BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Istilah filsafat di negara Jepang disebut Kitetsugaku yang berarti ilmu mencari
kebenaran/kebijaksanaan. Istilah ini diperkenalkan oleh Nishi Amane yang selanjutnya istilah ini diganti menjadi tetsugaku.
Keberadaan sejarah filsafat di Jepang tidak
cukup untuk membuktikan bahwa filsafat Jepang cukup dikenal. Dapat dikatakan
bahwa filsafat yang ada di Jepang diadopsi dari filsafat Cina (dan juga
mengadopsi dari Barat). Sebab Jepang tidak memiliki filsafat asli.
Pada mulanya, ketika agama Buddha masuk ke
Jepang tepatnya ketika kerajaan Korea mengirimkan delegasi kepada kaisar Kimmeo
Teno di Jepang. Disamping membawa hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar
kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha (Ali, 1988).[1]
Beberapa tahun kemudian berbagai buku dan
literatur tentang Buddhism yang memuat banyak tentang filsafat dan nilai-nilai
prinsip mulai masuk lewat negara China pada masa dynasty Sui.
Setelah empatpuluh tahun Kaisar Jepang Pangeran
Shotoku meresmikan Buddha sebagai agama resmi negara. Sebagai agama baru tentu
saja tidak lepas dari penolakan dan juga tekanan.
Pada masa pemerintahan militer Oda Nobunaga,
agama Buddha mengalami masa suram karena pemerintah saat itu bersikap antipati
terhadap agama ini. Hal ini disebabkan karena pada masa itu muncul banyak
pemberotakan oleh rakyat menentang pemerintah yang kebetulan didukung oleh
pendeta Buddha khususnya dari sekte Tendai di kuil Hiei.
Pemberontakan akhirnya berakhir dengan
penyerbuan ke kuil di yang terletak di atas puncak bukit itu dan membunuh
ribuan pengikutnya. Setelah terjadi beberapa peristiwa buruk, maka pada tahun
1867 pemerintah Tokugawa menyerahkan kekuasaan pada kaisar Meiji.
Dengan demikian pemerintahan Tokugawa berakhir
dan kekuasaan penuh berada di tangan kaisar. Kemudian muncullah Restorasi
Meiji. Restorasi Meiji ini muncul akibat dari kekecewaan masyarakat terhadap
pemerintahan Shogun yang dianggap lemah. Hal tersebut diawali dengan peristiwa
terjadinya pembukaan Jepang oleh Commodore Perry (Perjanjian Shimoda, 30 Maret
1854).
Hal tersebut disebabkan : (1) Pemerintah Bakufu
berpegang pada politik Isolasi, karena takut akan masuknya pedagang-pedagang
asing yang berakibat masuknya juga imperialisme asing. (2) Pada tahun 1842
Tiongkok telah dibuka untuk bangsa Asing oleh Inggris, dan habis dibagi dalam
daerah-daerah pengaruh antara Inggris, Perancis, Rusia. Jadi tinggal Jepang
saja yang belum tersentuh. (3) Amerika serikat membutuhkan tempat transit,
dalam pelayaran antara panatai barat USA dan kebetulan Jepang memiliki
pelabuhan alam yang baik dan mengandung kemungkinan-kemungkinan perdagangan
(teh, sutera) yang sangat menguntungkan. (4) Kepulauan Jepang merupakan batu
loncatan ke Tiongkok yang baik. (Soebantardjo, 1958: 7)[2]
Pada masa Periode Meiji (1868-1912) pemerintah
menetapkan Shito sebagai agama resmi negara sehingga secara tidak langsung
menempatkan agama Buddha dalam posisi yang berseberangan. Pada masa itu banyak
kuil Buddha yang ditutup dan pemerintah memaksa para rahib untuk berkeluarga.
Sejak itu sampai sekarang banyak kuil yang
beralih status menjadi Kuil Keluarga yaitu kuil yang pengelolaanya dilakukan
secara perorangan dan wariskan secara turun temurun dari bapak ke anaknya.
Walaupun banyak kuil yang ditutup, namun
buku-buku dan ajaran berkenaan prinsip-prinsip dan falsafah hidup sudah
tersebar di kalangan masyarakat tradisional Jepang. Inilah awal mulanya
perkembangan filsafat di jepang.
Melalui perkembangan ini, banyak sekali
bermunculan falsafah-falsafah hidup yang baru, sehingga terbagi menjadi
beberapa aliran filsafat. Dalam beberapa aliran filsafat ini salah satu prinsip
yang populer dikenal sampai sekarang adalah falsafah Kaizen.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah, bagaimana
falsafah kaizen ini mampu membangun jiwa semangat masyarakat Jepang sampai
sekarang. Mengapa dengan falsafah ini ekonomi Jepang tetap kuat menghadapi krisis
minyak bumi dan resesi dunia. Mengapa sementara di kebanyakan negara industri
Barat produktifitas merosot dan inflasi melonjak, di Jepang inflasi berhasil
ditekan rendah, dan produktifitas bahkan meningkat?. Selain itu, mengapa
barang-barang ekspor Jepang makin kuat daya saingnya di pasaran internasional?.
Dimana Jepang dapat menggeser Inggris sebagai penghasil utama sepeda motor.
Bahkan Jepang dapat mengalahkan Jerman Barat dalam produksi mobil dan kamera, juga
dapat melampaui industri jam Swiss yang terkenal, dan dapat menyaingi komputer
AS?
Tak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut terjadi
karena faktor tertentu yang dimiliki oleh bangsa Jepang itu sendiri. Makalah
ini akan membahas faktor filsafat Jepang, yaitu Kaizen, yang diperkirakan
memiliki kontribusi sangat besar dalam membangun sumber daya manusia, sehingga mereka
mampu dalam bersaing di kancah global.
Dalam bahasa Jepang, kaizen berarti perbaikan
berkesinambungan. Istilah ini mencakup pengertian perbaikan yang melibatkan
semua orang –baik manajer dan karyawan—dan melibatkan biaya dalam jumlah yak
seberapa. Filsafat kaizen berpandangan bahwa cara hidup kita—apakah itu
kehidupan kerja atau kehidupan sosial maupun kehidupan rumah tangga—hendaknya
berfokus pada upaya terus menerus. Konsep ini dirasakan begitu alamiah dan
dipahami benar oleh banyak orang Jepang, bahkan sampai mereka tak menyadari
bahwa mereka memilikinya.[3]
Meski perbaikan dalam kaizen bersifat kecil dan
berangsur, namun proses kaizen mampu membawa hasil yang dramatis mengikuti
waktu. Konsep kaizen menjelaskan mengapa perusahaan tak dapat tetap statis
untuk jangka waktu lama di Jepang. Manajemen Barat, di sisi lain, memuja
inovasi: perubahan besar-besaran melalui terobosan teknologi; konsep manajemen
atau teknik produksi mutakhir. Inovasi memang dramatis, punya daya tarik
istimewa yang besar.
Kaizen, sebaliknya, seringkali tidak dramatis
bahkan biasa-biasa saja. Namun inovasi merupakan upaya sekali tembak, dan
hasilnya seringkali membawa dampak sampingan masalah; sedangkan proses kaizen diterapkan
berdasarkan : “akal sehat dan berbiaya rendah”, menjamin kemajuan berangsur
yang memberikan imbalan hasil jangka panjang. Kaizen adalah juga pendekatan
dengan resiko rendah. Manajer akan selalu bisa kembali ke cara lama tanpa
melibatkan biaya yang tinggi.
Misalkan kita bandingkan sepeda motor buatan
Jepang dengan Harley Davidson. Memang sepeda motor tersebut murah. Tapi soal
mutu dan manfaat, lebih mudah diterima di lapisan masyarakat Dengan kata lain,
teknologi tepat guna sesuai kebutuhan hidup lebih mampu diterapkan oleh Jepang.
Secara logika, kita pasti tahu mana yang terbaik, antara sepeda motor ringan,
berkualitas baik, irit bensin dan harga murah ataukah motor besar, berat, prestise “kesombongan” dan mahal ?
1.2 Permasalahan
1.
Bagaimana perkembangan
filsafat di Jepang ?
2.
Bagaimana
konsep pemikiran filsafat Kaizen ?
3.
Bagaimamna
penerapan filsafat Kaizen dimasyarakat ?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui
perkembangan filsafat di Jepang ?
2.
Mengetahui
konsep pemikiran filsafat Kaizen ?
3.
Mengetahui
penerapan filsafat Kaizen dimasyarakat ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Filsafat
Jepang
Istilah
filsafat di negara Jepang disebut Kitetsugaku
yang berarti ilmu mencari kebenaran / kebijaksanaan. Istilah ini diperkenalkan
oleh Nishi Amane (1829-1897) pada tahun 1862.
12 tahun
kemudian ia menyingkat istilah tersebut menjadi Tetsugaku. istilah
tersebut digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang dirasakan menguntungkan
jepang, sebagai suatu kondisi yang diperlukan untuk membangun masyarakat
modern. Tetsugaku adalah kata dalam bahasa Jepang untuk filsafat.
Tetsugaku
digunakan untuk menggambarkan bahwa orang–orang Jepang terkadang memilih
terhadap hal-hal yang dapat membantu pembangunan masyarakat modern, terkadang
muncul ketidakpercayaan akibat hilangnya spiritualitas dan munculnya ancaman
yang bersifat etnosentris karena mereka tidak terbiasa dengan hal-hal yang
baru.
2.2 Aliran-aliran
Filsafat Jepang
Masyarakat jepang mengalami perkembangan pesat
dalam filsafat, sebab kebudayaan masyarakat jepang memang sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai falsafah hidup.
Kebutuhan masyarakat jepang pada nilai-nilai
falsafah sangat tinggi, sehingga hadir beberapa aliran-Aliran Filsafat di Jepang,
seperti:
A.
Aliran Zen
Madzhab Chan di Jepang disebut dengan madzhab Zen, dan masuk di Jepang
kira-kira tahun 1200. Aliran ini mempunyai tujuan untuk memidahkan pikiran
Buddha secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan bahwa
pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif. Oleh karena
itu aliran ini lebih menekankan pada displin dalam melakukan samadi untuk
mencapai pencerahan, dan menolak doa-doa atau kepercayaan terhadap adanya juru
selamat. (Ali Mukti.1988)[4]
Aliran ini terbagi menjadi dua golongan besar yaitu: Soto Zen, dengan
tokohnya yang bernama Dogen ( (19 January 1200 - 22 September 1253) yang
merupakan seorang guru Zen termasyur di Jepang. Tokoh ini pernah lama belajar
dan memperdalam ilmunya di negeri China. (Ali Mukti.1988)[5]
Peninggalan salah satu kuil Zen yang sangat terkenal yaitu Eiheiji Temple
di Perfecture Fukui, dimana disitu terlihat
jelas refleksi dari ajaran Zen tersebut... Dan yang kedua aliran Rinzai
dengan tokohnya yang bernama Eisai.
Aliran yang tersebut akhirnya berkembang di kalangan militer dan aristocrat
serta menjadi tulang punngung kelas penguasa dan militer. Sementara yang
pertama yaitu aliran Soto Zen itu lebih
banyak dianut oleh kalangan para petani dan bergerak dalam kegiatan social,
yang memiliki perguruan tinggi dan sekolah-sekolah yang cukup banyak. (Ali
Mukti.1988 , h. 144)[6]
B.
Aliran amida (Tanah Suci)
Madzhab amida berkembang di Jepang seseudah tahun 950. Aliran ini Amida
atau Tanah Suci mengengemukakan suatu ajaran keselamatan dalam istilah-istilah
yang sederhana, yaitu: percaya kepada Buddha secara mutlak. dan dengan menyebut
Amida orang akan memperoleh keselamatan. Aliran ini mendapat banyak pengikut di
kalanagan petani dan menjadi semacam agama messianis pada saat terjadi kemelut
sosial. Objek pemujaan aliran ini adalah patung Amida Buddha, yang dilengkapi
dengan patung bodhisatwa Kwan On yang melambangkan kemurahan dan patung
Daiseishi sebagai lambang kebijaksanaan. (Ali Mukti.1988 , h. 143)[7]
C.
Aliran Nichiren Soshu
Sekte ini lahir di Jepang oleh pendirinya Nichiren Sozu Daishonin pada
tahun (1222-1282) yang asal mulanya dari sekte Tendai (Jep.) (T’ien-t’ai).
Beliau anak dari keluarga nelayan yang miskin, tinggal di desa kecil yang
bernama Kominato, Tojo daerah Nagasa propinsi Awa (prefecture Chiba Modern), Ia
dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1222.
Dia menjadi murid Dozenbo (12 mei 1233) di kuil koyosu-mi-dera yang
terletak di atas Gunung Kiyosumi. Dalam ruang Buddha dari kuil itu terdapat
ruphang Bodhisattva Kokuzo (Bodhisatva dari angkassa, karena kearifannya seluas
angkasa). Dia bernazar di hadapan Bodhisatva ini bahwa kelak dia akan menjadi
seorang yang paling bujaksana di Jepang. Pada usia 15 tahun dia
di-upasampada-kan menjadi sramanera.
Dengan seijin gurunnya Dozenbo, Nichiren Daishonin (dalam usia 17 tahun )
pergi ke tempat lain untuk pelajaran Buddhism yang lebih dalam. Pertama-tama
dia pergi ke Kamakura, hanya 4 bulan, dia belajar disini. Kemudian ia kembali
lagi ke Kiyosumi-dera. Selanjutnya ia pergi ke kuil Enryakuji yang terletak di
atas gunung Hei, tempat ini di anggap pusat terpenting ilmu pengetahuan
Buddhism di Jepang pada waktu itu selama 12 tahun dia belajar.Pada tahun 1253,
Nichiren Sozu Daishonin kembali ke kuilnya Kiyosumi-dera.
Beliau dalam usia 30 tahun menyatakan hasil dari pelajarannya dan
pengalamannya dengan keyakinannya bahwa ‘Sutra Teratai’ (Saddharma Pundarika
Sutra, Hokkekyo) dan mantera ‘Nam-myoho-renge-kyo’ merupakan inti sari dari
Sutra Taratai. Dan Sutra Teratai adalah jantung dari agama Buddha Shakyamuni di
zaman Mappo (Mo Fa) atau Hari kemudian
mrnjadi Hukum.(Suwarto: 1995, h.520-521) [8]
Nichiren Shō Shū yang artinya Sekte Benar Nichiren, Nichiren Sozu ini
didirikan pada tahun 1253 oleh pendeta Nikkō, murid pendeta Nichiren. Sekte
Nichiren adalah salah satu sekte Buddha yang cukup unik.
Keunikannya adalah sekte ini adalah tidak melakukan penyembahan ke arca
Buddha seperti yang umum dilakukan pada tradisi Buddha lainya. Sebagai gantinya
mereka meletakkan Mandara, tulisarn atau huruf Jepang yang berisikan mantra
atau tulisan suci yang dikeramatkan.
Ajarannya Nichiren Sozu ini bertujuan mengembalikan agama Buddha kepada
bentuknya yang murni yang akan dijadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat
Jepang, dan menolak ritualisme dan
simentalisme aliran Tanah Suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis
tetapi eksklusif.
D.
Yosidha Shinto
Selain ketiga aliran besar di atas, pada abad ke-14 muncul aliran keagamaan
yang bercorak Shinto yang di padukan dengan agama Buddha dan Konfusianisme
dengan nama Yosidha Shinto.
Menurut aliran ini, agama Buddha dapat di anggap sebagai bunga dan buah
dari semua dharma di alam ini, Konfusianisme sebagai cabang rantingnya, dan
agama Shinto sebagai akar dan batangnya. (Ali Mukti: 1988)[9]
E.
Aliran Neo-Konfusis
Ajaran ini memiliki daya tarik lebih besar dibandingkan dengan ajaran
Budha. Dalam masa 200 tahun antara tahun 1608 dan abad XIX, pemikiran Konfusius
di Jepang berkembang menjadi bermacam ragam. Diantaranya:
a)
Kelompok
Kumazawa Banzan (1619-1691), menempatkan moral di atas kepentingan negara.
b)
Kelompok
Ogyu Sorai (1666-1728), ia menolak pemikiran tindakan penguasa harus didasarkan
pada filsafat moral, melihat Shogun sebagai penguasa mutlak yang didukung oleh
pejabat bukan faktor keturunan. Dengan demikian, Ogyu membandingkan kedudukan
Shogun dengan kedudukan raja-raja di Cina. Namun, Ogyu mengalami dua kesulitan,
yaitu pertama, Jepang memilikii raja yang kedudukannya lebih tinggi dari
Shogun, kedua, pejabat pemerintah pusat Jepang adalah Samurai, yang dipilih
oleh Shogun berdasarkan status sosial mereka. Olehsebab itu, situasi Jepang
tidak sepenuhnya sesuai dengan kategori yang ada dalam ajaran Konfusis. (W.G.
Beasley: 2003)[10]
F.
Aliran Mito
Dipelopori oleh Tokugawa Mitsukuni (1628-1700_. Para anggotanya terdiri
dari para ahli sejarah yang sangat berminat dalam mempelajari teks-teks Jepang
kuno dan berusaha membangkitkan perhatian masyarakat terhadapsejarah budaya dan
agama asli. Kitab Nihongi diterbitakn dengan ditambah beberapa komentar.
Kelak, di abad ke-19 kitab yang berkenaan dengan mite “abad para dewa”.
Legenda-legendanya mengenai asal-usul kedewaan dijadikan dasar keagamaan dalam
pembaharuan sistem kekaisaran di Jepang.Pada akhir masa Tokugawa muncul rasa
tidak puas masyarakat terhadap pemerintah.
Di sana-sini terjadi bebrapa pemberontakan kecil yang berakibat memperlemah
kekuasan pemerintah. Agama Buddha, yangsudah menajdi agama negara, memeperoleh
kesan buruk. Orang-orang Buddha banyak yang menjadi sasaran kritik, sementara
perhatian umum terhadap agama asli semakin meningkat.
Pada masa Tokugawa perasaaan anti Buddha itu sudah tumbuh meluas di
kalangan masyarakat akibatnya banyak kelentengt-kelenteng agama Buddha yang di
tutup dan para pendetanya dipaksa meninggalkan pos-pos mereka. Di samping itu
juga hubungan Jepang dengan asing, yang selama ini dihentikan sejak dimulainnya
masa isolasi jepang di tahun 1639, itu dibuka kembali dengan penandatanganan
perjanjian antara komodor perry dan kaisar Jepang di tahun 1845. (Djam’annuri:
1981)[11]
2.3 Falsafah Kaizen
Kaizen
adalah sebuah filsafat yang banyak digunakan bangsa Jepang, khususnya di bidang
manjemen perusahaan. Kaizen
(baca: kai-seng). Kai = merubah dan Zen = lebih baik. Secara sederhana
pengertian Kaizen adalah usaha perbaikan berkelanjutan untuk menjadi lebih baik
dari kondisi sekarang.
Definisi
dari kaizen menurut para ahli, antara lain sebagai berikut: Blocher,
Chen, dan Lin (1999:13) menyebutkan definisi kaizen sebagai: Continuous
Improvement (the Japanese word is kaizen) is a management technique in which
managers and workers commit to a program program of continuous improvement in
quality and other critical success factors.[12]
Imai (1996:4)
menjelaskan bahwa kaizen berarti
penyempurnaan. Disamping itu, kaizen
berarti penyempurnaan berkesinambungan yang melibatkan setiap orang dalam
lingkungan organisasi. Filsafat kaizen
menganggap bahwa cara hidup kita - baik cara kerja, kehidupan sosial, maupun
kehidupan rumah tangga - perlu disempurnakan setiap saat.[13]
Barnes (1998
: 27) menjelaskan bahwa kata kaizen
merupakan kombinasi karakter huruf Jepang Kai
yang berarti “perubahan” dengan Zen
yang berarti “baik”, sehingga kaizen
kalau diterjemahkan berarti “perbaikan”. Di Barat kata kaizen sebagai konsep manajemen berarti “perbaikan yang
terus-menerus”.[14]
Dari
berbagai definisi di atas, dapat diketahui bahwa kaizen merupakan suatu teknik manajemen yang menekankan pada
perbaikan kualitas secara berkesinambungan yang melibatkan semua pihak dengan
biaya rendah. Filsafat kaizen
berpandangan bahwa cara hidup kita – apakah itu kehidupan sosial maupun
kehidupan rumah tangga – hendaknya berfokus pada upaya perbaikan secara
terus-menerus.
Kaizen berbeda
dengan rekayasa ulang (reengineering)
dan penemuan ulang (reinventing), perubahan
menurut konsep kaizen dilakukan tidak
secara drastis, tetapi tahap demi tahap pada hal-hal yang bersifat kecil,
dengan biaya rendah – karena tidak membutuhkan teknologi canggih maupun
prosedur rumit dan peralatan mahal – tetapi memiliki dampak yang luar biasa
dalam meningkatkan produktivitas, kualitas, maupun tingkat keuntungan.
2.4 Konsep Kaizen & Penerapannya
Konsep utama
kaizen yang harus dipahami dan
diterapkan mencakup enam hal, yaitu: (1) Kaizen
dan manajemen, (2) Proses versus hasil, (3) Siklus PDCA/SDCA, (4) Mengutamakan
kualitas, (5) Berbicara dengan data, dan (6) Proses berikut adalah konsumen.
A.
Kaizen dan
Manajemen
Dalam konteks kaizen, manajemen memiliki dua fungsi utama, yaitu : pemeliharaan dan perbaikan. Pemeliharaan berkaitan untuk memelihara
teknologi, sistem manajerial, standar operasional yang ada, dan menjaga standar
tersebut melalui pelatihan dan disiplin.
Perbaikan dapat dibedakan sebagai kaizen dan inovasi. Kaizen bersifat perbaikan kecil yang berlangsung oleh upaya
berkesinambungan. Kaizen menekankan
upaya manusia, moral, komunikasi, pelatihan, kerja sama, pemberdayaan dan
disiplin diri, yang merupakan pendekatan peningkatan berdasarkan akal sehat,
berbiaya rendah.
Sedangkan inovasi merupakan
perbaikan drastis sebagai hasil dari investasi sumber daya berjumlah besar
dalam teknologi dan peralatan (di saat dana menjadi faktor kunci, inovasi
memang mahal).
B.
Proses dan Hasil
Kaizen menekankan
pola pikir berorientasi proses, karena proses harus disempurnakan agar hasil
dapat meningkat. Kegagalan mencapai hasil yang direncanakan merupakan cermin
dari kegagalan proses. Manajemen harus mampu mengenali dan memperbaiki kesalahan pada proses tersebut.
Elemen yang paling penting dalam
menerapkan kaizen adalah komitmen dan
keterlibatan penuh dari manajemen puncak. Strategi kaizen harus didemonstrasikan secara terbuka, konsisten, dan
langsung guna menjamin keberhasilan proses kaizen.
C.
Siklus PDCA
dan SDCA
Langkah pertama dari kaizen adalah menerapkan siklus PDCA (plan-do-check-act) sebagai sarana yang menjamin terlaksananya kesinambungan dari kaizen guna mewujudkan kebijakan untuk
memelihara dan memperbaiki/meningkatkan standar.
Siklus PDCA berputar secara
berkesinambungan, segera setelah suatu perbaikan dicapai, keadaan perbaikan
tersebut dapat memberikan inspirasi untuk perbaikan selanjutnya.
Pada awalnya, setiap proses kerja
baru belum cukup stabil. Sebelum kita mengerjakan siklus PDCA berikutnya,
proses tersebut harus distabilkan melalui siklus SDCA (standardize-do-check-act).
1)
Rencana (plan)
berkaitan dengan penetapan target untuk perbaikan dan perumusan rencana
tindakan guna mencapai target tersebut.
2)
Lakukan (do)
berkaitan dengan penerapan dari rencana tersebut.
3)
Periksa (check)
merujuk pada penetapan apakah penerapan tersebut berada pada jalur yang benar
sesuai rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan.
4)
Tindak (act)
berkaitan dengan standarisasi prosedur baru guna menghindari terjadinya kembali
masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya.
D.
Mengutamakan
Kualitas
Tujuan utama dari kualitas, biaya,
dan penyerahan (QCD) adalah menempatkan kualitas pada prioritas tertinggi.
Tidak jadi soal bagaimana menariknya harga dan penyerahan yang ditawarkan
kepada konsumen, perusahaan tidak akan mampu bersaing jika mutu produk dan
pelayanannya tidak memadai.
Praktek mengutamakan kualitas
membutuhkan komitmen manajemen karena manajer seringkali berhadapan dengan
berbagai godaan untuk membuat kompromi berkenaan dengan persyaratan penyerahan
atau pemotongan biaya.
E.
Berbicara
dengan Data
Kaizen adalah
proses pemecahan masalah. Agar suatu masalah dapat dipahami secara benar dan
dipecahkan, masalah itu harus ditemukan dan dikenali untuk
kemudian data yang relevan dikumpulkan serta ditelaah.
Mengumpulkan data tentang keadaan
saat ini membantu untuk memahami ke arah mana fokus harus diarahkan. Hal ini
menjadi langkah awal dalam upaya perbaikan.
F.
Proses
Berikut adalah Konsumen
Kebanyakan orang dalam bekerja
selalu berhubungan dengan konsumen internal. Kenyataan ini hendaknya dipakai
sebagai dasar komitmen untuk tak pernah meneruskan produk cacat ataupun butir
informasi yang salah kepada proses berikutnya.
Bila semua orang di dalam perusahaan
mempraktekkan aksioma ini, konsumen yang sesungguhnya – konsumen eksternal di
pasar – dapat dipastikan akan menerima produk atau jasa layanan bermutu tinggi
sebagai akibatnya.
2.5 Pilar-Pilar Kaizen
Dalam
menerapkan kaizen di tempat kerja, semua
orang di dalam perusahaan harus bekerja sama dalam mematuhi tiga pilar utama,
yaitu: (1) Pemeliharaan tempat kerja, (2) Penghapusan pemborosan, dan (3)
Standardisasi.
A. Pemeliharaan Tempat Kerja (5R)
Lima langkah pemeliharaan tempat
kerja dalam bahasa Jepang disebut sebagai 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke).
Dalam bahasa Indonesia lima langkah pemeliharaan tempat kerja ini disebut
sebagai 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin). 5R yang
merupakan lima langkah penataan dan pemeliharaan tempat kerja dikembangkan
melalui upaya intensif dalam bidang manufaktur.
Perusahaan jasa layanan dapat
melihat adanya konteks yang paralel dalam rangkaian proses “jalur produksi”
mereka yang dapat berbentuk prosedur pemintaan proposal, penutupan laporan
keuangan, aplikasi polis asuransi, atau pemintaan jasa hukum dari klien. Uraian rinci
lima langkah 5R adalah sebagai berikut:
1.
Ringkas (Seiri)
Langkah pertama pemeliharaan tempat
kerja adalah ringkas, berkaitan dengan kegiatan melakukan klasifikasi barang yang
terdapat di tempat kerja diperlukan atau tidak diperlukan – dan menyingkirkan
yang tak diperlukan dari tempat kerja.
2.
Rapi (Seiton)
Setelah ringkas diterapkan, semua
barang yang tak diperlukan telah disingkirkan dari tempat kerja. Yang tersisa
tinggallah sejumlah minimum barang yang diperlukan.
Namun barang-barang yang diperlukan
ini, seperti alat kerja dan sebagainya, tak dapat digunakan sebagaimana
mestinya jika terletak jauh dari tempat kerja atau bahkan di tempat yang sulit
dicari.
Hal ini membawa kita kepada langkah
berikut dari 5R, yaitu rapi. Rapi berarti mengelompokkan barang berdasarkan
penggunaannya dan menatanya secara memadai agar upaya dan waktu untuk mencari
atau menemukan menjadi minimum.
Untuk menerapkan hal ini, semua
barang harus memiliki alamat tertentu, nama tertentu, dan volume tertentu pula.
Tak hanya lokasinya saja, jumlah maksimum barang yang diperbolehkan berada di
tempat kerja harus pula ditetapkan.
3.
Resik (Seiso)
Resik berarti membersihkan tempat
kerja, termasuk didalamnya mesin dan alat kerja, lantai tempat kerja, dan
berbagai daerah di dalam tempat kerja. Ada sebuah aksioma yang patut dianut:
membersihkan berarti memeriksa. Operator yang membersihkan mesin dapat
menemukan berbagai fungsi yang gagal.
4.
Rawat (Seiketsu)
Rawat berarti tertib pribadi,
seperti mengenakan pakaian yang pantas dan bersih, kacamata pengaman, sarung
tangan dan sepatu, dan selalu menjaga keadaan lingkungan kerja yang bersih dan
sehat. Pengertian lain dari rawat adalah mempertahankan keadaan yang sudah
ringkas, rapi, dan resik setiap hari secara terus-menerus.
5.
Rajin (Shitsuke)
Rajin berarti disiplin pribadi.
Orang yang mempraktekkan ringkas, rapi, resik, dan rawat secara terus-menerus
dan menjadikan kegiatan ini sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-harinya
dapat menyebut dirinya memiliki disiplin pribadi.
5R dapat disebut sebagai falsafah
jalan kehidupan dalam kehidupan kerja kita. Intisari dari 5R adalah mematuhi
apa yang telah disepakati bersama. Dimulai dengan menyingkirkan apa yang tak
dibutuhkan dari tempat kerja (ringkas) dan menata kembali semua barang yang
dibutuhkan di tempat kerja dengan tertib (rapi).
Kemudian, lingkungan yang bersih
diciptakan (resik) dan dipelihara sehingga ketidakwajaran dapat mudah
ditemukenali (rawat). Karyawan harus mengikuti aturan yang disepakati dan
ditetapkan pada tiap langkah tersebut dan pada saat mereka mencapai langkah
rajin, mereka telah cukup terbekali dengan disiplin pribadi untuk mengikuti dan
mematuhi berbagai aturan lain dalam pekerjaan mereka.
Pada langkah terakhir ini, manajemen
telah menetapkan berbagai standar yang berlaku pada langkah-langkah 5R
sebelumnya serta memastikan bahwa karyawan mematuhi dan mengikuti standar
tersebut.
B. Penghapusan Pemborosan
Segala macam kegiatan yang tidak
memberikan nilai tambah adalah pemborosan. Orang-orang di tempat kerja hanya
memiliki dua kemungkinan: apakah ia memberikan nilai tambah atau tidak menghasilkan
nilai tambah, yang berarti pemborosan. Hal ini juga berlaku bagi sumber daya
perusahaan lainnya, seperti mesin dan material.
Taiichi Ohno, seperti ditulis Imai
(1999: 71), mengelompokkan pemborosan dalam tujuh jenis, yaitu: (1) Pemborosan
produksi berlebih, (2) Pemborosan persediaan, (3) Pemborosan pengerjaan ulang
karena gagal/cacat, (4) Pemborosan gerak kerja, (5) Pemborosan pemrosesan, (6)
Pemborosan waktu tunggu/penundaan, (7) Pemborosan transportasi. Jenis lain dari
pemborosan yang dapat dilihat setiap hari adalah pemborosan waktu. Meskipun
kategori ini tidak dicantumkan dalam tujuh jenis pemborosan dari Ohno,
pemanfaatan waktu yang buruk membawa kita pada stagnasi. Uraian rinci
dari jenis-jenis pemborosan adalah sebagai berikut: [15]
1.
Pemborosan
pada produksi berlebih
Produksi berlebih merupakan dampak
dari mentalitas supervisor yang selalu khawatir terhadap berbagai masalah yang
dihadapi seperti gangguan mesin (gagal fungsi), cacat produksi, atau
ketidakhadiran karyawan sehingga mereka memaksakan diri untuk berproduksi lebih
banyak agar selalu berada di sisi yang aman.
Pemborosan jenis ini merupakan
akibat dari upaya mendahului jadwal produksi. Berproduksi lebih daripada yang
dibutuhkan berdampak pada pemborosan yang sangat besar, seperti: konsumsi
material sebelum dibutuhkan, input
yang dihamburkan berupa tenaga kerja dan energi utilitas (air, angin, listrik
dsb), penambahan mesin tanpa dasar yang jelas, peningkatan beban bunga modal,
penambahan ruang guna penyimpanan persediaan, dan tambahan kegiatan
transportasi maupun biaya administrasi.
2.
Pemborosan
pada persediaan
Produk jadi, barang setengah jadi,
atau komponen dan pasokan barang terkonsumsi yang berstatus persediaan tidak
memberikan nilai tambah. Sebaliknya, semua itu menambah pos biaya operasi
dengan bertambahnya kebutuhan tempat, peralatan, dan fasilitas. Tingkat mutunya
justru menurun dengan bertambahnya waktu.
Kegiatan kaizen menjadi keharusan yang wajib dilakukan jika tingkat
persediaan menurun sampai titik terendah, yaitu “aliran produksi satu unit”.
Tingkat persediaan yang rendah memberikan petunjuk penting dan terfokus bagi
kita dalam merumuskan masalah yang harus ditangani.
3.
Pemborosan
pada pengerjaan ulang karena gagal/cacat
Hasil produksi yang cacat mengganggu
produksi dan membutuhkan pengerjaan ulang yang mahal. Seringkali produk tolakan
harus dimusnahkan, suatu pemborosan sumber daya maupun upaya yang telah
ditanamkan. Pada lingkungan produksi massal modern, suatu gangguan pada mesin
otomatis berkecepatan tinggi dapat berakibat pada produk gagal dan cacat dalam
jumlah sangat besar sebelum masalahnya dapat diisolasi.
Mesin seperti itu seharusnya
dilengkapi dengan mekanisme yang dapat menghentikan diri sendiri jika terjadi
cacat produksi. Di sisi lain masalah banyaknya perubahan rancangan produk
secara lebih jelas mengakibatkan banyaknya pengerjaan ulang.
Jika perancang produk mengerjakan
rancangannya secara benar dari awalnya, maka mereka dapat menghapuskan
pemborosan dalam hal pembuatan rancangan produk.
4.
Pemborosan
pada gerak kerja
Gerak kerja dari seseorang yang
tidak berkaitan langsung dengan nilai tambah adalah tidak produktif. Secara
spesifik, semua gerak kerja yang membutuhkan usaha fisik berlebih dari pihak
operator harus dihindari karena pemborosan gerak kerja.
Dalam mengenali pemborosan gerak
kerja, kita harus mengamati pada cara operator menggunakan tangan dan kakinya.
Dari pengamatan itu, kemudian dapat dipikirkan penataan dari komponen serta
dikembangkan peralatan dan jig yang
tepat guna.
5.
Pemborosan
pada pemrosesan
Pemborosan pada pemrosesan terjadi
karena penggunaan teknologi yang kurang tepat atau rancangan produk yang kurang
baik. Pada umumnya, pemborosan pada pemrosesan diakibatkan karena kegagalan
melakukan sinkronisasi proses.
Operator seringkali melakukan
pekerjaannya pada bidang tertentu lebih teliti dari yang diisyaratkan. Oleh
karena itu, penghapusan pemborosan pada pemrosesan sering dapat dicapai dengan
pemikiran akal sehat dan berbiaya rendah, yaitu dengan menggabungkan tugas
operasi.
6.
Pemborosan
waktu tunggu/penundaan
Pemborosan waktu tunggu terjadi bila
tangan operator kedapatan menganggur atau saat operator menunda kerja sebagai
teknik mengatasi berbagai keadaan, seperti jalur kerja yang tidak seimbang,
komponen yang belum tersedia, atau gangguan mesin.
Jenis pemborosan ini mudah dikenali.
Kita dapat pula mengamati operator jaga yang hanya berfungsi mengamati mesin
yang sedang bekerja menghasilkan nilai tambah, ini juga termasuk dalam
pemborosan waktu tunggu. Hal ini lebih sulit dikenali sebagai pemborosan waktu
tunggu, karena seolah wajar saja terjadi di saat mesin memproses benda kerja.
Operator yang menunggu benda kerja
berikut tiba atau menunggu mesin menyelesaikan langkah kerjanya, pada saat ini
operator hanya mengawasi mesin saja tanpa memberikan nilai tambah.
7.
Pemborosan
pada transportasi
Di tempat kerja, orang dapat
menemukan berbagai sarana transportasi seperti truk, kereta, forklift, dan
konveyor. Transpor adalah kegiatan penting dalam operasi di tempat kerja,
tetapi sesungguhnya memindahkan material maupun benda kerja sama sekali tidak
menciptakan nilai tambah pada barang tersebut.
Lebih buruk lagi, kerusakan bahkan
dapat terjadi dalam transpor. Dua proses yang saling terpisah membutuhkan
transportasi. Guna menghapuskan pemborosan ini, proses-proses yang saling
terpisah harus dipadukan ke dalam jalur rakit utama selama hal itu
dimungkinkan.
8.
Pemborosan
waktu
Pemanfaatan waktu yang buruk membawa
kita pada stagnasi. Di pabrik, pemborosan ini tampak pada persediaan. Sedangkan
di kantor, pemborosan ini tampak jelas bila dokumen tinggal diam di meja atau
di dalam media komputer menunggu keputusan atau tanda tangan. Jika terjadi
stagnasi, maka pemborosan lainnya akan mengikuti. Dengan pola yang sama, tujuh
pemborosan sebelumnya itu juga akan berdampak pada pemborosan waktu.
Penghapusan pemborosan dapat menjadi
cara yang paling hemat-efektif (cost-effective)
dalam meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya operasi. Kaizen lebih
menekankan penghapusan pemborosan daripada menambah investasi yang diharapkan
akan memberi nilai tambah.
C. Standardisasi
Menurut kaizen, kemajuan yang diraih bukanlah hasil satu lompatan besar ke
depan, tetapi diraih karena perubahan kecil tanpa henti dalam beratus-ratus dan
bahkan beribu-ribu detail yang berhubungan dengan menghasilkan produk atau pelayanan.
Asumsi yang mendasari perubahan
dalam kaizen adalah bahwa
kesempurnaan itu sebenarnya tidak ada. Artinya tidak ada kemajuan, produk,
hubungan, sistem, atau struktur yang bisa memenuhi ideal.
Dengan demikian, selalu saja ada
ruang untuk peningkatan dengan cara mempertahankan aktifitas yang memberi nilai
tambah dan mengeliminasi aktivitas yang tidak memberi nilai tambah.
Secara lebih sederhana, dapat
dikatakan bahwa tidak ada produk yang sempurna, yang sempurna tidak pernah bisa
diwujudkan. Kaizen selalu berusaha
meningkatkan apa yang pernah dicapainya, dan pasti selalu ada hari lain atau
orang lain yang menemukan ruang untuk mengadakan peningkatan.
Hasil dari kaizen disebut dengan “kuota” atau “standar” dan bukan sebagai
“target”. Target mutu atau kepuasan pelanggan merupakan hal yang ditabukan
dalam kaizen. Prestasi standar adalah
istilah yang lebih disukai, tetapi suatu standar secara keseluruhan harus
bersifat sementara. Standar hanya boleh dipertahankan sampai ada karyawan atau
tim lain yang dapat mengerjakannya dengan lebih baik. Tidak ada standar yang
berlaku selamanya, dan setiap standar dapat diperbaiki.
Dengan berfokus pada pandangan bahwa
setiap aspek dari siklus produksi selalu terbuka untuk diperiksa dan
ditingkatkan, dan dengan selalu melihat mutu sebagai tujuan utama, maka keahlian
dan kemampuan sektor manufaktur perusahaan akan mengalami pertumbuhan yang
menakjubkan dan akan membawa perusahaan menduduki garis terdepan dalam
perdagangan global.
Kegiatan bisnis sehari-hari
berfungsi mengikuti formula yang telah disepakati bersama. Formula-formula ini,
bila ditulis secara eksplisit, menjadi standar. Standar dapat dirumuskan
sebagai cara terbaik dalam melaksanakan suatu tugas.
Manajemen yang sukses dalam kegiatan
sehari-hari menganut pandangan terhadap tugasnya sebagai: menjaga dan
meningkatkan standar. Hal ini tidak hanya berarti sekedar mematuhi teknologi,
manajerial, maupun standar operasional yang berlaku, tetapi juga memperbaiki
proses yang ada dalam rangka membawa standar yang ada menuju ke tingkat standar
yang lebih tinggi.
Standar memiliki ciri-ciri pokok
sebagai berikut:
1.
Merupakan cara yang terbaik, termudah, dan paling aman
dalam melaksanakan suatu tugas. Standar merupakan kebijaksanaan dan pengetahuan
yang terkumpul selama bertahun-tahun dari penguasaan karyawan dalam mengerjakan
tugasnya. Standar itu akan menjadi cara yang terbaik, paling efisien, efektif,
dan aman dalam melaksanakan tugas.
2.
Memberikan cara terbaik dalam melestarikan pengetahuan
dan penguasaan kemampuan. Melalui standar dan melembagakan pengetahuan yang dimiliki
seorang karyawan yang mengetahui cara terbaik melaksanakan tugas, maka
pengetahuan tersebut dapat dilestarikan, tanpa harus tergantung pada masuk dan
keluarnya karyawan.
3.
Sebagai cara untuk mengukur kinerja. Dengan standar
yang resmi, manajer dapat mengukur kinerja penugasan. Tanpa standar, tidak ada
cara yang cukup adil (fair) dalam
mengukur kinerja.
4.
Menunjukkan kaitan antara sebab dan akibat. Tanpa
standar ataupun tidak memenuhi standar dapat membawa proses kepada
ketidakwajaran, variabilitas, dan pemborosan.
5.
Menjadi dasar untuk memelihara dan memperbaiki proses.
Menurut definisi, mematuhi standar berarti melaksanakan fungsi memelihara,
sedang mengubahnya menjadi lebih baik adalah fungsi perbaikan. Tanpa standar,
kita tidak memiliki cara untuk mengetahui apakah kita telah melakukan perbaikan
atau belum.
6.
Memberikan arah sasaran tugas dan petunjuk sasaran
latihan. Standar dapat disebut sebagai sekumpulan simbol visual yang
menunjukkan cara mengerjakan tugas. Oleh karena itu, standar harus dapat
menyalurkan komunikasi secara sederhana dan mudah dipahami.
7.
Merupakan dasar untuk pelatihan. Setelah standar
ditetapkan, langkah berikutnya adalah melatih operator sampai tingkat di mana
operator dapat melakukan tugasnya sesuai standar secara alamiah.
8.
Dasar untuk audit dan diagnosis. Di tempat kerja,
standar kerja umumnya diperagakan, memperlihatkan langkah-langkah penting, dan
butir periksa (check points) dari
pekerjaan operator. Standar ini tentu saja berfungsi untuk mengingatkan
operator. Tetapi lebih penting lagi, standar membantu manajer dalam memantau
apakah pekerjaan tersebut berjalan secara normal.
9.
Standar sebagai sarana untuk mencegah pengulangan
kesalahan dan memperkecil variabilitas. Jika kita telah melakukan
standardisasi, manfaat dari kaizen
dapat dirasakan dengan hilangnya kesalahan yang tak muncul kembali.
Pengendalian mutu adalah pengendalian terhadap variabilitas. Tugas manajemen
adalah mengenali, merumuskan, dan menetapkan butir kendali (control point) pada setiap proses dan
memastikan bahwa butir kendali tersebut dipatuhi setiap saat.
D.
Quality, Cost, Delivery (QCD)
Dalam konteks kaizen, mutu, biaya,
dan penyerahan (quality, cost, delivery-QCD)
merupakan aspek bisnis yang paling penting dan saling terkait erat untuk
diperbaiki. Sia-sialah jika kita membeli barang atau jasa layanan yang tidak
memiliki mutu, meskipun murah sekali. Sebaliknya, sia-sia pula menawarkan
produk atau jasa layanan yang bermutu baik dan berharga menawan, tetapi tak
dapat diserahkan memenuhi permintaan konsumen pada saatnya dan dalam jumlah
yang dibutuhkannya.[16]
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dalam perkembangannya filsafat jepang banyak
dipengaruhi atau berasal dari luar jepang, terutama dari china yaitu Buddhisme dan konfusianisme, dengan
kata lain jepang tidak memiliki filsafat asli.
Diantara beberapa aliran filsafat yang
berkembang di jepang, hanya Shintoisme yang memiliki pengaruh dan kontribusi
yang cukup besar terhadap negara maupun ekonomi, dan memperkuat ketertarikan
kepada nilai-nilai sentral, memberikan motivasi dan legitimasi untuk beberapa
inovasi politik dan memperkuat etika asketisme duniawi yang menekankan sikap
rajin dan hemat.
Selain itu, sikap hormat kepada Kaisar oleh
penganut Shinto merupakan kekuatan ideologis di Jepang dan telah berfungsi memberikan
legitimasi untuk perubahan yang tanpa itu akan mendapatkan tantangan yang
sangat keras.
Selain ideologi shinto, Jepang benar-benar
menerapkan prinsip-prinsip filosofi keizen. Dengan filosofi keizen manajemen
inilah perusahaan-perusahan jepang dapat berkembang dengan baik.
Kesimpulan Europe Japan Centre tentang Kaizen
Jepang yang mengungkapkan bahwa :
“Kaizen
mengatakan kepada kita bahwa hanya dengn secara terus menrus tetap sadr dn
membuat bertus-ratus ribu peningkatan kecil, maka dimungkinkan untuk
menghasilkn barang dan jasa yang mutunya otentik sehingga memuaskan pelanggan.
Cara paling mudah mencapainya adalah dengan keikutsertaan, motivasi dan
peningkatan terus menerus dari masing-masing dan semua karyawan dalam
organisasi. Keikutsertaan staf tergantung pada komintmen manajemen senior,
strategi yang jelas dan ketabahan – karena kaizen bukan jalan pintas melainkan
proses yang berjalan secara terus menerus untuk menciptakan hasil yang
diinginkan”. (Cane, 1998)
Konsep Kaizen dibagi dalam 3 segmen, yaitu
Pertama, berorientasi pada manajemen. Manajemen Jepang umumnya percaya bahwa
seorang manajer harus menggunakan 50% waktunya untuk penyempurnaan. Mulai
dengan mengidentifikasi “pemborosan” maupun “kinerja karyawan.” Kedua,
berorientasi pada kelompok “gugus kendali mutu” dan “aktivitas kelompok kecil”
untuk mengidentifikasi penyebab masalah, menganalisis, melaksanakan, mencoba
tindakan baru, dan menetapkan standar/ prosedur baru. Ketiga, berorientasi pada
individu, tercermin dalam bentuk keterampilan karyawan dalam menyampaikan
pemikiran dan saran, sebagai upaya pengembangan diri karyawan.
Kepuasan yang sebenarnya terletak pada proses perbaikan itu sendiri melalui
usaha-usaha yang kreatif. Kompetensi saja tidak cukup. Yang diperlukan adalah
“kemampuan bekerja dalam Tim” secara efektif dengan memanfaatkan keahlian,
kemampuan, dan pengetahuan yang dimiliki guna memperbaiki kelemahan dalam
perusahaan.
3.2 Kritik dan
Saran
Demikian makalah ini dibuat, jika terdapat banyak kekurangan dan
kesalahanpada makalah ini saya menyatakan mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kritik dan saran saya harapkan guna mengoreksi kesalahan yang ada dimakalah ini
agar kedepannya menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
o
Barnes,
Tony. Kaizen Strategies for Succesful
Leadership. Diterjemahkan oleh Martin Widjokongko. Batam: Interaksara, 1998.
o
Imai,
Masaaki. Kaizen: The Key to Japan’s
Competitive Success. Diterjemahkan oleh Mariani Gandamihardja. Cetakan
keempat. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. 1996.
o
Imai,
Masaaki. Gemba Kaizen: a Commonsense,
Low-Cost Approach to Management. Diterjemahkan oleh Kristianto Jahja.
Cetakan kedua. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. 1999.
o
Blocher/Chen/Lin,
Cost Management: A Strategic Emphasis
(Manajemen Biaya), Buku I, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 1999
o
Beasley,
W.G, Pengalaman Jepang Sejarah Singkat
Jepang, Yayasan Obor Indonesia. 2003
o
Djam’annuri,
Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus
Arafah, 1981).
o
Mukti, Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta: (IAIN
Sunan Kalijaga Press,1988)
o
Soebantardjo.
Sari Sedjarah; Jilid 1:
Asia-Australia. Yogyakarta: Bopkri, 1958.
o
Suwarto, Buddha Darma Mahayana, (Palembang:
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995)
o
Handayani,
Ratna. Nilai Pemikiran Suzuki Shosan dan Ishida Baigan dalam Gemba Kaizen
sebagai Pendekatan Akal Sehat, berbiaya Rendah pada Manajemen Jepang. Jurnal
Nihon Gakushuu,(2005)
o
Sheila Cane,
Kaizen Strategis for Winning Through
People, Bagaimana Menciptakan Program Sumber Daya Manusia untuk Memenangkan
Persaingan & Keuntungan, Interaksara, Jkarta, 1998. Hal.265
[1] Mukti,
Ali, Agama-Agama di Dunia,
Yokyakarta: (IAIN Sunan Kalijaga Press,1988). Hlm.140
[2] Soebantardjo.
Sari Sedjarah; Jilid 1:
Asia-Australia. Yogyakarta: Bopkri, 1958. Hlm.7
[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Kaizen
[4] Mukti,
Ali, Agama-Agama di Dunia,
Yokyakarta: (IAIN Sunan Kalijaga Press,1988). Hlm.144
[5] Op.cit Mukti, Ali. Hlm.144
[6] Mukti,
Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta:
(IAIN Sunan Kalijaga Press,1988).
Hlm.144
[7] Mukti,
Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta:
(IAIN Sunan Kalijaga Press,1988).
Hlm.143
[8] Suwarto,
Buddha Darma Mahayana, (Palembang:
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995). Hlm.520-521
[9] Mukti,
Ali, Agama-Agama di Dunia,
Yokyakarta: (IAIN Sunan Kalijaga Press,1988). Hlm.140-142
[10] Beasley,
W.G, Pengalaman Jepang Sejarah Singkat Jepang, Yayasan Obor Indonesia. 2003, Hlm.218
[11] Djam’annuri,
Agama Jepang ( Yogyakarta : PT Bagus Arafah,
1981).Hlm.36-38
[12] Blocher/Chen/Lin,
Cost Management: A Strategic Emphasis
(Manajemen Biaya), Buku I, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 1999. Hlm.13
[13] Imai,
Masaaki. Kaizen: The Key to Japan’s
Competitive Success. Diterjemahkan oleh Mariani Gandamihardja. Cetakan
keempat. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. 1996. Hlm.4
[14] Barnes,
Tony. Kaizen Strategies for Succesful
Leadership. Diterjemahkan oleh Martin Widjokongko. Batam: Interaksara. 1998, Hlm.27
[15] Imai,
Masaaki. Gemba Kaizen : a Commonsense, Low-Cost
Approach to Management. Diterjemahkan oleh Kristianto Jahja. Cetakan kedua.
Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. 1999, Hlm.71
[16] Handayani,
Ratna. Nilai Pemikiran Suzuki Shosan dan Ishida Baigan dalam Gemba Kaizen
sebagai Pendekatan Akal Sehat, berbiaya Rendah pada Manajemen Jepang. Jurnal
Nihon Gakushuu,(2005) Hal.5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar