Rabu, 27 Juli 2016

Kontribusi Filsafat Ilmu Fenomenologi Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan







BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Berbagai paradigma dan penafsiran-penafsiran yang hadir sebagai informasi seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan manusia, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan manusia. Sehingga dengan mudah manusia telah melupakan hakikat dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwan, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivisme terhadap ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu sendiri.
Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi yang secara ringkas akan dibahas di bawah ini. Dalam makalah ini, penulis memfokuskan pembahasan pada hakekat filsafat fenomenologi itu sendiri, kemudian cara kerja pendekatan fenomenologi, selanjutnya kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan, dan terakhir kritik terhadap fenomenologi.
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. [1]
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl.
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomenon) (Delgaauw, B, 2001). [2]
Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (Sutrisno, 1992). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah. [3]
Hegel (1807) dalam Sutrisno (1992) juga memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya.
Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi.
Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran.
Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt) dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena.
Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition). (Delgaauw, B, 2001)[4]
Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol.
Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial. Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik.
Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya.
Tata cara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti. (Delgaauw, B, 2001)
Menurut Delgaauw, B, (2001) pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. [5]
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.

1.2              Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan?
2.      Bagaimana filsafat fenomenologi dan perkembangannya menurut Husserl?
3.      Bagaimana cara memperoleh pengetahuan sains secara fenomenologi?
4.      Bagaimana cara filsafat fenomenologi menyelesaikan masalah?

1.3              Manfaat
Banyak ilmu dan manfaat yang dapat diperoleh dari membaca makalah ini salah satunya adalah memperkaya pengetahuan serta wawasan kita tentang filsafat fenomenologi. Bahwa dalam mempelajari fenomenologi dapat menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Oleh karena itu dalam filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya.



















   
BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata sebagai gagasan maupun kenyataan, yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori, pra-anggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri). (Muhadjir, 2011).[6]
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata “epoche” berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”.
Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.
Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl dalam Muhadjir (2011), epoche memiliki empat macam, yaitu :[7]
1.         Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2.         Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.         Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4.         Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Dengan melihat keempat aspek ini memang menurut saya ketika menerapkan keempat metode epoche  tersebut seseorang akan sampai pada realitas yang dia amati.

2.2              Filsafat fenomenologi Edmund Husserl
Berikut ini gambaran tentang Fenomenologi menurut Edmund Husserl, sebagai pandangan filsafat ilmu yang menunjang Positivisme.
1.                  Keterjebakan positivisme dalam ilmu sosial
Filsafat ilmu positivism menggunakan metoda analitik dalam pengembangan ilmunya; secara analitik mencari unit terkecil, dihimpun makna indrawi sebagai perceived view, yang dieliminasi dari konsep, ide dari subjek. Pada era positivism objektif. Filsafat ilmu tersebut digunakan untuk IPA, dan mungkin sebelumnya. Tidak segera disadari kelemahannya.
2.                  Empat kosep sentral Husserl
Ada empat konseo sentral Husserl, yaitu: intensionalitas, intersubjektivitas, intuisi atau refleksi, dan transcendental logic
a.                  Intensionalitas
Sependapat dengan gurunya Frans Brentano, Edmund Husserl berteori bahwa intensionalitas merupakan keterarahan objek dalam status mental kita, bukan sekedar mental in existence saja. Lebih lanjut Husserl mengembangkan bahwa intensionalitas merupakan subjective act of meaning. Subject act tersebut dibedakan antara material of act and quality of act. Material act ,merupakan content yang pilah dari sense of experience. Quality of act adalah perceiving, imaging, desiring, hating on the esteeming of content. Dari rumusan Husserl tersebut secara sederhana dapat dikemukakan bahwa intensionalitas merupakan keterahan subjek dalam memaknai pengalaman dengan membuat pembobotan isi persepsinya, imaginasinya, ataupun ketidaksukaannya, terpisah dari pengalaman lainnya.
b.                  Intersubjektivity
Bagi Husserl intersubjectivity merupakan bagian dari telaah fenomenologi transcendental. Saat kita membuat refleksi the other world dengan intensionalitas kita, kita berhadapan dengan subjektivitas internasionalitas subjek lain. Kita yang melihat subjek lain sebagai dituntut pula untuk mampu membangun a shared value, a cultural world.
c.                  Intuisi dan refleksi
Bagi Husserl intuisi adalah basis dan ultimate telos  bagi kognisi human. Husserl berupaya menunjukkan bahwa semua operasi kompleks melandaskan pada persepsi sederhana yang beroperasi dalam bentuk kombinasi dan abstraksi. Konfirmasi atau penolakan tentangobjek fisik melalui jenis khusus proses intuisi, yang disebut Husserl sebagai eidetic
d.                  Transendental logic
Husserl menjawab tentang logika formil dan logika transcendental dalam menjawab pertanyaan ontologik. Kedua logika menggunakan judgment untuk membuat kesimpulan, membuat kesimpulan secara apriori. Telaah ontologik fenomenologi transcendental dituntut tidak lagi membuat kesimpulan apriori, tetapi a posteriori.

2.3              Perkembangan Fenomenologi
Ada dua pendekatan fenomenologi: induktif dan deduktif. Tokoh sentral fenomenologi induktif adalah Edmund Husserl; adapun tokoh sentral fenomenologi deduktif adalah Karl Popper. Fenomenologi induktif berkembang pesat. Ada tiga era perkembangan fenomenologi induktif, yaitu era perintisan, era pengembangan, dan era social action.
A.                Fenomenologi era Perintisan
a.                  Berpikir induktif interpretif
Filsafat positivisme berpikir induktif, bersifat rasional empiric sesuai fakta received view, sesuai fakta objektif. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu hipotesis diuji secara empiric. Pembuktian kebenaran tunduk pada kebenaran bukti empirik. Filsafat fenomenologi berpikir induktif pula. Empiri bukan diangkat berdasarkan fakta received review, melainkan diungkap fakta intensional, fakta berdasarkan persepsi, ide, kecenderungan moralitas subjek yang diteliti.
1.                  Kualitatif induktif objektif versus kualitatif interprettif
Analisis dan kesimpulan positivistic merupakan interpretasi peneliti. Analisis dan kesimpulan fenomenologi merupakan interpretasi subjek yang diteliti. Fenomenologi disebut kualitatif induktif interpretif. Positivisme disebut kualitatif induktif objektif.
2.                  Era Grounded
Era perintisan dapat juga disebut era grounded; dengan karakteristik membangun grounded theory, membangun teori sepenuhnya dari empiri intensional. Empiri intensional. Empiri intensional adalah empiri yang terarah objek dalam status mental subjek.
3.                  Rasionalitas grass root
Rasionalitas yang digunakan pada fenomenologi induktif mengangkat alam piker subjek penelitian, alam piker grass root,  alam pikiran satuan masyarakat yang diteliti.
4.                  Upaya mencari sosok kualitatif
Model kualitatif interpretif menurut Muhadjir (2011) bahwa fenomenologi induktif era perintisan dapat disajikan menjadi enam model: model interpratif Geertz, model grounded research, dari Glasser & Strauss, model ethnometodologi dari Bogdan, model paradigma naturalistik dari Guba & Lincoln, model interaksi simbolik dari Blumer dan Kuhn, dan model konstrukstivis dari Goodman

B.                Model pada Era Perintisan
Model-model pada era rintisan menurut Muhadjir (2011) disajikan berdasarkan perkembangan atau kontribusi pemikiran dari setiap model bagi bangunan fenomenologi induktif.[8]
1.                  Model interpretif Geertz
Semula Geertz adalah penganut positivism fungsional. Saat mengadakan penelitian di Nganjuk Jawa Timur, yang nama kota disamarkan menjadi Mojokunto, Geertz mengalami kesulitan. Teori universialismenya tidak jalan. Akhirnya Geertz membiarkan masyarakat Nganjuk memaknai sendiri, satuan sosialnya menjadi masyarakat santri, priyayi, dan abangan.
2.                  Model Grounded Research
Para ahli sosial, khusunya para ahli sosiologi berupaya menemukan teori berdasarkan data empirik, bukan membangun teori secara deduktif logic. Itulah yang disebut dengan grounded research.
a.                  Data interpretif subjek yang diteliti
Teori yang berdasarkan data empiri pada model ini, berdasarkan data interpretif subjek yang diteliti.
b.                  Tes substantif dan teori formal
Lebih lanjut Glasser & Strauss mengetengahkan dua jenis teori, yaitu: teori substantive dan teori formal. Teori substantif ditemukan dan dibentuk untuk daerah substantif tertentu; sedangkan teori formal ditemukan dan dibentuk untuk kawasan kategori konseptual teoritis. Kedua tipe teori tersebut dalam kategori Merton termasuk kategori middle range theories yang menampilkan keberlakuannya pada daerah substantif tertentu atau menampilkan generalisasinya pada dimensi formal tertentu pada sejumlah daerah substantif tertentu; dan tidak menjangkau apa yang disebut grand theories yang keberlakuannya meliputi semua hal.
c.                  Metode ethnografis-ethnomethodologi Bogdan
Ethnografi merupakan salah satu model yang lebih banyak terkait dengan antropologi yang mempelajari peristiwa kultural. Lebih lanjut model ethnografi lebih diperkembangkan menjadi salah satu model penelitian di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi yang secara ringkas akan dibahas di bawah ini.
Dalam makalah ini, penulis memfokuskan pembahasan pada hakekat filsafat fenomenologi itu sendiri, kemudian cara kerja pendekatan fenomenologi, selanjutnya kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan, dan terakhir kritik terhadap fenomenologi.untuk ilmu-ilmu sosial. (Muhadjir, 2011)[9]

C.                Model paradigma Naturalistik
Menurut Muhadjir (2011) bahwa model paradigma naturalistik merupakan model dari era perintisan yang paling tuntas dan konsisten dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran i dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.[10]
Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi yang secara ringkas akan dibahas di bawah ini.

D.                Fenomenologi Era Pengembangan
Pada era pengembangan: dengan karakteristik dikembangkan discourse dengan tokoh Faucoult dan Berger jelas-jelas intervensi peneliti dalam bentuk masukan berupa bacaan atau pemahaman pikiran baru pada subjek yang diteliti, agar tumbuh kesadaran pada pikiran baru dan meninggalkan pikiran tertinggal. Tumbuh kesadaran, bukan memaksakan pikiran peneliti pada subjek atau satuan sosial yang diteliti.
1.                  Model Faulcouldian
Dengan pendekatan Faulcoult peneliti berupaya memberi masukan pikiran baru (misal dalam penelitian feminisme) peneliti memberi bacaan atau persuasi tentang prestasi istri, peranan istri dalam keluarga, dalam mencari nafkah, dan lain-lain agar peranan istri lebih serasi.
2.                  Model Bergerian
Peter L. Berger menyajikan tiga tahap penyadaran, yaitu: subjektifitas, objektifitas, dan internalisasi. Peneliti menyadarkan secara bertahap ekses-ekses mengkonsumsi narkoba (tahap subjektifikasi), memahami sehatnya tanpa narkoba (tahap objektifikasi), dilanjutkan memotivasi tumbuhkan kesadaran untuk meninggalkan konsumsi narkoba atas kesadarannya sendiri (tanpa internalisasi).

E.                 Era Social Action
Pada era Social Action, karakteristik fenomenologi tetap dipertahankan, yaitu merekam jalan pikiran, persepsi subjek atau satuan masyarakat yang diteliti. Pada era rintisan sepenuhnya merekam, pada era pengembangan dikembangkan discourse, pada era social action peneliti mengembangkan proyek dengan tujuan tertentu: yaitu terjadinya perubahan pemikiran dan lain-lain pada satuan sosial yang diteliti, meskipun akhirnya peneliti tetap merekam pemikiran satuan sosial yang sudah berkembang pada pemikiran tersebut. (Muhadjir, 2011)[11]


2.4              Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif.
Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati. Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.

2.5              Kritik Terhadap Fenomenologi
Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound).
Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi. (Muhadjir, 2011)[12]

2.6              Cara Memperoleh Pengetahuan Sains secara Fenomenologi
Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan mistik. Perkembangan sains didorong oleh paham Humanisme. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam.
Menurut Muslih, Moh.(2005) Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno). Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan. [13]
Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya – kalau dapat – manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu menurut saya harus ada aturan untuk mengatur alam.
Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam. Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati. Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah agama mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya benar, yang lain salah. Jadi, seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang. Begitulah kira-kira mereka berpikir.
Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan Rasionalisme. Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah. Nah, dengan hal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal. (Muslih, Moh., 2005)[14]
Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali bertentangan. Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga. Padahal ini dan itu itu tidak sama, bahkan kadang-kadang bertentangan. Orang-orang sophis pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan bahwa bergerak sama dengan diam, kedua-duanya sama logisnya. Apakah anak panah yang melesat dari busurnya bergerak atau diam? Dua-duanya benar. Apa itu bergerak? Bergerak ialah bila sesuatu pindah tempat. Anak panah itu pindah dari busur ke sasaran. Jadi, anak panah itu bergerak. Anak panah itu dapat juga dibuktikan diam. Diam ialah bila sesuatu pada sesuatu waktu berada pada suatu tempat. Anak panah itu setiap saat berada di suatu tempat. Jadi, anak panah itu diam. Ini pun benar, karena argumennya juga logis. Jadi, bergerak sama dengan diam, sama-sama logis. Apa yang diperoleh dari kenyataan itu? Yang diperoleh ialah berpikir logis tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu seharusnya disepakati. Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme.
Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti yang diuraikan di atas ialah sebagai berikut: (Ahmad, T, 1997). Humanisme, Rasionalisme, Empirisme, Positvisme, Metode Riset, Metode Ilmiah, Fenomenologi (Aturan untuk mengatur alam & Aturan untuk mengatur manusia)

2.7              Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sains
Menurut Ahmad, T (1997) ilmu berisi teori-teori. Jika kita mengambil buku Ilmu (Sains) Pendidikan, maka akan menemukan teori-teori tentang pendidikan. Ilmu Bumi membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat membahas teori-teori tentang makhluk hidup. [15]
Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori. Jika kita bertanya apa ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya ialah apa ukuran kebenaran teori-teori sain.
Ada teori Sains Ekonomi: bila penawaran sedikit, permintaan banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum ini, maka barangkali benar dihipotesiskan: Jika hari hujan terus, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan naik. Untuk membuktikan apakah hipotesis itu benar atau salah, kita cukup melakukan dua langkah. Pertama, kita uji apakah teori itu logis? Apakah logis jika hari hujan terus harga gabah akan naik?
Jika hari hujan terus, maka orang tidak dapat menjemur padi, penawaran beras akan menurun, jumlah orang yang memerlukan tetap, orang berebutan membeli beras, kesempatan itu dimanfaatkan pedagang beras untuk memperoleh untung sebesar mungkin, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan terus harga beras akan naik. Hipotesis itu lolos ujian pertama, uji logika. Kedua, uji empiris. Adakan eksperimen.
Buatlah hujan buatan selama mungkin, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, beras dari daerah lain tidak masuk. Periksa pasar. Apakah harga beras naik? Secara logika seharusnya naik. Dalam kenyataan mungkin saja tidak naik, misalnya karena orang mengganti makannya dengan selain beras. Jika eksperimen itu dikontrol dengan ketat, hipotesis tadi pasti didukung oleh kenyataan. Jika didukung oleh kenyataan (beras naik) maka hipotesis itu menjadi teori, dan teori itu benar, karena ia logis dan empiris.  Jika hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu teori selalu benar, yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori itu naik tingkat keberadaannya menjadi hukum atau aksioma.
Agaknya banyak mahasiswa menyangka bahwa hipotesis bersifat mungkin benar mungkin salah, dengan kata lain, hipotesis itu kemungkinan benar atau salahnya sama besar, fifty-fifty. Prasangkaan itu salah. 
Hipotesis (dalam sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa kelogisan suatu hipotesis – juga teori – lebih penting ketimbang bukti empirisnya.

2.8              Cara Filsafat Fenomenologi Menyelesaikan Masalah
Kegunaan filsafat yang lain ialah sebagai metodologi yaitu termasuk dalam lingkupan fenomenologi, maksudnya sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai metode dalam memandang dunia (world show).
Dalam hidup kita, kita menghadapi banyak masalah. Masalah artinya kesulitan. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah itu terselesaikan. Ada banyak cara dalam menyelesaikan masalah, mulai dari yang amat sederhana sampai yang rumit.  Ada rapat di sebuah RT, yang dibicarakan masalah keamanan. Pak Ketua RT menyatakan bahwa akhir-akhir di kampung kita banyak pencurian, tidak seperti biasanya. Menanggapi itu hampir semua orang yang hadir mengusulkan agar ronda malam dipergiat. Inilah kira-kira cara orang awam menyelesaikan masalah.
Di situ ada seorang yang berpendapat lain. Ia bertanya apa saja barang yang biasanya dicuri, sejak bulan apa, pada pukul berapa biasanya terjadi. Lantas ia mengusulkan selain menggiatkan ronda, sebaiknya digiatkan juga pengajian. Ia melakukan identifikasi lebih dahulu, lantas ia melihat penyebab lebih mendasar. Ia pikir, bila perondanya bermoral buruk, bisa-bisa peronda itu sendiri yang mencuri. Orang ini ilmuwan. Kira-kira beginilah penyelesaian Sains. Filsafat pun memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah.
Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat mendalam, artinya ia ingin mencari asal masalah. Universal, artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin. (Ahmad, T, 1997).[16]
Saya melihat banyak orang tidak menyenangi sebagian budaya Barat, khususnya tentang kebebasan seks. Mereka mengatakan kebebasan seks harus diberantas. Ini penyelesaian langsung. Sedikit mendalam bila kita mengusulkan perketat masuknya informasi dari Barat terutama yang menyangkut kebebasan seks, atau kita mengusulkan sensor film diperberat. Filsafat belum puas dengan penyelesaian itu. Lalu bagaimana?
Filsafat mempelajari asal usul kebebasan seks itu. Ditemukan, itu muncul dari paham Hedonisme. Maka kita perangi paham itu. Filosof lain belum juga puas, karena menurutnya Hedonisme itu belum penyebab paling awal, Hedonisme itu sebenarnya turunan Pragmatisme. Pragmatisme itu bersama dengan Liberalisme lahir dari Rasionalisme. Karena itu filosof ini mengatakan yang paling strategis ialah memerangi Rasionalisme itu. Apakah rasionalisme itu penyebab pertama munculnya kebebasan seks?
Untuk sementara, agaknya ya. Maka untuk memberantas kebebasan seks kita harus menjelaskan bahwa Rasionalisme itu adalah pemikiran yang salah. Penyelesaian ini mendalam, karena telah menemukan penyebab yang paling asal. Penyelesaian itu juga universal, karena yang akan diperbaiki pada akhirnya kelak bukan hanya persoalan kebebasan seks, hal-hal lain yang merupakan turunan Rasionalisme juga akan dengan sendirinya hilang.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat  Schutz dalam Nindito, S (2005) yang menyusun pendekatan fenomenologi secara lebih sistematis, komprehensif, dan praktis sebagai sebuah pendekatan. yang berguna untuk menangkap berbagai gejala (fenomena) dalam dunia sosial. Kemudian saya melihat hal ini ke dalam dunia pendidikan dimana siswa juga dapat distimulus dalam pembelajarannya melalui pembelajaran berbasis pemecahan masalah. Karena pembelajaran berbasis masalah pembelajaran berbasis masalah adalah suatu metode atau cara pembelajaran yang ditandai oleh adanya masalah nyata, a real-world problems sebagai konteks bagi siswa untuk belajar kritis dan ketrampilan memecahkan masalah dan memperoleh pengetahuan.[17]
Bahkan pembelajaran berbasis masalah ini dinilai cukup signifikan memberikan pemahaman kepada siswa dalam mengkontekstualkan pembelajaran. Hal ini didukung beberapa penelitian internasional, yaitu:
·                     A Problem-Based Learning Approach to Teaching Introductory Soil Science” oleh Amador. A.J tahun 2004.[18]
·                     Ecological Problem-Based Learning: An Environmental Consulting Task, oleh Jack. T. Tessier tahun 2004[19]
·                     Problem-Based Learning: An Integration Of Theory And Field oleh Debbie Lam tahun 2004[20]
Dalam hal ini, fenomena selalu merujuk ke arah luar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Dua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Oleh karenanya Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat makan, saya tidak memikirkan secara teoritis (menyendokkan makanan, menggigit, menguyah) melainkan menghayatinya sebagai aktivitas saat makan karena dipengaruhi faktor lapar.  Demikian halnya dengan mempelajari segala fenomena yang ada di dunia ini termasuk mempelajari Sains dan matematika, apabila dikaitkan dengan realitas yang ada disekitar kita maka dengan sendirinya peserta didik pasti tidak hanya sekedar menghafal tetapi mengetahui bagaimanakah proses yang terjadi untuk mencapai suatu tujuan.
BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik.

Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, dalam Moh. Muslih (2005), bahwa: "The scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles." [21]












  
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Tafsir, 1997. Filsafat Umum. Bandung: Rosdakarya.

Amador. A. J. 2004. A Problem-Based Learning Approach to Teaching Introductory Soil Science. Journal of Natural Resources and Life Sciences Education; ProQuest Agriculture Journals. Vol.33. 2004

Lam,  Lam, Debbie. 2004. Problem-Based Learning: An Integration Of Theory And Field. Journal of Social              Work Education; ProQuest Sociology; Fall 2004; Vol.40 (3)

Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Tessier, T, Jack. 2004. Ecological Problem-Based Learning: An Environmental Consulting Task. The American Biology Teacher; ProQuest Biology Journals. Sep 2004;Vol. 66 (7)

Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.

Nindito, S. 2005. Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol. 2 ( 1) Juni 2005: 79-94

Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Sutrisno, FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.



[1] Ahmad, Tafsir, 1997. Filsafat Umum. Bandung: Rosdakarya.
[2] Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
[3] Sutrisno, FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.
[4] Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
[5] Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
[6] Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[7] Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[8] Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[9] Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[10] Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[11] Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[12] Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
[13] Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
[14] Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
[15] Ahmad, Tafsir, 1997. Filsafat Umum. Bandung: Rosdakarya.
[16] Ahmad, Tafsir, 1997. Filsafat Umum. Bandung: Rosdakarya.
[17] Nindito, S. 2005. Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol. 2 ( 1) Juni 2005: 79-94
[18] Amador. A. J. 2004. A Problem-Based Learning Approach to Teaching Introductory Soil Science. Journal of Natural Resources and Life Sciences Education; ProQuest Agriculture Journals. Vol.33. 2004
[19] Tessier, T, Jack. 2004. Ecological Problem-Based Learning: An Environmental Consulting Task. The American Biology Teacher; ProQuest Biology Journals. Sep 2004;Vol. 66 (7)
[20] Lam,  Lam, Debbie. 2004. Problem-Based Learning: An Integration Of Theory And Field. Journal of Social              Work Education; ProQuest Sociology; Fall 2004; Vol.40 (3)
[21] Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.

Tidak ada komentar:

Persyaratan Hak & Kewajiban Guru

BAB I PENDAHULUAN A.       LATAR BELAKANG MASALAH Di dalam   masyarakat tedapat bermacam-macam pekerjaan, seperti dokter, penga...