BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menurut Fuad Hasan dalam buku beliau Pengantar
Filsafat barat di kemukakan bahwa :
“Sejak
era Renaissance hingga memasuki abad ke 20 M. alam pikiran di eropa barat ditandai oleh kemunculannya berbagai
aliran filsafat yang tidak mudah dipertemukan. Pertemuan tersebut menghasilkan
pertentangan, sehingga filsafat justru mengaburkan adanya landasan yang pasti
sebagai titik pijak untuk mengembangkan pemikiran sebagai proses penalaran yang
sistematis dan konsisten”.[1]
Dalam era renaissance tersebut merupakan masa
jayanya rasionalisme. Pada masa itu pula di Prancis masanya kebebasan
berkembang dengan bermunculannya golongan yang tersebut kaum philosophes.[2]
Pada tempat yang sama (Prancis) muncul tokoh penting yang tidak sepaham dengan
rasionalisme, ia adalah Hendri Bergson (1859-1941); bahwa rasionalisme selalu
berlaku tidak cukup untuk memahami semua gejala dalam kenyataan; tidak kalah
pentingnya ialah peran intuisi. Sebagai daya manusia untuk memahami dan
menafsirkan kenyataan.[3]
Epistemologi berarti berbicara tentang “bagaimana
cara kita memperoleh ilmu pengetahuan?”. Dalam memperoleh pengetahuan inilah
akan ada sarana dipergunakan seperti akal, akal budi, pengalaman atau kombinasi
antara akal dan pengalaman institusi, sehingga dikenal adanya model-model
epistemologik rasionalisme, empisisme, kritisisme atau rasionalisme kritis,
positivisme dan phenomenologik dengan berbagai variasinya.[4]
Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak
di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan
kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu
seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan
kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia
kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Dominasi
paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwanl, tidak
hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu
humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan
penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu
memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat
dan manusia sebagai makhluk historis.
Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang
menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong
munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu
sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu
sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi.
B. Ruang
Lingkup Pembahasan
Dalam makalah ini kami akan membahas salah satu cara
yang ditempuh akal manusia untuk mencapai kebenaran ilmu, yaitu epistemologi
phenomenologi.
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk
memenuhi tugas yang di berikan oleh dosen pengasuh mata kuliah Jurusan Hukum
2. Untuk
menambah pengetahuan dan wawasan bersama dalam pembahasan masalah filsafat
terutama filsafat epistemologi phenomologi
D. Metode
Penulisan
Metode yang penulis pakai dalam penulisan makalah
ini adalah :
1. Metode
kepustakaan yakni menggunakan sarana kepustakaan untuk menggali bahan yang
berkenaan dengan judul makalah yang ada.
2. Impiris
yakni dengan membandingkan beberapa pendapat yang ada dan kemudian disimpulkan
menurut analisis penulis
.
BAB II
PEMBAHASAN
EPISTEMOLOGI FENOMENOLOGI
EPISTEMOLOGI FENOMENOLOGI
A. Istilah
dan Pengertian Epistemologi Fenomenologi
Pembahasan yang kafah mengenai filsafat akan mudah
dipahami jika diawali dari pembahas istilah dan pengertian, maka berikut
disajikan istilah dan pengertian dari topik pembahasan tentang filsafat
fenomenologi, hal tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1. Istilah
Fenomenologi
Istilah
fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764).
Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala
(fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif
ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).[5]
Immanuel
Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama
Metafisika (1786) yang di kutip Sutrisno, et al. untuk menjelaskan kaitan
antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri
dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.[6]
2. Pengertian
Phenomenologi
Phenomenologi
berasal dari kata fenomenon dan logos. Fenomenon secara asal kata berarti fantasi, fentom, jostor, foto yang
sama artinya sinar, cahaya.
Dari
asal kata itu dibentuk sesuatu kata kerja yang antara lain berarti nampak,
terllihat karena cahaya, bersinar.
Dari
itu fenomenon berarti sesuatu yang nampak, yang terlihat karena bercahaya dalam
bahasa kita “gejala” logos dari bahasa Yunani berarti ucapan, pembicaraan,
pikiran, akal budi, kata, arti, studi tentang, pertimbangan tentang ilmu
pengetahuan, tentang dasar pemikiran, tentang suatu hal.[7]
Kemudian
diungkapkan pula bahwa pengertian fenomenologik adalah : Kata “Fenomenologi” berasal dari
bahasa Yunani fenomenon yaitu sesuatu yang nampak atau disebut “gejala” menurut
para pengikut filsafat fenomenologi, “fenomenon” adalah “apa yang menampakkkan
diri dalam diri sendiri” suatu fenomenon itu tidak perlu harus dapat dipahami
dengan indera, sebab fenomenon dapat juga dilihat atau ditilik secara rohani
tanpa melewati
indera.[8]
Dan
sejak Edmund Husserl (1859-1938) sebagai tokoh phenomenologi, arti fenomenologi
telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir, fenomenologi bukan
sekedar pengalaman langsung yang tidak mengimplisitkan penafsiran dan
klasifikasi.[9]
Hegel
(1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu
mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan
kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi
menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan
mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran
yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena
tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi:
fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan
pikiran manusia.
Dari
beberapa pengertian di atas tentang fenomenologi, maka dapat dipahami bahwa
fenomenologi berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon atau apa saja yang nampak.
Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang
menampakkan diri pada kesadaran kita.
B. Tokoh
dan Pokok-Pokok Pikirannya
1. Edmund
Husserl (1859-1938)
Husserl
lahir di Prosswitz (Moravia), ia seorang Yahudi filosof Jerman pendiri
fenomenologi. Di uneversitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika dan
filsafat, mula-mula di Leipzig, kemudian juga di Berlin dan Wina. Disana ia
tertarik pada filsafat Franz Brentano.[10]
Jika
kita ingin mengerti arti fenomenologi sebagai suatu sikap filsafat, kita harus
mengetahui lebih dulu apa yang dimaksud oleh pendirinya Edmund Husserl.
Menurutnya fenomenologi itu merupakan metode dan ajaran filsafat. Sebagai
metode ia membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai
pada fenomeno yang murni, kita harus mulai dengan subjek (manusia) serta
kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada “kesadaran yang murni”.
Sebagai
filsafat, fenomenologi menurut Husserl
memberi pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dalam
langkah-langkah penyelidikannya, ia menemukan obyek-obyek (yang tak terbatas
banyaknya) yang membentuk dunia yang kita alami. Benda itu dapat dilukiskan
menurut kesadaran dimana ia temukan. Dengan
begitu fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari
ilusi atau sasaran pikiran, justru karena benda adalah obyek kesadaran yang langsung
dalam bentuk yang murni.[11]
Filsafat Husserl
memang mengalami perkembangan yang agak lama. Pada mulanya ia berfilsafat
tentang ilmu pasti, tetapi kemudian sampai jugalah ia pada renungan tentang
filsafat umumnya serta dasar-dasarnya sekali. Seperti dulu descartes ia
berpendapat bahwa adanya bermacam-macam aliran dalam filsafat yang satu sama lain
bertentangan itu, karena orang tidak mulai dengan metode dan dasar permulaan
yang dipertanggungjawabkan. Maka dari itu haruslah dicari satu metode yang
memungkinkan kita berpikir, tanpa mendasarkan pikiran itu kepada suatu pendapat
lebih dulu.biasanya orang berpikir setelah mempunyai suatu teori atau pemikiran
sendiri. Itu tidak benar, demikian Hesserl, orang harus memulai dengan
mengamat-amati hal sendiri tanpa dasar suatupun: (Zun den Sachen Selbest). Ia
memerlukan analisa kesadaran. Maka analisa ini menunjukkan kepada kita, bahwa
kesadaran itu selalu terarah kepada obyek. Oleh karena yang diselidiki itu
susunan kesadaran itu sendiri, maka haruslah nampak obyek dalam kesadaran
(gejala fenomenon), maka gejala itu diselidiki pula. Sungguh tidaknya obyek tidaklah
masuk dalam penyelidikan. Yang harus dicari sekarang ialah sungguh-sungguh
merupakan intisarinya. Adapun yang diluar intisari itu tidak dihiraukan. Tetapi
bukanlah cara abstraksi seperti ajaran Tomisme melainkan inti itu tercapai
instisi : inti itu terpandang oleh budi, demikian terdapat inti susunan
kesadaran, akan tetapi hal ini lain dari kesadaran empiri : inti itu terpandang
oleh budi.
Pengaruh Husserl amat besar, pula dalam
aliran-aliran lain. Ada yang mempergunakan meode ini untuk segala ilmu atau
cabang filsafat, misalnya S. Strasser dalam antrofologi. E de Bruyne dalam
etika serta Langeveld dalam pedagogiknya. [12]
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat,
fenomenologi yang dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok
suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode
fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan
fenomenologi.
Kemudian Edmund Husserl memahami
fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai
kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung;
religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat,
menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia
kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini
hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan
praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan
filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus
diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari
dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen
itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari
subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada
“kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus
membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat,
fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial
mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai
metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan
benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa
dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi
positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran
kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant
menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam
kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di
luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal
fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di
luar yang kita kenal.
Husserl menggunakan istilah
fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan
membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita
padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut
fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair
dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial
atau esensi (eidos) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan
fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka
(presupposition). Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda
dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik
secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism,
yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang
realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat
dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya,
filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural,
sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.
Dalam tataran epistemologis, filsafat
positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur
dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang
spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan
penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu
berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya,
filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu
keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk
mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan
dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal
dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik,
yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus,
artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti.
Pada tataran axiologis, filsafat
positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric
sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui
kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual,
kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu,
ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi
bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya,
apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah
theologisme atau pandangan filsafat yang lain.
Tugas utama fenomenologi
menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi
Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang
mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger,
yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang
sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju
kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai
“Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus
ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich
vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda
keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga
berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh
dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya
terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar
natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl
menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda
(epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis
atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche
memiliki empat macam, yaitu:
1. Method of historical bracketing; metode
yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima
dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of existensional bracketing;
meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan
menunda.
3. Method of transcendental reduction;
mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam
kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari
esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi
atau intisari realitas itu. [13]
Dengan
menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat
fenomena dari realitas yang dia amati.
2.
Max Scheler
Disamping
Husserl adalah filosof fenomenologi, yaitu Max Scheler (1874-1928). Bagi
Scheler, metode fenomenologi sama dengan satu cara tertentu untuk memandang
realitas. Fenomenologi lebih merupakan sikap bahan suatu prosedur khusus yang
diikuti oleh pemikiran (diskusi, Induksi, Observasi dll). Dalam hubungan ini
kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan instuisi
(pengalaman fenomenologi).
Menurut Scheler ada tiga jenis fakta
yang memegang peranan penting dalam pengalaman fenomenologis, yaitu :
(1) fakta natural, (2) fakta ilmiah, dan (3)
fakta fenomenologis. Fakta natural berasal dari pengalaman inderawi dan
menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa. Fakta ilmiah mulai
melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak. Fakta
fenomenologis merupakan isi “intuitif” yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung,
tidak terikat kepada ada tidaknya realisasi di luar. [14]
3. Maurice Merlean-ponty (1908-1961)
Sebagaimana
halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya
dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan
begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu : Pertama hanya meneliti atau
mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita,
dan Kedua hanya memperhatikan segi-segi luar dari penglaman tanpa menyebut-nyebut
realitas sama sekali.
Walaupun
Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan
sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh
kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua
pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di
atas kesadaran. Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan
Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan
tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam.
Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real
C. Dasar-dasar Filsafat Epistemologi
Fenomenologi
Peletakan dasar-dasar filafat
epistemonologi dapat di lakukan dengan beberapa pendekatan seperti yang di
uraikan berikut:
1. Pendekatan filsafatnya berpusat pada
analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Analisis
menunjukkan bahwa kesadaran itu sungguh-sungguh selalu terarah kepada obyek.
2. Orang harus berpikir, dengan memulai
dengan mengamati hal sendiri, tanpa dasar apapun. Memulai kegiatannya dengan
meneliti pengalaman-pengalamannya sendiri tentang realita dan menjauhkan diri
dari meneliti dan mengulangi (teori orang lain).
3. Fenomenologi kebenaran dibuktikan
berdasarkan ditemukannya yang essensial.
4. Fenomenologi menerima kebenaran di luar
empirik indrawi. Oleh sebab itu mereka menerima kebenaran sensual, kebenaran
logik, ethik dan transedental.
5. Fenomena baru dapat dinyatakan benar
setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercayainya.
6. Fenomenologi lebih merupakan sikap
bukan suatu prosedur khusus yang diikuti pemikirannya (diskusi, induksi,
observsi dll). Dalam hubungan ini hubungan langsung dengan realitas berdasarkan
intuisi. [15]
Dari pendekatan-pendekatan tersebut maka
jelaslah bahwa phenomenologik berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis
serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi
manapun sebelumnya
D.
Kelebihan dan kekurangan Filsafat Phenomenologik
Kelebihan filsafat phenomenoligik
diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Phenomenologik sebagai suatu metode
keilmuan, dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi
data, aneka macam teori dan pandangan
2. Phenomenologik mengungkapkan ilmu
pengetahuan atau kebenaran dengan benar-benar yang objektif
3. Phenomenologik memandang objek kajian
sebagai bulatan yang utuh tidak terpisah dari objek lainnya [16]
Dengan demikian phenomenologik menuntut
pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh
pemahaman yang utuh mengenai objek yang di amati, hal ini lah yang menjadi
kelebihan filsafat ini sehingga banyak dipakai oleh ilmuan-ilmuan dewasa ini
terutama ilmuan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang
kajian agama
Dari berbagai kelebihan tersebut,
phenomenologik sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti :
1. Tujuan phenomenologik untuk mendapatkan
pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan
sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu
yang absurd
2. Pengetahuan yang didapat tidak bebas
nilai (value-free), tapi bermuatan nilai (value-bound) [17]
Dari
kelebihan dan kekurangan tersebut maka kebenaran yang dihasilkan cenderung
subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu
pula serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain pengetahuan dan kebenaran
yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasikan.
BAB
III
P
E N U T U P
A. Simpulan
Dari
pembahasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa :
1. Phenomenologik merupakan suatu metode
analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas
sebagaimana adanya dalam kemurniannya
2. Epistemologi phenomenologi yang
diperkanalkan oleh Husserl dengan kajian berpusat pada analisis terhadap gejala
yang nampak dalam kesadaran manusia. Untuk melahirkan suatu teori tersebut maka
seseorang jangan berpedoman pada teori orang lain (bukan menguji teori yang
ada) tapi mengamati tanpa dasar apapun.
3. Dalam pemikiran phenomenologi seseorang
yang mengamati terkait langsung dengan perhatiannya, dan juga terkait pada
konsep-konsep yang telah dimilikinya sendiri (sangat relatif). Kebenaran logik,
ethik dan transendental (kebenaran di luar empirik inderawi) diterima oleh
fenomenologi. Metode ini banyak mempengaruhi segala cabang ilmu filsafat.
B. Saran-saran
Adapun beberapa hal yang dapat kami
sarankan yaitu :
1. Hendaknya setiap kita selalu menanamkan
pemahaman yang realistis terhadap aliran-aliran yang ada dalam filsafat sebagai
wahana pengaya pengetahuan tentang filsafat llmu
2. Kekurangan dari penyusunan dan penulisan
ini hendaknya menjadi pemacu bagi rekan mahasiswa yang lain untuk lebih membuka
ide, wawasan dan menggali lebih dalam akan makna filsafat itu yang
sesungguhnya.
SUMBER BACAAN
Abdul
Munin al-Hifni, al-Mausu’ah al-Falsafiyah, beirUt Libanon, Dar Ibn Zaidun, tt.
Cet. ke I
Burhanuddin
Salam, Logika Materiil (Filsafat Ilmu Pengetahuan), Jakarta, Renika Cipta
Dirjarkara,
Percikan Filssafat, Jakarta PT. Pembangunan, tahun 1978.
Fuad
Hasan, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta, Pustaka Jaya, tahun 1996, cet. ke I
Hasan
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, tahun 1993,
cet. ke 9
Koento
Wibisono Siswoniharjo, Ilmu Pengantar Sebuah Sketsa Umum Untuk Mengenal
Kalahiran dan Perkembangan Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu Dalam
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Leberty, 1996.
Moh,
Muslih, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan., Yogyakarta, Belukar,
2005
Noeng
Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Reka Sarasin, tahun 1998.
Poedjawijatna,
Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta, Pt, Pembangunan, 1974.
Sutrisno,
et.al., Para Filusuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta, Kanisius, 2005
Titus,
Living Issnes In Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat), alih bahasa
oleh M. Rasyidi, Jakarta, Bulan Bintang,
1984.
[1] Fuad
Hasan, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta, Pustaka Jaya, tahun 1996, cet. ke I
[2] Hasan
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, tahun 1993,
cet. ke 9
[3] Hasan
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, tahun 1993,
cet. ke 9
[4] Moh,
Muslih, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan., Yogyakarta, Belukar,
2005
[5] Noeng
Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Reka Sarasin, tahun 1998.
[6] Sutrisno,
et.al., Para Filusuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta, Kanisius, 2005
[7] Moh,
Muslih, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan., Yogyakarta, Belukar,
2005
[8] Moh,
Muslih, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan., Yogyakarta, Belukar,
2005
[9] Dirjarkara,
Percikan Filssafat, Jakarta PT. Pembangunan, tahun 1978.
[10] Hasan
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, tahun 1993,
cet. ke 9
[11] Hasan
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, tahun 1993,
cet. ke 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar