Rabu, 27 Juli 2016

Substansi Filsafat Ilmu sebagai Landasan Epistemologi Prinsip dan Fungsi Manajemen Pendidikan






BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung pada cara kebudayaan tersebut mengenali, menghargai dan memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota masyarakatnya, kepada peserta didik.
Tujuan pendidikan pada umumnya adalah menyediakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan masyarakat. Setiap orang mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula.
Di Indonesia, pendidikan diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Masa Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Pengelolaan dunia pendidikan yang baik, diharapkan mampu mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan pengajar dan peserta didik. Sebab tanpa adanya manajemen pendidikan yang baik, maka akan menghambat proses transfer ilmu dari pendidik ke peserta didik. Disini ada suatu problematika yang kompleks, antara pengelolaan (management) dan pengembangan (development) pendidikan.
Pendidikan, sebagai salah satu dari serangkaian persoalan yang melekat di  dalam  kehidupan  manusia  dapat  dianalisis  secara  sistematis,  integral,  menyeluruh, mendasar  dan  objektif  melalui  kajian  filsafat. 
Sebagaimana  dikemukakan  seorang  filsuf dari Amerika, John Dewey “filsafat itu merupakan teori umum dari pendidikan, atau filsafat merupakan landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan” Tugas filsafat adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan pengalaman yang banyak terdapat dalam dunia pendidikan. Filsafat membantu memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan.
Hal itu disebabkan karena tidak semua masalah pendidikan bisa dipecahkan dengan menggunakan metode ilmiah semata. Banyak di antara masalah-masalah pendidikan tersebut yang merupakan pertanyaan-pertanyaan filosofis, yang memerlukan pendekatan filosofis pula dalam pemecahannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Proses  pendidikan  adalah  proses perkembangan  yang bertujuan. Tujuan dari proses pekembangan tersebut secara alamiah adalah  kedewasaan,  kematangan  dari  kepribadian  manusia. [1]
Dalam upaya mencapai tujuannya secara efektif dan efisien, pendidikan  membutuhkan  fungsi  manajemen. Suharsimi  Arikunto  (2010:  4)  menjelaskan :[2]
manajemen  pendidikan  adalah  serangkaian kegiatan  yang  berupa  proses  pengelolaan  usaha  kerjasama  sekelompok  manusia  yang bergabung  dalam  organisasi  pendidikan,  untuk  mencapai  tujuan  pendidikan  yang  telah ditetapkan sebelumnya, agar efektif dan efisien.
Sejatinya bidang  manajemen  pendidikan memiliki  prinsip serta objek  kajian fungsi manajemen dalam kegiatan  perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian  pendidikan  dalam  upaya  mencapai  tujuan  pendidikan  secara  efektif.
Pada kajian ini bermaksud mengetahui prinsip dan fungsi manajemen pendidikan ditinjau dari ilmu filsafat. Tinjauan filsafat yang dimaksud difokuskan pada tinjauan  epistemologi. Substansinya epistemologi pendidikan adalah filsafat tentang sumber-sumber pendidikan dan seluk-beluk pendidikan. Secara epistemologi, landasan pendidikan mengacu pada fitrah sebagai dasar  pengembangan dan inovasi pendidikan yang berkarakter, karena pendidikan yang berkarakter selalu bertolak dari aspek-aspek kemanusiaan.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, adapun yang menjadi pokok permasalahan penulisan ini antara lain:
1.      Apa landasan epistemologi manajemen pendidikan?
2.      Apa landasan epistemologi prinsip.prinsip manajemen pendidikan?
3.      Apa landasan epistemologi fungsi-fungsi manajemen pendidikan?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan, secara garis besar dan tersusun yang disesuaikan dengan rumusan masalah, adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui epistemologi manajemen pendidikan
2.      Untuk mengetahui epistemologi prinsip-prinsip manajemen pendidikan
3.      Untuk mengetahui epistemologi fungsi-fungsi manajemen pendidikan



















BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1  Pengertian Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti pikiran, teori atau ilmu. Jadi epistemologi berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Istilah lain juga biasa digunakan, yaitu teori pengetahuan (theory of knowledge) atau filsafat pengetahuan (philosophy of knowledge) (Susanto, 2001:136).[3]
Menurut Pidarta (2009:77)[4] epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran. Sementara Surajiyo (2008:26) mengemukakan bahwa epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan kesahihan pengetahuan.[5]
William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian (dalam Suriasumantri, 2007:119) menjelaskan:
epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pegetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia[6]
Dari berbagai pendapat ahli diatas dapat disimpulkan dengan bahasa sederhana bahwa epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar.



2.2  Pengertian Manajemen
Menurut asal katanya, Management berasal dari kata latin yaitu “manus” yang artinya “to control by hand” atau “gain result”. Kata manajemen mungkin juga berasal dari bahasa Italia maneggiare yang berarti “mengendalikan,” Kata ini mendapat pengaruh dari bahasa Perancis manège yang berarti “kepemilikan kuda” (yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti seni mengendalikan kuda), dimana istilah Inggris ini juga berasal dari bahasa Italia. Bahasa Prancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.
Menurut Fattah (2009:1) dalam bukunya Landasan Manajemen Pendidikan menjelaskan bahwa:[7]
“Pengertian manajemen dapat dilihat dalam tiga hal, yakni pertama manajemen sebagai ilmu karena manajemen merupakan bidang pengetahuan yang secara sistematik menelaah alasan dan cara orang membangun kerja sama. Kedua, manajemen sebagai kiat atau seni untuk mencapai tujuan melalui cara-cara dengan mengatur orang lain dalam menjalankan tugas. Ketiga, manajemen sebagai profesi dalam arti manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer, dan para profesional dituntun oleh suatu kode etik”
Secara umum, manajemen dapat diartikan sebagai pengelolaan suatu pekerjaan untuk memperoleh hasil dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan dengan jalan menggerakan orang-orang untuk bekerja.
Manajemen selalu berkaitan dengan proses mengarahkan, mengkoordinasikan, dan mempengaruhi operasional organisasi untuk memperoleh hasil yang diinginkan, serta meningkatkan performa organisasi secara keseluruhan (Jalil, 2009:10).[8]
Pengertian ini menekankan bahwa lingkup tugas manajemen meliputi proses perencanaan, pengorganisasian, pengisian staf, pemimpinan dan pengontrolan untuk optimasi penggunaan sumber-sumber dan pelaksanaan tugas-tugas dalam mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.



2.3  Pengertian Pendidikan
Definisi dan pengertian pendidikan menurut para ahli pada hakekatnya adalah suatu proses pembentukan perilaku manusia secara intelektual untuk menguasai ilmu pengetahuan, secara emosional untuk menguasai diri dan secara moral sebagai pendalaman dan penghayatan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Secara etimologi pendidikan berasal dari kata “educare” dalam bahasa latin yang bermakna melatih atau mengajarkan. Educare berasal dari kata ex dan ducare, yang berarti memimpin. Jadi pendidikan adalah suatu proses pelatihan dimana terdapat dua subyek yang saling berhubungan, yaitu yang satu memimpin dan yang satunya lagi dipimpin.
Berkaitan dengan pendidikan, ada banyak pandangan yang diberikan. Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketermpilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. [9]
Sedangkan Ki Hajar Dewantara (1889-1959) menyatakan bahwa: “Pendidikan merupakan tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”
Sementara Soekidjo Notoatmodjo (2003 : 16) menjelaskan bahwa pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.[10]
Mengingat pendidikan itu sangat penting bagi perwujudan eksistensi dan esensi manusia, maka pendidikan harus dimiliki dan dikembangkan oleh setiap individu. Hal ini telah mendorong manusia untuk memikirkan suatu manajemen pendidikan yang berkualitas agar tujuan tersebut dapat dicapai.

2.4  Pengertian Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan secara sederhana didefinisikan sebagai suatu cara pengelolaan sumberdaya pendidikan meliputi segala aspek yang berhubungan dengan pendidikan. Pengelolaan bertujuan untuk peningkatan kualitas pendidikan serta pencapaian pendidikan itu sendiri.
Akan tetapi terdapat beberapa definisi yang diberikan oleh ahli mengenai manajemen pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut. Manajemen Pendidikan menurut Pidarta (2000) diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya.[11]
Menurut Tilaar (2001:4) manajemen pendidikan adalah suatu kegiatan yang mengimplementasikan perencanaan dan rencana pendidikan.[12] Sementara Sagala (2005:27) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan adalah penerapan ilmu manajemen dalam dunia pendidikan atau sebagai penerapan manajemen dalam pembinaan, pengembangan, dan pengendalian usaha dan praktek-praktek pendidikan.[13]
Manajemen pendidikan juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang (Mulyasa, 2002:19)[14]
Mengadaptasi pengertian manajemen dari para ahli dapat dikemukakan bahwa manajemen pendidikan adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan serta penilaian (evaluasi) usaha pendidikan agar mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Manajemen pendidikan adalah suatu penataan bidang garapan pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, pembinaan, pengkoordinasian, pengkomunikasian, pemotivasian, penganggaran, pengendalian, pengawasan, penilaian dan pelaporan secara sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan secara berkualitas/bermutu.
Manajemen pendidikan lebih menekankan pada upaya seorang pemimpin dalam menggerakkan bawahan mengelola sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan pendidikan secara efisien dan efektif. Pengertian ini lebih bersifat operasional yang mengarah kepada pemanfaatan sumber daya yang tersedia dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

2.5  Prinsip Manajemen Pendidikan
Prinsip-prinsip manajemen pendidikan adalah dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah pendidikan. Menurut Henry Fayol. seorang industrialis asal Perancis, prinsip-prinsip dalam manajemen sebaiknya bersifat lentur dalam arti bahwa perlu di pertimbangkan sesuai dengan kondisi-kondisi khusus dan situasi-situasi yang berubah.
Prinsip - prinsip umum manajemen menurut Henry Fayol terdiri dari empat belas prinsip, antara lain:
1.      Pembagian kerja (Division of work)
2.      Wewenang dan tanggung jawab (Authority and responsibility)
3.      Disiplin (Discipline)
4.      Kesatuan perintah (Unity of command)
5.      Kesatuan pengarahan (Unity of direction)
6.      Penggajian pegawai
7.      Pemusatan (Centralization)
8.      Hirarki (tingkatan)
9.      Ketertiban (Order)
10.  Keadilan dan kejujuran
11.  Stabilitas kondisi karyawan
12.  Prakarsa (Inisiative)
13.  Semangat kesatuan dan semangat korps

2.6  Fungsi-fungsi Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan mempunyai fungsi yang terpadu dengan proses pendidikan khususnya dengan pengelolaan proses pembelajaran. Dalam hubungan ini, terdapat beberapa fungsi manajemen pendidikan.
Berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen ini, menurut G.R. Terry terdapat empat fungsi manajemen, yaitu:
1.      Planning (perencanaan);
Perencanaan tidak lain merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai beserta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
2.      Organizing (pengorganisasian);
Pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efisien, dan memperoleh kepuasan pribadi dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu, dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu
3.      Actuating (pelaksanaan); dan
Pelaksanaan adalah usaha menggerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan dan sasaran anggota-anggota kelompok tersebut oleh karena para anggota itu juga ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut.
4.      Controlling (pengawasan).
pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan apakah tujuan organisasi tercapai. Apabila terjadi penyimpangan di mana letak penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.









BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Epistemologi Manajemen Pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil ilmu manajemen pendidikan memerlukaan pendekatan epistemologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif- epistemologis.
Pendekaatan epistemologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, dalam Umaedi: 1999)
Dalam hubungan dengan manajemen pendidikan, landasan epistemologi menelaah sejarah munculnya manajemen pendidikan, prinsip dan proses pencapaian tujuan manajemen pendidikan, yang berupa fungsi manajemen pendidikan meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan (motivasi, kepemimpinan, pengambilan keputusan, komunikasi, koordinasi, dan negoisasi serta pengembangan organisasi) dan pengendalian (pemantauan, penilaian, dan pelaporan) (Jalil, 2009).[15]

3.2  Sejarah Manajemen Pendidikan terkait Epistemologi Manajemen Pendidikan
Salah satu aspek telaah epistemologi terhadap manajemen pendidikan adalah historisitas manajemen pendidikan. Aspek ini membicarakan sejarah lahirnya manajemen pendidikan, yang di dalamnya terkandung pelbagai alasan dan kebutuhan akan pentingnya manajemen pendidikan yang memperhatikan semua komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan, dengan menekankan unsur desentralisasi dan otonomi pendidikan.
Manajemen pendidikan pertama-tama lahir di Amerika Serikat, yang ditandai oleh perjuangan sebagian besar guru untuk memperbaiki nasibnya. Dari hal yang sederhana ini, kemudian dibentuk Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association, NEA) pada tahun 1875. Pada tahun 1887, para guru di New York membentuk sebuah asosiasi kepentingan bersama. Pada tahun 1903, para guru di Philadelphia membentu organisasi Asosiasi Guru-Guru Philadelphia (Philadelphia Teachers Association). Melalui asosiasi inilah para guru berjuang untuk meningkatkan martabat hidupnya, yang hasilnya antara lain para guru memperoleh gaji yang lebih baik (Danim, 2008)[16]
Di Atlanta, para guru membentuk Persatuan Guru-Guru Sekolah Publik Atlanta. Persatuan ini dibentuk untuk menghadapi tekanan dari dewan kota. Akhirnya, dewan kota memberikan dana yang lebih banyak untuk pendidikan.
Kemudian guru-guru League, yang dipelopori oleh tokoh sosialis seperti Henry Linville, John Dewey, membentuk sebuah asosiasi yang sekadar membicarakan persoalan ekonomi. Tujuannya adalah memberi pilihan bagi para guru dalam menentukan kebijakan sekolah (school policy) untuk memperoleh wakil di pentas pendidikan di New York, membantu masalah-masalah sekolah, membersihkan politik Amerika Serikat dari penyimpangan keputusan, dan meningkatkan kebebasan diskusi publik dari masalah-masalah pendidikan.
Drucker mengemukakan bahwa manajemen pendidikan sesungguhnya lahir dari keprihatinan terhadap dunia individu, yang dipicu oleh faktor internal dan eksternal dunia pendidikan yang berdampak pada rendahnya mutu output pendidikan.   Drucker mengatakan bahwa ada beberapa alasan munculnya manajemen pendidikan yang bersifat reformatif, yakni:
1.      Kondisi-kondisi dunia pendidikan yang tidak diharapkan, seperti mutu pelayanan pendidikan di sekolah yang rendah, pengelolaan dana pendidikan yang tidak efisien, proses promosi guru yang berjalan lamban, dan sebagainya. Ekses ini muncul akibat manajemen tidak dikelola secara profesional.
2.      Munculnya ketidakwajaran selama proses pendidikan di sekolah atau pada hasil yang dicapai. Prosedur birokrasi kepegawaian yang lamban, rekruitmen kepala sekolah secara amatiran, komunitas sekolah yang tidak kreatif, merupakan contoh ketidakwajaran itu. Ketidakwajaran ini mendorong para pembaru untuk mencari alternatif manajemen pendidikan baru.
3.      Kebutuhan yang muncul dalam proses, yang menuntut partisipasi semua pihak terkait dalam pendidikan.
4.      Perubahan struktur organsisasi dan jenis tenaga yang diperlukan oleh pasar tenaga kerja merupakan salah satu sumber inspirasi bagi kepala sekolah untuk membuat keputusan inovatif di lembaganya. Keputusan ini member tekanan kuat terhadap perubahan kurikulum dan strategi proses belajar-mengajar, misalnya dari kecenderungan pengajaran teoretis ke pelatihan yang bersikap praktis. Di negara-negara sentralistik, kekuatan kepala sekolah untuk membuat keputusan relatir terbatas. Adanya manajemen pendidikan  yang reformatif dan inovatif, yakni MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), memungkinkan adanya perubahan struktural secara signifikan dalam skema pengelolaan sekolah.
5.      Variasi kondisi demografis membuat  variasi terhadap perilaku kepala sekolah di daerah masing-masing. Contohnya, di sekolah-sekolah tradisional yang tidak memiliki fasilitas penerangan, misalnya, kepala sekolah tidak akan pernah memikirkan upaya menghimpun dana untuk membeli overhead projector atau televise dalam rangka membantu kelancaran proses belajar-mengajar.
6.      Inovasi yang bersumber dari perubahan persepsi, suasana, dan makna umumnya disebabkan oleh penerimaan dan penafsiran individu atas informasi yang diterimanya dari lingkungan. Informasi ini dapat diperoleh melalui media massa.
Dalam kaitan dengan prakarsa manajemen pendidikan berbasis sekolah, sebagai sebuah bentuk reformasi manajemen pendidikan, ada upaya besar untuk mengarahkan pendidikan pada sifat yang desentralisasi. Menurut Bailey, di Amerika Serikat, misalnya, sejak tahun 1960-an hingga tahun 1990-an, secara prinsip telah berjalan “empat generasi” gerakan reformasi manajemen pendidikan. dari “empat generasi” gerakan reformasi tersebut, semuanya menjurus kepada desentralisasi hingga sampai pada istilah yang disebut sebagai manajemen pendidikan berbasis sekolah (MBS).
Di Indonesia, munculnya manajemen pendidikan berbasis sekolah dilatarbelakangi oleh persoalan mendasar rendahnya mutu pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia.[17]  Kualitas lulusan pendidikan formal sangat ditentukan oleh sumber daya pendidik, manajemen sumber daya manusia dan manajemen pendidikan, kurikulum, fasilitas dan faktor-faktor pendukung lainnya yang terlibat dalam proses pembelajaran di sekolah.
Ada berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah.
MBS lahir untuk menjawab berbagai persoalan dunia pendidikan dan tuntutan masyarakat akan kualitas output.  Dilihat dari perjalanannya, kebijakan manajemen pendidikan berbasis sekolah di Indonesia secara relatif sungguh-sungguh baru dimulai sejak tahun 1999/2000, yaitu dengan peluncuran dana bantuan yang disebut dengan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM).
Dana bantuan ini disetor langsung ke rekening sekolah. Memasuki tahun anggaran 2003, dana BOMM diubah namanya menjadi Dana Rintisan Untuk MPMBS, khususnya untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Program ini sejalan dengan implementasi dari UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah di bidang pendidikan dan UU Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional.
Menurut UU Nomor 25 Tahun 2000 tersebut, MBS dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional[18], dinyatakan dalam pasal 50 dan 51 bahwa pengelolaan pendidikan dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
Dalam manajemen pendidikan seperti ini, pengelolaan pendidikan dijalankan dengan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
1.               Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.
2.               Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
3.               Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
4.               Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing – masing.
5.               Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
6.               Memotivasi timbulnya pemikiran-pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.
7.               Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.
8.               Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan

3.3  Epistemologi Prinsip-prinsip Manajemen Pendidikan
Untuk menjamin keberhasilan sebuah keberhasilan dalam pendidikan maka manajemen berbasis sekolah haruslah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen pendidikan.
Prinsip-prinsip manajemen pendidikan adalah dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah pendidikan Prinsip-prinsip manajemen pendidikan dapat diadaptasi dari prinsip-prinsip manajemen.
Menurut Henry Fayol, prinsip-prinsip dalam manajemen sebaiknya bersifat lentur dalam arti bahwa perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi khusus dan situasi yang berubah-rubah. Prinsip – prinsip umum manajemen menurut Henry Fayol terdiri dari:

1.      Pembagian kerja (Division of work)
Pembagian kerja harus disesuaikan dengan kemampuan dan keahlian sehingga pelaksanaan kerja berjalan efektif. Oleh karena itu, kepala sekolah selaku manajer disekolah dalam penempatan pendidik dan tenaga pendidik harus menggunakan prinsip the right man in the right place. Pembagian kerja harus rasional/objektif, bukan emosional subyektif yang didasarkan atas dasar like and dislike. Dengan adanya prinsip orang yang tepat ditempat yang tepat (the right man in the right place) akan memberikan jaminan terhadap kestabilan, kelancaran dan efesiensi kerja pada dunia pendidikan. Pembagian kerja yang baik merupakan kunci bagi penyelengaraan pendidikan. Kecerobohan dalam pembagian kerja akan berpengaruh kurang baik dan mungkin menimbulkan kegagalan dalam penyelenggaraan pendidikan, oleh karena itu, seorang kepala sekolah yang berpengalaman akan menempatkan pembagian kerja sebagai prinsip utama yang akan menjadi titik tolak bagi prinsip-prinsip lainnya.

2.      Wewenang dan tanggung jawab (Authority and responsibility)
Setiap pendidik dan tenaga pendidik dilengkapi dengan wewenang untuk melakukan pekerjaan dan setiap wewenang melekat atau diikuti pertanggungjawaban. Wewenang dan tanggung jawab harus seimbang. Tanggung jawab terbesar terletak pada kepala sekolah. Kegagalan penyenggaraan pendidikan sejatinya bukan terletak pada pendidik atau tenaga pendidik, tetapi terletak pada puncak pimpinannya yaitu kepala sekolah karena yang mempunyai wewemang terbesar dalam sekolah adalah kepala sekolah. oleh karena itu, apabila kepala sekolah tidak mempunyai keahlian dan kepemimpinan, maka wewenang yang ada padanya merupakan bumerang.



3.      Disiplin (Discipline)
Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab. Disiplin ini berhubungan erat dengan wewenang. Apabila wewenang tidak berjalan dengan semestinya, maka disiplin akan hilang. Oleh karena itu kepala sekolah harus dapat menanamkan disiplin terhadap dirinya sendiri dan pendidik beserta tenaga pendidik yang ada disekolah sehingga mempunyai tanggung jawab terhadap pekerjaan sesuai dengan wewenang yang ada padanya. Masalah pendidikan di Indonesia saat ini sangat terkait dengan prinsip disiplin, yaitu sikap mental para pengelola pendidikan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin. Yang dipimpin bergerak karena perintah atasan, bukan karena rasa tanggung jawab. Yang memimpin sebaliknya, tidak memberi kepercayaan, tidak memberi kebebasan berinisiatif, mendelegasikan wewenang.

4.      Kesatuan perintah (Unity of command)
Dalam melakasanakan pekerjaan bawahan harus memperhatikan prinsip kesatuan perintah sehingga pelaksanaan kerja dapat dijalankan dengan baik. Bawahan harus tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab sesuai dengan wewenang yang diperolehnya.

5.      Kesatuan pengarahan (Unity of direction)
Dalam melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya bawahan perlu diarahkan menuju sasarannya. Kesatuan pengarahan bertalian erat dengan pembagian kerja. Pelaksanaan kesatuan pengarahan (unity of direction) tidak dapat terlepas dari pembagian kerja, wewenang dan tanggung jawab, disiplin, serta kesatuan perintah.

6.      Mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri
Setiap pendidik dan tenaga pendidik harus mengabdikan kepentingan sendiri kepada kepentingan pendidikan. Hal semacam itu merupakan suatu syarat yang sangat penting agar setiap kegiatan berjalan dengan lancar sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik. Masalah pendidikan yang banyak terjadi di Indosenia terkait dengan kurangnya rasa memiliki pada para pelaksana pendidikan

7.      Penggajian pegawai
Gaji atau upah bagi pendidik dan tenaga pendidik merupakan kompensasi yang menentukan terwujudnya keberhasilan dalam pendidikan. Pendidik dan tenaga pendidik yang diliputi perasaan cemas dan kekurangan akan sulit berkonsentrasi terhadap tugas dan kewajibannya sehingga dapat mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam menjalan tugasnya sebagai penyelenggara pendidikan.

8.      Pemusatan (Centralization)
Pemusatan wewenang akan menimbulkan pemusatan tanggung jawab dalam suatu kegiatan. Tanggung jawab terakhir terletak pada orang yang memegang wewenang tertinggi jika dalam sekolah yaitu kepala sekolah. Pemusatan bukan berarti adanya kekuasaan untuk menggunakan wewenang, melainkan untuk menghindari kesimpangsiuran wewenang dan tanggung jawab. Pemusatan wewenang ini juga tidak menghilangkan asas pelimpahan wewenang (delegation of authority)

9.      Hirarki (tingkatan)
Pembagian kerja menimbulkan adanya atasan dan bawahan. Bila pembagian kerja ini mencakup area yang cukup luas akan menimbulkan hirarki. Hirarki diukur dari wewenang terbesar yang berada pada atasan dan seterusnya berurutan ke bawah.

10.  Ketertiban (Order)
Ketertiban dalam melaksanakan pekerjaan merupakan syarat utama karena pada dasarnya tidak ada orang yang bisa bekerja dalam keadaan kacau atau tegang..

11.  Keadilan dan kejujuran
Keadilan dan kejujuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keadilan dan kejujuran terkait dengan moral para pelaksana pendidikan dan tidak dapat dipisahkan.

12.  Stabilitas kondisi karyawan
Dalam penyelnggaraan penddidikan kestabilan pendidik dan tenaga pendidik harus dijaga sebaik-baiknya agar penyelanggaraan pendidikan berjalan dengan lancar. Kestabilan terwujud karena adanya disiplin kerja yang baik dan adanya ketertiban dalam kegiatan.

13.  Prakarsa (Inisiative)
Prakarsa timbul dari dalam diri seseorang yang menggunakan daya pikir. Prakarsa menimbulkan kehendak untuk mewujudkan suatu yang berguna bagi penyelesaian pekerjaan dengan sebaik-baiknya.

14.  Semangat kesatuan dan semangat korps
Setiap pelaksana pendidikan harus memiliki rasa kesatuan, yaitu rasa memiliki sehingga menimbulkan semangat kerja sama yang baik. Semangat kesatuan akan lahir apabila setiap pendidik dan tenaga pendidik mempunyai kesadaran bahwa penyelenggaraan pendidikan yang baik akan sangat berarti guna meningkatkan mutu pendidikan nasional.

3.4  Epistemologi Fungsi-fungsi Manajemen Pendidikan
Dalam proses manajemen pendidikan, terlibat beberapa fungsi pokok yang ditampilkan oleh manajemen pendidikan sesuai dengan pendapat H. Siagian (1977) yang mengungkapkan pandangan menurut G.R. Terry dimana terdapat empat fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Karena itu, manajemen pendidikan dapat diartikan sebagai proses merencana, mengorganisasi, memimpin, melaksanakan dan mengendalikan upaya pendidikan dengan segala aspeknya agar tujuan pendidikan tercapai secara efektif dan efisien.
Dalam bagian ini, penulis mengemukakan proses-proses tersebut sesuai dengan hakikat manajemen berbasis sekolah (MBS) yang adalah bentuk manajemen khusus dari manajemen pendidikan pada umumnya, yang diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia.

1.      Perencanaan (Planning)
Perencanaan dalam manajemen pendidikan merupakan sejumlah kegiatan yang ditentukan sebelumnya untuk dilaksanakan pada suatu periode tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan (Suryosubroto, 2004). Tujuan perencanaan dalam MBS adalah (1) memiliki standar pengawasan, (2) mengetahui pemetaan waktu pelaksanaan dan selesainya suatu kegiatan, (3) mengetahui subjek yang terlibat dalam kegiatan, (4) mendapatkan kegiatan yang sistematis, (5) meminimalkan kegiatan yang tidak produktif, (6) mendeteksi hambatan dan kesulitan yang ditemui, dan (7) mengarahkan pada pencapaian tujuan.
Perencanaan yang tepat akan memberikan beberapa manfaat positif, seperti:
a)      Sebagai standar pengawasan.
b)      Pemulihan sebagai alterbatif terbaik.
c)      Penyusunan skala prioritas, baik sasaran maupun kegiatan.
d)     Menghemat pemanfaatan sumber daya organisasi.
e)      Membantu manajer menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.
f)       Alat yang memudahkan dalam berkoordinasi dengan pihak terkait.
g)      Alat yang meminimalkan pekerjaan yang tidak pasti.
Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa proses perencanaan di sekolah harus dilaksanakan secara kolaboratif, yang melibatkan personel sekolah dalam semua tahap perencaan itu. Unsur partisipatif ini bertujuan membangkitkan perasaan memiliki bersama (sense of belonging), yang berpengaruh besar kepada para pendidik dan personel sekolah lainnya untuk berusaha agar rencana tersebut berhasil.
Perencanaan dalam MBS memiliki ranah edukatif, yang mencakupi perencanaan kurikulum, kemuridan, keuangan, prasarana dan sarana, kepegawaian, layanan khusus, hubungan masyarakat, proses belajar-mengajar (fasilitasnya), dan ketatausahan sekolah.
Seluruh perencanaan yang menyangkut lingkup-lingkup di atas hendaknya memperhatikan beberapa hal, yakni
a)      Waktu pelaksanaan baik perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
b)      Sumber perencanaan baik yang berasal dari bawah (misalnya mulai dari para guru, kepala sekolah, kantor Dinas Pendidikan Nasional tingkat kabupaten, kantor Dinas Pendidikan Nasional tingkat propinsi, dan kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) maupun yang berasal dari atas (misalnya mulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sampai kepada para guru).
c)      Besarnya perencanaan, baik perencanaan makro – suatu perencanaan pada tingkat nasional atau tingkat departemen, yaitu pada tingkat direktorat jenderal, direktorat atau propinsi sampai tingkat kantor departemen kabupaten – maupun perencanaan mikro, yaitu yang dilaksanakan pada tingkat sekolah atau kelas.
d)     Pendekatannya, baik yang bersifat terpadu – yang menyatukan semua sumber untuk mencapai tujuan – maupun yang bersifat parsial, yang memperhatikan sumber secara terpisah-pisah untuk tujuan tertentu.
e)      Pelakunya, baik perencanaan individual  (yang dilakukan guru secara individu), perencanaan kelompok, maupun perencanaan lembaga (yang berlaku dan dibuat oleh sekolah).

2.      Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian berkaitan dengan kegiatan pengaturan sumber daya manusia dan sumber daya fisik lain yang dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan untuk menjalankan rencana yang telah ditetapkan dan mencapai tujuannya. Pengorganisasian merupakan keseluruhan proses untuk memilih dan memilah orang-orang (pendidik dan personal sekolah lainnya) serta mengalokasikan sarana dan prasarana untuk menunjang tugas orang-orang itu dalam rangka mencapai tujuan sekolah.
Aspek pengorganisasian MBS mengacu pada proses perencanaan dan pengembangan suatu organisasi, pengelompokan kegiatan, penguasaan tanggung jawab tertentu, pendelegasian wewenang yang diperlukan untuk individu-individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Ada tiga komponen penting  yang terkandung dalam aspek pengorganisasian suatu lembaga pendidikan, yakni  kerja sama,  subjek/pelaksana, dan tujuan bersama . Aspek pengorganisasian penting dalam MBS karena bermanfaat, antara lain:
a)      Mengatasi terbatasnya kemampuan, kemauan, dan sumber daya yang dimiliki.
b)      Untuk mencapai tujuan yang lebih efektif dan efisien.
c)      Wadah memanfaatkan sumber daya yang dimiliki secara bersama-sama.
d)     Wadah mengembangkan potensi dan spesialisasi yang dimiliki seseorang.
e)      Wadah mendapatkan jabatan dan pembagian kerja.
f)       Wadah mencari keuntungan bersama.
g)      Wadah mengelola lingkungan bersama-sama.
h)      Wadah menggunakan kekuasaan dan pengawasan
i)        Wadah mendapatkan penghargaan.
j)        Wadah memenuhi kebutuhan manusia.
k)      Wadah menambah pergaulan.

3.      Pelaksanaan (Actuating)
Didalam pelaksanaan MBS terdapat fungsi pengarahan dimanafungsi ini merupakan salah satu fungsi penting dari kepemimpinan manajer (kepala sekolah) untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja secara maksimal serta menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan dinamis.
Pengarahaan merupakan suatu usaha menjaga dan mengawasi pelaksanaan atas rencana yang telah ditetapkan agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pengarahaan dapat diidentikkan dengan penjelasan, petunjuk serta pertimbangan dan bimbingan terhadap para petugas yang terlibat, baik secara struktural maupun fungsional agar pelaksanaan tugas dapat berjalan dengan lancar.
Pengarahan berkaitan dengan implementasi dari perencanaan sekolah, yaitu pelaksanaan. Pelaksanaan dalam program sekolah sangat tergantung pada dua hal, yaitu kepemimpinan, dan motivasi kerja semua komponen dalam sekolah. Antara pemimpin dan pelaksana mempunyai tugas dan bertanggung jawab masing-masing atas tugasnya.

4.      Pengendalian (Controlling)
Fungsi kontrol (pengawasan pendidikan) sangat penting, karena erat kaitannya dengan pelaksanaan dan hasil yang diharapkan oleh sistem pendidikan. Fungsi kontrol pendidikan tetap mengacu dalam tiga hal, yakni berfungsi sebagai sensor, komparator, dan activator. Pada fungsi sensor, kontrol pendidikan itu mendayagunakan rencana pendidikan sebagai ukuran yang dimaksudkan untuk mengukur pelaksanaan dan keberhasilan suatu rencana pendidikan.
Pada fungsi komparator bermaksud membandingkan antara hasil pengukuran dan perencanaan pendidikan yang telah dikembangkan sebelumnya. Fungsi activator dimaksudkan untuk mengarahkan tindakan manajerial bilamana terjadi suatu perubahan dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Sistem kontrol pendidikan juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.             Apakah kontrol itu dilakukan secara terbuka atau secara tertutup? Kontrol yang dilakukan secara terbuka berarti dapat melibatkan semua orang di lingkungan organisasi dan konsekuensinya semua informasi perlu ditampung dan diperhatikan. Kontrol secara tertutup keterlibatan hanya dibatasi pada pihak-pihak terkait saja dan umumnya tidak menyelusuri semua dimensi organisasi pendidikan. Kedua cara ini sesungguhnya dapat dilakukan secara berbarengan.
b.             Apakah kontrol pendidikan dilakukan oleh manusia atau oleh mesin (alat elektronik misalnya). Sistem manajemen pendidikan yang telah berkembang dewasa ini memungkinkan penggunaan kedua sistem tersebut, yakni dilakukan oleh manusia dan menggunakan alat yang canggih.
c.             Apakah kontrol dilaksanakan terhadap efektivitas dan efisiensi organisasi atau terhadap hasil operasionalisasi sistem pendidikan. Kedua bentuk kontrol tersebut seyogyanya dilaksanakan dalam sistem manajemen pendidikan, karena pada dasarnya antara kegiatan organisasi pendidikan dan keberhasilan yang dicapai dalam pelaksanaan harian bersifat saling terkait dan  perlu dilaksanakan secara berkesinambungan.
Pengendalian yang disebut juga pengawasan atau controlling. Tujuannya adalah:
1.      Menghentikan atau meniadakan masalah, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidakadilan.
2.      Mencegah terulangnya kembali kesalahan penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidakadilan.
3.      Menciptakan cara yang lebih baik untuk membina yang telah baik.
4.      Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi dan akuntabilitas organisasi.
5.      Meningkatkan kelancaran operasi organisasi.
6.      Memberikan opini atas kerja organisasi.
7.      Menciptakan terwujudnya pemerintahan yang bersih




























BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
Pendidikan, sebagai salah satu dari serangkaian persoalan yang melekat di  dalam  kehidupan  manusia  dapat  dianalisis  secara  sistematis,  integral,  menyeluruh, mendasar  dan  objektif  melalui  kajian  filsafat.
Landasan epistemologi manajemen pendidikan berkaitan dengan asal-usul munculnya manajemen pendidikan dan proses pencapaian tujuan pendidikan. Manajemen pendidikan muncul dari keprihatinan atas rendahnya mutu pendidikan pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya.
Manajemen pendidikan, yang dalam konteks Indonesia dikenal dengan nama Manajemen Berbasis Sekolah merupakan bentuk pembaruan manajemen pendidikan yang menekankan aspek desentralisasi dan otonomi pendidikan. Manajemen ini berproses dalam prinsip-prinsip dan fungsi-fungsi manajemen.
Prinsip-prinsip manajemen adalah dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah manajemen. Prinsip-prinsip manajemen diantaranya adalah pembagian kerja, pemberian wewenang dan tanggung jawab, disiplin,  kesatuan komando atau perintah, kesatuan arahan, mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri, pemberian kesejahteraan atau gaji pegawai, hirarki, keadilan dan kejujuran, stabilitas kondisi karyawan, prakarsa(inisiatif), semangat kesatuan atau kesatuan korps. Adapun fungsi pokok manajemen pendidikan yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pembinaan. Manajemen pendidikan dibuat untuk mencapai suatu tujuan pendidikan, secara umum dapat dijabarkan dalam tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

4.2  Saran
Dengan adanya manajemen pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, sehingga tujuan pendidikan nasional dapat terwujud dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Dengan begitu akan tercipta suasana kehidupan yang lebih sejahtera dan stabil.


DAFTAR PUSTAKA

Fattah, Nanang. 2009. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Jalil, Y. Harri. 2009.  “Manajemen Berbasis Sekolah”. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pidarta, Made. 2000. Landasan kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
____________. 2009. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Sagala,  Syaiful.  (2005). Konsep  dan  Makna  Pembelajaran .  Bandung:  CV. Alfabeta
Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Surajiyo. 2008.Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu & Perkembangan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu – Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Suriasumantri, Jujun S.2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Susanto, A. 2011. Filsafat ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta:Bumi Aksara
Tilaar, H.A.R, 2006. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT Rineka Cipta: Jakarta.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang: Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Jakarta: Depdiknas.
http://kbbi.web.id/didik. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam jaringan)
Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).



[1] http://kbbi.web.id/didik. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam jaringan)  hlm : pencarian – kata dasar - didik
[2] Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT Rineka Cipta: Jakarta, hlm.4
[3] Susanto, A. 2011. Filsafat ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta:Bumi Aksara, hlm.136
[4] 2009. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, hlm.77
[5] Surajiyo. 2008.Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, hlm.26
[6] Suriasumantri, Jujun S.2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm.119
[7] Fattah, Nanang. 2009. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm.1
[8] Jalil, Y. Harri. 2009.  “Manajemen Berbasis Sekolah”, Bahan Kuliah. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, hlm.10
[9] Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang: Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Jakarta: Depdiknas, BAB I, Ketentuan Umum Pasal 1, hlm.1
[10] Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta, hlm.16
[11] Pidarta, Made. 2000. Landasan kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, hal.151-152
[12] Tilaar, H.A.R, 2006. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm.4
[13] Sagala,  Syaiful.  (2005). Konsep  dan  Makna  Pembelajaran .  Bandung:  CV. Alfabeta, hlm.27
[14] Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm.19
[15] Jalil, Y. Harri. 2009.  “Materi Kuliah Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat”, Ms (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2009), hal.20.
[16] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal.26
[17] Jalil, Op.Cit., hal. 1
[18] Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang: Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Jakarta: Depdiknas.
 

Tidak ada komentar:

Persyaratan Hak & Kewajiban Guru

BAB I PENDAHULUAN A.       LATAR BELAKANG MASALAH Di dalam   masyarakat tedapat bermacam-macam pekerjaan, seperti dokter, penga...