BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia bergerak di
dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan
kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Berbagai paradigma dan penafsiran-penafsiran
yang hadir sebagai informasi seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan
manusia, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan manusia. Sehingga dengan
mudah manusia telah melupakan hakikat dunia apa adanya, dunia kehidupan yang
murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama
bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwan, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam
tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan
krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivisme
terhadap ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu
masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial,
yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah
mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru
bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan
itu sendiri.
Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan
fenomenologi yang secara ringkas akan dibahas di bawah ini. Dalam makalah ini,
penulis memfokuskan pembahasan pada hakekat filsafat fenomenologi itu sendiri,
kemudian cara kerja pendekatan fenomenologi, selanjutnya kontribusi
fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan, dan terakhir kritik terhadap
fenomenologi.
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen
berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio,
pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai
kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap
fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala
atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang
menampakkan diri pada kesadaran kita. [1]
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat,
fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu
dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis.
Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun
istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl.
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama
kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah
menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek
pengalaman inderawi (fenomenon) (Delgaauw,
B, 2001). [2]
Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam
karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (Sutrisno, 1992). Maksud Kant
adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori
modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi,
yakni fenomena indera-indera lahiriah. [3]
Hegel (1807) dalam Sutrisno (1992) juga
memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai
pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran
kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya.
Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu
pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat
bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada
pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau
kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi
konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai
suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua
bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis,
konseptual, serta indrawi.
Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya
difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt
(dunia kehidupan) atau Erlebnisse
(kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak
intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari
ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat.
Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil
sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan
melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu
sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran.
Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta
kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk
mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman
serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut
Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada.
Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda
itu sendiri (Zu den Sachen Selbt) dan
ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk
yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat
pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan
kedua ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant,
terutama konsepnya tentang fenomena – noumena.
Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan
penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding
an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia
hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan
noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk
menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya
termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya.
Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah
realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas.
Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi)
dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara
sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition). (Delgaauw, B, 2001)[4]
Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat
fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat
positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam
tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat
positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri
sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol.
Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang
objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan
yang holistik, bukan pendekatan partial. Dalam tataran epistemologis, filsafat
positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur
dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang
spesifik.
Tata cara
penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif.
Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada
generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi
menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan
objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik
suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya.
Tata cara
penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori
yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi
kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus
yang diteliti. (Delgaauw, B, 2001)
Menurut
Delgaauw, B, (2001) pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang
kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas
nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih
luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik
dan kebenaran transcendental. [5]
Oleh karena
itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan
tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang
dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme,
vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan?
2.
Bagaimana filsafat fenomenologi dan perkembangannya
menurut Husserl?
3.
Bagaimana cara
memperoleh pengetahuan sains secara fenomenologi?
4.
Bagaimana cara filsafat fenomenologi menyelesaikan
masalah?
1.3
Manfaat
Banyak ilmu dan manfaat yang dapat diperoleh dari membaca makalah ini salah
satunya adalah memperkaya pengetahuan serta wawasan kita tentang filsafat
fenomenologi. Bahwa dalam mempelajari fenomenologi dapat menjalin keterkaitan
manusia dengan realitas. Oleh karena itu dalam filsafat fenomenologi berusaha
untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena
yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Fenomenologi
Sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk
mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami
sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran
kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata
sebagai gagasan maupun kenyataan, yang penting ialah pengembangan suatu metode
yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti
penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan
segenap teori, pra-anggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena
sebagaimana adanya: "Zu den Sachen
Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri). (Muhadjir, 2011).[6]
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah
menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan
suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu
mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang
fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai
pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang
harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata “epoche” berasal dari bahasa
Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari
keyakinan tertentu”.
Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan
yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar
salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah
benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.
Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting:
Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam
kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek
kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl dalam Muhadjir (2011), epoche memiliki
empat macam, yaitu :[7]
1.
Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah
kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu
pengetahuan.
2.
Method of
existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap
keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.
Method of
transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang
transcendental dalam kesadaran murni.
4.
Method of
eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta
tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Dengan melihat keempat aspek ini memang menurut saya ketika menerapkan
keempat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada realitas
yang dia amati.
2.2
Filsafat
fenomenologi Edmund Husserl
Berikut ini gambaran tentang Fenomenologi
menurut Edmund Husserl, sebagai pandangan filsafat ilmu yang menunjang
Positivisme.
1.
Keterjebakan positivisme dalam ilmu sosial
Filsafat
ilmu positivism menggunakan metoda analitik dalam pengembangan ilmunya; secara
analitik mencari unit terkecil, dihimpun makna indrawi sebagai perceived view, yang dieliminasi dari konsep, ide dari subjek. Pada era
positivism objektif. Filsafat ilmu tersebut digunakan untuk IPA, dan mungkin
sebelumnya. Tidak segera disadari kelemahannya.
2.
Empat kosep sentral Husserl
Ada empat
konseo sentral Husserl, yaitu: intensionalitas, intersubjektivitas, intuisi
atau refleksi, dan transcendental logic
a.
Intensionalitas
Sependapat
dengan gurunya Frans Brentano, Edmund Husserl berteori bahwa intensionalitas
merupakan keterarahan objek dalam status mental kita, bukan sekedar mental in existence saja. Lebih
lanjut Husserl mengembangkan bahwa intensionalitas merupakan subjective act of meaning. Subject act tersebut dibedakan antara material
of act and quality of act.
Material act ,merupakan content yang
pilah dari sense of experience. Quality
of act adalah perceiving, imaging, desiring, hating on the esteeming
of content. Dari rumusan Husserl tersebut secara sederhana dapat
dikemukakan bahwa intensionalitas merupakan keterahan subjek dalam memaknai
pengalaman dengan membuat pembobotan isi persepsinya, imaginasinya, ataupun
ketidaksukaannya, terpisah dari pengalaman lainnya.
b.
Intersubjektivity
Bagi Husserl
intersubjectivity merupakan bagian dari telaah fenomenologi transcendental.
Saat kita membuat refleksi the other world dengan intensionalitas kita, kita
berhadapan dengan subjektivitas internasionalitas subjek lain. Kita yang
melihat subjek lain sebagai dituntut pula untuk mampu membangun a shared value,
a cultural world.
c.
Intuisi dan refleksi
Bagi Husserl
intuisi adalah basis dan ultimate telos bagi kognisi human. Husserl berupaya
menunjukkan bahwa semua operasi kompleks melandaskan pada persepsi sederhana
yang beroperasi dalam bentuk kombinasi dan abstraksi. Konfirmasi atau penolakan
tentangobjek fisik melalui jenis khusus proses intuisi, yang disebut Husserl
sebagai eidetic
d.
Transendental logic
Husserl
menjawab tentang logika formil dan logika transcendental dalam menjawab
pertanyaan ontologik. Kedua logika menggunakan judgment untuk membuat
kesimpulan, membuat kesimpulan secara apriori. Telaah ontologik fenomenologi
transcendental dituntut tidak lagi membuat kesimpulan apriori, tetapi a
posteriori.
2.3
Perkembangan
Fenomenologi
Ada dua pendekatan fenomenologi: induktif dan
deduktif. Tokoh sentral fenomenologi induktif adalah Edmund Husserl; adapun
tokoh sentral fenomenologi deduktif adalah Karl Popper. Fenomenologi induktif
berkembang pesat. Ada tiga era perkembangan fenomenologi induktif, yaitu
era perintisan, era pengembangan, dan era social
action.
A.
Fenomenologi
era Perintisan
a.
Berpikir induktif interpretif
Filsafat
positivisme berpikir
induktif, bersifat rasional empiric sesuai fakta received view, sesuai
fakta objektif. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu hipotesis diuji secara
empiric. Pembuktian kebenaran tunduk pada kebenaran bukti empirik. Filsafat
fenomenologi berpikir induktif pula. Empiri bukan diangkat berdasarkan fakta received review, melainkan diungkap fakta intensional, fakta berdasarkan
persepsi, ide, kecenderungan moralitas subjek yang diteliti.
1.
Kualitatif
induktif objektif versus kualitatif interprettif
Analisis dan kesimpulan positivistic merupakan
interpretasi peneliti. Analisis dan kesimpulan fenomenologi merupakan
interpretasi subjek yang diteliti. Fenomenologi disebut kualitatif induktif
interpretif. Positivisme disebut kualitatif induktif objektif.
2.
Era Grounded
Era
perintisan dapat juga disebut era grounded; dengan karakteristik membangun grounded theory, membangun teori sepenuhnya dari empiri intensional. Empiri
intensional. Empiri intensional adalah empiri yang terarah objek dalam status
mental subjek.
3.
Rasionalitas grass
root
Rasionalitas
yang digunakan pada fenomenologi induktif mengangkat alam piker subjek
penelitian, alam piker grass root, alam pikiran satuan masyarakat yang diteliti.
4.
Upaya mencari sosok kualitatif
Model
kualitatif interpretif menurut Muhadjir (2011) bahwa fenomenologi induktif era
perintisan dapat disajikan menjadi enam model: model interpratif Geertz, model grounded research, dari Glasser &
Strauss, model ethnometodologi dari Bogdan, model paradigma naturalistik dari
Guba & Lincoln, model interaksi simbolik dari Blumer dan Kuhn, dan model
konstrukstivis dari Goodman
B.
Model pada
Era Perintisan
Model-model
pada era rintisan menurut Muhadjir (2011) disajikan berdasarkan perkembangan
atau kontribusi pemikiran dari setiap model bagi bangunan fenomenologi
induktif.[8]
1.
Model interpretif Geertz
Semula
Geertz adalah penganut positivism fungsional. Saat mengadakan penelitian di
Nganjuk Jawa Timur, yang nama kota disamarkan menjadi Mojokunto, Geertz
mengalami kesulitan. Teori universialismenya tidak jalan. Akhirnya Geertz
membiarkan masyarakat Nganjuk memaknai sendiri, satuan sosialnya menjadi
masyarakat santri, priyayi, dan abangan.
2.
Model Grounded Research
Para ahli sosial, khusunya para ahli
sosiologi berupaya menemukan teori berdasarkan data empirik, bukan
membangun teori secara deduktif logic. Itulah yang disebut dengan grounded research.
a.
Data interpretif subjek yang diteliti
Teori yang
berdasarkan data empiri pada model ini, berdasarkan data interpretif subjek
yang diteliti.
b.
Tes substantif dan teori formal
Lebih lanjut Glasser & Strauss
mengetengahkan dua jenis teori, yaitu: teori substantive dan teori formal.
Teori substantif ditemukan dan dibentuk untuk daerah substantif tertentu;
sedangkan teori formal ditemukan dan dibentuk untuk kawasan kategori konseptual
teoritis. Kedua tipe teori tersebut dalam kategori Merton termasuk kategori middle range theories yang menampilkan
keberlakuannya pada daerah substantif tertentu atau menampilkan generalisasinya
pada dimensi formal tertentu pada sejumlah daerah substantif tertentu; dan
tidak menjangkau apa yang disebut grand
theories yang keberlakuannya meliputi semua hal.
c.
Metode
ethnografis-ethnomethodologi Bogdan
Ethnografi merupakan salah satu model yang lebih banyak terkait dengan
antropologi yang mempelajari peristiwa kultural. Lebih lanjut model ethnografi
lebih diperkembangkan menjadi salah satu model penelitian di dalam kehidupan
praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi
dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan
filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan,
sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni,
tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme
selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu
alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah
mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir
positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai
makhluk historis.
Problematik positivisme dalam
ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta
sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan
metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam
proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan
fenomenologi yang secara ringkas akan dibahas di bawah ini.
Dalam makalah ini, penulis
memfokuskan pembahasan pada hakekat filsafat fenomenologi itu sendiri, kemudian
cara kerja pendekatan fenomenologi, selanjutnya kontribusi fenomenologi
terhadap dunia ilmu pengetahuan, dan terakhir kritik terhadap
fenomenologi.untuk ilmu-ilmu sosial. (Muhadjir, 2011)[9]
C.
Model paradigma Naturalistik
Menurut Muhadjir (2011) bahwa model paradigma
naturalistik merupakan model dari era perintisan yang paling tuntas dan
konsisten dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran i dalam kehidupan praktis
sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan
penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat.
Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan,
situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan
dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk
penafsiran.[10]
Dominasi paradigma positivisme selama
bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam
tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan
krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis
terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme
dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial,
yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah
mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru
bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan
itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi yang
secara ringkas akan dibahas di bawah ini.
D.
Fenomenologi Era Pengembangan
Pada era pengembangan: dengan karakteristik
dikembangkan discourse dengan tokoh
Faucoult dan Berger jelas-jelas intervensi peneliti dalam bentuk masukan berupa
bacaan atau pemahaman pikiran baru pada subjek yang diteliti, agar tumbuh
kesadaran pada pikiran baru dan meninggalkan pikiran tertinggal. Tumbuh
kesadaran, bukan memaksakan pikiran peneliti pada subjek atau satuan sosial
yang diteliti.
1.
Model
Faulcouldian
Dengan pendekatan Faulcoult peneliti berupaya
memberi masukan pikiran baru (misal dalam penelitian feminisme) peneliti
memberi bacaan atau persuasi tentang prestasi istri, peranan istri dalam
keluarga, dalam mencari nafkah, dan lain-lain agar peranan istri lebih serasi.
2.
Model
Bergerian
Peter L. Berger menyajikan tiga tahap
penyadaran, yaitu: subjektifitas, objektifitas, dan internalisasi. Peneliti
menyadarkan secara bertahap ekses-ekses mengkonsumsi narkoba (tahap
subjektifikasi), memahami sehatnya tanpa narkoba (tahap objektifikasi),
dilanjutkan memotivasi tumbuhkan kesadaran untuk meninggalkan konsumsi narkoba
atas kesadarannya sendiri (tanpa internalisasi).
E.
Era Social Action
Pada era Social Action, karakteristik fenomenologi tetap dipertahankan,
yaitu merekam jalan pikiran, persepsi subjek atau satuan masyarakat yang
diteliti. Pada era rintisan sepenuhnya merekam, pada era pengembangan
dikembangkan discourse, pada era social action peneliti mengembangkan
proyek dengan tujuan tertentu: yaitu terjadinya perubahan pemikiran dan
lain-lain pada satuan sosial yang diteliti, meskipun akhirnya peneliti tetap
merekam pemikiran satuan sosial yang sudah berkembang pada pemikiran tersebut.
(Muhadjir,
2011)[11]
2.4
Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa
ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep
ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau
membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan
subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of
European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep
“dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi
(mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir
positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai
sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya
adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan
(angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena
para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula
impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa
dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam
spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan
ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni
unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya
atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan
inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini
menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak
dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu
alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin
ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya.
Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna.
Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku
dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke
dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat
menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat
berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini
adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk
menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka
meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran)
individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek
intersubjektif.
Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang
detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana
banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati. Demikianlah, dunia kehidupan
sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial
sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur
yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak
terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus
mendapatkan dukungan metodologisnya.
2.5
Kritik Terhadap Fenomenologi
Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi
dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi
data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam
kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan
dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar
objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek
kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya.
Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan
pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang
diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga
banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam
berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi
sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk
mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai
pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan,
merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu
pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan
nilai (value-bound).
Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan
bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis
status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau
penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang
ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan
adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian
fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran
terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak
antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian,
pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya
berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu
tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan
tidak dapat digenaralisasi. (Muhadjir, 2011)[12]
2.6
Cara
Memperoleh Pengetahuan Sains secara Fenomenologi
Pengalaman manusia sudah berkembang
sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang
mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan
itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan mistik. Perkembangan sains
didorong oleh paham Humanisme. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan
bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam.
Menurut Muslih, Moh.(2005) Humanisme
telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno). Sejak zaman dahulu, manusia
telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia. Tujuannya ialah agar
manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi kebutuhan manusia
sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang teratur itu diperlukan
aturan. [13]
Manusia juga perlu aturan untuk
mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam
itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu manusia tidak mau
dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya – kalau dapat – manusia ingin alam itu
mempermudah kehidupannya. Karena itu menurut saya harus ada aturan untuk
mengatur alam.
Bagaimana membuat aturan untuk
mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani
Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme
mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi,
manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.
Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama
atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati.
Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk
mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan
sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa sumber aturan itu?
Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah agama mana? Masing-masing
agama menyatakan dirinya benar, yang lain salah. Jadi, seandainya aturan itu
dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang menolaknya. Padahal aturan
itu seharusnya disepakati oleh semua orang. Begitulah kira-kira mereka
berpikir.
Menurut mereka aturan itu harus
dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu
ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap mampu, kedua, karena
akal pada setiap roang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah
logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber
yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan Rasionalisme. Rasionalisme
ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur
pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal
artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila
tidak, salah. Nah, dengan hal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu
dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal. (Muslih,
Moh., 2005)[14]
Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali
bertentangan. Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga.
Padahal ini dan itu itu tidak sama, bahkan kadang-kadang bertentangan.
Orang-orang sophis pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan bahwa bergerak sama
dengan diam, kedua-duanya sama logisnya. Apakah anak panah yang melesat dari
busurnya bergerak atau diam? Dua-duanya benar. Apa itu bergerak? Bergerak ialah
bila sesuatu pindah tempat. Anak panah itu pindah dari busur ke sasaran. Jadi,
anak panah itu bergerak. Anak panah itu dapat juga dibuktikan diam. Diam ialah
bila sesuatu pada sesuatu waktu berada pada suatu tempat. Anak panah itu setiap
saat berada di suatu tempat. Jadi, anak panah itu diam. Ini pun benar, karena
argumennya juga logis. Jadi, bergerak sama dengan diam, sama-sama logis. Apa
yang diperoleh dari kenyataan itu? Yang diperoleh ialah berpikir logis tidak
menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu seharusnya
disepakati. Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme.
Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti yang diuraikan di atas ialah
sebagai berikut: (Ahmad, T, 1997). Humanisme, Rasionalisme, Empirisme,
Positvisme, Metode Riset, Metode Ilmiah, Fenomenologi (Aturan untuk mengatur
alam & Aturan untuk mengatur manusia)
2.7
Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sains
Menurut Ahmad, T (1997) ilmu berisi teori-teori. Jika kita mengambil buku
Ilmu (Sains) Pendidikan, maka akan menemukan teori-teori tentang pendidikan.
Ilmu Bumi membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat membahas
teori-teori tentang makhluk hidup. [15]
Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori. Jika kita bertanya apa
ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya ialah apa ukuran kebenaran
teori-teori sain.
Ada teori Sains Ekonomi: bila
penawaran sedikit, permintaan banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat
kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan menjadi hukum, disebut hukum
penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum ini, maka barangkali benar
dihipotesiskan: Jika hari hujan terus, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan,
maka harga beras akan naik. Untuk membuktikan apakah hipotesis itu benar atau
salah, kita cukup melakukan dua langkah. Pertama, kita uji apakah teori itu
logis? Apakah logis jika hari hujan terus harga gabah akan naik?
Jika hari hujan terus, maka orang
tidak dapat menjemur padi, penawaran beras akan menurun, jumlah orang yang
memerlukan tetap, orang berebutan membeli beras, kesempatan itu dimanfaatkan
pedagang beras untuk memperoleh untung sebesar mungkin, maka harga beras akan
naik. Jadi, logislah bila hujan terus harga beras akan naik. Hipotesis itu
lolos ujian pertama, uji logika. Kedua, uji empiris. Adakan eksperimen.
Buatlah hujan buatan selama mungkin,
mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, beras dari daerah lain tidak masuk.
Periksa pasar. Apakah harga beras naik? Secara logika seharusnya naik. Dalam
kenyataan mungkin saja tidak naik, misalnya karena orang mengganti makannya
dengan selain beras. Jika
eksperimen itu dikontrol dengan ketat, hipotesis tadi pasti didukung oleh
kenyataan. Jika didukung oleh kenyataan (beras naik) maka hipotesis itu menjadi
teori, dan teori itu benar, karena ia logis dan empiris. Jika hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia
menjadi teori. Jika sesuatu teori selalu benar, yaitu jika teori itu selalu
didukung bukti empiris, maka teori itu naik tingkat keberadaannya menjadi hukum
atau aksioma.
Agaknya banyak mahasiswa menyangka bahwa hipotesis bersifat mungkin benar
mungkin salah, dengan kata lain, hipotesis itu kemungkinan benar atau salahnya
sama besar, fifty-fifty. Prasangkaan itu salah.
Hipotesis (dalam sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika,
tetapi belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah
merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik.
Ada atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita
bahwa kelogisan suatu hipotesis – juga teori – lebih penting ketimbang bukti
empirisnya.
2.8
Cara
Filsafat Fenomenologi Menyelesaikan Masalah
Kegunaan filsafat yang lain ialah
sebagai metodologi yaitu termasuk dalam lingkupan fenomenologi, maksudnya
sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai metode
dalam memandang dunia (world show).
Dalam hidup kita, kita menghadapi
banyak masalah. Masalah artinya kesulitan. Kehidupan akan dijalani lebih enak
bila masalah itu terselesaikan. Ada banyak cara dalam menyelesaikan masalah,
mulai dari yang amat sederhana sampai yang rumit. Ada rapat di sebuah RT, yang dibicarakan
masalah keamanan. Pak Ketua RT menyatakan bahwa akhir-akhir di kampung kita
banyak pencurian, tidak seperti biasanya. Menanggapi itu hampir semua orang
yang hadir mengusulkan agar ronda malam dipergiat. Inilah kira-kira cara orang
awam menyelesaikan masalah.
Di situ ada seorang yang berpendapat
lain. Ia bertanya apa saja barang yang biasanya dicuri, sejak bulan apa, pada
pukul berapa biasanya terjadi. Lantas ia mengusulkan selain menggiatkan ronda,
sebaiknya digiatkan juga pengajian. Ia melakukan identifikasi lebih dahulu,
lantas ia melihat penyebab lebih mendasar. Ia pikir, bila perondanya bermoral
buruk, bisa-bisa peronda itu sendiri yang mencuri. Orang ini ilmuwan. Kira-kira
beginilah penyelesaian Sains. Filsafat pun memiliki cara tersendiri dalam
menyelesaikan masalah.
Sesuai dengan sifatnya, filsafat
menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian filsafat
bersifat mendalam, artinya ia ingin mencari asal masalah. Universal, artinya
filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan seluas-luasnya agar nantinya
penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin. (Ahmad, T, 1997).[16]
Saya melihat banyak orang tidak
menyenangi sebagian budaya Barat, khususnya tentang kebebasan seks. Mereka
mengatakan kebebasan seks harus diberantas. Ini penyelesaian langsung. Sedikit
mendalam bila kita mengusulkan perketat masuknya informasi dari Barat terutama
yang menyangkut kebebasan seks, atau kita mengusulkan sensor film diperberat.
Filsafat belum puas dengan penyelesaian itu. Lalu bagaimana?
Filsafat mempelajari asal usul
kebebasan seks itu. Ditemukan, itu muncul dari paham Hedonisme. Maka kita
perangi paham itu. Filosof lain belum juga puas, karena menurutnya Hedonisme
itu belum penyebab paling awal, Hedonisme itu sebenarnya turunan Pragmatisme. Pragmatisme itu bersama dengan Liberalisme lahir dari Rasionalisme. Karena
itu filosof ini mengatakan yang paling strategis ialah memerangi Rasionalisme
itu. Apakah
rasionalisme itu penyebab pertama munculnya kebebasan seks?
Untuk sementara, agaknya ya. Maka
untuk memberantas kebebasan seks kita harus menjelaskan bahwa Rasionalisme itu
adalah pemikiran yang salah. Penyelesaian ini mendalam, karena telah menemukan
penyebab yang paling asal. Penyelesaian itu juga universal, karena yang akan
diperbaiki pada akhirnya kelak bukan hanya persoalan kebebasan seks, hal-hal
lain yang merupakan turunan Rasionalisme juga akan dengan sendirinya hilang.
Hal ini juga sesuai dengan
pendapat Schutz dalam Nindito, S (2005)
yang menyusun pendekatan fenomenologi secara lebih sistematis, komprehensif,
dan praktis sebagai sebuah pendekatan. yang berguna untuk menangkap berbagai
gejala (fenomena) dalam dunia sosial. Kemudian saya melihat hal ini ke dalam
dunia pendidikan dimana siswa juga dapat distimulus dalam pembelajarannya
melalui pembelajaran berbasis pemecahan masalah. Karena pembelajaran berbasis
masalah pembelajaran berbasis masalah adalah suatu metode atau cara
pembelajaran yang ditandai oleh adanya masalah nyata, a real-world problems
sebagai konteks bagi siswa untuk belajar kritis dan ketrampilan memecahkan
masalah dan memperoleh pengetahuan.[17]
Bahkan pembelajaran berbasis masalah
ini dinilai cukup signifikan memberikan pemahaman kepada siswa dalam
mengkontekstualkan pembelajaran. Hal ini didukung beberapa penelitian
internasional, yaitu:
·
A Problem-Based Learning Approach to Teaching Introductory Soil Science” oleh Amador. A.J tahun 2004.[18]
·
Ecological Problem-Based Learning: An Environmental Consulting Task, oleh Jack. T. Tessier tahun 2004[19]
Dalam hal ini, fenomena selalu
merujuk ke arah luar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Dua,
fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita.
Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan”
(ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Oleh karenanya Husserl
mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang
kenyataan demi memunculkan esensi). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap
kita kepada dunia, yakni sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda.
Contohnya, saat makan, saya tidak memikirkan secara teoritis (menyendokkan
makanan, menggigit, menguyah) melainkan menghayatinya sebagai aktivitas saat
makan karena dipengaruhi faktor lapar.
Demikian halnya dengan mempelajari segala fenomena yang ada di dunia ini
termasuk mempelajari Sains dan matematika, apabila dikaitkan dengan realitas
yang ada disekitar kita maka dengan sendirinya peserta didik pasti tidak hanya
sekedar menghafal tetapi mengetahui bagaimanakah proses yang terjadi untuk
mencapai suatu tujuan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga
sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya
dalam kemurniannya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi
telah memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah
mengatasi krisis metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek
yang selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik.
Fenomenologi berusaha
mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan
tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu,
oleh kaum fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu
yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan,
sebagaimana dinyatakan J.B Connant, dalam Moh. Muslih (2005), bahwa: "The scientific way of thinking requires the
habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions.
Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles."
[21]
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Tafsir, 1997. Filsafat Umum.
Bandung: Rosdakarya.
Amador. A. J. 2004. A Problem-Based Learning Approach to Teaching
Introductory Soil Science. Journal of Natural
Resources and Life Sciences Education; ProQuest Agriculture Journals. Vol.33. 2004
Lam, Lam, Debbie. 2004. Problem-Based
Learning: An Integration Of Theory And Field. Journal of Social Work
Education; ProQuest Sociology; Fall 2004; Vol.40 (3)
Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat
Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tessier, T, Jack. 2004. Ecological
Problem-Based Learning: An Environmental Consulting Task. The American Biology Teacher; ProQuest Biology Journals. Sep
2004;Vol. 66 (7)
Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu:
Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta: Belukar.
Nindito, S. 2005. Fenomenologi Alfred
Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol. 2 ( 1) Juni
2005: 79-94
Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Sutrisno, FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.
[1] Ahmad,
Tafsir, 1997. Filsafat Umum. Bandung: Rosdakarya.
[2] Delgaauw,
Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
[3] Sutrisno,
FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak
Zaman, Yogyakarta: Kanisius.
[4] Delgaauw,
Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
[5] Delgaauw,
Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
[6] Muhadjir,
Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[7] Muhadjir,
Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[8] Muhadjir,
Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[9] Muhadjir,
Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[10] Muhadjir,
Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[11] Muhadjir,
Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[12] Muhadjir,
Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[13] Muslih,
Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
[14] Muslih,
Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
[15] Ahmad,
Tafsir, 1997. Filsafat Umum. Bandung: Rosdakarya.
[16] Ahmad,
Tafsir, 1997. Filsafat Umum. Bandung: Rosdakarya.
[17] Nindito,
S. 2005. Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan
Realitas dalam Ilmu Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol. 2 ( 1) Juni 2005:
79-94
[18] Amador.
A. J. 2004. A Problem-Based Learning Approach to Teaching Introductory Soil
Science. Journal of Natural Resources and Life Sciences Education; ProQuest
Agriculture Journals. Vol.33. 2004
[19] Tessier,
T, Jack. 2004. Ecological Problem-Based Learning: An Environmental Consulting
Task. The American Biology Teacher; ProQuest Biology Journals. Sep 2004;Vol. 66
(7)
[20] Lam, Lam, Debbie. 2004. Problem-Based Learning: An
Integration Of Theory And Field. Journal of Social Work Education; ProQuest
Sociology; Fall 2004; Vol.40 (3)
[21] Muslih,
Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar