I.
Latar Belakang
Tradisi pemikiran Barat dewasa ini
merupakan paradigma bagi pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat
luas dan mendalam di semua segi dari seluruh lini kehidupan. Memahami tradisi
pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan
kearifan tersendiri, karena kita akan dapat melacak segi-segi positifnya yang
layak kita tiru dan menemukan sisi-sisi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Kemunculan sebuah pemikiran tidak
bisa lepas dari nilai yang mempengaruhi dari peristiwa dan pemikiran yang hidup
dan berkembang sebelumnya. Juga halnya dengan empirisme, konsep pengetahuan ini
tidaklah berada para ruang hampa yang tidak mengakar pada realitas pemikiran
sebelumnya.
Empirisme telah menyumbangkan banyak
hal dalam ilmu pengetahuan. Kaum empiris mengkuduskan eksperimen dan pemahaman
ilmiah, dan yang mengumumkan dengan sangat bangga bahwa mereka tidak
mempercayai gagasan apapun selama belum ditetapkan dengan eksperimen dan
dibuktikan dengan secara empiric.
Filsafat Yunani klasik merupakan
permulaan dari pemikiran filsafat atau pembahasan filsafat secara spekulatif
rasional dan irrasional dogmatis. Filsafat Yunani klasik merupakan contoh ilustrasi
pemikiran dan pembahasan masalah filsafat secara sistematis dan lengkap dan
berlaku sampai sekarang.[1]
Berbagai pemikiran tentang filsafat
mengalami kemajuan pada masa Renaissance.
Memasuki abad ke-17 beberapa filusuf mencapai
penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran. Pengaruhnya sangat besar bagi
pemikiran-pemikiran filsafat pada masa berikutnya.
Oleh karena itu, pada masa ini yang
dipandang sebagai sumber pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat
dipakai manusia yaitu akal atau rasio dan pengalaman atau empiris. Orang
cenderung untuk memberikan tekanan kepada salah satu dari keduanya. Pada abad
ini muncul dua aliran filsafat yang saling bertentangan yaitu rasionalisme dan empirisme.[2]
Rasionalisme adalah sebuah aliran
filsafat yang menekankan akal atau rasio sebagai sumber pengetahuan yang
memiliki nilai kebenaran dan dapat diuji keilmiahannya. Maka pengetahuan yang
diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat kebenaran ilmiah secara mutlak.
Adapun pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah
diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman karena akal dapat menurunkan
kebenaran dari pada dirnya sendiri yaitu atas dasar asas-asas yang pasti.
Metode yang diterapkan adalah deduktif dengan pendekatan ilmu pasti.
Segala sesuatu dapat dan harus
dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh diterima sebagai benar
dan sebuah klaim hanya
dapat dianggap sah apabila dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Wewenang tradirsional otoritas dan dogma merupakan pernyataan yang dianggap
tidak dapat dipertanggung jawabkan
secara rasional.
Rasionalisme merupakan semacam
pemberontakan terhadap otoritas-otoritas tradisional yang bersifat dogmatis.
Tidak cukup untuk mendasarkan sebuah tuntutan atas wewenang pihak yang menuntut,
melainkan isi tuntutan itu sendiri harus dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional. Aliran filsafat ini secara hakiki bersifat anti tradisional.
Adapun aliran empirisme berpendapat
bahwa empirik atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan baik pengalaman
yang batiniyah maupun yang lahiriayah. Akal bukan menjadi sumber
pengetahuan, akan tetapi akal mendapatkan tugas untuk mengolah bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Semula aliran
ini seperti masih menganut semacam realisme yang naif yang menganggap
bahwa pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman tanpa penyelidikan lebih
lanjut telah memiliki nilai yang obyektif. Akan tetapi kemudian nilai
pengenalan yang diperoleh memalui pegalaman itu sendiri dijadikan sasaran atau
obyek penelitaian.
Aliran ini muncul di Inggris pada
awalnya dipelopori Francis Bacon (1531-1626). Pada perkebangannya dilanjutkan
oleh tokoh-tokoh pasca Descartes
seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley
(1685-1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776).[3]
II.
KAJIAN
FILSAFAT EMPIRISME
Dalam filsafat Empirisme, ilmu pengetahuan yang paling berguna itu diperoleh manusia melalui inderanya. Empirislah yang memegang peranan amat penting bagi
pengetahuan, malahan barangkali satu-satunya dasar. Pendapat di atas tadi dikenal pada masa sekarang sebagai empirisme.[4]
Empirisme merasa puas untuk
menggarap hasil pekerjaannya dalam bidang materi hanya sebagai hipotesa yang
dapat diubah menurut pengalaman di kemudian hari.[5]
Pada perkembangannya, empirispun
diupayakan menjadi radikal dengan klaimnya yang tidak menerima unsur apapun yang tidak
dialami secara langsung. Pengalaman-pengalaman dan fakta-fakta kehidupan
sehari-hari merupakan dasar, realitas adalah hal yang dialami baik merupakan
benda atau perubahan keadaan.
A.
PENGERTIAN EMPIRISME
Beberapa pemahaman tentang
pengertian empirisme cukup beragam, namun intinya adalah pengalaman, Di antara
pemahaman tersebut antara lain:
a.
Empirisme berasal dari kata Yunani empirikos
yang berasal dari kata empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Bila
dikembalikan kepada kata Yunaninya pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman
inderawi. Misal : Manusia tahu
es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.[6]
b.
Empirisme adalah faham filsafat yang mengajarkan bahwa
benar adalah yang logis dan ada bukti empiris. Menurut empirisme yang benar
adalah anak panah bergerak sebab secara empiris dapat dibutktikan bahwa anak
panah itu bergerak. Coba saja perut anda menghadang anak panah itu perut anda
akan tembus, benda yang bisa menembus
sesuatu haruslah benda yang bergerak.
c.
Empirisme dalam bahasa Inggris, empiricism;
dari Yunani empeiria, empiris (berpengalaman dalam, berkenalan dengan,
terampil untuk) latin experienta (pengalaman). Empirisme adalah doktrin
bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman. Salah satu
teori mengenai asal pengetahuan.
B. AJARAN POKOK
EMPIRISME
Berikut ini adalah syarat utama ciri
utama pemikiran pokok dari filsafat empirisme, yaitu :
1.
Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan
abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
2.
Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber
pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
3.
Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada
data inderawi.
4.
Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan
secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran
definisional logika dan matematika).
5.
Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita
pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan
penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan
bahan yang di peroleh dari pengalaman.
6.
Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa
pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
C. JENIS-JENIS
EMPIRISME
Seperti bidang ilmu pada umumnya, khususnya filsafat yang terdiri dari
berbagai macam karakter, jenis pemikiran. Maka filsafat empirime pun terdiri
dari beberapa jenis, diantaranya adalah :
1.
Empirio-Kritisisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat
subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran
ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi,
keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai
gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah
elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini
dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara
sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran
ini juga anti metafisik.
2.
Empirisme
Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem
filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan
berikut:
a)
Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika
formal dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu
pada pengalaman.
b)
Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan
(direduksikan) pada proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang
lebih merupakan data indera yang ada seketika.
c)
Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang
terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.
3.
Empiris
Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai
pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu,
dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau masalah
kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam
filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan bahwa penyelidikan
empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang belum pasti
(Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat
diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut
dan dengan begitu tak ada dasar untuk keraguan. Dalam situasi semacam ini, kita
tidak hanya berkata: Aku merasa yakin (I
feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti karena
terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda, dan
bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.
Metode
filsafat ini butuh dukungan metode filsafat lainnya supaya ia lebih berkembang
secara ilmiah. Karena ada kelemahan-kelemahan yang hanya bisa ditutupi oleh
metode filsafat lainnya. Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme ini
dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan
masalah, penyusunan kerangka berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian
hipotesis dan penarikan kesimpulan.
D. KONSTRUKSI EMPIRIS
Rome Harre
dalam tulisannya “Varieties of Realism
(1986)” membedakan tiga realm (domein) entitas empirik
sebagaimana dinukil Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir.[7]
a.
Entitas empirik Realm 1 adalah entitas empirik
yang dapat ditangkap dengan panca indera manusia. Benda-benda
yang bisa diamati indera manusia adalah nyata. Dimana yang menjadi acuan sebagai benar-benar
nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda itu yang menunjukkan
sifatnya.
b.
Entitas empirik Realm 2 adalah entitas empirik
yang tidak dapat ditangkap panca indera secara langsung. Mikro-organisme,
senar X merupakan entitas empiris yang hanya dapat ditangkap panca indera kita
dengan instrumen. Entitas empiris realm 2 ini merupakan evidensi
instrumentatif. Benda-benda yang bisa diamati walaupun dengan alat bantu karena
memiliki sifat kebendaan sehingga bisa ditangkap dengan panca indera adalah
nyata.
c.
Entitas empirik realm 3 adalah evidensi seperti
neutron, chip dengan berjuta fungsi dan lain-lain. Entitas empirik realm
3 dapat dibuktikan dengan terapan disertai penjelasan teoretik logik.
Prof. Dr.
Noeng Muhadjir membedakan konstruk empirik atas pengahayatan empirik
sensual, penghayatan empirik logik, penghayatan empirik etik dan penghayatan
empirik transendental.[8]
Konstruk
empirik ini ternyata lebih detail dan datarannya lebih berlanjut. Namun bila
dikorelasikan dengan pendapat
Rome Hare sebenarnya sangat berhubungan dan saling mendukung.
Entitas
empirik realm 1 termasuk dalam penghayatan empirik sensual. Sedangkan
realm 2 dan realm 3 termasuk dalam penghayatan empirik logik. Penghayatan
konstruk empirik tersebut dapat diteruskan pada dataran berikutnya, yakni
penghayatan empirik etik dan penghayatan empirik transendental.
Dengan
meminjam konsep entitas emprik Rome Harre barangkali telaah entitas emprik
konsep Noeng Muhadjir; entitas empirik bisa dikategorikan sebagai realm 4.
Entitas empirik etik secara konseptual merupakan entitas empirik yang
kebenarannya dapat dibuktiakan dengan uji koherensi pada values yang
diakui sebagai kriteria moral universal.
Penghayatan
empirik transendental dapat pula disebut sebagai realm 5. Realm 5
ini merupakan entitas empirik yang dapat dihayati oleh banyak orang dalam
tampilan rahmah, himah, maghfirah dan semacamnya.[9]
Karena
bersifat pribadi perseorangan namun bisa juga dialami oleh banyak orang dalam
term yang bervariatif berdasar tingkat keimanan maupun rasio yang mereka
miliki.
E. PEMIKIRAN FILOSOF EMPIRISME
Kaum empiris
adalah mereka yang mengkuduskan eksperimen dan pemahaman ilmiah, dan yang
mengumumkan dengan sangat bangga bahwa mereka tidak mempercayai gagasan apapun
selama belum ditetapkan dengan eksperimen dan dibuktikan dengan secara empiric.
(mereka terus berkata) bahwa karena posisi teologi ini berkenaan dengan
persoalan ghoib diluar batas - batas indra dan eksperimen, maka kita wajib
mengesampingkannya, dan berpaling kepada kebenaran- kebenaran dan pengetahuan
yang dicerap dalam lapangan eksperimen.[10]
Pada abad 17
masa Ranaissance bermunculan berbagai pandangan filsafat atas ilmu pengetahuan.
Empirisme adalah bagian dari filsafat pada masanya dengan memunculkan beberapa
tokoh filosof. Berikut penulis sampaikan tiga filosuf sebagai sampel pemikiran
empirisme yang cukup berpengaruh,
yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume.
1. Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas Hobbes adalah anak seorang pendeta,
minatnya dari semula terarahkan kepada kesusastraan dan filsafat. [11]
Ia seorang filosof Inggris,
memahami manusia secara mekanik semata. Cita-citanya untuk mengembangkan suatu
filsafat atau teori negara yang dapat membantu untuk menyusun masyarkat dalam
keadaan damai dan adil.
Bukanlah yang abstrak dan umum yang sungguh-sungguh ada. Pengertian umum
itu hanya nama belaka yang sesungguhnya ada ialah hal sendiri. Adapun hal ini
hanya tercapai pengenalannya dengan persentuhan indera. Hanya kalau dapat
disentu dengan indera itulah suatu tanda kebenaran dan kesungguhannya.
Pengetahuan kita tak mengatasi pengideraan; dengan kata lain pengetahuan yang
benar hanyalah pengetahuan indera saja selainnya bukanlah pengetahuan.
Materialisme yang dianut Thomas Hobbes mensinyalir bahwa segala sesuatu
yang ada bersifat bendawi yakni segala kejadian adalah gerak yang berlangsung
karena keharusan dan realitas tidak bergantung pada gagasan kita, terhisap di
dalam gerak itu. Sebagai penganut empirisme, ia beranggapan bahwa pengalaman
merupakan permulaan segala pengenalan.
Ada yang menyebut ia seorang penganunt sensualisme, karena ia amat
mengutamakan sensus (indera) dalam pengetahuan, memang tidak salah tetapi dalam
hubungan ini tentulah ia dianggap salah satu dari penganut empirisme-yang
mengatakan bahwa persentuhan dengan indera (empirik) itulah yang menjadi
pangkal dan sumber ilmu pengetahuan.
Pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengalaman
intelektual tidak lain semacam perhitungan (kalkulus) yaitu penggabungan
data-data inderawi yang sama dengan cara yang berlainan.[12]
Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap, berpangkal kepada
empirisme secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empiris,
namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat
matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis.
Baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab
filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat
atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh
dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebab
atau asalnya.
Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati dengan maksud mencari
sebab-sebabnya. Dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam
bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita seperti: ruang,
waktu, bilangan dan gerak dari pengamatan pada benda.
Tidak semua yang diamati pada benda-benda itu nyata. Yang benar-benar nyata
adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda
yang ada pada pengamat saja, segala yang ada ditentukan oleh sebab, dunia
adalah suatu keseluruhan sebab-akibat. [13]
Pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang
disimpan di dalam ingatan dan dibagungkan dengan suatu pengharapan akan masa
depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan
inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu
gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan kepada otak kemudian
diteruskan ke jantung.
Di dalam jantung timbullah suatu reaksi, suatu gerak yang berlawanan.
Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan
karena tekanan obyek atau sasaran kualitas dalam obyek-obyek yang sesuai dengan
penginderaan kita bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara
yang kita dengar bukan benda di dalam obyek melainkan di dalam subyeknya.
Sifat-sifat inderawi tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan
penginderaan. Ingatan, rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani
bersandar semata-mata pada aosiasi gambaran-gambaran yang murni bersifat
mekanis.
Thomas Hobbes menjadi besar namanya disebabkan karena teorinya yang lebih
modern tentang negara dibanding dengan teori tentang negara yang mendahuluinya.
Pemikirannya didasari dengan tabiat alamiah manusia hingga dibutuhkan negara
yang absolut bahkan hingga pemikiran atheisnya bahwa Allah yang dapat mati.
Di antara pemikirannya antara lain: Menurut
tabiatnya segala manusia adalah sama, dalam keadaannya yang alamiah tiap
manusia ingin mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang lain.
Pada dasarnya manusia cenderung untuk mempertahankan dirinya sendiri karena
waktu itu yang ada hanya hukum alam. Akibatnya mereka
tertekan sehingga menimbulkan perang total sehingga hidup menjadi buruk, kasar
dan singkat.
Sebab dalam perang total itu kebijakan pokok ialah kekautan dan kecurangan
agar manusia dapat bebas dari pada bahaya kehancuran, pengalaman mengajarkan
bahwa akal sehat menuntut supaya tiap orang mau melepaskan haknya untuk berbuat
sekehendak sendiri.
Oleh karenanya mereka bersatu dan bersama-sama membuat perjanjian bahwa
mereka akan tunduk kepada penguasa pusat yang mereka bentuk. Oleh karena itu
warga negara tidak berhak untuk meberontak.
Orang banyak yang dipersatukan demikian itu disebut “commonwealth”. Commonwelath
ini disebut Leviatan, Allah yang dapat mati. Di dalam commonwealth
yang dipentingkan adalah perdamaian yang awet yang tahan lama. Pemerintah harus
diberi kuasa mutlak tanpa batas.
Sumber segala hak, hukum, moral adalah kuasa yang memerintah. Baik dan
jahat bagi perbuatan manusia diukur menurut peraturan dan larangan negara. [14]
2.
Jhon Locke
(1632-1704)
John Locke adalah filosof Inggris, lahir tahun 1632 di Wrington,
Somersetshire. Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia
memasuki Universitas Oxford mempelajari agama Kristen, namun ia juga
mempelajari pengetahuan di luar tugas pokoknya. [15]
Lock menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia, sampai kemanakah ia dapat
mencapai kebenaran dan bagaimanakah mencapainya itu. Ia
mempergunakan istilah sensation dan reflection dalam upaya
mencari kebenaran atas pengetahuan.
Reflection itu pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan
apakah kepada manusia lebih baik lebih penuh dari pada sensation. Sansation
merupakan suatu yang memiliki hubungan dengan dunia luar tetapi tak dapat
meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations
manusia tak dapat juga suatu pengetahuan.
Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerja sama antara sensation
dan reflections. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab
jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih; tabula rasa, tak
ada bekal dari siapa pun yang merupakan ide
innatae.
Seluruh pengetahuan kita peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan
gagasan-gagasan yang diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia
hanya merupakan tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil
penginderaan kita.
Menurut Locke kita tidak melihat pohon atau orang atau mendengar bunyi
sangkakala melainkan kita melihat kesan inderawi pada retina yang disebabkan
oleh apa yng kita lihat sebagai pohon. Kita mendengarkan reaksi selaput kuping
terhadap getaran-getaran udara yang disebabkan oleh peniupan sangkakala.[16]
Buku Jhon Locke, "Essay
Concerning Human Understanding" 1689 ditulis berdasarkan premis yaitu
semua pengetahuan datang dari pengalaman (halaman 108). Ini berarti, tidak ada
yang dapat di jadikan idea atau konsep tentang sesuatu yang berada dibelakang
pengalaman tidak ada idea yang diturunkan.
Faktor bawaan (innate) itu tidak ada, argumennya adalah:
a)
Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate
itu tidak ada. Pengetahuan datang melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan
kesan-kesan bawaan.
b)
Persetujuan umum adalah argumen yang terkuat. Tidak
ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea
itu sebagai suatu daya yang inhern.
c)
Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate
idea.
d)
Apa innate idea itu sebernya tidaklah mungkin
diakui dan sekaligus juga tidak diketahui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan
ada innate idea justru sebagai alasan untuk mengatakan ia tidak ada.
e)
Tidak juga dicetakkan (ditempelkan) pada jiwa sebab
pada anak idiot, idea innate itu tidak ada. Padahal anak normal dan anak
idiot sama-sama berpikir.
Bedasarkan
asas-asas teori pengenalan, dalam etikanya Locke menolak adanya pengertian
keberhasialan yang tidak menjelaskan bawaan tabiat manusia. Apa yang menjadi
bawaan tabiat kita hanyalah kecenderungan- kecenderungan yang menguasai
perbuatan-perbuatan kita. Segala kecenderungan itu dapat di kombinasikan kepada
usaha untuk mendapatkan kebahagian.
Kesimpulan
Locke adalah subtance is we know not what. Tentang subtansi kita tidak
tahu apa-apa. Ia mengetahui menyatakan bahwa apa yang dianggapnya subtansi
ialah pengertian tentang obyrk sebagai idea tentang obyek itu dibentuk oleh
jiwa berdasarkan masukan dari indera.[17]
3.
David Hume
(1711-1776)
Hume seorang Skot, lahir didekat kota Edinburgh Inggris tahun 1711. Ia
telah pernah mengajar di Universitas, barangkali juga karena ia dianggap ateis
sehingga tidak akan diterima sebagian profesor. Ia banyak berkeliling di Eropa
terutama di Perancis.
Buku yang ia tulis ketika berumur duapuluh tahunan adalah Kretise Of
Human Nature (1739), namun tidak banyak menarik perhatian orang. Waktu
mudanya ia juga berpolitik tetapi tak terlalu mendapat sukses, kemudian ia
beralih menjadi sejarawan. Pada tahun 1948 ia menulis buku yang sangat
terkenal, An Enquiry Concerring the Princeiples of Morals (1751). Hume
meninggal pada tahun 1776.
Ia menganalisis pengertian substansi, seluruh pengetahuan itu tak lain dari
jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak sesuai
dengan impression yang disebabkan “hal” di luar kita. Adapun yang
bersentuhan dengan indera kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal
tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertian sesuatu yang
tetap–substansi–itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian
acapkalinya. Subtansi itu hanya anggapan, khayal, yang sebenarnya tak ada.
Manusia tidak membawa pengtahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan
adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yaitu kesan-kesan (impressions)
dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas).
Yang dimaksud dengan impressions atau kesan-kesan adalah pengamatan
langsung yang diterima dari pengalaman baik pengalaman lahiriah maupun
pengalaman batiniah yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti
merasakan tangan terbakar. Adapun ideas adalah gambaran tentang
pengamatan yang hidup, samar-samar yang dihasikan dengan merenungkan kembali
atau ter-refleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.
Perbedaan kedua-keduanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju
jiwa dan jalan masuk kesadaran. Persepsi yang termasuk denagn kekuatan besar
dan kasar disebut impression (kesan) dan semua sensasim nafsu emosi
termasuk kategori ini begitu mereka masuk kedalam jiwa. Idea adalah gambaran
kabur (faint image) tentang persepsi yang masuk kedalam pemikiran.
Selanjutnya David Hume menyatakan sebagaimana dinukil Prof.Dr. Ahmad Tafsir
sebagai berikut:
Setelah saya pikirkan secara teliti
ternyata persepsi itu dapat dibagi menjadi dua macam yaitu pesepsi yang
sederhana (simple) dan persepsi
yang ruwet (complex). Seluruh
kesan dan idea kita saling berhubunan. Dalam penyelidikan saya ternyata hanya
idea yang kompleks yang tidak memiliki kesan (impression) yang berhubungan dengan idea itu. Banyak juga kesan
yang kompleks yang tidak direkam dalam idea kita. Saya tidak bisa menggambarkan
suatu kota yang belum pernah saya lihat. Akan tetapi saya pernah melihat kota
Paris namun saya harus mengatakan saya tidak sanggup membentuk idea tentang
kota Paris yang lengkap dengan gedung-gedung, jalan dan lain lengkap dengan
ukuran masing-masing. Mengapa? Karena tidak semua kesan (impression) direkam dalam idea. [18]
Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian
sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya hubungan saling berurutan
saja dan secara konstan terjadi seperti api membuat air mendidih. Dalam api
tidak bisa diamati adanya "daya aktif" yang mendidihkan air. Daya
aktif yang disebut hukum kausalitas itu tidak bisa diamati. Dengan demikian
kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiw-peristiwa yang akan
datang berdasarkan peristiwa-peristiwa terdahulu.
Pemikirannya tentang eksistensi Tuhan adalah ketika kita percaya kepada
Tuhan sebagai pengatur alam ini kita berhadapan dengan dilema, kita berpikir
tentang Tuhan menurut pengalaman masing-masing sedangkan itu hanya setumpuk
persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat mengatakan
Tuhan itu Maha sempurna dan Maha Kuasa, sedangkan di alam terjadi kejahatan dan
berbagai bencana. Seharusnya alam ini juga sempurna sesuai denga penciptanya
tetapi ternyata tidak. Tuhan juga sumber kejahatan, terbatas dan memiliki sifat
mencintai dan membenci. Penelitiannya tentang dunia tidak mampu membuktikan
Tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna.
Lebih lanjut Hume berkomentar, tidak ada bukti yang dapat dipahami untuk
membuktikan bahwa Allah ada dan bahwa Ia menyelenggrakan dunia. Juga tidak ada
bukti bahwa jiwa tidak dapat mati. Dalam praktik, orang-orang yang beragama
selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap pasti sedang akal tidak dapat
membuktikannya. Menurutnya banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil
khayalan, tidak berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama berasal dasri
penghargaan dan ketakutan manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang
menyebabkan manusia mengangkat berbagai dewa untuk disembah.
Mukjizat adalah ajaran agama yang juga diserang oleh David Hume. Dia
memberikan lima alasan untuk menolak mukjizat, yaitu:
a)
Sepanjang sejarah mukjizat tidak pernah diakui oleh
sejumlah ilmuan dan kaum terpelajar.
b)
Sebagian manusia memang memiliki kecenderungan untuk
percaya kepada peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Namun keyakinan ini tidak
mendukung kebenaran mukjizat.
c)
Kajian peradaban membuktikan bahwa mukjizat hanya
cocok terutama bagi masyarakat terbelakang sedangkan bagi masyarakat yang telah
maju justru menolaknya. Semakin kita percaya kepada ilmu semakin tidak mampu
kita ditipu oleh takhayul (the more we believe in science the less we are
likely to be deceived by superstition).
d)
Semua agama wahyu memonopoli kebenaran mukjizat.
e)
Data sejarah yang dapat dipecaya menunjukkan bahwa
peristiwa-peristiwa di dunia ini jelas, seperti kita bisa mengetahui tanggal
terbunuhnya Julius Caesar.
Apa
relevansi filsafat yang amat ekstrem dan memang sudah sering dikritik itu?
Bahwa kita tidak dapat mempunyai dan memang sudah pasti dan tidak dapat
memahami apa-apa. Jadi, sebaiknya kita hidup bagi sesaat saja. Empirisme
mempersiapkan nihilisme.
4.
George Berkeley
George Berkeley sebagai penganut empirisme mencanangkan teori yang
dinamakan “immaterialisme” atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak
belakang dengan pendapat John Locke yang masih menerima substansi dari luar. Berkeley
berpendapat sama sekali tidak ada substansi-substansi material dan yang ada
hanya pengalaman ruh saja karena dalam dunia material sama dengan ide-ide.[19]
Berkeley
mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam layar putih sebagai benda
yang riil dan hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu substansi rohani.
Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang menunjukkan ide-ide pada kita dan
Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita.
Sepintas
kita pahami bahwa konsep pemikirannya ada kemiripan dengan paham fatalism dari
Inggris, perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Tuhan.
Juga hampir sama dengan paham Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak
memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatan.
III.
TELAAH
KRITIS ATAS PEMIKIRAN FILSAFAT EMPIRISME
Meskipun aliran filsafat empirisme
memiliki beberapa keunggulan bahkan memberikan andil atas beberapa pemikiran
selanjutnya, kelemahan aliran ini cukup banyak. Prof. Dr. Ahmad Tafsir
mengkritisi empirisme atas empat kelemahan,[20]
yaitu:
1.
Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil
padahal tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan obyek tidak
sebagaimana adanya.
2.
Indera menipu, pada orang sakit malaria, gula rasanya
pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris
yang salah juga.
3.
Obyek yang menipu, conthohnya ilusi, fatamorgana. Jadi
obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh alat indera; ia
membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan inderawi salah.
4.
Kelemahan ini berasal dari indera dan obyek sekaligus.
Dalam hal ini indera (di sisi meta) tidak mampu melihat seekor kerbau secara
keseluruhan dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara
keseluruhan.
Metode empiris tidak dapat diterapkan
dalam semua ilmu, juga menjadi kelemahan aliran ini, metode empiris mempunyai
lingkup khasnya dan tidak bisa diterapkan dalam ilmu lainnya. Misalnya dengan
menggunakan analisis filosofis dan rasional, filosuf tidak bisa mengungkapkan
bahwa benda terdiri atas timbuanan molekul atom, bagaimana komposisi kimiawi
suatu makhluk hidup, apa penyebab dan obat rasa sakit pada binatang dan
manusia. Di sisi lain seluruh obyek tidak bisa dipecahkan lewat pengalaman
inderawi seperti hal-hal yang immaterial.
Kritik Hume terhadap agama tampaknya
tidak seluruhnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia terlalu tergesa-gesa mengambil
kesimpulan tentang teologia. Di antara kritikan Hume yang tidak relevan itu ada
tiga,[21]
yakni:
Pertama, Hume
cenderung mempertentangkan dua bentuk teisme yang monopolar dan
mengabaikan sintesis dipolar. Dalam hal ini ada dua pola, yaitu
mistisisme dan antropromorpisme. Dalam mistisisme, Tuhan berada dalam konsepsi
positif tetapi tidak sempurna. Tuhan adalah sempurna, abadi dan wajib ada.
Dunia di lain pihak tidak sempruna, terbatas dan mungkin ada. Sesuatu yang
sempurna hanya dapat dijelaskan lewat pendekatan dipolar, bukan monopolar
sebagaimana yang dikemukakan Hume.
Kesempurnaan Tuhan dapat digambarkan
dari ketidaksempurnaan dunia. Seandainya dunia tidak ada atau ada tetapi
sempurna, maka kesempurnaan Tuhan akan sulit diidentifikasi. Kritikan Hume
hanya terbatas pada aspek empiris saja, yakni Tuhan yang tak terbatas berada
dalam dunia yang terbatas. Contoh lain memperkuat argumen ini adalah kebaikan
hanya dapat dipahami kalau ada kejahatan.
Kedua, Hume
mengabaikan peranan akal dalam menangkap realitas. Padahal akal mampu
menghubungkan kejadian-kejadian yang lampau dengan kejadian sekarang bahkan
meramalkan sesuatu yang akan datang. Akal juga mampu memberikan ide-ide umum
tentang fakta-fakta yang beragam. Contohnya mobil, sepeda dan pesawat
diabstraksikan oleh akal menjadi alat transportasi.
Ketiga, Hume
terlalu meredusir semua realitas dalam kajian empiris sehingga dia terjerumus
pada determinisme empiris. Realitas alam menjadi sempit dan kecil serta mutlak
dan tidak pernah berubah. Padahal realitas sangat luas dan di luar alam empiris
masih tedapat wujud lain.
IV.
IMPLEMENTASI EMPIRIS BAGI PERKEMBANGAN STUDI KEILMUAN
Empirisme memiliki andil yang besar dalam ilmu, yaitu dalam pengembangan
berpikir induktif. Dalam ilmu pengetahuan, sumbangan utama adalah lahirnya ilmu
pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan.
Selain daripada itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata
rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan
apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam.
Sejak saat itu empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi
ilmu pengertahuan sosial. Acapkali empirisme di paralelkan dengan tradisi
positivisme. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang
berbeda .
Empirisme lahir dan terjebak kepada afirmasi rasio praksis dan menegaskan
rasio murni sehingga muncul dogmatisme empiris sendiri, terlebih dengan
membangun kecurigaan/ ketidakpercayaan/ menegasikan (skeptisis) terhadap
epistema yang lainnya telah banyak dianut oleh pendidikan modern, inilah bukti
kenaifannya.
Dampak epistemologis dari empirisme diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Terjadinya
pemisahan antara bidang sakral dan bidang duniawi, misalnya pemisahan antara
agama dan negara, agama dan politik, atau pemisahan materi dan ruh yang
terwujud dalam seorang ahli fisika atau ekonomi tidak akan berbicara agama
dalam karya ilmiah mereka, sementara fisika dan ekonomi direduksi menjadi
angka-angka, materi dan ruh tampak tidak kompatebel di mata mereka.[22]
2.
Kecendrungan
kearah reduksionisme, materi dan benda direduksi kepada element-elemennya. Ini
tampak pada fisika Newton, sama halnya dengan homo ekonomi-kus dalam ekonomi
modern. (dua hal ini pengaruh sejarah rasionalisme empirisme).
3.
Pemisahan
antara subyektivitas dan obyektifitas, misalnya dalam ilmu sosial hal yang
merupakan debuku obyektif adalalah keniscayaan yang mengarah kepada relitas
pasti, (pengaruh positivisme pengetahuan yang berujung pada statusquo hinggga
dominasi kebenaran).
4.
Antroposentrisme,
ini tampak dalam dalam konsep demokrasi dan individualisme (ini merupakan
pengaruh dari rasionalisme Rendescartes dengan jargon individu bebas atau
subyek manusia akan menjadi sentral peradaban dunia).
5.
Progresivisme,
progresivisme diwakili oleh Marx, tetapi juga diyakini secara luas seperti pada
kemajuan ilmu pengetahuan dan obat-obatan.
V.
KESIMPULAN
1.
Pemikiran filsafat mengalami kemajuan pesat pada abad
17-18. Setelah para sarjana menyelesaikan studinya di Barat. Empirisme dan
rasionalisme adalah dua aliran filsafat yang cukup berpengaruh pada saat itu.
2.
Emprisme adalah suatu paham filsafat yang mengajarkan
bahwa kebenaran itu adalah yang logis dan ada bukti empris.
3.
Peletak dasar empiris pertama adalah Francis bacon,
bapak empirisnya Jhon Locke dan beberapa filsuf lainya seperti Thomas Hobbes,
Berkeley, David Hume dan lainnya.
4.
Meskipun aliran empirisme sangat berpengaruh atas
pemikiran-pemikiran filsafat selanjutnya namun banyak dijumpai kelemahan baik
metode, obyek tentang empiris.
5.
Empirisme menganggap agama, mukjizat, bahkan Tuhan
sebagai keyakinan yang tidak logis dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah
hanya karena empirisme tidak mampu membuktikan eksistensi immateri.
6.
Emperisme
merupakan suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Sebagai suatu doktrin
empirisme merupakan lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa
pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal,
melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia. Dengan demikian
berfikir secara induktif merupakan suatu rekayasa dari berbagai macam kasus
yang unik atau khusus yang kemudian dikembangkan menjadi suatu penalaran
tunggal yang menggabungkan kasus tersebut kedalam suatu bentuk pemahaman yang
umum. Secara singkat berfikir secara induktif berarti berfikir dari kasus menjadi kasus umum.
DAFTAR PUSTAKA
o Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
o Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003.
o Ali
Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional,
1403.
o Amsal
Baktiar, Filsafat Agama 1, Jakarta: Logos, 1997.
o Franz
Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
o Franz
Magnis-Suseno, 13 Tokoh Eika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19,
Yogyakarta: kanisius, 1997.
o Ash- Shadr,
Muhammad Baqir,1994. Falsafatuna. Bandung: Mizan, 1994
o Harold H.
Titus, et.all, terj. Muhammad Rasjidi, Persoalan-persoalan Filsafat,
Jakarta: Bulan Bintang, tt.
o Shimogaki,
Kazuo. Tt. Kiri Islam (antara modernisme dan posmodernisme) trj. Azis dan Jadul
Yogyakarta: Lkis
o Harun
Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
o I.R.
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta,
1990.
o Juhana S.
Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada media, 2008.
o Mahdi
Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al Quran, Bandung : Mizan, 1989.
o Muhammad
Muslih, Filsafat Ilmu-ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005.
o M. Thoyibi
(ed), Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, Surakarta: Muhammadiyah Universitas
Press, 1994.
o Muhammad
Taqi Misbah Yazdi, Buku Dasar Filsafat Islam, Bandung: Mizan, tt.
o Noeng
Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.
o Maulana Choirul Aziz (1420411159)
[1] Makalah revisi dibuat sebagai materi Ujian Semester
Gasal mata kuliah Filsafat Ilmu : Topik-topik Epistemologi Dosen Pengampu Dr.
H. Sumedi, M.Ag.
[5] Harold H. Titus, et.all,
terj. Muhammad Rasjidi, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang,
tt, hlm. 343.
[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales
sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 21.
[8] Noeng Muhadjir, Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, hlm. 190.
[9] Ibid.
[10] Muhammad Baqir Ash- Shadr,
Falsafatuna, (Bandung: Mizan, 1994) hlm. 237
[12] Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Belukar, hlm. 53.
[14] Ibid., hlm. 34-35.
[17] Franz
Magnis – Suseno, 13 Tokoh Eika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19,
Yogyakarta: kanisius, 1997, hal. 123.
[18] M. Thoyibi (ed), Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya, Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 1994, hal.
69
[21] Amsal Baktiar, Filsafat
Agama 1, Jakarta: Logos, 1997, hlm. 112.
[22] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam
(antara modernisme dan posmodernisme) trj. Azis dan Jadul (Yogyakarta: Lkis)
hlm. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar