Rabu, 27 Juli 2016

Filsafat Ilmu Sebagai Sarana Penalaran Ilmiah dan Penerapannya Dalam Bidang Penelitian





BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Manusia adalah makhluk berpikir yang selalu berupaya mencari kebenaran dan pemahaman, melalui pemikiran mendalam dan penghayatan berbagai pengalaman yang dialaminya. Menciptakan argument-argumen dan pemikiran baru dari hasil penelitiannya secara individu, secara tidak disadari akan melahirkan suatu konsep keilmuan atau bidang ilmu tersendiri, sesuai dengan pemahaman dan ide-ide kreatif nya.
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan misterius. Artinya  segera setelah menyadari dirinya sebagai manusia, maka dirinya akan mencari tahu tentang Mengapa (why),  bagaimana (how),  dan untuk apa ia ada (what for). 
Sebagian manusia berhasil mengetahui kenyataan dirinya yang diciptakan oleh kekuatan yang maha besar (Tuhan), melalui proses kelahiran dan tumbuh berkembang. Namun demikian, sebagian manusia masih kesulitan memahami realitas ini, bahkan di zaman modern sekarang ini. Sehingga lahirlah paham-paham Polytheist, Monotheist, dan Atheist.
Kehadirannya ke dunia seperti buku tanpa bab pendahuluan dan penutup.  Ia  akan menghadapi isinya saja.  Ia harus menyusun sendiri bab pendahuluan dan penutupnya itu berdasarkan fakta  yang tersirat dalam  lembaran-lembaran isinya melalui pengalaman-pengalaman hidupnya.
Oleh karena itu setiap orang akan cenderung berbeda pandangannya tentang ide penutup buku yang menggambarkan tujuan akhir hidupnya nanti.  Hal ini disebabkan karena setiap orang memiliki proses berpikir yang tidak sama. Selain itu, perbedaan gambaran visual (imagination) terhadap lembaran-lembaran isi buku yang menggambarkan fakta atau kenyataan hidup ini saling berlainan. Perbedaan-perbedaan itu hendaknya justru dipandang sebagai sumber kekayaan pengetahuan tentang misteri hidup dan kehidupan manusia.
Menurut  Soertrisno dkk., sesungguhnya manusia adalah mahluk yang lemah, yang keberadaannya sangat tergantung kepada penciptanya.[1] Akan tetapi kebergantungan terhadap sang pencipta tersebut bukanlah semata-mata melainkan ketergantungan (dependence) yang berkeleluasan (indevendence).  Manusia menerima ketergantungan itu dengan otonomi, independensi, serta kreaktifitasnya sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan  dan mengembangkan hidup dan kehidupannya.
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia Berfikir, dengan Berfikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat wajar apabila Berfikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan manusia  pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan pernah ada.
Dengan berfikir manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).
Dengan demikian kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya.

1.2  RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas, maka di susun rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana memahami kontribusi filsafat ilmu terhadap dunia ilmu pengetahuan?
2.      Bagaimana penerapan metode ilmiah dalam penelitian ilmiah?
3.      Bagaimana cara memperoleh Penalaran Ilmiah disertai pemikiran yang berkembang ?
4.      Bagaimana penyusunan kerangka teoritis filsafat ilmu?

BAB II
PEMBAHASAN


2.1  HAKEKAT FILSAFAT ILMU
1.      Faktor-faktor Pendorong Timbulnya Filsafat dan Ilmu
Suatu peristiwa atau kejadian pada dasarnya tidak pernah lepas dari peristiwa lain yang mendahuluinya. Demikian juga dengan timbul dan berkembangnya  filsafat dan ilmu. Menurut Rinjin (1997 : 9-10),[2] filsafat dan ilmu timbul dan berkembang karena akal budi, thauma, dan aporia.
a.       Manusia merupakan makhluk berakal budi.
Dengan akal budinya, kemampuan manusia dalam bersuara bisa berkembang menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, sehingga manusia disebut sebagai homo loquens dan animal symbolicum.
Dengan akal budinya, manusia dapat berpikir abstrak dan konseptual sehingga dirinya disebut sebagai homo sapiens (makhluk pemikir) atau kalau menurut Aristoteles manusia dipandang sebagai animal that reasons yang ditandai dengan sifat selalu ingin tahu (all men by nature desire to know).
Pada diri manusia melekat kehausan intelektual (intellectual curiosity), yang menjelma dalam wujud aneka ragam pertanyaan. Bertanya adalah berpikir dan berpikir dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan.
b.      Manusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam semesta dan isinya
Manusia merupakan makhluk yang memiliki rasa kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnya saja kekaguman pada matahari, bumi, dirinya sendiri dan seterusnya. Kekaguman tersebut kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta itu sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis). Ia juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, mengenai eksistensi, hakikat, dan tujuan hidupnya.
c.       Manusia senantiasa menghadapi masalah
Faktor lain yang juga mendorong timbulnya filsafat dan ilmu adalah adalah masalah yang dihadapi manusia (aporia). Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan masalah,  baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Masalah mendorong manusia untuk berbuat dan mencari jalan keluar yang tidak jarang menghasilkan temuan yang sangat berharga (necessity is the mother of science).

2.      Hakikat Filsafat
a.      Pengertian Filsafat secara etimologis
Istilah filsafat yang merupakan terjemahan dari philolophy (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani philo (love of ) dan sophia (wisdom). Jadi secara etimologis filsafat artinya cinta atau gemar akan kebajikan (love of wisdom).
Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti filsafat pada mulanya.
Berdasarkan arti secara etimologis sebagaimana dijelaskan di atas kemudian para ahli berusaha merumuskan definisi  filsafat. Ada yang menyatakan bahwa filsafat sebagai suatu usaha untuk berpikir secara radikal  dan  menyeluruh,  suatu  cara  berpikir  dengan  mengupas sesuatu  sedalam-dalamnya.  Aktivitas  tersebut  diharapkan  dapat menghasilkan suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks.
Kattsoff,    sebagaimana    dikutip    oleh    Associate    Webmaster Professional (2001), menyatakan karakteristik filsafat sebagai berikut :[3]
1)        Filsafat adalah berpikir secara kritis.
2)        Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis.
3)        Filsafat mengahasilkan sesuatu yang runtut.
4)        Filsafat adalah berpikir secara rasional.
5)        Filsafat bersifat komprehensif.
b.      Objek Filsafat
1)      Objek  material  filsafat  adalah  segala  sesuatu  yang  ada,  yang meliputi: ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan (Lasiyo dan Yuwono, 1994 : 6).
2)      Objek formal filsafat adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada (Lasiyo dan Yuwono, 1994 : 6). [4]
c.       Sistematika Filsafat
Sebagaimana pengetahuan yang lain, filsafat telah mengalami perkembangan yang pesat yang ditandai dengan bermacam-macam aliran dan cabang.
1)      Aliran-aliran Filsafat
Ada beberapa aliran filsafat dinataranya adalah : realisme, rasionalisme, empirisme, idealisme, materialisme, dan eksistensialisme.
2)      Cabang-cabang Filsafat
Filsafat memiliki cabang-cabang yang cukup banyak dinataranya adalah :  metafisika, epistemologi, logika, etika, estetika, filsafat sejarah, filsafat politik, dst.

3.      Hakikat Filsafat Ilmu
a.      Pengertian Filsafat Ilmu
1)      Cornelius Benjamin (dalam The Liang Gie, 19 : 58) memandang filsafat ilmu sebagai berikut.  That philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual disciplines.”  Filsafat ilmu, merurut Benjamin, merupakan cabang dari filsafat yang secara sistematis menelaah sifat dasar ilmu, khususnya mengenai metoda, konsep- konsep, dan praanggapan-pra-anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual.[5]
2)      Conny Semiawan at al (1998 : 45) menyatakan bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya di  atas ilmu lainnya.[6]
3)      Jujun  Suriasumantri  (2005  :  33-34)  memandang  filsafat  ilmu sebagai bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang ingin menjawab tiga kelompok pertanyaan mengenai hakikat ilmu sebagai berikut.[7]
Kelompok  pertanyaan  pertama  antara  lain  sebagai  berikut  ini. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangap manusia ?
Kelompok pertanyaan kedua : Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu ? Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita  mendapatkan pengetahuan yang benar ?    Apa  yang dimaksud dengan kebenaran ? Dan seterusnya.
Dan  terakhir, kelompok pertanyaan ketiga :  Untuk  apa pengetahuan yang berupa ilmu itu ? Bagaimana kaitan antara cara menggunakan ilmu dengan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Dan seterusnya.
Kelompok pertanyaan pertama merupakan tinjauan ilmu secara ontologis. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan kelompok kedua merupakan tinjauan ilmu secara epistemologis. Dan pertanyaan- pertanyaan kelompok ketiga sebagai tinjauan ilmu secara aksiologis.
b.      Karakteristik filsafat ilmu
Dari  beberapa  pendapat  di  atas  dapat  diidentifikasi  karakteristik filsafat ilmu sebagai berikut.
1)      Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat.
2)      Filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu secara filosofis dari sudut pandang ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
c.       Objek filsafat ilmu
1)      Objek material filsafat ilmu adalah ilmu
2)      Objek formal filsafat ilmu adalah ilmu atas dasar tinjauan filosofis, yaitu secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

2.2  PENERAPAN FILSAFAT ILMU DALAM KEGIATAN ILMIAH
A.    Filasafat Ilmu Dari Dulu sampai Sekarang
Melihat dari sejarah hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat cepat. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain.
Menurut Bertens, filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah.[8] Namun munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, menyebabkan terjadinya perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat.
Ilmu pengetahuan di ambil dari bahasa inggris science, yang berasal dari bahasa latin scientie dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk segenap pengetahuan sistematik. Menurut Bahm defenisi ilmu pengetahuan paling tidak melibatkan enam macam komponen yaitu masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan dan pengaruh.[9]
Selanjutnya Van Peursen mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.[10] Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru, bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang “benar-tidaknya” dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan,  maka kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan.
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dimana filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia, sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa, filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Michael  whiteman dalam Koento Wibisono dkk mengemukakan bahwa persoalan ilmu dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dalam persoalan-persoalan filsafati  sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya banyak persoalan filsafati sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah.[11]

B.     Pemikiran Yang Berkembang
Teori kebenaran yang ada pada filsafat ilmu digunakan sebagai dasar untuk menghasilkan kebenaran agar berpikir tepat dan logis. Sebab dengan adanya cara berpikir logis, maka pengetahuan manusia akan kebenaran dan cara memperoleh pengetahuan juga berkembang.
Semua orang memiliki pemahaman yang sama akan sesuatu hal yang dari dahulu hingga sekarang tetap sama. Sebagai contoh, meja dari dahulu hingga sekarang tetaplah bernama meja tidak digantikan dengan yang lain.
Namun bila dilihat dari sisi lain bahwa teori kebenaran juga merupakan batas pengetahuan dalam landasan teori kebenaran. Pembatasan pengetahuan itu dibatasi oleh panca indera kita. Kita dapat melihat, mendengar, mengecap, meraba, dan mencium dari panca indera itu secara tepat. Apabila salah satu dari panca indera tersebut tidak berfungsi dengan baik maka tidak dapat berpikir secara tepat.
Selain pengetahuan yang bersumber dari indera, juga terdapat pengetahuan yang bersumber dari non indera. Adapun pengetahuan yang bersumber dari non indrawi ini, yaitu berasal dari akal budi manusia atau rasio manusia. Melalui akal, manusia dapat berpikir secara tepat dan logis, dapat memiliki gagasan atau ide dan hasil dari berpikir itu adalah pengetahuan yang rasional.
Kreativitas lahir bersama dengan lahirnya manusia itu. Kreativitas tidak hanya sebagai penalaran, tetapi juga meningkatkan dan membuka tabir alam yang tersedia dalam suatu dimensi kreatif. Kreativitas terdiri dari empat fungsi dasar yang interaktif, yaitu: 1.berpikir rasional, 2. perkembangan emosional,3. perkembangan bakat khusus, dan 4. tingkat tinggi kesadaran yang menghasilkan imajinasi, fantasi, pendobraka pada kondisi ambang kesadaran atau ketaksadaran
William S. menjelaskan tentang tahap-tahap dalam proses kreatifitas berlangsung melalui persiapan (preparation), inkubasi (incubation), iluminasi (illumination) dan verifikasi (verification). Sadangkan perkembangan kreativitas dapat diibaratkan lingkaran eskalasi yang memiliki aspek urutan (succession), diskontinuitas (discontinuity), kemenonjolan (emergence), diferensiasi dan integrasi.[12]
Peranan aktivitas dalam evolusi ilmu dapat dikembangkan melalui potensi kreatif individu dan kelompok yang merupakan kemungkinan dan kekuatan untuk menjalankan berbagai langkah perubahan kehidupan manusia, dalam rangka meningkatkan harkat dan martabatnya. Demikian pula pengaruh dimensi kreatif dapat dilihat dari perkembangan ide-ide kreatif yang mencetuskan teori-teori ilmiah spektakuler, meskipun terdapat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kemajuan tersebut.
Perkembangan semua pengetahuan tersebut sangat pesat.  Semakin banyak pengalaman, maka semakin akan semakin mendorong manusia untuk mencari dan mengembangkannya, sehingga akan semakin banyak khasanah cabang pengetahuan tersebut. Perkembangan pengetahuan manusia mengakibatkan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan manusia. Menurut Chalmers pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan diperkirakan sejak 400 tahu yang lalu. Sejak pemikir-pemikir seperti Copermicus,  Galileo,  Kappler,  dan yang lebih jelas lagi sejak F. Bacon pada abad ke 15 dan 16.[13]

C.    Makna Berpikir
Semua karakteristik manusia yang menggambarkan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan akibat dari anugrah akal yang dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun memberikan tugas kekhalifahan di muka bumi pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir, berpengetahuan, serta membuat keputusan, dalam hal melakukan dan atau tidak melakukan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai pertanggungjawaban.
Sutan Takdir Alisjahbana,[14] menyatakan bahwa pikiran memberi manusia pengetahuan yang dapat dipakainya sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong perbuatan mereka. Oleh karena itu berfikir merupakan atribut penting yang menjadikan manusia sebagai manusia, berfikir adalah fondasi dan kemauan adalah pendorongnya.
Kalau berfikir (penggunaan kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan manusia dengan hewan, sekarang apa yang dimaksud berfikir, apakah setiap penggunaan akal dapat dikategorikan berfikir, ataukah penggunaan akal dengan cara tertentu saja yang disebut berfikir.
Para ahli telah mencoba mendefinisikan makna berfikir dengan rumusannya sendiri-sendiri, namun yang jelas tanpa akal nampaknya kegiatan berfikir tidak mungkin dapat dilakukan, demikian juga pemilikan akal secara fisikal tidak serta merta mengindikasikan kegiata berfikir.
Menurut J.M. Bochenski berfikir adalah perkembangan ide dan konsep, definisi ini nampak sangat sederhana namun substansinya cukup mendalam, berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan kegiatan mental, bila seseorang secara mental  sedang mengikatkan diri dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang tersebut bisa dikatakan sedang berfikir.
Jika demikian berarti bahwa berfikir merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya mengikatkan diri dengan sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu ada dalam diri (gambaran mental) seseorang, dan jika itu terjadi tahulah dia, ini berarti bahwa dengan berfikir manusia akan mampu memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu manusia menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya.
Sementara itu Partap Sing Mehra[15] memberikan definisi berfikir (pemikiran) yaitu mencari sesuatu yang belum diketahui berdasarkan sesuatu yang sudah diketahui. Definisi ini mengindikasikan bahwa suatu kegiatan berfikir baru mungkin terjadi jika akal/pikiran seseorang telah mengetahui sesuatu, kemudian sesuatu itu dipergunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain, sesuatu yang diketahui itu bisa merupakan data, konsep atau sebuah idea, dan hal ini kemudian berkembang atau dikembangkan sehingga diperoleh suatu yang kemudian diketahui atau bisa juga disebut kesimpulan. Dengan demikian kedua definisi yang dikemukakan akhli tersebut pada dasarnya bersifat saling melengkapi. Berfikir merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan tersebut proses berfikir dapat terus berlanjut guna memperoleh pengetahuan yang baru, dan proses itu tidak berhenti selama upaya pencarian pengetahuan terus dilakukan.
Menurut Jujun S Suriasumantri[16] Berfikir merupakan suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dengan demikian berfikir mempunyai gradasi yang berbeda dari berfikir sederhana sampai berfikir yang sulit, dari berfikir hanya untuk mengikatkan subjek dan objek sampai dengan berfikir yang menuntut kesimpulan berdasarkan ikatan tersebut.
Sementara itu Partap Sing Mehra menyatakan bahwa proses berfikir mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu  :[17]
o   Conception (pembentukan gagasan)
o   Judgement (menentukan sesuatu)
o   Reasoning (Pertimbangan pemikiran/penalaran)
Bila seseorang mengatakan bahwa dia sedang berfikir tentang sesuatu, ini mungkin berarti bahwa dia sedang membentuk gagasan umum tentang sesuatu, atau sedang menentukan sesuatu, atau sedang mempertimbangkan (mencari argumentasi) berkaitan dengan sesuatu tersebut.
            Cakupan proses berfikir sebagaimana disebutkan di atas menggambarkan bentuk substansi pencapaian kesimpulan, dalam setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan) berfikir tertentu sesuai dengan substansinya.
Menurut John Dewey proses berfikir mempuyai urutan-urutan (proses) sebagai berikut :
o   Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit mengenai sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba.
o   Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan.
o   Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori.
o   Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data).
o   Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
            Sementara itu Kelly mengemukakan bahwa proses berfikir mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
o   Timbul rasa sulit
o   Rasa sulit tersebut didefinisikan
o   Mencari suatu pemecahan sementara
o   Menambah keterangan terhadap pemecahan tadi yang menuju kepada kepercayaan bahwa pemecahan tersebut adalah benar.
o   Melakukan pemecahan lebih lanjut dengan verifikasi eksperimental
o   Mengadakan penelitian terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan secara mental untuk diterima atau ditolak sehingga kembali menimbulkan rasa sulit.
o   Memberikan suatu pandangan ke depan atau gambaran mental  tentang situasi yang akan datang untuk dapat menggunakan pemecahan tersebut secara tepat.
Urutan langkah (proses) berfikir seperti tersebut di atas lebih menggambarkan suatu cara berfikir ilmiah, yang pada dasarnya merupakan gradasi tertentu disamping berfikir biasa yang sederhana serta berfikir radikal filosofis, namun urutan tersebut dapat membantu bagaimana seseorang berfikir dengan cara yang benar, baik untuk hal-hal yang sederhana dan konkrit maupun hal-hal yang rumit dan abstrak, dan semua ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang berfikir tersebut.

D.    Makna Pengetahuan
Berfikir mensyaratkan adanya pengetahuan (Knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar, sekarang apa yang dimaksud dengan pengetahuan ?,
Menurut Langeveld pengetahuan ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui, di tempat lain dia mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui, suatu kesatuan dalam mana objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya.
Dengan demikian pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui, sedangkan Feibleman menyebutnya hubungan subjek dan objek (Knowledge : relation between object and subject). Subjek adalah individu yang punya kemampuan mengetahui (berakal) dan objek adalah benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui. Individu (manusia) merupakan suatu realitas dan benda-benda merupakan realitas yang lain, hubungan keduanya merupakan proses untuk mengetahui dan bila bersatu jadilah pengetahuan bagi manusia.
Di sini terlihat bahwa subjek mesti berpartisipasi aktif dalam proses penyatuan sedang objek pun harus berpartisipasi dalam keadaannya, subjek merupakan suatu realitas demikian juga objek, ke dua realitas ini berproses dalam suatu interaksi partisipatif, tanpa semua ini mustahil pengetahuan terjadi, hal ini sejalan dengan pendapat Max Scheler yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu.  Sebaliknya subjek yang mengetahui itu dipengaruhi oleh objek yang diketahuinya.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek tertentu, termasuk ke dalamnya ilmu (Jujun S Suriasumantri,)[18], Pengetahuan tentang objek selalu melibatkan dua unsur yakni unsur representasi tetap dan tak terlukiskan serta unsur penapsiran konsep yang menunjukan respon pemikiran.
Unsur konsep disebut unsur formal sedang unsur tetap adalah unsur material atau isi (Maurice Mandelbaum). Interaksi antara objek dengan subjek yang menafsirkan, menjadikan pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas, terarah dan sistimatis sehingga dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Pengetahuan tumbuh sejalan  dengan bertambahnya pengalaman, untuk itu diperlukan informasi yang bermakna guna menggali pemikiran untuk menghadapi realitas dunia dimana seorang itu hidup (Harold H Titus).

E.     Penalaran Ilmiah
Menurut Andi Hakim Nasution dalam Jujun mengemukakan bahwa sekiranya binatang mempunyai kemampuan menalar, maka bukan harimau Jawa yang sekarang ini yang dilestarikan jangan punah, melainkan manusia jawa.[19]
Kemampuan menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa dan setelah  itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan tersebut.
Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk,  serta mana yang indah dan mana yang jelek. Manusia adalah  satu-satunya mahluk yang mengembangkan  pengetahuan ini secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar.  Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama,  maka oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu-pun berbeda-beda. Menurut Jujun penalaran merupakan suatu proses perpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa,  bersikap,  dan bertindak.[20]
Pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran,  maka proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu.  Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses kesimpulan terseburt dilakukan menurut cara tertentu.
Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika,  dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih.[21] Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk kesesuaian studi yang memusatkan diri pada penalaran ilmiah.
Baik logika deduktif maupun logika induktif dalam proses penalarannya,  merupakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pernyataan yaitu bagaimanakah caranya mendapatkan pengetahuan yang benar. Sebenarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama mendasarkan diri pada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.
Disamping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain.  Yang penting  untuk  kita ketahuai adalah intuisi dan wahyu.  Namun sampai sekarang ini pengetahuan yang didapatkan secara rasional dan empiris.  Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. 
Intuisi bersipat personal dan tidak bisa diramalkan. Pengetahuan Intuitif  dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya. Stanley Maslow dalam Invitation to Philosophy mengemukakan intuisi ini merupakan pengalaman puncak.[22] Sedangkan bagi Nietzsche dalam George F. Kneller. Intruduktion to the Philosohy of  Education mengemukakan  intuisi merupakan inteligensi yang paling tinggi.[23]
Penalaran mempunyai banyak masalah yang sulit. Namun yang terpenting adalah bagaimana cara kita menemukan atau mengetahui suatu objek yang belum tentu lewat penarikan kesimpulan.  Saya mengetahui masalah ini tampaknya sangat sulit bagi saya dan saya tak bisa memberikan pemecahan yang lengkap. Namun suatu hal yang  pasti bahwa kita dapat mempelajari sesuatu dengan diskusi.[24]
Contoh, jika seorang bertanya kepada saya berapakah 23.169 x 7.84.  Mula-mula memang saya tidak tahu,  tetapi setelah saya duduk mengerjakan perkalian tersebut lalu saya tahu bahwa 23.169 x 7.84 adalah 181.807.143.tetapi proses perkalian ini adalah berpikir:adalah penalaran.

F.     Penerapan dalam Penelitian Ilmiah
Sebelum melakukan tindakan atau penerapan dalam penelitian ilmiah,  maka terlebih  dahulu harus memahami  struktur penelitian dan penulisan ilmiah. Pemilihan bentuk dan cara penulisan dari  khasanah yang tersedia merupakan masalah selera, dan prefrensi program dengan memperhatikan berbagai faktor lainnya seperti masalah apa yang sedang dikaji,  siapakah pembaca tulisan ini  dan dalam rangka kegiatan keilmuan apa karya ilmiah ini disampaikan.
Penulisan ilmiah pada dasarnya merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dikomunikasikan lewat bahasa tulisan.  Maka itu mutlak diperlukan penguasaan yang baik mengenai hakikat keilmuan agar dapat melakukan penelitian dan sekaligus mengkomunikasikannya secara tertulis. Sehingga tidak lagi menjadi soal dari mana dia akan memulai,  sesudah itu melangkah ke mana.  Sebab penguasaan tematis dan teknik akan menjamin suatu keseluruhan bentuk yang utuh.
Demikian juga bagi seorang penulis ilmiah yang baik,  tidak jadi masalah apakah hipotesis ditulis langsung setelah perumusan masalah,  ditempat  mana akan dinyatakan postulat,  asumsi,  atau prinsip,  sebab dia tahu benar hakikat dan fungsi unsur-unsur tersebut dalam keseluruhan struktur penulisan ilmiah.
Setelah masalah dirumuskan dengan baik, maka seorang peneliti menyatakan tujuan penelitiannya.  Tujuan penelitian ini adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang dirumuskan. Setelah itu dibahaslah kemungkinan-kemungkinan kegunaan penelitian yang merupakan manfaat yang dapat dipetik dari pemecahan masalah yang didapat dari peneliti.
Menurut Jujun S. mengemukakan secara kronologis dapat kita simpulkan enam kegiatan dalam langkah dalam pengajuan masalah yaitu latar belakang masalah,  identifikasi masalah,  pembatasan masalah,  perumusan masalah,  tujuan dan kegunaan penelitian.[25]
Patut dikemukakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara keenam kegiatan tersebut. Antara latar belakang masalah dan kegunaan penelitian kadamg-kadang sudah terdapat kaitan yang bersifat a priori umpamanya sebuah penelitian akan digunakan sebegian dasar penyusunan kebijakan secara nasional. Tentu saja hasil penelitian dipergunakan untuk kebijakan bersifat nasional, maka hal ini akan mempengaruhi empat kegiatan lainnya terutama sekali proses pembatasan masalah,  sebab untuk generalisasi ke tingkat nasional kita tidak mungkin melakukan infersens dari hasil penelitian yang terbatas pada suatu kecamatan.

G.    Penyusunan kerangka teoritis.
Setelah masalah berhasil dirumuskan dengan baik maka langkah kedua dalam metode ilmiah adalah mengajukan hipotesis.  Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan.  Seperti diketahui dalam memecahkan berbagai persoalan terdapat bermacam cara yang dapat ditempuh manusia.  Namun secara garis besarnya maka cara tersebut dapat dikategorikan kepada cara ilmiah dan non ilmiah.
Dengan meletakkan kerangka teoritis pada fungsi sebenarnya maka kita lebih maju dalam meningkatkan mutu keilmuan  keegiatan penelitian. Secara ringkas langkah dalam menyusun kerangka teoritis dan pengauan hipotesis adalah: pengkajian mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis, pembahasan mengenai penelitian-penelitian yang relevan,  penyusunan kerangka berpikir, dalam pengajuan hipotesis dengan menggunakan premis-premis dan perumusan hipotesis.
Metodologi penelitian. Pada bagian ini setelah berhasil merumuskan hipotesis yang diturunkan secara deduktif dari pengetahuan ilmiah yang relevan maka langkah berikutnya adalah mengajukan hipotesis tersebut secara empirik. Artinya kita melakukan verifikasi apakah pernyataan yang didukung. Oleh hipotesis yang diajukan tersebut didukung atau tidak oleh kenyataan yang bersifat  faktual.
Secara ringkas  dalam penyusunan metodologi penelitian mencakup kegiatan sebagai berikut:
-          tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pertanyaan, yang mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik-karakteristik hubungan yang akan diteliti,
-          tempat dan waktu penelitian dimana akan dilakukan generalisasi mengenai variabel-variabel yang diteliti, 
-          metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi yang diharapkan,
-          teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan penelitian tingkat keumuman dan metode penelitian, 
-          teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan,  sumber data,  teknik pengukuran,  instrument,  dan teknik mendapatkan data, 
-          teknik analisis data yang mencakup langkah-langkah dan teknik analisis yang dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis.

Setelah perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metode penelitian maka sampailah kita kepada langkah berikutnya yakni melaporkan hasil apa yang kita temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul dipergunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan, selama penelitian untuk menarik kesimpulan penelitian.
Deskripsi tentang langkah-langkah dan cara pengelompokan data sebaiknya sudah dinyatakan dalam metodologi penelitian.  Namun sering kita melihat bahwa bagian ini dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang kurang relevan dan pembahasan hasil penelitian yang menyebabkan menjadi kurang tajamnya fokus analisis dalam pengkajian.
Dengan memahami struktur  penelitian dan penulisan ilmiah,  maka barulah dalam peroses  penerapan ilmia dapat dilakukan dengan baik sehinga hasilnya-pun dapat dicapai dengan baik serta bermanfaat kepada pengembangan ilmu pengetahuan.

BAB III
KESIMPULAN

1.      Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.
2.      Teori kebenaran yang ada pada filsafat ilmu digunakan sebagai dasar untuk menghasilkan kebenaran untuk berpikir tepat dan logis. Dengan adanya cara berpikir logis, maka pengetahuan manusia akan kebenaran dan cara memperoleh pengetahuan juga berkembang. Namun bila dilihat dari sisi lain bahwa  teori kebenaran juga merupakan batas pengetahuan dalam landasan teori kebenaran.
3.      Kemampuan menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adan dan Hawa dan setelah  itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan.
4.      Penulisan ilmiah pada dasarnya merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dikomunikasikan lewat bahasa tulisan. Maka itu mutlak diperlukan penguasaan yang baik mengenai hakikat keilmuan agar dapat melakukan penerapan dalam suatu penelitian dan sekaligus mengkomunikasikannya secara tertulis.



DAFTAR PUSTAKA

-          Bahm, Archie, J., 1980., “What Is Science”, Reprinted from my Axiology; The   Science Of Values
-          Bertens, K., 1987., “Panorama Filsafat Modern”, Gramedia Jakarta
-          Bertens, K., 1999., “Sejarah Filsafat Yunani”, Penerbit Kanisius Yogyakarta 
-          Chalmers A.F. 1983. Apa itu yang dinamakan Ilmu. Jakarta. Suatu Penilaian tentang watak dan Status Ilmu Serta Metodenya. (Terjemahan redaksi Hasta Mitra,  Hasan Mitra)
-          George F. Kneller.  1989. Intruduktion to the Philosohy of  Education (New Yoark: John Weley)
-          Jujun S. 2007 Filsafat ilmu. (sebuah Pengantar popoler) PT. Pancaranintan Indgraha, Jakarta.
-          Jujun S. 2006. Ilmu Dalam Persepektif . Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu Jakarta (Yayasan Obor Indonesia)
-          Kuhn Thomas S. 2008. The Structure of Scientific Revolutions. Penerbit PT. remaja Rosdakarya Bandung.
-          Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan  “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte Gadjah Mada University Yogyakarta   “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran Dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu UGM Yogyakarta, 
-          Nuchelmans, G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam, Dialihbahasakan Oleh Soejono Soemargono”, UGM Yogyakarta 
-          Noehadi tati herawaty, 2002.  Menyoal Objektifitas Ilmu pengetahuan . (Penerbit Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan).
-          Soeparmo, A.H., 1984., “Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam”, Penerbit Airlangga University.
-          Stanly M. Honer dan Thomas C. Hunt 1988. Invitation to philosophy Belmont, Cal : Wadsworth.
-          Sutrisno dkk, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian.Yogyakarta Penerbit C.V. Andi Offset.
-          Van Paursen dkk, 2003. Pengantar Filsafat Ilmu. PT. Tiara Wacana Yogya
-          William S. 1995Sahakian dan dan Mabel Lewis sahakian, realism of Pholosopy ( Cam Bridge, Mass: Schenkman)
-          Associate Webmaster Professional. (2001)  “Terminologi Filsafat” Internet : http://www.filsafatkita.f2g.net
-          Lasiyo dan Yuwono. (1994) Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty. Moleong, Lexy, J. (2005) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.
-          Rinjin,  Ketut.  (1997)  Pengantar  Filsafat  Ilmu  dan  Ilmu  Sosial  Dasar. Bandung : CV Kayumas.
-          Semiawan,  Conny  et  al.  (1998)  Dimensi  Kreatif  dalam  Filsafat  Ilmu. Bandung : CV Remaja Karya.
-          The Liang Gie. (1991) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty.
-          Sutan Takdir Alisjahbana, 1981. Pembimbing ke Filsafat, Jakarta, Dian Rakyat.
-          Partap Sing Mehra, 2001. Pengantar Logika Tradisional. Bandung. Putra Bardin.


[1] Sutrisno dkk, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian.Yogyakarta Penerbit C.V. Andi Offset.
[2] Rinjin,  Ketut.  (1997)  Pengantar  Filsafat  Ilmu  dan  Ilmu  Sosial  Dasar. Bandung : CV Kayumas.
[3] Associate Webmaster Professional. (2001)  “Terminologi Filsafat” Internet : http://www.filsafatkita.f2g.net
[4] Lasiyo dan Yuwono. (1994) Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty. Moleong
[5] The Liang Gie. (1991) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty.
[6] Semiawan,  Conny  et  al.  (1998)  Dimensi  Kreatif  dalam  Filsafat  Ilmu. Bandung : CV Remaja Karya.
[7] Jujun S. Suriasumantri. (2005) Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan.
[8] Bertens, K., 1999., “Sejarah Filsafat Yunani”, Penerbit Kanisius Yogyakarta
[9] Bahm, Archie, J., 1980., “What Is Science”, Reprinted from my Axiology; The   Science Of Values
[10] Van Paursen dkk, 2003. Pengantar Filsafat Ilmu. PT. Tiara Wacana Yogya
[11] Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan  “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte Gadjah Mada University Yogyakarta   “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran Dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu UGM Yogyakarta,
[12] William S. 1995. Sahakian dan dan Mabel Lewis sahakian, realism of Pholosopy ( Cam Bridge, Mass: Schenkman)
[13] Chalmers A.F. 1983. Apa itu yang dinamakan Ilmu. Jakarta. Suatu Penilaian tentang watak dan Status Ilmu Serta Metodenya. (Terjemahan redaksi Hasta Mitra,  Hasan Mitra)
[14] Sutan Takdir Alisjahbana, 1981. Pembimbing ke Filsafat, Jakarta, Dian Rakyat.
[15] Partap Sing Mehra, 2001. Pengantar Logika Tradisional. Bandung. Putra Bardin.
[16] Jujun S. Suriasumantri. (2005) Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan
[17] Partap Sing Mehra, 2001. Pengantar Logika Tradisional. Bandung. Putra Bardin.
[18] Jujun S. 2006.
[19] Jujun S. 2006. Ilmu Dalam Persepektif . Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu Jakarta (Yayasan Obor Indonesia)
[20] Jujun S. 2007 Filsafat ilmu. (sebuah Pengantar popoler) PT. Pancaranintan Indgraha, Jakarta.
[21] Jujun S. 2007 Filsafat ilmu. (sebuah Pengantar popoler) PT. Pancaranintan Indgraha, Jakarta.
[22] Stanly M. Honer dan Thomas C. Hunt 1988. Invitation to philosophy Belmont, Cal : Wadsworth.
[23] George F. Kneller.  1989. Intruduktion to the Philosohy of  Education (New Yoark: John Weley)
[24] George F. Kneller.  1989. Intruduktion to the Philosohy of  Education (New Yoark: John Weley)
[25] Jujun S. 2006. Ilmu Dalam Persepektif . Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu Jakarta (Yayasan Obor Indonesia)
 

Tidak ada komentar:

Persyaratan Hak & Kewajiban Guru

BAB I PENDAHULUAN A.       LATAR BELAKANG MASALAH Di dalam   masyarakat tedapat bermacam-macam pekerjaan, seperti dokter, penga...