BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk berpikir yang
selalu berupaya mencari kebenaran dan pemahaman, melalui pemikiran mendalam dan
penghayatan berbagai pengalaman yang dialaminya. Menciptakan argument-argumen
dan pemikiran baru dari hasil penelitiannya secara individu, secara tidak
disadari akan melahirkan suatu konsep keilmuan atau bidang ilmu tersendiri,
sesuai dengan pemahaman dan ide-ide kreatif nya.
Pada dasarnya manusia dilahirkan
dalam keadaan misterius. Artinya segera setelah menyadari dirinya sebagai
manusia, maka dirinya akan mencari tahu tentang Mengapa (why), bagaimana (how),
dan untuk apa ia ada (what for).
Sebagian manusia berhasil mengetahui
kenyataan dirinya yang diciptakan oleh kekuatan yang maha besar (Tuhan),
melalui proses kelahiran dan tumbuh berkembang. Namun demikian, sebagian
manusia masih kesulitan memahami realitas ini, bahkan di zaman modern sekarang
ini. Sehingga lahirlah paham-paham Polytheist,
Monotheist, dan Atheist.
Kehadirannya ke dunia seperti buku
tanpa bab pendahuluan dan penutup. Ia akan menghadapi isinya
saja. Ia harus menyusun sendiri bab pendahuluan dan penutupnya itu
berdasarkan fakta yang tersirat dalam lembaran-lembaran isinya
melalui pengalaman-pengalaman hidupnya.
Oleh karena itu setiap orang akan
cenderung berbeda pandangannya tentang ide penutup buku yang menggambarkan
tujuan akhir hidupnya nanti. Hal ini disebabkan karena setiap orang memiliki
proses berpikir yang tidak sama. Selain itu, perbedaan gambaran visual (imagination) terhadap lembaran-lembaran
isi buku yang menggambarkan fakta atau kenyataan hidup ini saling berlainan. Perbedaan-perbedaan
itu hendaknya justru dipandang sebagai sumber kekayaan pengetahuan tentang
misteri hidup dan kehidupan manusia.
Menurut Soertrisno
dkk., sesungguhnya manusia adalah mahluk yang lemah, yang keberadaannya
sangat tergantung kepada penciptanya.[1]
Akan tetapi kebergantungan terhadap sang pencipta tersebut bukanlah semata-mata
melainkan ketergantungan (dependence) yang berkeleluasan (indevendence).
Manusia menerima ketergantungan itu dengan otonomi, independensi, serta
kreaktifitasnya sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan dan mengembangkan
hidup dan kehidupannya.
Kemampuan
manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi
dasar yang memungkinkan manusia Berfikir, dengan Berfikir manusia menjadi mampu
melakukan perubahan dalam dirinya dan memang sebagian besar perubahan dalam
diri manusia merupakan akibat dari aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat
wajar apabila Berfikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai
kedudukan manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan
manusia pun tidak punya makna bahkan
mungkin tak akan pernah ada.
Dengan berfikir
manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran
manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan,
dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta
mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah
kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam
berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).
Dengan demikian
kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna
pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan
kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding
makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di
muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan
menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas, maka di susun
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana memahami kontribusi
filsafat ilmu terhadap dunia ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana penerapan metode ilmiah
dalam penelitian ilmiah?
3. Bagaimana cara memperoleh Penalaran Ilmiah
disertai pemikiran yang berkembang ?
4. Bagaimana penyusunan kerangka
teoritis filsafat ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1
HAKEKAT FILSAFAT ILMU
1.
Faktor-faktor Pendorong Timbulnya
Filsafat dan Ilmu
Suatu
peristiwa atau kejadian pada dasarnya tidak pernah lepas dari peristiwa lain
yang mendahuluinya. Demikian juga dengan timbul dan berkembangnya filsafat dan ilmu. Menurut Rinjin (1997 :
9-10),[2]
filsafat dan ilmu timbul dan berkembang karena akal budi, thauma, dan aporia.
a. Manusia merupakan makhluk berakal
budi.
Dengan akal budinya, kemampuan
manusia dalam bersuara bisa berkembang menjadi kemampuan berbahasa dan
berkomunikasi, sehingga manusia disebut sebagai homo loquens dan animal
symbolicum.
Dengan akal budinya, manusia dapat
berpikir abstrak dan konseptual sehingga dirinya disebut sebagai homo sapiens (makhluk pemikir) atau
kalau menurut Aristoteles manusia dipandang sebagai animal that reasons yang
ditandai dengan sifat selalu ingin tahu (all
men by nature desire to know).
Pada diri manusia melekat kehausan intelektual
(intellectual curiosity), yang
menjelma dalam wujud aneka ragam pertanyaan. Bertanya adalah berpikir dan
berpikir dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan.
b. Manusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam semesta dan isinya
Manusia merupakan makhluk yang
memiliki rasa kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnya saja
kekaguman pada matahari, bumi, dirinya sendiri dan seterusnya. Kekaguman
tersebut kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta itu
sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis). Ia juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, mengenai
eksistensi, hakikat, dan tujuan hidupnya.
c. Manusia senantiasa menghadapi
masalah
Faktor lain yang juga mendorong
timbulnya filsafat dan ilmu adalah adalah masalah yang dihadapi manusia
(aporia). Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan masalah, baik masalah yang bersifat teoritis maupun
praktis. Masalah mendorong manusia untuk berbuat dan mencari jalan keluar yang
tidak jarang menghasilkan temuan yang sangat berharga (necessity is the mother of science).
2.
Hakikat Filsafat
a.
Pengertian Filsafat secara
etimologis
Istilah filsafat yang merupakan
terjemahan dari philolophy (bahasa
Inggris) berasal dari bahasa Yunani philo
(love of ) dan sophia (wisdom). Jadi
secara etimologis filsafat artinya cinta atau gemar akan kebajikan (love of wisdom).
Cinta artinya hasrat yang besar atau
yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran
sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan
yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti filsafat pada
mulanya.
Berdasarkan arti secara etimologis
sebagaimana dijelaskan di atas kemudian para ahli berusaha merumuskan
definisi filsafat. Ada yang menyatakan
bahwa filsafat sebagai suatu usaha untuk berpikir secara radikal dan
menyeluruh, suatu cara
berpikir dengan mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Aktivitas
tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu kesimpulan universal
dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang tersederhana sampai yang
terkompleks.
Kattsoff, sebagaimana dikutip
oleh Associate Webmaster Professional
(2001), menyatakan karakteristik filsafat sebagai berikut :[3]
1)
Filsafat adalah berpikir secara kritis.
2)
Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis.
3)
Filsafat mengahasilkan sesuatu yang runtut.
4)
Filsafat adalah berpikir secara rasional.
5)
Filsafat bersifat komprehensif.
b.
Objek Filsafat
1) Objek material
filsafat adalah segala
sesuatu yang ada,
yang meliputi: ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada
dalam kemungkinan (Lasiyo dan Yuwono, 1994 : 6).
2) Objek formal filsafat adalah hakikat
dari segala sesuatu yang ada (Lasiyo dan Yuwono, 1994 : 6). [4]
c.
Sistematika Filsafat
Sebagaimana pengetahuan yang lain,
filsafat telah mengalami perkembangan yang pesat yang ditandai dengan
bermacam-macam aliran dan cabang.
1) Aliran-aliran Filsafat
Ada beberapa aliran filsafat dinataranya adalah : realisme, rasionalisme, empirisme,
idealisme, materialisme, dan eksistensialisme.
2) Cabang-cabang Filsafat
Filsafat memiliki cabang-cabang yang cukup banyak
dinataranya adalah : metafisika, epistemologi, logika, etika,
estetika, filsafat sejarah, filsafat politik, dst.
3.
Hakikat Filsafat Ilmu
a.
Pengertian Filsafat Ilmu
1) Cornelius Benjamin (dalam The Liang
Gie, 19 : 58) memandang filsafat ilmu sebagai berikut. ”That
philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science,
especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in
the general scheme of intellectual disciplines.” Filsafat ilmu, merurut Benjamin, merupakan
cabang dari filsafat yang secara sistematis menelaah sifat dasar ilmu,
khususnya mengenai metoda, konsep- konsep, dan praanggapan-pra-anggapannya,
serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual.[5]
2) Conny Semiawan at al (1998 : 45)
menyatakan bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang
ilmu pengetahuan (science of sciences)
yang kedudukannya di atas ilmu lainnya.[6]
3) Jujun Suriasumantri
(2005 : 33-34)
memandang filsafat ilmu sebagai bagian dari epistemologi
(filsafat pengetahuan) yang ingin menjawab tiga kelompok pertanyaan mengenai
hakikat ilmu sebagai berikut.[7]
Kelompok pertanyaan
pertama antara lain
sebagai berikut ini. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana
wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan
daya tangap manusia ?
Kelompok pertanyaan kedua :
Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu ?
Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ? Apa
yang dimaksud dengan kebenaran ? Dan seterusnya.
Dan
terakhir, kelompok pertanyaan ketiga :
Untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu ? Bagaimana kaitan antara cara menggunakan ilmu dengan kaidah-kaidah
moral ? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral ? Dan seterusnya.
Kelompok pertanyaan pertama
merupakan tinjauan ilmu secara ontologis. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan
kelompok kedua merupakan tinjauan ilmu secara epistemologis. Dan pertanyaan-
pertanyaan kelompok ketiga sebagai tinjauan ilmu secara aksiologis.
b.
Karakteristik filsafat ilmu
Dari
beberapa pendapat di
atas dapat diidentifikasi karakteristik filsafat ilmu sebagai berikut.
1) Filsafat ilmu merupakan cabang dari
filsafat.
2) Filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu
secara filosofis dari sudut pandang ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
c.
Objek filsafat ilmu
1) Objek material filsafat ilmu adalah
ilmu
2) Objek formal filsafat ilmu adalah
ilmu atas dasar tinjauan filosofis, yaitu secara ontologis, epistemologis, dan
aksiologis.
2.2
PENERAPAN FILSAFAT ILMU DALAM KEGIATAN ILMIAH
A.
Filasafat Ilmu Dari Dulu sampai Sekarang
Melihat
dari sejarah hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan yang sangat cepat. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh
pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari,
ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain.
Menurut
Bertens, filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian
menjadi terpecah-pecah.[8]
Namun munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, menyebabkan terjadinya perpisahan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Demikian dapatlah dikemukakan bahwa
sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat.
Ilmu
pengetahuan di ambil dari bahasa inggris science,
yang berasal dari bahasa latin scientie
dari bentuk kata kerja scire yang
berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu
mengalami perluasan arti sehingga menunjuk segenap pengetahuan sistematik.
Menurut Bahm defenisi ilmu pengetahuan paling tidak melibatkan enam macam
komponen yaitu masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan dan pengaruh.[9]
Selanjutnya
Van Peursen mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga
definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.[10]
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya
ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan
baru, bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti
spesialisasi-spesialisasi. Pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang
jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang “benar-tidaknya”
dapat ditentukan.
Terlepas
dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan,
maka kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan
manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan.
Bidang
garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi
tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Dimana filsafat ilmu
mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia, sebagaimana
ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi
antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa, filsafat dewasa ini tidak dapat
berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak
dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Michael
whiteman dalam Koento Wibisono dkk mengemukakan bahwa persoalan ilmu dianggap bersifat
ilmiah karena terlibat dalam persoalan-persoalan filsafati sehingga
memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya banyak persoalan
filsafati sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah.[11]
B.
Pemikiran Yang Berkembang
Teori kebenaran
yang ada pada filsafat ilmu digunakan sebagai dasar untuk menghasilkan
kebenaran agar berpikir tepat dan logis. Sebab dengan adanya cara berpikir
logis, maka pengetahuan manusia akan kebenaran dan cara memperoleh pengetahuan
juga berkembang.
Semua orang
memiliki pemahaman yang sama akan sesuatu hal yang dari dahulu hingga sekarang
tetap sama. Sebagai contoh, meja dari dahulu hingga sekarang tetaplah bernama
meja tidak digantikan dengan yang lain.
Namun bila
dilihat dari sisi lain bahwa teori kebenaran juga merupakan batas pengetahuan dalam
landasan teori kebenaran. Pembatasan pengetahuan itu dibatasi oleh panca indera
kita. Kita dapat melihat, mendengar, mengecap, meraba, dan mencium dari panca
indera itu secara tepat. Apabila salah satu dari panca indera tersebut tidak
berfungsi dengan baik maka tidak dapat berpikir secara tepat.
Selain
pengetahuan yang bersumber dari indera, juga terdapat pengetahuan yang
bersumber dari non indera. Adapun pengetahuan yang bersumber dari non indrawi
ini, yaitu berasal dari akal budi manusia atau rasio manusia. Melalui akal,
manusia dapat berpikir secara tepat dan logis, dapat memiliki gagasan atau ide
dan hasil dari berpikir itu adalah pengetahuan yang rasional.
Kreativitas
lahir bersama dengan lahirnya manusia itu. Kreativitas tidak hanya sebagai
penalaran, tetapi juga meningkatkan dan membuka tabir alam yang tersedia dalam
suatu dimensi kreatif. Kreativitas terdiri dari empat fungsi dasar yang
interaktif, yaitu: 1.berpikir rasional, 2. perkembangan emosional,3.
perkembangan bakat khusus, dan 4. tingkat tinggi kesadaran yang menghasilkan
imajinasi, fantasi, pendobraka pada kondisi ambang kesadaran atau ketaksadaran
William S.
menjelaskan tentang tahap-tahap dalam proses kreatifitas berlangsung melalui
persiapan (preparation), inkubasi (incubation), iluminasi (illumination)
dan verifikasi (verification). Sadangkan perkembangan kreativitas dapat
diibaratkan lingkaran eskalasi yang memiliki aspek urutan (succession),
diskontinuitas (discontinuity), kemenonjolan (emergence),
diferensiasi dan integrasi.[12]
Peranan
aktivitas dalam evolusi ilmu dapat dikembangkan melalui potensi kreatif
individu dan kelompok yang merupakan kemungkinan dan kekuatan untuk menjalankan
berbagai langkah perubahan kehidupan manusia, dalam rangka meningkatkan harkat
dan martabatnya. Demikian pula pengaruh dimensi kreatif dapat dilihat dari
perkembangan ide-ide kreatif yang mencetuskan teori-teori ilmiah spektakuler,
meskipun terdapat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kemajuan tersebut.
Perkembangan
semua pengetahuan tersebut sangat pesat. Semakin banyak pengalaman, maka
semakin akan semakin mendorong manusia untuk mencari dan mengembangkannya,
sehingga akan semakin banyak khasanah cabang pengetahuan tersebut. Perkembangan
pengetahuan manusia mengakibatkan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan manusia.
Menurut Chalmers pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan diperkirakan sejak 400 tahu
yang lalu. Sejak pemikir-pemikir seperti Copermicus, Galileo,
Kappler, dan yang lebih jelas lagi sejak F. Bacon pada abad ke 15 dan 16.[13]
C.
Makna Berpikir
Semua karakteristik
manusia yang menggambarkan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan
akibat dari anugrah akal yang dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk
kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun memberikan tugas kekhalifahan di muka bumi
pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir, berpengetahuan,
serta membuat keputusan, dalam hal melakukan dan atau tidak melakukan yang
tanggungjawabnya inheren pada
manusia, sehingga perlu dimintai pertanggungjawaban.
Sutan Takdir
Alisjahbana,[14]
menyatakan bahwa pikiran memberi manusia pengetahuan yang dapat dipakainya
sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong
perbuatan mereka. Oleh karena itu berfikir merupakan atribut penting yang
menjadikan manusia sebagai manusia, berfikir adalah fondasi dan kemauan adalah
pendorongnya.
Kalau berfikir
(penggunaan kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan
manusia dengan hewan, sekarang apa yang dimaksud berfikir, apakah setiap
penggunaan akal dapat dikategorikan berfikir, ataukah penggunaan akal dengan
cara tertentu saja yang disebut berfikir.
Para ahli telah
mencoba mendefinisikan makna berfikir dengan rumusannya sendiri-sendiri, namun
yang jelas tanpa akal nampaknya kegiatan berfikir tidak mungkin dapat
dilakukan, demikian juga pemilikan akal secara fisikal tidak serta merta
mengindikasikan kegiata berfikir.
Menurut J.M.
Bochenski berfikir adalah perkembangan ide dan konsep, definisi ini nampak
sangat sederhana namun substansinya cukup mendalam, berfikir bukanlah kegiatan
fisik namun merupakan kegiatan mental, bila seseorang secara mental sedang mengikatkan diri dengan sesuatu dan
sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang tersebut bisa dikatakan
sedang berfikir.
Jika demikian
berarti bahwa berfikir merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya
mengikatkan diri dengan sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu
ada dalam diri (gambaran mental) seseorang, dan jika itu terjadi tahulah dia,
ini berarti bahwa dengan berfikir manusia akan mampu memperoleh pengetahuan,
dan dengan pengetahuan itu manusia menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas
kekhalifahannya di muka bumi serta mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding
makhluk lainnya.
Sementara itu
Partap Sing Mehra[15]
memberikan definisi berfikir (pemikiran) yaitu mencari sesuatu yang belum
diketahui berdasarkan sesuatu yang sudah diketahui. Definisi ini
mengindikasikan bahwa suatu kegiatan berfikir baru mungkin terjadi jika
akal/pikiran seseorang telah mengetahui sesuatu, kemudian sesuatu itu
dipergunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain, sesuatu yang diketahui itu
bisa merupakan data, konsep atau sebuah idea, dan hal ini kemudian berkembang
atau dikembangkan sehingga diperoleh suatu yang kemudian diketahui atau bisa
juga disebut kesimpulan. Dengan demikian kedua definisi yang dikemukakan akhli
tersebut pada dasarnya bersifat saling melengkapi. Berfikir merupakan upaya
untuk memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan tersebut proses berfikir
dapat terus berlanjut guna memperoleh pengetahuan yang baru, dan proses itu
tidak berhenti selama upaya pencarian pengetahuan terus dilakukan.
Menurut Jujun S
Suriasumantri[16]
Berfikir merupakan suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu
yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dengan
demikian berfikir mempunyai gradasi yang berbeda dari berfikir sederhana sampai
berfikir yang sulit, dari berfikir hanya untuk mengikatkan subjek dan objek
sampai dengan berfikir yang menuntut kesimpulan berdasarkan ikatan tersebut.
Sementara itu
Partap Sing Mehra menyatakan bahwa proses berfikir mencakup hal-hal sebagai
berikut yaitu :[17]
o
Conception (pembentukan
gagasan)
o
Judgement (menentukan
sesuatu)
o
Reasoning (Pertimbangan
pemikiran/penalaran)
Bila seseorang
mengatakan bahwa dia sedang berfikir tentang sesuatu, ini mungkin berarti bahwa
dia sedang membentuk gagasan umum tentang sesuatu, atau sedang menentukan
sesuatu, atau sedang mempertimbangkan (mencari argumentasi) berkaitan dengan
sesuatu tersebut.
Cakupan proses berfikir sebagaimana
disebutkan di atas menggambarkan bentuk substansi pencapaian kesimpulan, dalam
setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan) berfikir tertentu sesuai dengan
substansinya.
Menurut John
Dewey proses berfikir mempuyai urutan-urutan (proses) sebagai berikut :
o
Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk
adaptasi terhadap alat, sulit mengenai sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal
yang muncul secara tiba-tiba.
o
Kemudian rasa sulit tersebut diberi
definisi dalam bentuk permasalahan.
o
Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang
berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori.
o
Ide-ide pemecahan diuraikan secara
rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti
(data).
o
Menguatkan pembuktian tentang ide-ide
di atas dan menyimpulkannya baik melalui keterangan-keterangan ataupun
percobaan-percobaan.
Sementara itu Kelly mengemukakan
bahwa proses berfikir mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
o
Timbul rasa sulit
o
Rasa sulit tersebut didefinisikan
o
Mencari suatu pemecahan sementara
o
Menambah keterangan terhadap pemecahan
tadi yang menuju kepada kepercayaan bahwa pemecahan tersebut adalah benar.
o
Melakukan pemecahan lebih lanjut dengan
verifikasi eksperimental
o
Mengadakan penelitian terhadap
penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan secara mental untuk diterima
atau ditolak sehingga kembali menimbulkan rasa sulit.
o
Memberikan suatu pandangan ke depan
atau gambaran mental tentang situasi
yang akan datang untuk dapat menggunakan pemecahan tersebut secara tepat.
Urutan langkah
(proses) berfikir seperti tersebut di atas lebih menggambarkan suatu cara
berfikir ilmiah, yang pada dasarnya merupakan gradasi tertentu disamping
berfikir biasa yang sederhana serta berfikir radikal filosofis, namun urutan
tersebut dapat membantu bagaimana seseorang berfikir dengan cara yang benar,
baik untuk hal-hal yang sederhana dan konkrit maupun hal-hal yang rumit dan
abstrak, dan semua ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang
yang berfikir tersebut.
D.
Makna Pengetahuan
Berfikir
mensyaratkan adanya pengetahuan (Knowledge)
atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat
berproses dengan benar, sekarang apa yang dimaksud dengan pengetahuan ?,
Menurut
Langeveld pengetahuan ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan objek yang
diketahui, di tempat lain dia mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan kesatuan
subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui, suatu kesatuan dalam mana
objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya.
Dengan demikian
pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui, sedangkan Feibleman
menyebutnya hubungan subjek dan objek (Knowledge
: relation between object and subject). Subjek adalah individu yang punya kemampuan
mengetahui (berakal) dan objek adalah benda-benda atau hal-hal yang ingin
diketahui. Individu (manusia) merupakan suatu realitas dan benda-benda
merupakan realitas yang lain, hubungan keduanya merupakan proses untuk
mengetahui dan bila bersatu jadilah pengetahuan bagi manusia.
Di sini
terlihat bahwa subjek mesti berpartisipasi aktif dalam proses penyatuan sedang
objek pun harus berpartisipasi dalam keadaannya, subjek merupakan suatu
realitas demikian juga objek, ke dua realitas ini berproses dalam suatu
interaksi partisipatif, tanpa semua ini mustahil pengetahuan terjadi, hal ini
sejalan dengan pendapat Max Scheler yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai
partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa
modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu. Sebaliknya subjek yang mengetahui itu
dipengaruhi oleh objek yang diketahuinya.
Pengetahuan
pada hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek tertentu,
termasuk ke dalamnya ilmu (Jujun S Suriasumantri,)[18],
Pengetahuan tentang objek selalu melibatkan dua unsur yakni unsur representasi
tetap dan tak terlukiskan serta unsur penapsiran konsep yang menunjukan respon
pemikiran.
Unsur konsep
disebut unsur formal sedang unsur tetap adalah unsur material atau isi (Maurice
Mandelbaum). Interaksi antara objek dengan subjek yang menafsirkan, menjadikan
pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas, terarah dan sistimatis
sehingga dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Pengetahuan
tumbuh sejalan dengan bertambahnya
pengalaman, untuk itu diperlukan informasi yang bermakna guna menggali
pemikiran untuk menghadapi realitas dunia dimana seorang itu hidup (Harold H
Titus).
E.
Penalaran Ilmiah
Menurut Andi
Hakim Nasution dalam Jujun mengemukakan bahwa sekiranya binatang mempunyai
kemampuan menalar, maka bukan harimau Jawa yang sekarang ini yang dilestarikan
jangan punah, melainkan manusia jawa.[19]
Kemampuan
menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang
merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah
pengetahuan lewat Adam dan Hawa dan setelah itu manusia harus hidup
berbekal pengetahuan tersebut.
Dia mengetahui
mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk,
serta mana yang indah dan mana yang jelek. Manusia adalah satu-satunya
mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara sungguh-sungguh.
Binatang juga mempunyai pengetahuan namun pengetahuan ini terbatas untuk
kelangsungan hidupnya.
Berpikir
merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang
disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama, maka oleh sebab itu
kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu-pun
berbeda-beda. Menurut Jujun penalaran merupakan suatu proses perpikir dalam
menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya
merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak.[20]
Pengetahuan
yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran, maka proses
berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan
kesimpulan baru dianggap sahih (valid)
kalau proses kesimpulan terseburt dilakukan menurut cara tertentu.
Cara penarikan
kesimpulan ini disebut logika, dimana logika secara luas dapat
didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih.[21]
Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk kesesuaian studi
yang memusatkan diri pada penalaran ilmiah.
Baik logika
deduktif maupun logika induktif dalam proses penalarannya, merupakan
premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini
membawa kita kepada sebuah pernyataan yaitu bagaimanakah caranya mendapatkan
pengetahuan yang benar. Sebenarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama mendasarkan diri pada rasio
dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.
Disamping
rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan
yang lain. Yang penting untuk kita ketahuai adalah intuisi
dan wahyu. Namun sampai sekarang ini pengetahuan yang didapatkan secara
rasional dan empiris. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa
melalui proses penalaran tertentu.
Intuisi
bersipat personal dan tidak bisa diramalkan. Pengetahuan Intuitif dapat dipergunakan
sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya
pernyataan yang dikemukakannya. Stanley Maslow dalam Invitation to Philosophy mengemukakan intuisi ini merupakan
pengalaman puncak.[22]
Sedangkan bagi Nietzsche dalam George F. Kneller. Intruduktion to the Philosohy of
Education mengemukakan intuisi merupakan inteligensi yang
paling tinggi.[23]
Penalaran
mempunyai banyak masalah yang sulit. Namun yang terpenting adalah bagaimana
cara kita menemukan atau mengetahui suatu objek yang belum tentu lewat
penarikan kesimpulan. Saya mengetahui masalah ini tampaknya sangat sulit
bagi saya dan saya tak bisa memberikan pemecahan yang lengkap. Namun suatu hal
yang pasti bahwa kita dapat mempelajari sesuatu dengan diskusi.[24]
Contoh, jika
seorang bertanya kepada saya berapakah 23.169 x 7.84. Mula-mula memang
saya tidak tahu, tetapi setelah saya duduk mengerjakan perkalian tersebut
lalu saya tahu bahwa 23.169 x 7.84 adalah 181.807.143.tetapi proses perkalian
ini adalah berpikir:adalah penalaran.
F.
Penerapan dalam Penelitian Ilmiah
Sebelum
melakukan tindakan atau penerapan dalam penelitian ilmiah, maka
terlebih dahulu harus memahami struktur penelitian dan penulisan
ilmiah. Pemilihan bentuk dan cara penulisan dari khasanah yang tersedia
merupakan masalah selera, dan prefrensi program dengan memperhatikan berbagai
faktor lainnya seperti masalah apa yang sedang dikaji, siapakah pembaca
tulisan ini dan dalam rangka kegiatan keilmuan apa karya ilmiah ini
disampaikan.
Penulisan
ilmiah pada dasarnya merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang
dikomunikasikan lewat bahasa tulisan. Maka itu mutlak diperlukan
penguasaan yang baik mengenai hakikat keilmuan agar dapat melakukan penelitian
dan sekaligus mengkomunikasikannya secara tertulis. Sehingga tidak lagi menjadi
soal dari mana dia akan memulai, sesudah itu melangkah ke mana.
Sebab penguasaan tematis dan teknik akan menjamin suatu keseluruhan bentuk yang
utuh.
Demikian
juga bagi seorang penulis ilmiah yang baik, tidak jadi masalah apakah
hipotesis ditulis langsung setelah perumusan masalah, ditempat mana
akan dinyatakan postulat, asumsi, atau prinsip, sebab dia
tahu benar hakikat dan fungsi unsur-unsur tersebut dalam keseluruhan struktur
penulisan ilmiah.
Setelah
masalah dirumuskan dengan baik, maka seorang peneliti menyatakan tujuan
penelitiannya. Tujuan penelitian ini adalah pernyataan mengenai ruang
lingkup dan kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang dirumuskan. Setelah
itu dibahaslah kemungkinan-kemungkinan kegunaan penelitian yang merupakan
manfaat yang dapat dipetik dari pemecahan masalah yang didapat dari peneliti.
Menurut
Jujun S. mengemukakan secara kronologis dapat kita simpulkan enam kegiatan
dalam langkah dalam pengajuan masalah yaitu latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian.[25]
Patut
dikemukakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara keenam kegiatan tersebut. Antara
latar belakang masalah dan kegunaan penelitian kadamg-kadang sudah terdapat
kaitan yang bersifat a priori
umpamanya sebuah penelitian akan digunakan sebegian dasar penyusunan kebijakan
secara nasional. Tentu saja hasil penelitian dipergunakan untuk kebijakan
bersifat nasional, maka hal ini akan mempengaruhi empat kegiatan lainnya
terutama sekali proses pembatasan masalah, sebab untuk generalisasi ke
tingkat nasional kita tidak mungkin melakukan infersens dari hasil penelitian
yang terbatas pada suatu kecamatan.
G.
Penyusunan kerangka teoritis.
Setelah
masalah berhasil dirumuskan dengan baik maka langkah kedua dalam metode ilmiah
adalah mengajukan hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap permasalahan yang diajukan. Seperti diketahui dalam memecahkan
berbagai persoalan terdapat bermacam cara yang dapat ditempuh manusia.
Namun secara garis besarnya maka cara tersebut dapat dikategorikan kepada cara
ilmiah dan non ilmiah.
Dengan
meletakkan kerangka teoritis pada fungsi sebenarnya maka kita lebih maju dalam
meningkatkan mutu keilmuan keegiatan penelitian. Secara ringkas langkah
dalam menyusun kerangka teoritis dan pengauan hipotesis adalah: pengkajian
mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis, pembahasan
mengenai penelitian-penelitian yang relevan, penyusunan kerangka
berpikir, dalam pengajuan hipotesis dengan menggunakan premis-premis dan
perumusan hipotesis.
Metodologi
penelitian. Pada bagian ini setelah berhasil merumuskan hipotesis yang
diturunkan secara deduktif dari pengetahuan ilmiah yang relevan maka langkah
berikutnya adalah mengajukan hipotesis tersebut secara empirik. Artinya kita
melakukan verifikasi apakah pernyataan yang didukung. Oleh hipotesis yang
diajukan tersebut didukung atau tidak oleh kenyataan yang bersifat
faktual.
Secara
ringkas dalam penyusunan metodologi penelitian mencakup kegiatan sebagai
berikut:
-
tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam
bentuk pertanyaan, yang mengidentifikasikan variabel-variabel dan
karakteristik-karakteristik hubungan yang akan diteliti,
-
tempat dan waktu penelitian dimana akan dilakukan
generalisasi mengenai variabel-variabel yang diteliti,
-
metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan
penelitian dan tingkat generalisasi yang diharapkan,
-
teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan
penelitian tingkat keumuman dan metode penelitian,
-
teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel
yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran,
instrument, dan teknik mendapatkan data,
-
teknik analisis data yang mencakup langkah-langkah dan
teknik analisis yang dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan
hipotesis.
Setelah
perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metode penelitian maka
sampailah kita kepada langkah berikutnya yakni melaporkan hasil apa yang kita
temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul
dipergunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan, selama penelitian
untuk menarik kesimpulan penelitian.
Deskripsi
tentang langkah-langkah dan cara pengelompokan data sebaiknya sudah dinyatakan
dalam metodologi penelitian. Namun sering kita melihat bahwa bagian ini
dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang kurang relevan dan pembahasan hasil
penelitian yang menyebabkan menjadi kurang tajamnya fokus analisis dalam pengkajian.
Dengan memahami struktur
penelitian dan penulisan ilmiah, maka barulah dalam peroses
penerapan ilmia dapat dilakukan dengan baik sehinga hasilnya-pun dapat
dicapai dengan baik serta bermanfaat kepada pengembangan ilmu pengetahuan.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
1. Bidang garapan filsafat ilmu
terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi
eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.
2. Teori kebenaran
yang ada pada filsafat ilmu digunakan sebagai dasar untuk menghasilkan
kebenaran untuk berpikir tepat dan logis. Dengan adanya cara berpikir logis,
maka pengetahuan manusia akan kebenaran dan cara memperoleh pengetahuan juga
berkembang. Namun bila dilihat dari sisi lain bahwa teori kebenaran juga
merupakan batas pengetahuan dalam landasan teori kebenaran.
3. Kemampuan
menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan
rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah
pengetahuan lewat Adan dan Hawa dan setelah itu manusia harus hidup
berbekal pengetahuan.
4. Penulisan ilmiah pada dasarnya
merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dikomunikasikan lewat bahasa
tulisan. Maka itu mutlak diperlukan penguasaan yang baik mengenai hakikat
keilmuan agar dapat melakukan penerapan dalam suatu penelitian dan sekaligus
mengkomunikasikannya secara tertulis.
DAFTAR PUSTAKA
-
Bahm, Archie, J., 1980., “What Is Science”, Reprinted from
my Axiology; The Science Of Values
-
Bertens, K., 1987., “Panorama Filsafat Modern”, Gramedia
Jakarta
-
Bertens, K., 1999., “Sejarah Filsafat Yunani”, Penerbit
Kanisius Yogyakarta
-
Chalmers A.F. 1983. Apa itu yang dinamakan Ilmu. Jakarta.
Suatu Penilaian tentang watak dan Status Ilmu Serta Metodenya. (Terjemahan
redaksi Hasta Mitra, Hasan Mitra)
-
George F. Kneller. 1989. Intruduktion to the Philosohy
of Education (New Yoark: John Weley)
-
Jujun S. 2007 Filsafat ilmu. (sebuah Pengantar popoler) PT.
Pancaranintan Indgraha, Jakarta.
-
Jujun S. 2006. Ilmu Dalam Persepektif . Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Ilmu Jakarta (Yayasan Obor Indonesia)
-
Kuhn Thomas S. 2008. The Structure of Scientific
Revolutions. Penerbit PT. remaja Rosdakarya Bandung.
-
Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan “Arti Perkembangan Menurut Filsafat
Positivisme Auguste Comte Gadjah Mada University Yogyakarta “Ilmu
Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran Dan Perkembangannya Sebagai
Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu UGM Yogyakarta,
-
Nuchelmans, G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X,
Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam, Dialihbahasakan Oleh Soejono Soemargono”, UGM
Yogyakarta
-
Noehadi tati herawaty, 2002. Menyoal Objektifitas Ilmu
pengetahuan . (Penerbit Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan).
-
Soeparmo, A.H., 1984., “Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu
Pengetahuan Alam”, Penerbit Airlangga University.
-
Stanly M. Honer dan Thomas C. Hunt 1988. Invitation to
philosophy Belmont, Cal : Wadsworth.
-
Sutrisno dkk, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian.Yogyakarta Penerbit C.V. Andi Offset.
-
Van Paursen dkk, 2003. Pengantar Filsafat Ilmu. PT. Tiara
Wacana Yogya
-
William S. 1995. Sahakian dan dan Mabel Lewis
sahakian, realism of Pholosopy ( Cam Bridge, Mass: Schenkman)
-
Associate Webmaster Professional. (2001) “Terminologi Filsafat” Internet : http://www.filsafatkita.f2g.net
-
Lasiyo dan Yuwono. (1994) Pengantar Ilmu Filsafat.
Yogyakarta : Liberty. Moleong, Lexy, J. (2005) Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.
-
Rinjin,
Ketut. (1997) Pengantar
Filsafat Ilmu dan
Ilmu Sosial Dasar. Bandung : CV Kayumas.
-
Semiawan,
Conny et al.
(1998) Dimensi Kreatif
dalam Filsafat Ilmu. Bandung : CV Remaja Karya.
-
The Liang Gie. (1991) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta
: Liberty.
-
Sutan Takdir Alisjahbana, 1981. Pembimbing ke Filsafat,
Jakarta, Dian Rakyat.
-
Partap Sing Mehra, 2001. Pengantar Logika Tradisional.
Bandung. Putra Bardin.
[1] Sutrisno dkk, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian.Yogyakarta Penerbit C.V. Andi Offset.
[2] Rinjin, Ketut. (1997)
Pengantar Filsafat Ilmu
dan Ilmu Sosial
Dasar. Bandung : CV Kayumas.
[3] Associate Webmaster Professional. (2001) “Terminologi Filsafat” Internet :
http://www.filsafatkita.f2g.net
[4] Lasiyo dan Yuwono. (1994) Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta :
Liberty. Moleong
[5] The Liang Gie. (1991) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta :
Liberty.
[6] Semiawan, Conny et
al. (1998) Dimensi
Kreatif dalam Filsafat
Ilmu. Bandung : CV Remaja Karya.
[7] Jujun S. Suriasumantri. (2005) Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta : Sinar Harapan.
[8] Bertens, K., 1999., “Sejarah Filsafat Yunani”, Penerbit Kanisius
Yogyakarta
[9] Bahm, Archie, J., 1980., “What Is Science”, Reprinted from my
Axiology; The Science Of Values
[10] Van Paursen dkk, 2003. Pengantar Filsafat Ilmu. PT. Tiara Wacana
Yogya
[11] Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan “Arti
Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte Gadjah Mada University
Yogyakarta “Ilmu Pengetahuan Sebuah
Sketsa Umum Mengenai Kelahiran Dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk
Memahami Filsafat Ilmu UGM Yogyakarta,
[12] William S. 1995. Sahakian dan dan Mabel Lewis sahakian, realism of
Pholosopy ( Cam Bridge, Mass: Schenkman)
[13] Chalmers A.F. 1983. Apa itu yang dinamakan Ilmu. Jakarta. Suatu
Penilaian tentang watak dan Status Ilmu Serta Metodenya. (Terjemahan redaksi
Hasta Mitra, Hasan Mitra)
[14] Sutan Takdir Alisjahbana, 1981. Pembimbing ke Filsafat, Jakarta,
Dian Rakyat.
[15] Partap Sing Mehra, 2001. Pengantar Logika Tradisional. Bandung.
Putra Bardin.
[16] Jujun S. Suriasumantri. (2005) Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta : Sinar Harapan
[17] Partap Sing Mehra, 2001. Pengantar Logika Tradisional. Bandung.
Putra Bardin.
[18] Jujun S. 2006.
[19] Jujun S. 2006. Ilmu Dalam Persepektif . Sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakekat Ilmu Jakarta (Yayasan Obor Indonesia)
[20] Jujun S. 2007 Filsafat ilmu. (sebuah Pengantar popoler) PT.
Pancaranintan Indgraha, Jakarta.
[21] Jujun S. 2007 Filsafat ilmu. (sebuah Pengantar popoler) PT.
Pancaranintan Indgraha, Jakarta.
[22] Stanly M. Honer dan Thomas C. Hunt 1988. Invitation to philosophy
Belmont, Cal : Wadsworth.
[23] George F. Kneller. 1989.
Intruduktion to the Philosohy of
Education (New Yoark: John Weley)
[24] George F. Kneller. 1989.
Intruduktion to the Philosohy of
Education (New Yoark: John Weley)
[25] Jujun S. 2006. Ilmu Dalam Persepektif . Sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakekat Ilmu Jakarta (Yayasan Obor Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar