknya berfokus pada upaya terus menerus. Konsep ini dirasakan begitu alamiah dan dipahami benar oleh banyak orang Jepang, bahkan sampai mereka tak menyadari bahwa mereka memilikinya.[3]
Meski perbaikan dalam kaizen bersifat kecil dan berangsur, namun proses kaizen mampu membawa hasil yang dramatis mengikuti waktu. Konsep kaizen menjelaskan mengapa perusahaan tak dapat tetap statis untuk jangka waktu lama di Jepang. Manajemen Barat, di sisi lain, memuja inovasi: perubahan besar-besaran melalui terobosan teknologi; konsep manajemen atau teknik produksi mutakhir. Inovasi memang dramatis, punya daya tarik istimewa yang besar.
Kaizen, sebaliknya, seringkali tidak dramatis bahkan biasa-biasa saja. Namun inovasi merupakan upaya sekali tembak, dan hasilnya seringkali membawa dampak sampingan masalah; sedangkan proses kaizen diterapkan berdasarkan : “akal sehat dan berbiaya rendah”, menjamin kemajuan berangsur yang memberikan imbalan hasil jangka panjang. Kaizen adalah juga pendekatan dengan resiko rendah. Manajer akan selalu bisa kembali ke cara lama tanpa melibatkan biaya yang tinggi.
Misalkan kita bandingkan sepeda motor buatan Jepang dengan Harley Davidson. Memang sepeda motor tersebut murah. Tapi soal mutu dan manfaat, lebih mudah diterima di lapisan masyarakat Dengan kata lain, teknologi tepat guna sesuai kebutuhan hidup lebih mampu diterapkan oleh Jepang. Secara logika, kita pasti tahu mana yang terbaik, antara sepeda motor ringan, berkualitas baik, irit bensin dan harga murah ataukah motor besar, berat, prestise “kesombongan” dan mahal ?

1.2  Permasalahan
1.      Bagaimana perkembangan filsafat di Jepang ?
2.      Bagaimana konsep pemikiran filsafat Kaizen ?
3.      Bagaimamna penerapan filsafat Kaizen dimasyarakat ?

1.3  Tujuan
1.      Mengetahui perkembangan filsafat di Jepang ?
2.      Mengetahui konsep pemikiran filsafat Kaizen ?
3.      Mengetahui penerapan filsafat Kaizen dimasyarakat ?

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Filsafat Jepang
Istilah filsafat di negara Jepang disebut Kitetsugaku yang berarti ilmu mencari kebenaran / kebijaksanaan. Istilah ini diperkenalkan oleh Nishi Amane (1829-1897) pada tahun 1862.
12 tahun kemudian ia menyingkat istilah tersebut menjadi Tetsugaku. istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang dirasakan menguntungkan jepang, sebagai suatu kondisi yang diperlukan untuk membangun masyarakat modern. Tetsugaku adalah kata dalam bahasa Jepang untuk filsafat.
Tetsugaku digunakan untuk menggambarkan bahwa orang–orang Jepang terkadang memilih terhadap hal-hal yang dapat membantu pembangunan masyarakat modern, terkadang muncul ketidakpercayaan akibat hilangnya spiritualitas dan munculnya ancaman yang bersifat etnosentris karena mereka tidak terbiasa dengan hal-hal yang baru.

2.2  Aliran-aliran Filsafat Jepang
Masyarakat jepang mengalami perkembangan pesat dalam filsafat, sebab kebudayaan masyarakat jepang memang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai falsafah hidup.
Kebutuhan masyarakat jepang pada nilai-nilai falsafah sangat tinggi, sehingga hadir beberapa aliran-Aliran Filsafat di Jepang, seperti:
A.    Aliran Zen
Madzhab Chan di Jepang disebut dengan madzhab Zen, dan masuk di Jepang kira-kira tahun 1200. Aliran ini mempunyai tujuan untuk memidahkan pikiran Buddha secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif. Oleh karena itu aliran ini lebih menekankan pada displin dalam melakukan samadi untuk mencapai pencerahan, dan menolak doa-doa atau kepercayaan terhadap adanya juru selamat. (Ali Mukti.1988)[4]
Aliran ini terbagi menjadi dua golongan besar yaitu: Soto Zen, dengan tokohnya yang bernama Dogen ( (19 January 1200 - 22 September 1253) yang merupakan seorang guru Zen termasyur di Jepang. Tokoh ini pernah lama belajar dan memperdalam ilmunya di negeri China. (Ali Mukti.1988)[5]
Peninggalan salah satu kuil Zen yang sangat terkenal yaitu Eiheiji Temple di Perfecture Fukui, dimana disitu terlihat  jelas refleksi dari ajaran Zen tersebut... Dan yang kedua aliran Rinzai dengan tokohnya yang bernama Eisai.
Aliran yang tersebut akhirnya berkembang di kalangan militer dan aristocrat serta menjadi tulang punngung kelas penguasa dan militer. Sementara yang pertama yaitu aliran Soto Zen  itu lebih banyak dianut oleh kalangan para petani dan bergerak dalam kegiatan social, yang memiliki perguruan tinggi dan sekolah-sekolah yang cukup banyak. (Ali Mukti.1988 , h. 144)[6]
B.     Aliran amida (Tanah Suci)
Madzhab amida berkembang di Jepang seseudah tahun 950. Aliran ini Amida atau Tanah Suci mengengemukakan suatu ajaran keselamatan dalam istilah-istilah yang sederhana, yaitu: percaya kepada Buddha secara mutlak. dan dengan menyebut Amida orang akan memperoleh keselamatan. Aliran ini mendapat banyak pengikut di kalanagan petani dan menjadi semacam agama messianis pada saat terjadi kemelut sosial. Objek pemujaan aliran ini adalah patung Amida Buddha, yang dilengkapi dengan patung bodhisatwa Kwan On yang melambangkan kemurahan dan patung Daiseishi sebagai lambang kebijaksanaan. (Ali Mukti.1988 , h. 143)[7]
C.    Aliran Nichiren Soshu
Sekte ini lahir di Jepang oleh pendirinya Nichiren Sozu Daishonin pada tahun (1222-1282) yang asal mulanya dari sekte Tendai (Jep.) (T’ien-t’ai). Beliau anak dari keluarga nelayan yang miskin, tinggal di desa kecil yang bernama Kominato, Tojo daerah Nagasa propinsi Awa (prefecture Chiba Modern), Ia dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1222.
Dia menjadi murid Dozenbo (12 mei 1233) di kuil koyosu-mi-dera yang terletak di atas Gunung Kiyosumi. Dalam ruang Buddha dari kuil itu terdapat ruphang Bodhisattva Kokuzo (Bodhisatva dari angkassa, karena kearifannya seluas angkasa). Dia bernazar di hadapan Bodhisatva ini bahwa kelak dia akan menjadi seorang yang paling bujaksana di Jepang. Pada usia 15 tahun dia di-upasampada-kan menjadi sramanera.
Dengan seijin gurunnya Dozenbo, Nichiren Daishonin (dalam usia 17 tahun ) pergi ke tempat lain untuk pelajaran Buddhism yang lebih dalam. Pertama-tama dia pergi ke Kamakura, hanya 4 bulan, dia belajar disini. Kemudian ia kembali lagi ke Kiyosumi-dera. Selanjutnya ia pergi ke kuil Enryakuji yang terletak di atas gunung Hei, tempat ini di anggap pusat terpenting ilmu pengetahuan Buddhism di Jepang pada waktu itu selama 12 tahun dia belajar.Pada tahun 1253, Nichiren Sozu Daishonin kembali ke kuilnya Kiyosumi-dera.
Beliau dalam usia 30 tahun menyatakan hasil dari pelajarannya dan pengalamannya dengan keyakinannya bahwa ‘Sutra Teratai’ (Saddharma Pundarika Sutra, Hokkekyo) dan mantera ‘Nam-myoho-renge-kyo’ merupakan inti sari dari Sutra Taratai. Dan Sutra Teratai adalah jantung dari agama Buddha Shakyamuni di zaman  Mappo (Mo Fa) atau Hari kemudian mrnjadi Hukum.(Suwarto: 1995, h.520-521) [8]
Nichiren Shō Shū yang artinya Sekte Benar Nichiren, Nichiren Sozu ini didirikan pada tahun 1253 oleh pendeta Nikkō, murid pendeta Nichiren. Sekte Nichiren adalah salah satu sekte Buddha yang cukup unik.
Keunikannya adalah sekte ini adalah tidak melakukan penyembahan ke arca Buddha seperti yang umum dilakukan pada tradisi Buddha lainya. Sebagai gantinya mereka meletakkan Mandara, tulisarn atau huruf Jepang yang berisikan mantra atau tulisan suci yang dikeramatkan.
Ajarannya Nichiren Sozu ini bertujuan mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan menolak  ritualisme dan simentalisme aliran Tanah Suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tetapi eksklusif.
D.    Yosidha Shinto
Selain ketiga aliran besar di atas, pada abad ke-14 muncul aliran keagamaan yang bercorak Shinto yang di padukan dengan agama Buddha dan Konfusianisme dengan nama Yosidha Shinto.
Menurut aliran ini, agama Buddha dapat di anggap sebagai bunga dan buah dari semua dharma di alam ini, Konfusianisme sebagai cabang rantingnya, dan agama Shinto sebagai akar dan batangnya. (Ali Mukti: 1988)[9]
E.     Aliran Neo-Konfusis
Ajaran ini memiliki daya tarik lebih besar dibandingkan dengan ajaran Budha. Dalam masa 200 tahun antara tahun 1608 dan abad XIX, pemikiran Konfusius di Jepang berkembang menjadi bermacam ragam. Diantaranya:
a)                  Kelompok Kumazawa Banzan (1619-1691), menempatkan moral di atas kepentingan negara.
b)                 Kelompok Ogyu Sorai (1666-1728), ia menolak pemikiran tindakan penguasa harus didasarkan pada filsafat moral, melihat Shogun sebagai penguasa mutlak yang didukung oleh pejabat bukan faktor keturunan. Dengan demikian, Ogyu membandingkan kedudukan Shogun dengan kedudukan raja-raja di Cina. Namun, Ogyu mengalami dua kesulitan, yaitu pertama, Jepang memilikii raja yang kedudukannya lebih tinggi dari Shogun, kedua, pejabat pemerintah pusat Jepang adalah Samurai, yang dipilih oleh Shogun berdasarkan status sosial mereka. Olehsebab itu, situasi Jepang tidak sepenuhnya sesuai dengan kategori yang ada dalam ajaran Konfusis. (W.G. Beasley: 2003)[10]
F.     Aliran Mito
Dipelopori oleh Tokugawa Mitsukuni (1628-1700_. Para anggotanya terdiri dari para ahli sejarah yang sangat berminat dalam mempelajari teks-teks Jepang kuno dan berusaha membangkitkan perhatian masyarakat terhadapsejarah budaya dan agama asli. Kitab Nihongi diterbitakn dengan ditambah beberapa komentar.
Kelak, di abad ke-19 kitab yang berkenaan dengan mite “abad para dewa”. Legenda-legendanya mengenai asal-usul kedewaan dijadikan dasar keagamaan dalam pembaharuan sistem kekaisaran di Jepang.Pada akhir masa Tokugawa muncul rasa tidak puas masyarakat terhadap pemerintah.
Di sana-sini terjadi bebrapa pemberontakan kecil yang berakibat memperlemah kekuasan pemerintah. Agama Buddha, yangsudah menajdi agama negara, memeperoleh kesan buruk. Orang-orang Buddha banyak yang menjadi sasaran kritik, sementara perhatian umum terhadap agama asli semakin meningkat.
Pada masa Tokugawa perasaaan anti Buddha itu sudah tumbuh meluas di kalangan masyarakat akibatnya banyak kelentengt-kelenteng agama Buddha yang di tutup dan para pendetanya dipaksa meninggalkan pos-pos mereka. Di samping itu juga hubungan Jepang dengan asing, yang selama ini dihentikan sejak dimulainnya masa isolasi jepang di tahun 1639, itu dibuka kembali dengan penandatanganan perjanjian antara komodor perry dan kaisar Jepang di tahun 1845. (Djam’annuri: 1981)[11]

2.3  Falsafah Kaizen
Kaizen adalah sebuah filsafat yang banyak digunakan bangsa Jepang, khususnya di bidang manjemen perusahaan. Kaizen (baca: kai-seng). Kai = merubah dan Zen = lebih baik. Secara sederhana pengertian Kaizen adalah usaha perbaikan berkelanjutan untuk menjadi lebih baik dari kondisi sekarang.
Definisi dari kaizen menurut para ahli, antara lain sebagai berikut: Blocher, Chen, dan Lin (1999:13) menyebutkan definisi kaizen sebagai: Continuous Improvement (the Japanese word is kaizen) is a management technique in which managers and workers commit to a program program of continuous improvement in quality and other critical success factors.[12]
Imai (1996:4) menjelaskan bahwa kaizen berarti penyempurnaan. Disamping itu, kaizen berarti penyempurnaan berkesinambungan yang melibatkan setiap orang dalam lingkungan organisasi. Filsafat kaizen menganggap bahwa cara hidup kita - baik cara kerja, kehidupan sosial, maupun kehidupan rumah tangga - perlu disempurnakan setiap saat.[13]
Barnes (1998 : 27) menjelaskan bahwa kata kaizen merupakan kombinasi karakter huruf Jepang Kai yang berarti “perubahan” dengan Zen yang berarti “baik”, sehingga kaizen kalau diterjemahkan berarti “perbaikan”. Di Barat kata kaizen sebagai konsep manajemen berarti “perbaikan yang terus-menerus”.[14]
Dari berbagai definisi di atas, dapat diketahui bahwa kaizen merupakan suatu teknik manajemen yang menekankan pada perbaikan kualitas secara berkesinambungan yang melibatkan semua pihak dengan biaya rendah. Filsafat kaizen berpandangan bahwa cara hidup kita – apakah itu kehidupan sosial maupun kehidupan rumah tangga – hendaknya berfokus pada upaya perbaikan secara terus-menerus.
Kaizen berbeda dengan rekayasa ulang (reengineering) dan penemuan ulang (reinventing), perubahan menurut konsep kaizen dilakukan tidak secara drastis, tetapi tahap demi tahap pada hal-hal yang bersifat kecil, dengan biaya rendah – karena tidak membutuhkan teknologi canggih maupun prosedur rumit dan peralatan mahal – tetapi memiliki dampak yang luar biasa dalam meningkatkan produktivitas, kualitas, maupun tingkat keuntungan.

2.4  Konsep Kaizen & Penerapannya
Konsep utama kaizen yang harus dipahami dan diterapkan mencakup enam hal, yaitu: (1) Kaizen dan manajemen, (2) Proses versus hasil, (3) Siklus PDCA/SDCA, (4) Mengutamakan kualitas, (5) Berbicara dengan data, dan (6) Proses berikut adalah konsumen.
A.    Kaizen dan Manajemen
Dalam konteks kaizen, manajemen memiliki dua fungsi utama, yaitu : pemeliharaan dan perbaikan. Pemeliharaan berkaitan untuk memelihara teknologi, sistem manajerial, standar operasional yang ada, dan menjaga standar tersebut melalui pelatihan dan disiplin.
Perbaikan dapat dibedakan sebagai kaizen dan inovasi. Kaizen bersifat perbaikan kecil yang berlangsung oleh upaya berkesinambungan. Kaizen menekankan upaya manusia, moral, komunikasi, pelatihan, kerja sama, pemberdayaan dan disiplin diri, yang merupakan pendekatan peningkatan berdasarkan akal sehat, berbiaya rendah.
Sedangkan inovasi merupakan perbaikan drastis sebagai hasil dari investasi sumber daya berjumlah besar dalam teknologi dan peralatan (di saat dana menjadi faktor kunci, inovasi memang mahal).
B.     Proses dan Hasil
Kaizen menekankan pola pikir berorientasi proses, karena proses harus disempurnakan agar hasil dapat meningkat. Kegagalan mencapai hasil yang direncanakan merupakan cermin dari kegagalan proses. Manajemen harus mampu mengenali dan memperbaiki kesalahan pada proses tersebut.
Elemen yang paling penting dalam menerapkan kaizen adalah komitmen dan keterlibatan penuh dari manajemen puncak. Strategi kaizen harus didemonstrasikan secara terbuka, konsisten, dan langsung guna menjamin keberhasilan proses kaizen.
C.    Siklus PDCA dan SDCA
Langkah pertama dari kaizen adalah menerapkan siklus PDCA (plan-do-check-act) sebagai sarana yang menjamin terlaksananya kesinambungan dari kaizen guna mewujudkan kebijakan untuk memelihara dan memperbaiki/meningkatkan standar.
Siklus PDCA berputar secara berkesinambungan, segera setelah suatu perbaikan dicapai, keadaan perbaikan tersebut dapat memberikan inspirasi untuk perbaikan selanjutnya.
Pada awalnya, setiap proses kerja baru belum cukup stabil. Sebelum kita mengerjakan siklus PDCA berikutnya, proses tersebut harus distabilkan melalui siklus SDCA (standardize-do-check-act).
1)      Rencana (plan) berkaitan dengan penetapan target untuk perbaikan dan perumusan rencana tindakan guna mencapai target tersebut.
2)      Lakukan (do) berkaitan dengan penerapan dari rencana tersebut.
3)      Periksa (check) merujuk pada penetapan apakah penerapan tersebut berada pada jalur yang benar sesuai rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan.
4)      Tindak (act) berkaitan dengan standarisasi prosedur baru guna menghindari terjadinya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya.


D.    Mengutamakan Kualitas
Tujuan utama dari kualitas, biaya, dan penyerahan (QCD) adalah menempatkan kualitas pada prioritas tertinggi. Tidak jadi soal bagaimana menariknya harga dan penyerahan yang ditawarkan kepada konsumen, perusahaan tidak akan mampu bersaing jika mutu produk dan pelayanannya tidak memadai.
Praktek mengutamakan kualitas membutuhkan komitmen manajemen karena manajer seringkali berhadapan dengan berbagai godaan untuk membuat kompromi berkenaan dengan persyaratan penyerahan atau pemotongan biaya.
E.     Berbicara dengan Data
Kaizen adalah proses pemecahan masalah. Agar suatu masalah dapat dipahami secara benar dan dipecahkan, masalah itu harus ditemukan dan dikenali untuk kemudian data yang relevan dikumpulkan serta ditelaah.
Mengumpulkan data tentang keadaan saat ini membantu untuk memahami ke arah mana fokus harus diarahkan. Hal ini menjadi langkah awal dalam upaya perbaikan.
F.     Proses Berikut adalah Konsumen
Kebanyakan orang dalam bekerja selalu berhubungan dengan konsumen internal. Kenyataan ini hendaknya dipakai sebagai dasar komitmen untuk tak pernah meneruskan produk cacat ataupun butir informasi yang salah kepada proses berikutnya.
Bila semua orang di dalam perusahaan mempraktekkan aksioma ini, konsumen yang sesungguhnya – konsumen eksternal di pasar – dapat dipastikan akan menerima produk atau jasa layanan bermutu tinggi sebagai akibatnya.

2.5  Pilar-Pilar Kaizen
Dalam menerapkan kaizen di tempat kerja, semua orang di dalam perusahaan harus bekerja sama dalam mematuhi tiga pilar utama, yaitu: (1) Pemeliharaan tempat kerja, (2) Penghapusan pemborosan, dan (3) Standardisasi.
A.    Pemeliharaan Tempat Kerja (5R)
Lima langkah pemeliharaan tempat kerja dalam bahasa Jepang disebut sebagai 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke). Dalam bahasa Indonesia lima langkah pemeliharaan tempat kerja ini disebut sebagai 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin). 5R yang merupakan lima langkah penataan dan pemeliharaan tempat kerja dikembangkan melalui upaya intensif dalam bidang manufaktur.
Perusahaan jasa layanan dapat melihat adanya konteks yang paralel dalam rangkaian proses “jalur produksi” mereka yang dapat berbentuk prosedur pemintaan proposal, penutupan laporan keuangan, aplikasi polis asuransi, atau pemintaan jasa hukum dari klien. Uraian rinci lima langkah 5R adalah sebagai berikut:
1.      Ringkas (Seiri)
Langkah pertama pemeliharaan tempat kerja adalah ringkas, berkaitan dengan kegiatan melakukan klasifikasi barang yang terdapat di tempat kerja diperlukan atau tidak diperlukan – dan menyingkirkan yang tak diperlukan dari tempat kerja.
2.      Rapi (Seiton)
Setelah ringkas diterapkan, semua barang yang tak diperlukan telah disingkirkan dari tempat kerja. Yang tersisa tinggallah sejumlah minimum barang yang diperlukan.
Namun barang-barang yang diperlukan ini, seperti alat kerja dan sebagainya, tak dapat digunakan sebagaimana mestinya jika terletak jauh dari tempat kerja atau bahkan di tempat yang sulit dicari.
Hal ini membawa kita kepada langkah berikut dari 5R, yaitu rapi. Rapi berarti mengelompokkan barang berdasarkan penggunaannya dan menatanya secara memadai agar upaya dan waktu untuk mencari atau menemukan menjadi minimum.
Untuk menerapkan hal ini, semua barang harus memiliki alamat tertentu, nama tertentu, dan volume tertentu pula. Tak hanya lokasinya saja, jumlah maksimum barang yang diperbolehkan berada di tempat kerja harus pula ditetapkan.
3.      Resik (Seiso)
Resik berarti membersihkan tempat kerja, termasuk didalamnya mesin dan alat kerja, lantai tempat kerja, dan berbagai daerah di dalam tempat kerja. Ada sebuah aksioma yang patut dianut: membersihkan berarti memeriksa. Operator yang membersihkan mesin dapat menemukan berbagai fungsi yang gagal.

4.      Rawat (Seiketsu)
Rawat berarti tertib pribadi, seperti mengenakan pakaian yang pantas dan bersih, kacamata pengaman, sarung tangan dan sepatu, dan selalu menjaga keadaan lingkungan kerja yang bersih dan sehat. Pengertian lain dari rawat adalah mempertahankan keadaan yang sudah ringkas, rapi, dan resik setiap hari secara terus-menerus.
5.      Rajin (Shitsuke)
Rajin berarti disiplin pribadi. Orang yang mempraktekkan ringkas, rapi, resik, dan rawat secara terus-menerus dan menjadikan kegiatan ini sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-harinya dapat menyebut dirinya memiliki disiplin pribadi.
5R dapat disebut sebagai falsafah jalan kehidupan dalam kehidupan kerja kita. Intisari dari 5R adalah mematuhi apa yang telah disepakati bersama. Dimulai dengan menyingkirkan apa yang tak dibutuhkan dari tempat kerja (ringkas) dan menata kembali semua barang yang dibutuhkan di tempat kerja dengan tertib (rapi).
Kemudian, lingkungan yang bersih diciptakan (resik) dan dipelihara sehingga ketidakwajaran dapat mudah ditemukenali (rawat). Karyawan harus mengikuti aturan yang disepakati dan ditetapkan pada tiap langkah tersebut dan pada saat mereka mencapai langkah rajin, mereka telah cukup terbekali dengan disiplin pribadi untuk mengikuti dan mematuhi berbagai aturan lain dalam pekerjaan mereka.
Pada langkah terakhir ini, manajemen telah menetapkan berbagai standar yang berlaku pada langkah-langkah 5R sebelumnya serta memastikan bahwa karyawan mematuhi dan mengikuti standar tersebut.
B.     Penghapusan Pemborosan
Segala macam kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah adalah pemborosan. Orang-orang di tempat kerja hanya memiliki dua kemungkinan: apakah ia memberikan nilai tambah atau tidak menghasilkan nilai tambah, yang berarti pemborosan. Hal ini juga berlaku bagi sumber daya perusahaan lainnya, seperti mesin dan material.
Taiichi Ohno, seperti ditulis Imai (1999: 71), mengelompokkan pemborosan dalam tujuh jenis, yaitu: (1) Pemborosan produksi berlebih, (2) Pemborosan persediaan, (3) Pemborosan pengerjaan ulang karena gagal/cacat, (4) Pemborosan gerak kerja, (5) Pemborosan pemrosesan, (6) Pemborosan waktu tunggu/penundaan, (7) Pemborosan transportasi. Jenis lain dari pemborosan yang dapat dilihat setiap hari adalah pemborosan waktu. Meskipun kategori ini tidak dicantumkan dalam tujuh jenis pemborosan dari Ohno, pemanfaatan waktu yang buruk membawa kita pada stagnasi. Uraian rinci dari jenis-jenis pemborosan adalah sebagai berikut: [15]
1.      Pemborosan pada produksi berlebih
Produksi berlebih merupakan dampak dari mentalitas supervisor yang selalu khawatir terhadap berbagai masalah yang dihadapi seperti gangguan mesin (gagal fungsi), cacat produksi, atau ketidakhadiran karyawan sehingga mereka memaksakan diri untuk berproduksi lebih banyak agar selalu berada di sisi yang aman.
Pemborosan jenis ini merupakan akibat dari upaya mendahului jadwal produksi. Berproduksi lebih daripada yang dibutuhkan berdampak pada pemborosan yang sangat besar, seperti: konsumsi material sebelum dibutuhkan, input yang dihamburkan berupa tenaga kerja dan energi utilitas (air, angin, listrik dsb), penambahan mesin tanpa dasar yang jelas, peningkatan beban bunga modal, penambahan ruang guna penyimpanan persediaan, dan tambahan kegiatan transportasi maupun biaya administrasi.
2.      Pemborosan pada persediaan
Produk jadi, barang setengah jadi, atau komponen dan pasokan barang terkonsumsi yang berstatus persediaan tidak memberikan nilai tambah. Sebaliknya, semua itu menambah pos biaya operasi dengan bertambahnya kebutuhan tempat, peralatan, dan fasilitas. Tingkat mutunya justru menurun dengan bertambahnya waktu.
Kegiatan kaizen menjadi keharusan yang wajib dilakukan jika tingkat persediaan menurun sampai titik terendah, yaitu “aliran produksi satu unit”. Tingkat persediaan yang rendah memberikan petunjuk penting dan terfokus bagi kita dalam merumuskan masalah yang harus ditangani.
3.      Pemborosan pada pengerjaan ulang karena gagal/cacat
Hasil produksi yang cacat mengganggu produksi dan membutuhkan pengerjaan ulang yang mahal. Seringkali produk tolakan harus dimusnahkan, suatu pemborosan sumber daya maupun upaya yang telah ditanamkan. Pada lingkungan produksi massal modern, suatu gangguan pada mesin otomatis berkecepatan tinggi dapat berakibat pada produk gagal dan cacat dalam jumlah sangat besar sebelum masalahnya dapat diisolasi.
Mesin seperti itu seharusnya dilengkapi dengan mekanisme yang dapat menghentikan diri sendiri jika terjadi cacat produksi. Di sisi lain masalah banyaknya perubahan rancangan produk secara lebih jelas mengakibatkan banyaknya pengerjaan ulang.
Jika perancang produk mengerjakan rancangannya secara benar dari awalnya, maka mereka dapat menghapuskan pemborosan dalam hal pembuatan rancangan produk.
4.      Pemborosan pada gerak kerja
Gerak kerja dari seseorang yang tidak berkaitan langsung dengan nilai tambah adalah tidak produktif. Secara spesifik, semua gerak kerja yang membutuhkan usaha fisik berlebih dari pihak operator harus dihindari karena pemborosan gerak kerja.
Dalam mengenali pemborosan gerak kerja, kita harus mengamati pada cara operator menggunakan tangan dan kakinya. Dari pengamatan itu, kemudian dapat dipikirkan penataan dari komponen serta dikembangkan peralatan dan jig yang tepat guna.
5.      Pemborosan pada pemrosesan
Pemborosan pada pemrosesan terjadi karena penggunaan teknologi yang kurang tepat atau rancangan produk yang kurang baik. Pada umumnya, pemborosan pada pemrosesan diakibatkan karena kegagalan melakukan sinkronisasi proses.
Operator seringkali melakukan pekerjaannya pada bidang tertentu lebih teliti dari yang diisyaratkan. Oleh karena itu, penghapusan pemborosan pada pemrosesan sering dapat dicapai dengan pemikiran akal sehat dan berbiaya rendah, yaitu dengan menggabungkan tugas operasi.
6.      Pemborosan waktu tunggu/penundaan
Pemborosan waktu tunggu terjadi bila tangan operator kedapatan menganggur atau saat operator menunda kerja sebagai teknik mengatasi berbagai keadaan, seperti jalur kerja yang tidak seimbang, komponen yang belum tersedia, atau gangguan mesin.
Jenis pemborosan ini mudah dikenali. Kita dapat pula mengamati operator jaga yang hanya berfungsi mengamati mesin yang sedang bekerja menghasilkan nilai tambah, ini juga termasuk dalam pemborosan waktu tunggu. Hal ini lebih sulit dikenali sebagai pemborosan waktu tunggu, karena seolah wajar saja terjadi di saat mesin memproses benda kerja.
Operator yang menunggu benda kerja berikut tiba atau menunggu mesin menyelesaikan langkah kerjanya, pada saat ini operator hanya mengawasi mesin saja tanpa memberikan nilai tambah.
7.      Pemborosan pada transportasi
Di tempat kerja, orang dapat menemukan berbagai sarana transportasi seperti truk, kereta, forklift, dan konveyor. Transpor adalah kegiatan penting dalam operasi di tempat kerja, tetapi sesungguhnya memindahkan material maupun benda kerja sama sekali tidak menciptakan nilai tambah pada barang tersebut.
Lebih buruk lagi, kerusakan bahkan dapat terjadi dalam transpor. Dua proses yang saling terpisah membutuhkan transportasi. Guna menghapuskan pemborosan ini, proses-proses yang saling terpisah harus dipadukan ke dalam jalur rakit utama selama hal itu dimungkinkan.
8.      Pemborosan waktu
Pemanfaatan waktu yang buruk membawa kita pada stagnasi. Di pabrik, pemborosan ini tampak pada persediaan. Sedangkan di kantor, pemborosan ini tampak jelas bila dokumen tinggal diam di meja atau di dalam media komputer menunggu keputusan atau tanda tangan. Jika terjadi stagnasi, maka pemborosan lainnya akan mengikuti. Dengan pola yang sama, tujuh pemborosan sebelumnya itu juga akan berdampak pada pemborosan waktu.
Penghapusan pemborosan dapat menjadi cara yang paling hemat-efektif (cost-effective) dalam meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya operasi. Kaizen lebih menekankan penghapusan pemborosan daripada menambah investasi yang diharapkan akan memberi nilai tambah.
C.    Standardisasi
Menurut kaizen, kemajuan yang diraih bukanlah hasil satu lompatan besar ke depan, tetapi diraih karena perubahan kecil tanpa henti dalam beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu detail yang berhubungan dengan menghasilkan produk atau pelayanan.
Asumsi yang mendasari perubahan dalam kaizen adalah bahwa kesempurnaan itu sebenarnya tidak ada. Artinya tidak ada kemajuan, produk, hubungan, sistem, atau struktur yang bisa memenuhi ideal.
Dengan demikian, selalu saja ada ruang untuk peningkatan dengan cara mempertahankan aktifitas yang memberi nilai tambah dan mengeliminasi aktivitas yang tidak memberi nilai tambah.
Secara lebih sederhana, dapat dikatakan bahwa tidak ada produk yang sempurna, yang sempurna tidak pernah bisa diwujudkan. Kaizen selalu berusaha meningkatkan apa yang pernah dicapainya, dan pasti selalu ada hari lain atau orang lain yang menemukan ruang untuk mengadakan peningkatan.
Hasil dari kaizen disebut dengan “kuota” atau “standar” dan bukan sebagai “target”. Target mutu atau kepuasan pelanggan merupakan hal yang ditabukan dalam kaizen. Prestasi standar adalah istilah yang lebih disukai, tetapi suatu standar secara keseluruhan harus bersifat sementara. Standar hanya boleh dipertahankan sampai ada karyawan atau tim lain yang dapat mengerjakannya dengan lebih baik. Tidak ada standar yang berlaku selamanya, dan setiap standar dapat diperbaiki.
Dengan berfokus pada pandangan bahwa setiap aspek dari siklus produksi selalu terbuka untuk diperiksa dan ditingkatkan, dan dengan selalu melihat mutu sebagai tujuan utama, maka keahlian dan kemampuan sektor manufaktur perusahaan akan mengalami pertumbuhan yang menakjubkan dan akan membawa perusahaan menduduki garis terdepan dalam perdagangan global.
Kegiatan bisnis sehari-hari berfungsi mengikuti formula yang telah disepakati bersama. Formula-formula ini, bila ditulis secara eksplisit, menjadi standar. Standar dapat dirumuskan sebagai cara terbaik dalam melaksanakan suatu tugas.
Manajemen yang sukses dalam kegiatan sehari-hari menganut pandangan terhadap tugasnya sebagai: menjaga dan meningkatkan standar. Hal ini tidak hanya berarti sekedar mematuhi teknologi, manajerial, maupun standar operasional yang berlaku, tetapi juga memperbaiki proses yang ada dalam rangka membawa standar yang ada menuju ke tingkat standar yang lebih tinggi.
Standar memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:
1.        Merupakan cara yang terbaik, termudah, dan paling aman dalam melaksanakan suatu tugas. Standar merupakan kebijaksanaan dan pengetahuan yang terkumpul selama bertahun-tahun dari penguasaan karyawan dalam mengerjakan tugasnya. Standar itu akan menjadi cara yang terbaik, paling efisien, efektif, dan aman dalam melaksanakan tugas.
2.        Memberikan cara terbaik dalam melestarikan pengetahuan dan penguasaan kemampuan. Melalui standar dan melembagakan pengetahuan yang dimiliki seorang karyawan yang mengetahui cara terbaik melaksanakan tugas, maka pengetahuan tersebut dapat dilestarikan, tanpa harus tergantung pada masuk dan keluarnya karyawan.
3.        Sebagai cara untuk mengukur kinerja. Dengan standar yang resmi, manajer dapat mengukur kinerja penugasan. Tanpa standar, tidak ada cara yang cukup adil (fair) dalam mengukur kinerja.
4.        Menunjukkan kaitan antara sebab dan akibat. Tanpa standar ataupun tidak memenuhi standar dapat membawa proses kepada ketidakwajaran, variabilitas, dan pemborosan.
5.        Menjadi dasar untuk memelihara dan memperbaiki proses. Menurut definisi, mematuhi standar berarti melaksanakan fungsi memelihara, sedang mengubahnya menjadi lebih baik adalah fungsi perbaikan. Tanpa standar, kita tidak memiliki cara untuk mengetahui apakah kita telah melakukan perbaikan atau belum.
6.        Memberikan arah sasaran tugas dan petunjuk sasaran latihan. Standar dapat disebut sebagai sekumpulan simbol visual yang menunjukkan cara mengerjakan tugas. Oleh karena itu, standar harus dapat menyalurkan komunikasi secara sederhana dan mudah dipahami.
7.        Merupakan dasar untuk pelatihan. Setelah standar ditetapkan, langkah berikutnya adalah melatih operator sampai tingkat di mana operator dapat melakukan tugasnya sesuai standar secara alamiah.
8.        Dasar untuk audit dan diagnosis. Di tempat kerja, standar kerja umumnya diperagakan, memperlihatkan langkah-langkah penting, dan butir periksa (check points) dari pekerjaan operator. Standar ini tentu saja berfungsi untuk mengingatkan operator. Tetapi lebih penting lagi, standar membantu manajer dalam memantau apakah pekerjaan tersebut berjalan secara normal.
9.        Standar sebagai sarana untuk mencegah pengulangan kesalahan dan memperkecil variabilitas. Jika kita telah melakukan standardisasi, manfaat dari kaizen dapat dirasakan dengan hilangnya kesalahan yang tak muncul kembali. Pengendalian mutu adalah pengendalian terhadap variabilitas. Tugas manajemen adalah mengenali, merumuskan, dan menetapkan butir kendali (control point) pada setiap proses dan memastikan bahwa butir kendali tersebut dipatuhi setiap saat.
D.    Quality, Cost, Delivery (QCD)
Dalam konteks kaizen, mutu, biaya, dan penyerahan (quality, cost, delivery-QCD) merupakan aspek bisnis yang paling penting dan saling terkait erat untuk diperbaiki. Sia-sialah jika kita membeli barang atau jasa layanan yang tidak memiliki mutu, meskipun murah sekali. Sebaliknya, sia-sia pula menawarkan produk atau jasa layanan yang bermutu baik dan berharga menawan, tetapi tak dapat diserahkan memenuhi permintaan konsumen pada saatnya dan dalam jumlah yang dibutuhkannya.[16]

















BAB III
KESIMPULAN

3.1  Kesimpulan
Dalam perkembangannya filsafat jepang banyak dipengaruhi atau berasal dari luar jepang, terutama dari china  yaitu Buddhisme dan konfusianisme, dengan kata lain jepang tidak memiliki filsafat asli.
Diantara beberapa aliran filsafat yang berkembang di jepang, hanya Shintoisme yang memiliki pengaruh dan kontribusi yang cukup besar terhadap negara maupun ekonomi, dan memperkuat ketertarikan kepada nilai-nilai sentral, memberikan motivasi dan legitimasi untuk beberapa inovasi politik dan memperkuat etika asketisme duniawi yang menekankan sikap rajin dan hemat.
Selain itu, sikap hormat kepada Kaisar oleh penganut Shinto merupakan kekuatan ideologis di Jepang dan telah berfungsi memberikan legitimasi untuk perubahan yang tanpa itu akan mendapatkan tantangan yang sangat keras.
Selain ideologi shinto, Jepang benar-benar menerapkan prinsip-prinsip filosofi keizen. Dengan filosofi keizen manajemen inilah perusahaan-perusahan jepang dapat berkembang dengan baik.
Kesimpulan Europe Japan Centre tentang Kaizen Jepang yang mengungkapkan bahwa :
Kaizen mengatakan kepada kita bahwa hanya dengn secara terus menrus tetap sadr dn membuat bertus-ratus ribu peningkatan kecil, maka dimungkinkan untuk menghasilkn barang dan jasa yang mutunya otentik sehingga memuaskan pelanggan. Cara paling mudah mencapainya adalah dengan keikutsertaan, motivasi dan peningkatan terus menerus dari masing-masing dan semua karyawan dalam organisasi. Keikutsertaan staf tergantung pada komintmen manajemen senior, strategi yang jelas dan ketabahan – karena kaizen bukan jalan pintas melainkan proses yang berjalan secara terus menerus untuk menciptakan hasil yang diinginkan”. (Cane, 1998)
Konsep Kaizen dibagi dalam 3 segmen, yaitu Pertama, berorientasi pada manajemen. Manajemen Jepang umumnya percaya bahwa seorang manajer harus menggunakan 50% waktunya untuk penyempurnaan. Mulai dengan mengidentifikasi “pemborosan” maupun “kinerja karyawan.” Kedua, berorientasi pada kelompok “gugus kendali mutu” dan “aktivitas kelompok kecil” untuk mengidentifikasi penyebab masalah, menganalisis, melaksanakan, mencoba tindakan baru, dan menetapkan standar/ prosedur baru. Ketiga, berorientasi pada individu, tercermin dalam bentuk keterampilan karyawan dalam menyampaikan pemikiran dan saran, sebagai upaya pengembangan diri karyawan.
Kepuasan yang sebenarnya terletak pada proses perbaikan itu sendiri melalui usaha-usaha yang kreatif. Kompetensi saja tidak cukup. Yang diperlukan adalah “kemampuan bekerja dalam Tim” secara efektif dengan memanfaatkan keahlian, kemampuan, dan pengetahuan yang dimiliki guna memperbaiki kelemahan dalam perusahaan.

3.2  Kritik dan Saran
Demikian makalah ini dibuat, jika terdapat banyak kekurangan dan kesalahanpada makalah ini saya menyatakan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran saya harapkan guna mengoreksi kesalahan yang ada dimakalah ini agar kedepannya menjadi lebih baik lagi.




















DAFTAR PUSTAKA

o   Barnes, Tony. Kaizen Strategies for Succesful Leadership. Diterjemahkan oleh Martin Widjokongko. Batam: Interaksara, 1998.
o   Imai, Masaaki. Kaizen: The Key to Japan’s Competitive Success. Diterjemahkan oleh Mariani Gandamihardja. Cetakan keempat. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. 1996.
o   Imai, Masaaki. Gemba Kaizen: a Commonsense, Low-Cost Approach to Management. Diterjemahkan oleh Kristianto Jahja. Cetakan kedua. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. 1999.
o   Blocher/Chen/Lin, Cost Management: A Strategic Emphasis (Manajemen Biaya), Buku I, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 1999
o   Beasley, W.G, Pengalaman Jepang Sejarah Singkat Jepang, Yayasan Obor Indonesia. 2003
o   Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981).
o   Mukti, Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta: (IAIN Sunan Kalijaga Press,1988)
o   Soebantardjo. Sari Sedjarah; Jilid 1: Asia-Australia. Yogyakarta: Bopkri, 1958.
o   Suwarto, Buddha Darma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995)
o   Handayani, Ratna. Nilai Pemikiran Suzuki Shosan dan Ishida Baigan dalam Gemba Kaizen sebagai Pendekatan Akal Sehat, berbiaya Rendah pada Manajemen Jepang. Jurnal Nihon Gakushuu,(2005)
o   Sheila Cane, Kaizen Strategis for Winning Through People, Bagaimana Menciptakan Program Sumber Daya Manusia untuk Memenangkan Persaingan & Keuntungan, Interaksara, Jkarta, 1998. Hal.265



[1] Mukti, Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta: (IAIN Sunan Kalijaga Press,1988). Hlm.140
[2] Soebantardjo. Sari Sedjarah; Jilid 1: Asia-Australia. Yogyakarta: Bopkri, 1958. Hlm.7
[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Kaizen
[4] Mukti, Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta: (IAIN Sunan Kalijaga Press,1988). Hlm.144
[5] Op.cit Mukti, Ali. Hlm.144
[6] Mukti, Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta: (IAIN Sunan Kalijaga Press,1988). Hlm.144
[7] Mukti, Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta: (IAIN Sunan Kalijaga Press,1988). Hlm.143
[8] Suwarto, Buddha Darma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995). Hlm.520-521
[9] Mukti, Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta: (IAIN Sunan Kalijaga Press,1988). Hlm.140-142
[10] Beasley, W.G, Pengalaman Jepang Sejarah Singkat Jepang, Yayasan Obor Indonesia. 2003, Hlm.218
[11] Djam’annuri, Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah, 1981).Hlm.36-38
[12] Blocher/Chen/Lin, Cost Management: A Strategic Emphasis (Manajemen Biaya), Buku I, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 1999. Hlm.13
[13] Imai, Masaaki. Kaizen: The Key to Japan’s Competitive Success. Diterjemahkan oleh Mariani Gandamihardja. Cetakan keempat. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. 1996. Hlm.4
[14] Barnes, Tony. Kaizen Strategies for Succesful Leadership. Diterjemahkan oleh Martin Widjokongko. Batam: Interaksara. 1998, Hlm.27
[15] Imai, Masaaki. Gemba Kaizen : a Commonsense, Low-Cost Approach to Management. Diterjemahkan oleh Kristianto Jahja. Cetakan kedua. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. 1999, Hlm.71
[16] Handayani, Ratna. Nilai Pemikiran Suzuki Shosan dan Ishida Baigan dalam Gemba Kaizen sebagai Pendekatan Akal Sehat, berbiaya Rendah pada Manajemen Jepang. Jurnal Nihon Gakushuu,(2005) Hal.5

Tidak ada komentar:

Persyaratan Hak & Kewajiban Guru

BAB I PENDAHULUAN A.       LATAR BELAKANG MASALAH Di dalam   masyarakat tedapat bermacam-macam pekerjaan, seperti dokter, penga...