BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pendidikan mempunyai peran yang amat
menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi
pembangunan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung pada cara
kebudayaan tersebut mengenali, menghargai dan memanfaatkan sumber daya manusia
(SDM) dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan
kepada anggota masyarakatnya, kepada peserta didik.
Tujuan pendidikan pada umumnya adalah
menyediakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan
bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan
berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan
masyarakat. Setiap orang mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, oleh
karena itu membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula.
Di Indonesia, pendidikan diarahkan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Masa Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis,
serta bertanggung jawab.
Pengelolaan dunia pendidikan yang baik,
diharapkan mampu mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan pengajar dan peserta didik.
Sebab tanpa adanya manajemen pendidikan yang baik, maka akan menghambat proses
transfer ilmu dari pendidik ke peserta didik. Disini ada suatu problematika
yang kompleks, antara pengelolaan (management)
dan pengembangan (development)
pendidikan.
Pendidikan, sebagai salah satu dari
serangkaian persoalan yang melekat di
dalam kehidupan manusia
dapat dianalisis secara
sistematis, integral, menyeluruh, mendasar dan
objektif melalui kajian
filsafat.
Sebagaimana dikemukakan
seorang filsuf dari Amerika, John
Dewey “filsafat itu merupakan teori umum
dari pendidikan, atau filsafat merupakan landasan dari semua pemikiran mengenai
pendidikan” Tugas filsafat adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan
menyelidiki faktor-faktor realita dan pengalaman yang banyak terdapat dalam
dunia pendidikan. Filsafat membantu
memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan.
Hal itu disebabkan karena tidak
semua masalah pendidikan bisa dipecahkan dengan menggunakan metode ilmiah
semata. Banyak di antara masalah-masalah pendidikan tersebut yang merupakan
pertanyaan-pertanyaan filosofis, yang memerlukan pendekatan filosofis pula
dalam pemecahannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Proses pendidikan
adalah proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan dari proses
pekembangan tersebut secara alamiah adalah
kedewasaan, kematangan dari
kepribadian manusia. [1]
Dalam upaya mencapai tujuannya secara
efektif dan efisien, pendidikan
membutuhkan fungsi manajemen. Suharsimi Arikunto
(2010: 4) menjelaskan :[2]
“manajemen pendidikan
adalah serangkaian kegiatan yang
berupa proses pengelolaan
usaha kerjasama sekelompok
manusia yang bergabung dalam
organisasi pendidikan, untuk
mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan sebelumnya,
agar efektif dan efisien.”
Sejatinya bidang manajemen
pendidikan memiliki prinsip serta
objek kajian fungsi manajemen dalam
kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan dan penilaian
pendidikan dalam upaya
mencapai tujuan pendidikan
secara efektif.
Pada kajian ini bermaksud mengetahui
prinsip dan fungsi manajemen pendidikan ditinjau dari ilmu filsafat. Tinjauan
filsafat yang dimaksud difokuskan pada tinjauan
epistemologi. Substansinya epistemologi pendidikan adalah filsafat
tentang sumber-sumber pendidikan dan seluk-beluk pendidikan. Secara epistemologi,
landasan pendidikan mengacu pada fitrah sebagai dasar pengembangan
dan inovasi pendidikan yang berkarakter, karena pendidikan
yang berkarakter selalu bertolak dari aspek-aspek kemanusiaan.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
diatas, adapun yang menjadi pokok permasalahan penulisan ini antara lain:
1. Apa
landasan epistemologi manajemen pendidikan?
2. Apa
landasan epistemologi prinsip.prinsip manajemen pendidikan?
3. Apa
landasan epistemologi fungsi-fungsi manajemen pendidikan?
1.3
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan, secara garis besar dan tersusun yang disesuaikan dengan
rumusan masalah, adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui epistemologi manajemen pendidikan
2. Untuk
mengetahui epistemologi prinsip-prinsip manajemen pendidikan
3. Untuk
mengetahui epistemologi fungsi-fungsi manajemen pendidikan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Pengertian
Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani,
yang terdiri dari dua kata yaitu episteme,
yang berarti pengetahuan (knowledge)
dan logos yang berarti pikiran, teori
atau ilmu. Jadi epistemologi berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan
atau ilmu pengetahuan. Istilah lain juga biasa digunakan, yaitu teori
pengetahuan (theory of knowledge) atau
filsafat pengetahuan (philosophy of
knowledge) (Susanto, 2001:136).[3]
Menurut
Pidarta (2009:77)[4]
epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran.
Sementara Surajiyo (2008:26) mengemukakan bahwa epistemologi adalah bagian filsafat
yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan kesahihan pengetahuan.[5]
William
S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian (dalam Suriasumantri, 2007:119)
menjelaskan:
“epistemologi merupakan pembahasan mengenai
bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan?
Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pegetahuan? Apakah manusia
dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang
mungkin untuk ditangkap manusia”[6]
Dari
berbagai pendapat ahli diatas dapat disimpulkan dengan bahasa sederhana bahwa
epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar.
2.2
Pengertian
Manajemen
Menurut
asal katanya, Management berasal dari
kata latin yaitu “manus” yang artinya “to control by hand” atau “gain result”. Kata manajemen mungkin juga berasal dari bahasa
Italia maneggiare yang berarti
“mengendalikan,” Kata ini mendapat pengaruh dari bahasa Perancis manège yang berarti “kepemilikan kuda”
(yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti seni mengendalikan kuda), dimana
istilah Inggris ini juga berasal dari bahasa Italia. Bahasa Prancis lalu
mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.
Menurut
Fattah (2009:1) dalam bukunya Landasan Manajemen Pendidikan menjelaskan bahwa:[7]
“Pengertian
manajemen dapat dilihat dalam tiga hal, yakni pertama manajemen sebagai ilmu karena manajemen
merupakan bidang pengetahuan yang secara sistematik menelaah alasan dan cara
orang membangun kerja sama. Kedua, manajemen sebagai kiat atau seni untuk
mencapai tujuan melalui cara-cara dengan mengatur orang lain dalam menjalankan
tugas. Ketiga, manajemen sebagai profesi dalam arti manajemen dilandasi oleh
keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer, dan para profesional
dituntun oleh suatu kode etik”
Secara umum, manajemen dapat diartikan sebagai
pengelolaan suatu pekerjaan untuk memperoleh hasil dalam rangka pencapaian
tujuan yang telah ditentukan dengan jalan menggerakan orang-orang untuk
bekerja.
Manajemen selalu berkaitan dengan proses mengarahkan,
mengkoordinasikan, dan mempengaruhi operasional organisasi untuk memperoleh
hasil yang diinginkan, serta meningkatkan performa organisasi secara
keseluruhan (Jalil, 2009:10).[8]
Pengertian ini menekankan bahwa lingkup tugas manajemen meliputi
proses perencanaan, pengorganisasian, pengisian staf, pemimpinan dan
pengontrolan untuk optimasi penggunaan sumber-sumber dan pelaksanaan tugas-tugas
dalam mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
2.3
Pengertian
Pendidikan
Definisi dan pengertian pendidikan menurut para ahli pada
hakekatnya adalah suatu proses pembentukan perilaku manusia secara intelektual
untuk menguasai ilmu pengetahuan, secara emosional untuk menguasai diri dan
secara moral sebagai pendalaman dan penghayatan nilai-nilai budaya yang tumbuh
dan berkembang di masyarakat.
Secara etimologi pendidikan berasal dari kata “educare” dalam bahasa latin yang
bermakna melatih atau mengajarkan. Educare
berasal dari kata ex dan ducare, yang berarti memimpin. Jadi
pendidikan adalah suatu proses pelatihan dimana terdapat dua subyek yang saling
berhubungan, yaitu yang satu memimpin dan yang satunya lagi dipimpin.
Berkaitan dengan pendidikan, ada banyak pandangan yang diberikan.
Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan
diartikan sebagai:
“Usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketermpilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” [9]
Sedangkan Ki Hajar Dewantara (1889-1959) menyatakan bahwa: “Pendidikan merupakan
tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan
dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”
Sementara Soekidjo Notoatmodjo (2003 : 16) menjelaskan bahwa
pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain
baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan
oleh pelaku pendidikan.[10]
Mengingat pendidikan itu sangat penting bagi perwujudan eksistensi
dan esensi manusia, maka pendidikan harus dimiliki dan dikembangkan oleh setiap
individu. Hal ini telah mendorong manusia untuk memikirkan suatu manajemen
pendidikan yang berkualitas agar tujuan tersebut dapat dicapai.
2.4
Pengertian
Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan secara sederhana didefinisikan
sebagai suatu cara pengelolaan sumberdaya pendidikan meliputi segala aspek yang
berhubungan dengan pendidikan. Pengelolaan bertujuan untuk peningkatan kualitas
pendidikan serta pencapaian pendidikan itu sendiri.
Akan tetapi terdapat beberapa definisi yang
diberikan oleh ahli mengenai manajemen pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut.
Manajemen Pendidikan menurut Pidarta (2000)
diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat
dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya.[11]
Menurut
Tilaar (2001:4) manajemen pendidikan adalah suatu kegiatan yang
mengimplementasikan perencanaan dan rencana pendidikan.[12]
Sementara Sagala (2005:27) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan adalah
penerapan ilmu manajemen dalam dunia pendidikan atau sebagai penerapan
manajemen dalam pembinaan, pengembangan, dan pengendalian usaha dan
praktek-praktek pendidikan.[13]
Manajemen
pendidikan juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan
pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik
tujuan jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang (Mulyasa, 2002:19)[14]
Mengadaptasi
pengertian manajemen dari para ahli dapat dikemukakan bahwa manajemen
pendidikan adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengawasan serta penilaian (evaluasi) usaha pendidikan agar mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa Manajemen pendidikan adalah suatu penataan bidang
garapan pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas perencanaan,
pengorganisasian, penyusunan staf, pembinaan, pengkoordinasian,
pengkomunikasian, pemotivasian, penganggaran, pengendalian, pengawasan,
penilaian dan pelaporan secara sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan
secara berkualitas/bermutu.
Manajemen
pendidikan lebih menekankan pada upaya seorang pemimpin dalam menggerakkan
bawahan mengelola sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan pendidikan
secara efisien dan efektif. Pengertian ini lebih bersifat operasional yang
mengarah kepada pemanfaatan sumber daya yang tersedia dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan.
2.5
Prinsip
Manajemen Pendidikan
Prinsip-prinsip
manajemen pendidikan adalah dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari
keberhasilan sebuah pendidikan. Menurut Henry Fayol. seorang industrialis asal
Perancis, prinsip-prinsip dalam manajemen sebaiknya bersifat lentur dalam arti
bahwa perlu di pertimbangkan sesuai dengan kondisi-kondisi khusus dan
situasi-situasi yang berubah.
Prinsip
- prinsip umum manajemen menurut Henry Fayol terdiri dari empat belas prinsip,
antara lain:
1. Pembagian
kerja (Division of work)
2. Wewenang
dan tanggung jawab (Authority and
responsibility)
3. Disiplin
(Discipline)
4. Kesatuan
perintah (Unity of command)
5. Kesatuan
pengarahan (Unity of direction)
6. Penggajian
pegawai
7. Pemusatan
(Centralization)
8. Hirarki
(tingkatan)
9. Ketertiban
(Order)
10. Keadilan
dan kejujuran
11. Stabilitas
kondisi karyawan
12. Prakarsa
(Inisiative)
13. Semangat
kesatuan dan semangat korps
2.6
Fungsi-fungsi
Manajemen Pendidikan
Manajemen
pendidikan mempunyai fungsi yang terpadu dengan proses pendidikan khususnya
dengan pengelolaan proses pembelajaran. Dalam hubungan ini, terdapat beberapa
fungsi manajemen pendidikan.
Berkenaan
dengan fungsi-fungsi manajemen ini, menurut G.R. Terry terdapat empat fungsi
manajemen, yaitu:
1. Planning
(perencanaan);
Perencanaan
tidak lain merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai beserta
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
2. Organizing
(pengorganisasian);
Pengorganisasian
adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara
orang-orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efisien, dan memperoleh
kepuasan pribadi dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu, dalam kondisi
lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu
3. Actuating
(pelaksanaan); dan
Pelaksanaan
adalah usaha menggerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga
mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan dan sasaran
anggota-anggota kelompok tersebut oleh karena para anggota itu juga ingin
mencapai sasaran-sasaran tersebut.
4. Controlling
(pengawasan).
pengawasan
merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk mengendalikan agar pelaksanaan
dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan apakah tujuan organisasi
tercapai. Apabila terjadi penyimpangan di mana letak penyimpangan itu dan
bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
3.1
Epistemologi
Manajemen Pendidikan
Dasar
epistemologis diperlukan dalam manajemen pendidikan atau pakar ilmu pendidikan
demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun
pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun
telaah atas objek formil ilmu manajemen pendidikan memerlukaan pendekatan epistemologis
yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif- epistemologis.
Pendekaatan
epistemologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri
peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu
penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai
pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak
hanya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, dalam Umaedi:
1999)
Dalam
hubungan dengan manajemen pendidikan, landasan epistemologi menelaah sejarah
munculnya manajemen pendidikan, prinsip dan proses pencapaian tujuan manajemen
pendidikan, yang berupa fungsi manajemen pendidikan meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan (motivasi, kepemimpinan, pengambilan keputusan,
komunikasi, koordinasi, dan negoisasi serta pengembangan organisasi) dan
pengendalian (pemantauan, penilaian, dan pelaporan) (Jalil, 2009).[15]
3.2
Sejarah
Manajemen Pendidikan terkait Epistemologi Manajemen Pendidikan
Salah
satu aspek telaah epistemologi terhadap manajemen pendidikan adalah historisitas
manajemen pendidikan. Aspek ini membicarakan sejarah lahirnya manajemen
pendidikan, yang di dalamnya terkandung pelbagai alasan dan kebutuhan akan
pentingnya manajemen pendidikan yang memperhatikan semua komponen yang terlibat
dalam penyelenggaraan pendidikan, dengan menekankan unsur desentralisasi dan
otonomi pendidikan.
Manajemen
pendidikan pertama-tama lahir di Amerika Serikat, yang ditandai oleh perjuangan
sebagian besar guru untuk memperbaiki nasibnya. Dari hal yang sederhana ini,
kemudian dibentuk Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association, NEA) pada tahun 1875. Pada tahun
1887, para guru di New York membentuk sebuah asosiasi kepentingan bersama. Pada
tahun 1903, para guru di Philadelphia membentu organisasi Asosiasi Guru-Guru
Philadelphia (Philadelphia Teachers
Association). Melalui asosiasi inilah para guru berjuang untuk meningkatkan
martabat hidupnya, yang hasilnya antara lain para guru memperoleh gaji yang
lebih baik (Danim, 2008)[16]
Di
Atlanta, para guru membentuk Persatuan Guru-Guru Sekolah Publik Atlanta.
Persatuan ini dibentuk untuk menghadapi tekanan dari dewan kota. Akhirnya,
dewan kota memberikan dana yang lebih banyak untuk pendidikan.
Kemudian
guru-guru League, yang dipelopori oleh tokoh sosialis seperti Henry Linville,
John Dewey, membentuk sebuah asosiasi yang sekadar membicarakan persoalan
ekonomi. Tujuannya adalah memberi pilihan bagi para guru dalam menentukan
kebijakan sekolah (school policy)
untuk memperoleh wakil di pentas pendidikan di New York, membantu
masalah-masalah sekolah, membersihkan politik Amerika Serikat dari penyimpangan
keputusan, dan meningkatkan kebebasan diskusi publik dari masalah-masalah
pendidikan.
Drucker
mengemukakan bahwa manajemen pendidikan sesungguhnya lahir dari keprihatinan
terhadap dunia individu, yang dipicu oleh faktor internal dan eksternal dunia
pendidikan yang berdampak pada rendahnya mutu output pendidikan. Drucker mengatakan bahwa ada beberapa alasan
munculnya manajemen pendidikan yang bersifat reformatif, yakni:
1. Kondisi-kondisi
dunia pendidikan yang tidak diharapkan, seperti mutu pelayanan pendidikan di
sekolah yang rendah, pengelolaan dana pendidikan yang tidak efisien, proses
promosi guru yang berjalan lamban, dan sebagainya. Ekses ini muncul akibat
manajemen tidak dikelola secara profesional.
2. Munculnya
ketidakwajaran selama proses pendidikan di sekolah atau pada hasil yang
dicapai. Prosedur birokrasi kepegawaian yang lamban, rekruitmen kepala sekolah
secara amatiran, komunitas sekolah yang tidak kreatif, merupakan contoh
ketidakwajaran itu. Ketidakwajaran ini mendorong para pembaru untuk mencari
alternatif manajemen pendidikan baru.
3. Kebutuhan
yang muncul dalam proses, yang menuntut partisipasi semua pihak terkait dalam
pendidikan.
4. Perubahan
struktur organsisasi dan jenis tenaga yang diperlukan oleh pasar tenaga kerja
merupakan salah satu sumber inspirasi bagi kepala sekolah untuk membuat keputusan
inovatif di lembaganya. Keputusan ini member tekanan kuat terhadap perubahan
kurikulum dan strategi proses belajar-mengajar, misalnya dari kecenderungan
pengajaran teoretis ke pelatihan yang bersikap praktis. Di negara-negara
sentralistik, kekuatan kepala sekolah untuk membuat keputusan relatir terbatas.
Adanya manajemen pendidikan yang
reformatif dan inovatif, yakni MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), memungkinkan adanya perubahan
struktural secara signifikan dalam skema pengelolaan sekolah.
5. Variasi
kondisi demografis membuat variasi
terhadap perilaku kepala sekolah di daerah masing-masing. Contohnya, di
sekolah-sekolah tradisional yang tidak memiliki fasilitas penerangan, misalnya,
kepala sekolah tidak akan pernah memikirkan upaya menghimpun dana untuk membeli
overhead projector atau televise
dalam rangka membantu kelancaran proses belajar-mengajar.
6. Inovasi
yang bersumber dari perubahan persepsi, suasana, dan makna umumnya disebabkan
oleh penerimaan dan penafsiran individu atas informasi yang diterimanya dari
lingkungan. Informasi ini dapat diperoleh melalui media massa.
Dalam kaitan dengan prakarsa
manajemen pendidikan berbasis sekolah, sebagai sebuah bentuk reformasi
manajemen pendidikan, ada upaya besar untuk mengarahkan pendidikan pada sifat
yang desentralisasi. Menurut Bailey, di Amerika Serikat, misalnya, sejak tahun
1960-an hingga tahun 1990-an, secara prinsip telah berjalan “empat generasi”
gerakan reformasi manajemen pendidikan. dari “empat generasi” gerakan reformasi
tersebut, semuanya menjurus kepada desentralisasi hingga sampai pada istilah
yang disebut sebagai manajemen pendidikan berbasis sekolah (MBS).
Di Indonesia, munculnya manajemen
pendidikan berbasis sekolah dilatarbelakangi oleh persoalan mendasar rendahnya
mutu pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia.[17] Kualitas lulusan pendidikan formal sangat
ditentukan oleh sumber daya pendidik, manajemen sumber daya manusia dan
manajemen pendidikan, kurikulum, fasilitas dan faktor-faktor pendukung lainnya
yang terlibat dalam proses pembelajaran di sekolah.
Ada berbagai upaya yang telah
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, misalnya
pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui
pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana
dan prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah.
MBS lahir untuk menjawab berbagai
persoalan dunia pendidikan dan tuntutan masyarakat akan kualitas output. Dilihat dari perjalanannya, kebijakan
manajemen pendidikan berbasis sekolah di Indonesia secara relatif
sungguh-sungguh baru dimulai sejak tahun 1999/2000, yaitu dengan peluncuran
dana bantuan yang disebut dengan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM).
Dana bantuan ini disetor langsung
ke rekening sekolah. Memasuki tahun anggaran 2003, dana BOMM diubah namanya
menjadi Dana Rintisan Untuk MPMBS, khususnya untuk Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama. Program ini sejalan dengan implementasi dari UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah di bidang pendidikan dan UU Nomor 25 Tahun 2000 Tentang
Program Pembangunan Nasional.
Menurut UU Nomor 25 Tahun 2000
tersebut, MBS dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya dalam UU Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional[18],
dinyatakan dalam pasal 50 dan 51 bahwa pengelolaan pendidikan dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah/madrasah.
Dalam manajemen pendidikan seperti
ini, pengelolaan pendidikan dijalankan dengan prinsip otonomi, akuntabilitas,
jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
Konsep manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
1.
Mensosialisasikan
konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada
masyarakat.
2.
Memperoleh masukan agar
konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan
kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi
masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
3.
Menambah wawasan
pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli
terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
4.
Memotivasi masyarakat
sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada
sekolah masing – masing.
5.
Menggalang kesadaran
masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan
peningkatan mutu pendidikan.
6.
Memotivasi timbulnya
pemikiran-pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari
individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses
pembangunan tersebut.
7.
Menggalang kesadaran
bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen
masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus)
pada tataran sekolah.
8.
Mempertajam wawasan bahwa
mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan
target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi
sekolah kedepan
3.3
Epistemologi
Prinsip-prinsip Manajemen Pendidikan
Untuk
menjamin keberhasilan sebuah keberhasilan dalam pendidikan maka manajemen berbasis
sekolah haruslah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen pendidikan.
Prinsip-prinsip
manajemen pendidikan adalah dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari
keberhasilan sebuah pendidikan Prinsip-prinsip manajemen pendidikan dapat
diadaptasi dari prinsip-prinsip manajemen.
Menurut
Henry Fayol, prinsip-prinsip dalam manajemen sebaiknya bersifat lentur dalam
arti bahwa perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi khusus dan situasi yang
berubah-rubah. Prinsip – prinsip umum manajemen menurut Henry Fayol terdiri
dari:
1. Pembagian
kerja (Division of work)
Pembagian
kerja harus disesuaikan dengan kemampuan dan keahlian sehingga pelaksanaan
kerja berjalan efektif. Oleh karena itu, kepala sekolah selaku manajer
disekolah dalam penempatan pendidik dan tenaga pendidik harus menggunakan
prinsip the right man in the right place.
Pembagian kerja harus rasional/objektif, bukan emosional subyektif yang
didasarkan atas dasar like and dislike.
Dengan adanya prinsip orang yang tepat ditempat yang tepat (the right man in the right place) akan
memberikan jaminan terhadap kestabilan, kelancaran dan efesiensi kerja pada
dunia pendidikan. Pembagian kerja yang baik merupakan kunci bagi penyelengaraan
pendidikan. Kecerobohan dalam pembagian kerja akan berpengaruh kurang baik dan
mungkin menimbulkan kegagalan dalam penyelenggaraan pendidikan, oleh karena
itu, seorang kepala sekolah yang berpengalaman akan menempatkan pembagian kerja
sebagai prinsip utama yang akan menjadi titik tolak bagi prinsip-prinsip
lainnya.
2. Wewenang
dan tanggung jawab (Authority and
responsibility)
Setiap
pendidik dan tenaga pendidik dilengkapi dengan wewenang untuk melakukan
pekerjaan dan setiap wewenang melekat atau diikuti pertanggungjawaban. Wewenang
dan tanggung jawab harus seimbang. Tanggung jawab terbesar terletak pada kepala
sekolah. Kegagalan penyenggaraan pendidikan sejatinya bukan terletak pada
pendidik atau tenaga pendidik, tetapi terletak pada puncak pimpinannya yaitu
kepala sekolah karena yang mempunyai wewemang terbesar dalam sekolah adalah kepala
sekolah. oleh karena itu, apabila kepala sekolah tidak mempunyai keahlian dan
kepemimpinan, maka wewenang yang ada padanya merupakan bumerang.
3. Disiplin
(Discipline)
Disiplin
merupakan perasaan taat dan patuh terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung
jawab. Disiplin ini berhubungan erat dengan wewenang. Apabila wewenang tidak
berjalan dengan semestinya, maka disiplin akan hilang. Oleh karena itu kepala
sekolah harus dapat menanamkan disiplin terhadap dirinya sendiri dan pendidik
beserta tenaga pendidik yang ada disekolah sehingga mempunyai tanggung jawab
terhadap pekerjaan sesuai dengan wewenang yang ada padanya. Masalah pendidikan
di Indonesia saat ini sangat terkait dengan prinsip disiplin, yaitu sikap
mental para pengelola pendidikan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin. Yang
dipimpin bergerak karena perintah atasan, bukan karena rasa tanggung jawab.
Yang memimpin sebaliknya, tidak memberi kepercayaan, tidak memberi kebebasan
berinisiatif, mendelegasikan wewenang.
4. Kesatuan
perintah (Unity of command)
Dalam
melakasanakan pekerjaan bawahan harus memperhatikan prinsip kesatuan perintah
sehingga pelaksanaan kerja dapat dijalankan dengan baik. Bawahan harus tahu
kepada siapa ia harus bertanggung jawab sesuai dengan wewenang yang
diperolehnya.
5. Kesatuan
pengarahan (Unity of direction)
Dalam
melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya bawahan perlu diarahkan menuju
sasarannya. Kesatuan pengarahan bertalian erat dengan pembagian kerja.
Pelaksanaan kesatuan pengarahan (unity of
direction) tidak dapat terlepas dari pembagian kerja, wewenang dan tanggung
jawab, disiplin, serta kesatuan perintah.
6. Mengutamakan
kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri
Setiap
pendidik dan tenaga pendidik harus mengabdikan kepentingan sendiri kepada
kepentingan pendidikan. Hal semacam itu merupakan suatu syarat yang sangat
penting agar setiap kegiatan berjalan dengan lancar sehingga tujuan dapat
tercapai dengan baik. Masalah pendidikan yang banyak terjadi di Indosenia
terkait dengan kurangnya rasa memiliki pada para pelaksana pendidikan
7. Penggajian
pegawai
Gaji
atau upah bagi pendidik dan tenaga pendidik merupakan kompensasi yang
menentukan terwujudnya keberhasilan dalam pendidikan. Pendidik dan tenaga
pendidik yang diliputi perasaan cemas dan kekurangan akan sulit berkonsentrasi
terhadap tugas dan kewajibannya sehingga dapat mengakibatkan ketidaksempurnaan
dalam menjalan tugasnya sebagai penyelenggara pendidikan.
8. Pemusatan
(Centralization)
Pemusatan
wewenang akan menimbulkan pemusatan tanggung jawab dalam suatu kegiatan.
Tanggung jawab terakhir terletak pada orang yang memegang wewenang tertinggi
jika dalam sekolah yaitu kepala sekolah. Pemusatan bukan berarti adanya
kekuasaan untuk menggunakan wewenang, melainkan untuk menghindari
kesimpangsiuran wewenang dan tanggung jawab. Pemusatan wewenang ini juga tidak
menghilangkan asas pelimpahan wewenang (delegation
of authority)
9. Hirarki
(tingkatan)
Pembagian
kerja menimbulkan adanya atasan dan bawahan. Bila pembagian kerja ini mencakup
area yang cukup luas akan menimbulkan hirarki. Hirarki diukur dari wewenang
terbesar yang berada pada atasan dan seterusnya berurutan ke bawah.
10. Ketertiban
(Order)
Ketertiban
dalam melaksanakan pekerjaan merupakan syarat utama karena pada dasarnya tidak
ada orang yang bisa bekerja dalam keadaan kacau atau tegang..
11. Keadilan
dan kejujuran
Keadilan
dan kejujuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Keadilan dan kejujuran terkait dengan moral para pelaksana
pendidikan dan tidak dapat dipisahkan.
12. Stabilitas
kondisi karyawan
Dalam
penyelnggaraan penddidikan kestabilan pendidik dan tenaga pendidik harus dijaga
sebaik-baiknya agar penyelanggaraan pendidikan berjalan dengan lancar.
Kestabilan terwujud karena adanya disiplin kerja yang baik dan adanya
ketertiban dalam kegiatan.
13. Prakarsa
(Inisiative)
Prakarsa
timbul dari dalam diri seseorang yang menggunakan daya pikir. Prakarsa
menimbulkan kehendak untuk mewujudkan suatu yang berguna bagi penyelesaian
pekerjaan dengan sebaik-baiknya.
14. Semangat
kesatuan dan semangat korps
Setiap
pelaksana pendidikan harus memiliki rasa kesatuan, yaitu rasa memiliki sehingga
menimbulkan semangat kerja sama yang baik. Semangat kesatuan akan lahir apabila
setiap pendidik dan tenaga pendidik mempunyai kesadaran bahwa penyelenggaraan
pendidikan yang baik akan sangat berarti guna meningkatkan mutu pendidikan
nasional.
3.4
Epistemologi
Fungsi-fungsi Manajemen Pendidikan
Dalam
proses manajemen pendidikan, terlibat beberapa fungsi pokok yang ditampilkan
oleh manajemen pendidikan sesuai dengan pendapat H. Siagian (1977) yang
mengungkapkan pandangan menurut G.R. Terry dimana terdapat empat fungsi
manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan.
Karena itu, manajemen pendidikan dapat diartikan sebagai proses merencana,
mengorganisasi, memimpin, melaksanakan dan mengendalikan upaya pendidikan
dengan segala aspeknya agar tujuan pendidikan tercapai secara efektif dan
efisien.
Dalam
bagian ini, penulis mengemukakan proses-proses tersebut sesuai dengan hakikat
manajemen berbasis sekolah (MBS) yang adalah bentuk manajemen khusus dari
manajemen pendidikan pada umumnya, yang diterapkan dalam dunia pendidikan di
Indonesia.
1.
Perencanaan (Planning)
Perencanaan dalam manajemen
pendidikan merupakan sejumlah kegiatan
yang ditentukan sebelumnya untuk dilaksanakan pada suatu periode tertentu dalam
rangka mencapai tujuan yang ditetapkan (Suryosubroto,
2004). Tujuan perencanaan dalam MBS adalah (1) memiliki standar
pengawasan, (2) mengetahui pemetaan waktu pelaksanaan dan selesainya suatu
kegiatan, (3) mengetahui subjek yang terlibat dalam kegiatan, (4) mendapatkan
kegiatan yang sistematis, (5) meminimalkan kegiatan yang tidak produktif, (6)
mendeteksi hambatan dan kesulitan yang ditemui, dan (7) mengarahkan pada
pencapaian tujuan.
Perencanaan yang tepat akan memberikan beberapa manfaat
positif, seperti:
a) Sebagai standar pengawasan.
b) Pemulihan sebagai alterbatif terbaik.
c) Penyusunan skala prioritas, baik sasaran maupun kegiatan.
d) Menghemat pemanfaatan sumber daya organisasi.
e) Membantu manajer menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan.
f) Alat yang memudahkan dalam berkoordinasi dengan pihak
terkait.
g) Alat yang meminimalkan pekerjaan yang tidak pasti.
Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa proses
perencanaan di sekolah harus dilaksanakan secara kolaboratif, yang melibatkan
personel sekolah dalam semua tahap perencaan itu. Unsur partisipatif ini
bertujuan membangkitkan perasaan memiliki bersama (sense of belonging), yang berpengaruh besar kepada para pendidik
dan personel sekolah lainnya untuk berusaha agar rencana tersebut berhasil.
Perencanaan dalam MBS memiliki ranah edukatif, yang
mencakupi perencanaan kurikulum, kemuridan, keuangan, prasarana dan sarana,
kepegawaian, layanan khusus, hubungan masyarakat, proses belajar-mengajar
(fasilitasnya), dan ketatausahan sekolah.
Seluruh perencanaan yang menyangkut lingkup-lingkup di
atas hendaknya memperhatikan beberapa hal, yakni
a)
Waktu pelaksanaan
baik perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
b) Sumber perencanaan baik yang berasal dari bawah (misalnya
mulai dari para guru, kepala sekolah, kantor Dinas Pendidikan Nasional tingkat kabupaten, kantor Dinas
Pendidikan Nasional tingkat propinsi, dan
kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) maupun yang berasal dari atas
(misalnya mulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sampai kepada para
guru).
c) Besarnya
perencanaan, baik perencanaan makro – suatu perencanaan pada tingkat nasional
atau tingkat departemen, yaitu pada tingkat direktorat jenderal, direktorat
atau propinsi sampai tingkat kantor departemen kabupaten – maupun perencanaan
mikro, yaitu yang dilaksanakan pada tingkat sekolah atau kelas.
d) Pendekatannya,
baik yang bersifat terpadu – yang menyatukan semua sumber untuk mencapai tujuan
– maupun yang bersifat parsial, yang memperhatikan sumber secara terpisah-pisah
untuk tujuan tertentu.
e) Pelakunya,
baik perencanaan individual (yang dilakukan
guru secara individu), perencanaan kelompok, maupun perencanaan lembaga (yang
berlaku dan dibuat oleh sekolah).
2.
Pengorganisasian
(Organizing)
Pengorganisasian
berkaitan dengan kegiatan pengaturan sumber daya manusia dan sumber daya fisik
lain yang dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan untuk menjalankan rencana yang
telah ditetapkan dan mencapai tujuannya. Pengorganisasian merupakan keseluruhan
proses untuk memilih dan memilah orang-orang (pendidik dan personal sekolah
lainnya) serta mengalokasikan sarana dan prasarana untuk menunjang tugas
orang-orang itu dalam rangka mencapai tujuan sekolah.
Aspek
pengorganisasian MBS mengacu pada proses perencanaan dan pengembangan suatu
organisasi, pengelompokan kegiatan, penguasaan tanggung jawab tertentu, pendelegasian
wewenang yang diperlukan untuk individu-individu dalam melaksanakan
tugas-tugasnya.
Ada
tiga komponen penting yang terkandung
dalam aspek pengorganisasian suatu lembaga pendidikan, yakni kerja sama,
subjek/pelaksana, dan tujuan bersama . Aspek pengorganisasian penting
dalam MBS karena bermanfaat, antara lain:
a) Mengatasi
terbatasnya kemampuan, kemauan, dan sumber daya yang dimiliki.
b) Untuk
mencapai tujuan yang lebih efektif dan efisien.
c) Wadah
memanfaatkan sumber daya yang dimiliki secara bersama-sama.
d) Wadah
mengembangkan potensi dan spesialisasi yang dimiliki seseorang.
e) Wadah
mendapatkan jabatan dan pembagian kerja.
f) Wadah
mencari keuntungan bersama.
g) Wadah
mengelola lingkungan bersama-sama.
h) Wadah
menggunakan kekuasaan dan pengawasan
i)
Wadah mendapatkan
penghargaan.
j)
Wadah memenuhi
kebutuhan manusia.
k) Wadah
menambah pergaulan.
3.
Pelaksanaan
(Actuating)
Didalam
pelaksanaan MBS terdapat fungsi pengarahan dimanafungsi ini merupakan salah
satu fungsi penting dari kepemimpinan manajer (kepala sekolah) untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja secara maksimal serta menciptakan
lingkungan kerja yang sehat dan dinamis.
Pengarahaan
merupakan suatu usaha menjaga dan mengawasi pelaksanaan atas rencana yang telah
ditetapkan agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pengarahaan dapat
diidentikkan dengan penjelasan, petunjuk serta pertimbangan dan bimbingan
terhadap para petugas yang terlibat, baik secara struktural maupun fungsional
agar pelaksanaan tugas dapat berjalan dengan lancar.
Pengarahan
berkaitan dengan implementasi dari perencanaan sekolah, yaitu pelaksanaan.
Pelaksanaan dalam program sekolah sangat tergantung pada dua hal, yaitu
kepemimpinan, dan motivasi kerja semua komponen dalam sekolah. Antara pemimpin
dan pelaksana mempunyai tugas dan bertanggung jawab masing-masing atas
tugasnya.
4.
Pengendalian
(Controlling)
Fungsi
kontrol (pengawasan pendidikan) sangat penting, karena erat kaitannya dengan
pelaksanaan dan hasil yang diharapkan oleh sistem pendidikan. Fungsi kontrol
pendidikan tetap mengacu dalam tiga hal, yakni berfungsi sebagai sensor, komparator, dan activator. Pada fungsi sensor, kontrol pendidikan itu mendayagunakan
rencana pendidikan sebagai ukuran yang dimaksudkan untuk mengukur pelaksanaan
dan keberhasilan suatu rencana pendidikan.
Pada
fungsi komparator bermaksud
membandingkan antara hasil pengukuran dan perencanaan pendidikan yang telah
dikembangkan sebelumnya. Fungsi activator
dimaksudkan untuk mengarahkan tindakan manajerial bilamana terjadi suatu
perubahan dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Sistem kontrol pendidikan juga
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Apakah kontrol itu
dilakukan secara terbuka atau secara tertutup? Kontrol yang dilakukan secara
terbuka berarti dapat melibatkan semua orang di lingkungan organisasi dan
konsekuensinya semua informasi perlu ditampung dan diperhatikan. Kontrol secara
tertutup keterlibatan hanya dibatasi pada pihak-pihak terkait saja dan umumnya
tidak menyelusuri semua dimensi organisasi pendidikan. Kedua cara ini
sesungguhnya dapat dilakukan secara berbarengan.
b.
Apakah kontrol
pendidikan dilakukan oleh manusia atau oleh mesin (alat elektronik misalnya).
Sistem manajemen pendidikan yang telah berkembang dewasa ini memungkinkan
penggunaan kedua sistem tersebut, yakni dilakukan oleh manusia dan menggunakan
alat yang canggih.
c.
Apakah kontrol
dilaksanakan terhadap efektivitas dan efisiensi organisasi atau terhadap hasil
operasionalisasi sistem pendidikan. Kedua bentuk kontrol tersebut seyogyanya
dilaksanakan dalam sistem manajemen pendidikan, karena pada dasarnya antara
kegiatan organisasi pendidikan dan keberhasilan yang dicapai dalam pelaksanaan
harian bersifat saling terkait dan perlu
dilaksanakan secara berkesinambungan.
Pengendalian yang disebut juga
pengawasan atau controlling.
Tujuannya adalah:
1. Menghentikan
atau meniadakan masalah, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan
ketidakadilan.
2. Mencegah
terulangnya kembali kesalahan penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan
dan ketidakadilan.
3. Menciptakan
cara yang lebih baik untuk membina yang telah baik.
4. Menciptakan
suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi dan akuntabilitas organisasi.
5. Meningkatkan
kelancaran operasi organisasi.
6. Memberikan
opini atas kerja organisasi.
7. Menciptakan
terwujudnya pemerintahan yang bersih
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Pendidikan, sebagai salah satu dari
serangkaian persoalan yang melekat di
dalam kehidupan manusia
dapat dianalisis secara
sistematis, integral, menyeluruh, mendasar dan
objektif melalui kajian
filsafat.
Landasan epistemologi manajemen pendidikan
berkaitan dengan asal-usul munculnya manajemen pendidikan dan proses pencapaian
tujuan pendidikan. Manajemen pendidikan muncul dari keprihatinan atas rendahnya
mutu pendidikan pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya.
Manajemen pendidikan, yang dalam konteks
Indonesia dikenal dengan nama Manajemen Berbasis Sekolah merupakan bentuk
pembaruan manajemen pendidikan yang menekankan aspek desentralisasi dan otonomi
pendidikan. Manajemen ini berproses dalam prinsip-prinsip dan fungsi-fungsi
manajemen.
Prinsip-prinsip manajemen adalah
dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah manajemen.
Prinsip-prinsip manajemen diantaranya adalah pembagian kerja, pemberian
wewenang dan tanggung jawab, disiplin,
kesatuan komando atau perintah, kesatuan arahan, mengutamakan
kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri, pemberian kesejahteraan
atau gaji pegawai, hirarki, keadilan dan kejujuran, stabilitas kondisi
karyawan, prakarsa(inisiatif), semangat kesatuan atau kesatuan korps. Adapun fungsi
pokok manajemen pendidikan yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
pembinaan. Manajemen pendidikan dibuat untuk mencapai suatu tujuan pendidikan,
secara umum dapat dijabarkan dalam tujuan pendidikan nasional. Tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab.
4.2
Saran
Dengan adanya manajemen pendidikan
diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, sehingga tujuan
pendidikan nasional dapat terwujud dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia di Indonesia. Dengan begitu akan tercipta suasana kehidupan yang lebih
sejahtera dan stabil.
DAFTAR
PUSTAKA
Fattah,
Nanang. 2009. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Jalil,
Y. Harri. 2009. “Manajemen Berbasis Sekolah”. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
Mulyasa. 2002.
Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pidarta, Made. 2000. Landasan
kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
____________. 2009. Landasan
Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta
Sagala,
Syaiful. (2005). Konsep dan
Makna Pembelajaran . Bandung:
CV. Alfabeta
Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Pendidikan
dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Surajiyo. 2008.Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu &
Perkembangan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat
Ilmu – Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Suriasumantri, Jujun S.2007. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Susanto, A. 2011. Filsafat ilmu: Suatu
Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta:Bumi
Aksara
Tilaar, H.A.R, 2006. Manajemen
Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT Rineka Cipta: Jakarta.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003.
Tentang: Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Jakarta: Depdiknas.
http://kbbi.web.id/didik. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam jaringan)
Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen
Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).
[1] http://kbbi.web.id/didik. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (KBBI)
Kamus versi online/daring (dalam jaringan)
hlm : pencarian – kata dasar -
didik
[2] Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. PT Rineka Cipta: Jakarta, hlm.4
[3] Susanto, A. 2011. Filsafat ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta:Bumi Aksara, hlm.136
[4] 2009. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, hlm.77
[5] Surajiyo. 2008.Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia.
Jakarta: Bumi Aksara, hlm.26
[6] Suriasumantri, Jujun S.2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm.119
[7] Fattah, Nanang. 2009. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, hlm.1
[8] Jalil, Y. Harri. 2009.
“Manajemen Berbasis Sekolah”, Bahan Kuliah. Jakarta: Universitas Negeri
Jakarta, hlm.10
[9] Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang: Sistem Pendidikan
Nasional. (2003). Jakarta: Depdiknas, BAB I, Ketentuan Umum Pasal 1, hlm.1
[10] Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta : PT Rineka Cipta, hlm.16
[11] Pidarta, Made. 2000. Landasan kependidikan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, hal.151-152
[12] Tilaar, H.A.R, 2006. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja
Rosdakarya, hlm.4
[13] Sagala, Syaiful. (2005). Konsep dan
Makna Pembelajaran . Bandung:
CV. Alfabeta, hlm.27
[14] Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, hlm.19
[15] Jalil, Y. Harri. 2009. “Materi
Kuliah Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat”, Ms (Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta, 2009), hal.20.
[16] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), hal.26
[17] Jalil, Op.Cit., hal. 1
[18] Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang: Sistem Pendidikan
Nasional. (2003). Jakarta: Depdiknas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar