Rabu, 27 Juli 2016

Filsafat Ilmu dalam Memahami Hakikat Kebenaran dan Pengetahuan Serta Nilai Kebaikan dan Keindahan dalam Islam







I.                   PENDAHULUAN
Pada dasarnya, manusia selalu cenderung pada kebenaran, pengetahuan, kebaikan dan keindahan. Oleh karenannya manusia sebagai makhluk dan berakal selalu mencari kebenaran-kebenaran melalui asal usulnya. Maka tidak heran bila manusia berusaha memahami sebab-sebab dari setiap kejadian yang disaksikannya.
Dalam pemikiran mendasar dan dengan akal manusia yang sehat, maka tidak mungkin segala sesuatu terwujud dengan sendirinya secara kebetulan saja, tanpa sebab.
Seorang sopir yang mobilnya mogok akan turun dari kendaraannya dan memeriksa kemungkinan sebab-sebab mogoknya mobil itu. Tidak akan pernah terpikir olehnya bahwa mobilnya akan bisa mogok manakala segala sesuatu berada dalam kondisi yang prima. Untuk membuat mobilnya bisa berjalan lagi, dia akan menggunakan cara apa pun yang bisa dilakukannya. Dia tidak akan pernah duduk-duduk saja menunggu mobilnya bisa berjalan lagi.
Jika seseorang merasa lapar, dia akan berpikir tentang makanan. Jika dia haus, dia akan memikirkan air. Jika dia kedinginan, dia akan mengenakan pakaian tambahan atau menyalakan api. Dia tidak akan pernah duduk-duduk saja sambil meyakinkan dirinya bahwa suatu kebetulan akan menyelesaikan masalahnya.
Seseorang yang ingin mendirikan bangunan, meminta jasa seorang arsitek, dan para pekerja bangunan. Dia tidak akan pernah berharap bahwa keinginannya terlaksana dengan sendirinya.
Bersama dengan maujudnya manusia, gunung-gunung, hutan-hutan, dan lautan-lautan yang luas juga telah ada bersamanya. Dia selamanya telah melihat matahari, bulan, dan bintang bergerak dengan teratur dan terus-menerus melintasi langit.
Meski demikian, orang-orang yang berilmu di dunia, tanpa mengenal lelah, telah mencari sebab-sebab wujud-wujud dan fenomena-fenomena yang menakjubkan itu. Tidak pernah mereka mengatakan: “Selama kita hidup, kita telah menyaksikan benda-benda langit tersebut dalam bentuknya seperti yang sekarang ini. Karena itu, tentu mereka terwujud dengan sendirinya.” Perkataan ini tidak lah benar, namun bagaimana hakikat kebenaran itu sesungguhnya?.
Hasrat ingin tahu dan ketertarikan yang bersifat instinktif terhadap hakikat kebenaran disertai pengetahuan yang benar, maka sebab-sebab ini memaksa kita menyelidiki bagaimana benda-benda di alam ini muncul, dan menyelidiki ketertibannya yang mengagumkan.
Kita dipaksa untuk bertanya “ Apakah alam semesta ini, dengan seluruh bagiannya yang saling berkaitan yang benar-benar membentuk satu kesatuan sistem yang besar itu, terwujud dengan sendirinya, ataukah ia memperoleh wujudnya dari sesuatu yang lain?”
Apakah sistem mengagumkan yang berlaku di seluruh alam semesta ini, yang diatur oleh hukum-hukum abadi tanpa kekecualian dan yang membimbing segala sesuatu menuju tujuannya yang unik, dikendalikan oleh suatu kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas, ataukah ia muncul secara kebetulan saja?
Jawaban terhadap pertanyaan ini positif, artinya ke manapun manusia melihat di seluruh penjuru semesta ini, ia akan melihat bukti-bukti yang melimpah akan adanya satu Pencipta dan Kekuatan Pemelihara, sebab manusia melihat bahwa setiap ciptaan itu menikmati anugerah-anugerah wujud dan secara otomatis bergerak mengikuti jalan yang tertentu, akhirnya lenyap dan digantikan makhluk yang lain.
Makhluk-makhluk ini tidak pernah mewujudkan dirinya sendiri, menciptakan arah perkembangannya sendiri, ataupun memainkan peran sekecil apa pun dalam menciptakan atau atau mengorganisasi eksistensi mereka.
Kita sendiri tidak memilih kemanusiaan kita atau karakteristik-karakteristik manusiawi kita; kita diciptakan sebagai manusia dan diberi karakteristik-karakteristik kemanusiaan tersebut. Sama halnya, akal kita tidak akan pernah bisa menerima bahwa semua wujud yang ada di alam semesta ini terwujud secara kebetulan saja, dan bahwa sistem wujud itu muncul begitu saja.
Akal kita tidak bisa menerima bahwa sejumlah potongan batu bata telah berkumpul bersama-sama secara kebetulan dan dengan sendirinya untuk membentuk sebuah rumah. Jadi realisme instinktif manusia menyatakan bahwa alam wujud pastilah memiliki satu penopang yang merupakan Sumber wujud  dan Pencipta serta Pemelihara alam semesta dan bahwa Wujud serta Sumber kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas ini adalah Tuhan, sumber segala wujud dalam sistem eksistensi.
Menurut teori peluang, sebagai contoh, bila kita mengocok huruf yang tertulis dalam kertas masing-masing bertuliskan A, B, C hingga Z (ada 26 huruf). Kemudian kita ambil satu demi satu dan diletakkan di atas meja berurutan. Maka peluang kemunculan huruf-huruf tersebut berurutan ABCDEFGHIJKLMNOPQRST UVWXYZ adalah kurang dari 0,0000000000000000000000000025 atau kurang dari seperempatratus trilyun trilyun.
Dalam tubuh manusia (70 kg) terdapat sekitar 7 trilyun trilyun trilyun atom (99%nya adalah Hidrogen, Oksigen dan Karbon).  Bisakah kita bayangkan betapa kecil kemungkinan 7 trilyun trilyun trilyun atom ini membentuk, menyusun, berinteraksi dengan sangat kompleks secara “kebetulan” sehingga seorang manusia mewujud di dunia dengan kelengkapan sistem kehidupannya ?
Bagaimana pula dengan masyarakat manusia yang terdiri atas milyaran manusia dan tak terhitung spesies-spesies tumbuhan dan hewan baik di daratan maupun di lautan yang tertata rapi membentuk rantai-rantai ekosistem dan berbagai keteraturan dan kesalingterkaitan?
Bagaimana pula dengan planet bumi yang terdiri atas trilyun trilyun trilyun ….. atom yang tertata sedemikian rapi dengan pergantian musimnya, hukum-hukum geologis, hukum-hukum meteorologi, siklus air, keteraturan arus-arus lautan, dan tak terhitung keteraturan-keteraturan lain?
Bagaimana pula dengan posisi bumi di tatanan tata surya, yang “melayang-layang” tanpa tiang bersama planet-planet lain; dan mengikuti berbagai aturan yang bahkan terukur dengan sangat nyata seperti hukum Keppler? Dengan posisi rotasi yang memungkinkan siklus empat musim? Bagaimana pula tata surya sebagai satu dari 100 milyar bintang yang berputar-putar mengitari pusat galaksi bima sakti?
Melalui makalah yang terbatas ini, maka akan kita bahas sekelumit kebenaran, pengetahuan, keindahan dan nilai-nilai kebaikan melalui filsafat ilmu yang di sandarkan pada pendidikan Islam.
Diharapkan tulisan makalah ini dapat menjadi manfaat dan memudahkan dalam proses perenungan untuk memahami kebenaran.


A.    HAKIKAT PENGETAHUAN DAN KEBENARAN
Kata hakikat (Haqiqat)  merupakan kata benda yang berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata “Al-Haqq”, dalam bahasa indonesia menjadi kata pokok yaitu kata “hak“ yang berarti milik (ke¬punyaan), kebenaran, atau yang benar-¬benar ada, sedangkan secara etimologi Hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala sesuatu.
Dapat disimpulkan bahwa Hakikat adalah kalimat atau ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan mak¬na yang yang sebenar¬nya atau makna yang paling dasar dari sesuatu seperti benda, kondisi atau pemikiran, Akan tetapi ada beberapa yang menjadi ung¬kapan yang sudah sering digunakan dalam kondisi tertentu, sehingga menjadi semacam konvensi, hakikat seperti disebut sebagai haki¬kat secara adat kebiasaan.
Apa itu hakikat? Hakikat ialah realitas; realitas “real”, “reality”, adalah kenyataan yang sebenarnya atau kejadian sesungguhnya. jadi, hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya atau keadaan sebenarnya sebagai sesuatu yang mutlak. Bukan keadaan sementara, bukan keadaan yang menipu (illusion), bukan keadaan yang berubah.
Jika kita berbicara tentang teori hakikat, maka sangat luas sekali. Segala yang ada dan yang mungkin ada, yang mencakup pengetahuan dan nilai (hakikat pengetahuan dan hakikat nilai). Oleh karena itu, kajian hakikat ini dalam kajian filsafat dinamakan ontologi. Dalam makalah ini akan kita bahas tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan, serta nilai kebaikan dan keindahan.
Pengetahuan dan kebenaran adalah dua hal yang saling berkaitan erat, sebab pengetahun merupakan hasil dari pencarian sebuah kebenaran. Kebenaran adalah hasil dari rasa ingin tahu. Jadi antara pengetahuan dan kebenaran selalu beriringan tanpa bisa dipisahkan.
Banyak pendapat tentang pengetahuan maupun kebenaran yang mengatakan keduanya saling terkait. Akan tetapi banyak orang masih bingung tentang apa itu pengetahuan ataupun kebenaran.
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Banyak orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah mencari kebenaran, namun masalahnya tidak sampai disitu saja. Problem kebenaran inilah yang memicu tumbuh dan berkembangnya efestimologi.

1.      Definisi Pengetahuan
Pengetahuan dalam pandangan filsafat memiliki 3 teori, yakni teori pengetahuan yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan yang disebut epistemologi. Kedua teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri yang disebut ontologi. Ketiga, teori nilai yang membicarakan guna pengetahuan  itu yang disebut aksiologi.
Ada sebagian ahli yang berpandangan bahwa pengetahuan  dengan ilmu tidaklah berbeda. Pengetahuan bagi mereka tidak ubahnya sebagai ilmu, sehingga ilmu dengan pengetahuan tidak berbeda.
Sebagian lagi memahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu atau ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah. Sebagaimana dinyatakan  M. Thoyibi (1994: 35), pengetahuan ilmiah tidak lain adalah ‘a higner level’  dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Amsal Bakhtiar (2005), pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.[1]
Menurut Jujun S. Suriasumantri (1990: 105) pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama.[2]
Secara etimologi  pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam  Encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah keparcayaan yang benar (knowledgw is justified true belief).[3]
Sedangkan Maufur (2008:30), menjelaskan bahwa ilmu adalah sebagian dari pengetahuan yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu, artinya ilmu tentu saja merupakan pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu ilmu. Karena pengetahuan untuk dapat dikategorikan sebagai ilmu harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni sistematis, general, rasional, objektif, menggunakan metode tertentu , dan dapat dipertanggung jawabkan.
Menurut Drs. Sidi Gazalba pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses usaha dari manusia untuk tahu.[4]
Menurut kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) didalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[5]
Orang pragmatis, tertuma John Dewey tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran (antara knowledge dengan truth). Jadi pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar adalah kontradiksi.[6]
Beranjak dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka didalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin salam, menjelaskan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat yaitu:
1.      Pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan yang diartikan dengan good sense, karena sesorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik. Bola itu dikatakan bulat karena memang berbentuk bulat, air jika dipanaskan akan mendidih dan sebagainya. Pengetahuan ini diperoleh dari kehidupan sehari-hari.
2.      Pengetahuan ilmu (secience), yaitu ilmu dalam pengertian yang sempit diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif.
3.      Pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Filsafat membahas segala hal dengan kritis sehingga dapat diketahui secara mendalam tetntang apa yang sedang dikaji.
4.      Pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat utusan-Nya, sehingga pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. [7]
Adapun Scheler membedakan jenis pengetahuan menurut wujudnya dan menurut ketertiban abadi daripada realita dalam skala sebagai berikut:
·         Pengetahuan theologis
·         Pengetahuan filosofis
·         Pegetahuan tentang yang lain, baik kolektif maupun individual
·         Pengetahuan tentang dunia lahir
·         Pengertahuan teknis, dan
·         Pengetahuan ilmiah. [8]
Abd. Aziz, M.Pd.I membedakan pengetahuan manusia menjadi tiga jenis pengetahuan yaitu:
1.      Pengetahuan Ilmiah: yaitu pengetahuan yang diperoleh dan dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah atau dengan menggunakan cara kerja atau metode ilmiah.
2.      Pengetahuan Moral: dalam hal moral tidak ada klaim kebenaran yang absah. Penilaian dan putusan moral adalah soal perasaan pribadi atau produk budaya tempat orang lahir dan dibesarkan.
3.      Pengetahuan Religius: yakni pengetahuan kita tentang Tuhan  yang sesungguhnya berada diluar lingkup pengetahuan manusia. [9]

2.      Hakikat dan sumber pengetahuan
Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh.
Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan hidup dan guna menjaga kelangsungan hidup. Dia memikirkan hal-hal baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu manusia mmpunyai tujuan tertentu dalam hidupnya yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya, dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia yang disebabkan oleh dua hal utama, yakni pertama manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap adalah kemampuan berfikir menurut kerangka berfikir tertentu. [10]
Ada dua teori untuk dapat mengetahui hakikat dari sebuah pengetahuan. Yaitu teori Realisme dan idealisme.
a.       Teori realisme mengatakan bahwa pengetahuan adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta. Apa yang ada dalam fakta itu dapat dikatakan benar. Dengan teori ini dapat diketahui bahwa kebenaran obyektif juga di butuhkan bukan hanya mengakui kebenaran subyektif.
Contoh kita mengetahui bahwa pohon itu memang tertancap ditanah karena kenyataannya memang begitu dan obyeknya terlihat sangat nyata. Jadi teori ini mengakui adanya apa yang mengetahui dan apa yang diketahui.
b.      Teori idealisme memiliki perbedaan pendapat dengan realisme. Pada teori ini dijelaskan bahwa pengetahuan itu bersifat subyektif. Oleh karena itu pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran, yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengatahui (subjek).[11]
Kalau realisme mempertajam perbedaan antara yang mengatahui dan yang diketahui, idealisme adalah sebaliknya. Bagi idealisme dunia dan bagian-bagiannya harus dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan seperti organ tubuh dengan bagian-bagiannya. Sebenarnya realisme dan idealisme memiliki kelemahan-kelamahan tertentu. Realisme ekstrim bisa sampai pada materialistik atau dualisme.
Dengan adanya kedua teori tersebut dapat dikatakan semua orang memiliki pengetahuhan walaupun dasar yang mereka pakai berbeda-beda. Selain itu pengetahuan diperoleh pula dari sumber yang lebih dari satu, yaitu sumber empirisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu.
1.      Empirisme menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dengan pengalaman yang dialaminya. Teori ini bersifat inderawi jadi antara satu dengan yang lain memiliki perbedaan. Akal dalam teori ini hanyalah mengelola konsep gagasan inderawi saja dan tidak dikedepankan. Jhon locke (1632-1704) mengemukakan teori tabula rasa. Maksudnya manusia pada awalnya kosong kemudian pengalaman mengisi kekosongan tersebut sehingga menjadi pengetahuan. Pengalaman di dapat dari indera yang awalnya sederhana menjadi sangat komplek jadi sekomplek apapun pengetahuan akan dapat kembali pada sumbernya yaitu indera. Dimana pengetahuan yang tidak dapat di indera bukan pengetahuan yang benar karena indera adalah sumber pengetahuan. Teori ini menjadi lemah karena indera manusia memiliki keterbatasan.
2.      Rasionalisme menjelaskan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diukur dan diperoleh dari akal. Teori ini membenarkan pemakaian indera untuk memperoleh pengetahuan akan tetapi harus di olah dengan akal. Jadi sumber kebenarannya adalah akal. Di sini juga dapat mengetahui tentang konsep-konsep pengetahuan yang abstrak. Namun teori ini memiliki kelemahan karena data-data tidak selalu sempurna sehingga akal tidak dapat menemukan pengetahuan yang benar-benar sempurna.
3.      Intuisi menerangkan bahwa pengetahuan diperoleh dari pemikiran tingkat tinggi. Kegiatan intuisi dan analisis bisa saling membantu untuk menemukan kebenaran. Mereka yang menggunakan intuisi biasanya memperoleh pengetahuan dengan perantara hati bukan indera maupun akal. Sehingga teori ini menggunakan metode perenungan yang mendalam untuk mencari kebenaran.
4.      Wahyu yang menjelaskan bahwa pengetahuan di peroleh langsung dari Tuhan melalui perantara Nabi. Pengetahuan yang seperti ini tidak memerlukan waktu untuk berfikir ataupun merenung. Pengetahuan didapatkan kemudian dikaji lebih lanjut sehingga dapat meningkatkan keyakinan tentang kebenarannya. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang melakukan penelitian terlebih dahulu baru kemudian mendapat pengetahuan dan di ketahui kebenarannya.Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.[12]

3.      Defenisi Kebenaran
Adapun kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif, yaitu suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Kebenaran adalah persesuaian (Agreement) antara pernyataan  (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (judgement)  dengan situasi seputar (environmental situation) yang diberi interpretasi.[13]
Dalam tradisi Yunani kebenaran dibahas dari segi hakikat dan sifatnya. Kaum sofis berpendapat bahwa kebanaran relatif dan subjektif. Setiap orang memiliki kebenaran sendiri-sendiri. Phrotagoras salah satu tokoh Sufis mengatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran segala sesuatu.[14]
Dalam filsafat pengkajian tentang standar kebenaran amat penting karena salah satu defenisi filsafat adalah mencari kebenaran. Al-Ghazali adalah ilmuan Islam yang sangat serius mencari kebenaran, sampai dia mengalami keraguan yang sangat hebat, sehingga melemahkan fisiknya.
Pertama kali ia mempelajari ilmu kalam, tetapi dalil ilmu kalam tidak memuaskan dalam mendatangkan kebenaran serta belum bisa mengobati keraguannya. Menurut Al-Ghazali, dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang bertentangan.
Selanjutnya, setiap pendapat atau golongan  merasa dirinya yang paling benar, sehingga timbul tanda tanya dalam dirinya, aliran manakah yang paling benar dari semua aliran. Keinginan Al-Ghazali adalah mencari kebenaran yang hakiki (sesungguhnya), yaitu kebenaran yang tidak diragukan lagi, seperti sepuluh lebih banyak dari tiga.
Al-Ghazali sampai pada kebenaran yang demikian dalam tasawuf setelah ia mengalami proses yang panjang dan berbelit-belit. Tasawuflah yang menghilangkan keraguannya. Pengetahuan mistik menurutnya adalah cahaya yang diturunkan oleh Allah SWT ke dalam dirinya. Cahaya itu adalah cahaya yang menyinari dirinya sehingga terbukanya tabir yang merupakan sumber segala pengetahuan.[15]

4.      Tingkatan dan kriteria kebenaran
Kebenaran bersifat relatif sehingga semua orang memiliki kriteria kebenaran yang berbeda-beda. Tingkatan kebenaran dari yang terendah ke pemahaman yang tertinggi adalah sebagai berikut.
Pertama, adalah kebenaran inderawi. Inderawi merupakan kebenaran yang paling sederhana. Sesuatau dikatakan benar jika dapat dilihat dengan indera tanpa berfikir lebih lanjut.
Kedua, adalah kebenaran ilmiah (sains). Kebenaran pada tingkatan ini didasarkan pada indera dan diolah menggunakan rasio. Sehingga kebenaran dapat diakui jika dapat dirasio dan di lihat atau dirasakan dengan indera.
Ketiga,  adalah kebenaran filsafat. Kebenaran pada tingkatan ini diperoleh dari rasio dan pemikiran lebih mendalam (perenungan) tentang suatu hal. Sehingga dapat diketahui kebenaran yang lebih mendalam.
Keempat, adalah kebenaran religius. Kebenaran ini bisa juga dikatakan kebenaran yang mistis karena tidak dapat dilihat dengan indera dan di rasio. Kebenaran ini bersifat mutlak karena kebenaran ini bersumber dari tuhan.

5.      Teori kebenaran
Sehubungan dengan pencarian kebenaran dan standar nilai-nilai kebenaran itu sendiri, maka kita dapat mengkaji beberapa teori yang muncul tentang kebenaran, antara lain :
1.      Teori koherensi
Koherensi merupakan teori kebenaran yang menegaskan bahwa suatu  proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian, atau informasi) akan diakui shahih/dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga shahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika. Misalnya semua makhluk hidup akan mati, pohon termasuk makhluk hidup jadi suatu saat pohon akan mati.

2.      Teori korespondensi
Sesuatu dikatakan benar apabila sesuai dengan objek yang dituju. Contoh ibu kota Indonesia adalah Jakarta, maka pernyataan ini adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta memang menjadi Ibu Kota Republik Indonesia.
3.      Teori pragmatik
Merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri ada kreteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan atau tidaknya suatu pernyataan dalam ruang lingkup dan waktu tertentu. Sesuatu dikatakan benar jika memiliki manfaat dan sudah diuji. Selama belum diuji belum dikatakan benar atau tidak.
4.      Teori positivisme
Aguste Comte (1798-18570 menyatakan cara pandang dalam memahami dunia  dengan berdasarkan sains adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/ empiris” yang mereka nampakkan positif.
5.      Teori esensialisme
Pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.Esensialisme  memandang bahwa pendidikan harus berpijak ada nilai-nilai yang memeliki kejelasan  dan tahan  lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai  tata yang jelas.
6.      Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran generatif  adalah tindakan mencipta suatu makna dari apa yang dipelajari.
7.      Teori relegiusme
Teori ini memaparkan bahwa manusia bukanlah semata-semata makhluk jasmaniah, tetapi juga makhluk rohaniah.Teori religius ini kebenaran nya secara ontologis dan aksiologis bersumber dari sabda Tuhan yang disampaikan melalui wahyu dan bersifat mutlak.[16]




B.     NILAI KEBAIKAN DAN KEINDAHAN
Sebagaimana diketahui bahwa secara keilmuan, filsafat berada dalam posisi seperti pohon yang memiliki cabang-cabang yang disebut aksiologi yang mempelajari tentang hakikat nilai.
Dimana ada 3 nilai yang dipersoalkan, yaitu nilai keindahan, nilai kebaikan, dan nilai kebenaran. Nilai keindahan dipersoalkan  secara khusus dalam cabang filsafat Estetika. Nilai Kebenaran dipersoalkan  dalam cabang filsafat Efestemologi, dan nilai kebaikan  dipelajari dalam cabang filsafat Etika.
Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.[17] Menurut Riserri Frondizi, nilai itu merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda-benda adalah sesuatu yang bernilai. Ketidaktergantungan ini mencakup setiap bentuk emperis, nilai adalah kualitas priori.[18] Menurut Louis O.Kattsof nilai diartikan sebagai berikut:

1.      Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefenisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami secara langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak semata-semata subjektif, melainkan ada tolak ukur yang pasti terletak pada esensi objek tertentu.
2.      Nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada dalam kenyataan maupun pikiran dapat memperoleh nilai jika suatu ketika berhubungan dengan subjek-subjek yang memiliki kepentingan.
3.      Sesuai dengan pendapat Dewey, nilai adalah sebagai hasil dari pemberian nilai, nilai itu diciptakan oleh situasi kehidupan.
4.      Nilai sebagai esensi nilai adalah hasil ciptaan yang tahu, nilai sudah sejak semula, terdapat dalam setiap kenyataan namun tidak bereksistensi, nilai itu bersifat objektif dan tetap.[19]



1.      Nilai Kebaikan
Telah diketahui secara umum bahwa etika adalah suatu studi filosifis mengenai moral (Philosophical study of morals). Jadi persoalan pokoknya adalah tentang  ‘hakikat moral’. Moral adalah masalah tingkah laku dalam hubungannya dengan diri sendiri dan sesamanya, sejauh mana mengandung nilai kebaikan.
Hakikat kebaikan yang menjadi persoalan sentral etika adalah ‘nilai baik’ menurut semua segi. Dipandang dari sisi manapun, nilai kebaikan tidak pernah  mengalami perubahan. Jadi bersifat mutlak. Hal-hal seperti kesehatan, ketenangan, ketentraman, kemakmuran, kebahagiaan dan sebagainya, tetap mengandung nilai kebaikan. Hanya saja jenis perilaku mana yang bersesuaian dengan nilai kebaikan itu? Sebab, tidak semua jenis  perilaku berbanding lurus  dengan nilai kebaikan.
Berdasar pada sistematika filsafat, nilai keindahan, kebenaran, kebaikan  berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas. Maksudnya, yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik. Tetapi apakah fakta  perilaku mencerminkan dimensi hubungan seperti itu?
Pada hakikatnya, kehidupan ini indah, ketika semua pihak bekarja sama untuk saling menolong dan memberi dalam ikatan kebersamaan yang harmonis Jadi, hakikat nilai kebaikan itu berada di dalam perilaku.
Dengan demikian, hakikatnya dapat diketahui dari fakta perilaku. Apakah perilaku itu bersesuaian dengan derajat nilai kemanusiaan ataukah tidak. Sedangkan derajat nilai kemanusiaan itu terletak pada apakah suatu perilaku mampu menumbuhkan moral menolong, memberi, sehingga menjadikan semua pihak mampu hidup mandiri, kreatif, cakap, dan terampil dalam kehidupannya.[20]
Dari segi bahasa baik atau kebaikan dalah terjemahan dari kata Khoir, al-Birr, al- Ma’ruf (dalam bahasa Arab). Good (dalam bahasa Inggris). Dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan, kepuasan, kesenangan dan persesuaian.
Sedang ‘baik’ menurut ethik adalah sesuatu yang berharga untuk tujuan,  sesuatu yang mendatangkan dan  memberikan rasa senang dan bahagia. Sebaliknya yang tidak berharga, tidak berguna untuk tujuan dan merugikan maka disebut buruk. Jadi disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Walaupun tujuan orang atau golongan di dunia ini berbeda-beda, sesungguhnya pada akhirnya semuanya mempunyai tujuan yang sama sebagai tujuan akhir tiap-tiap sesuatu.
Bagi seorang Muslim berbuat kebaikan adalah kebutuhan yang oleh Allah SWT akan diberi balasan di akhirat dengan pahala. Selain pahala berbuat kebaikan bagi seorang Muslim merupakan dakwah kepada orang disekitarnya agar timbul kasih sayang terhadap sesama dan wujud penghargaan atas nikmat yang di berikan Allah SWT kepada kita. Firman Allah:
https://indoislamicmedicine.files.wordpress.com/2014/01/qs-al-ashr.jpg





Artinya: “Demi masa, sesugguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan, serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran”.[21]

2.      Nilai Keindahan
Manusia pada umumnya menyukai sesuatu yang indah, baik terhadap keindahan alam maupun keindahan seni. Keindahan alam adalah keharmonisan yang menakjubkan dari hukum-hukum alam yang dibukakan untuk mereka yang mempunyai kemampuan untuk menerimanya. Sedangkan keindahan seni adalah keindahan hasil cipta manusia (seniman) yang memiliki bakat untuk menciptakan sesuatu yang indah.
Pada umumnya manusia mempunyai perasaan keindahan. Rata-rata manusia yang melihat sesuatu yang indah akan terpesona. Namun pada hakikatnya tidak semua orang memiliki kepekaan terhadap keindahan itu sendiri. Keindahan tentang seni telah lama menarik perhatian para filosof mulai dari zaman Plato sampai zaman modern sekarang ini.
Teori tentang keindahan muncul karena mereka menganggap bahwa seni adalah pengetahuan perspektif perasaan yang khusus. Keindahan juga telah memberikan warna tersendiri dalam sejarah peradaban manusia. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan membahas pengertian estetika, sejarah perkembangan estetika, serta hubungan antara manusia dengan estetika.
Berbicara tentang keindahan (estetika), Semiawan (2005:159) menjelaskan sebagai “the study of nature of beauty in the fine art”, mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni.[22]
Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami  oleh khalayak luas.
Keindahan adalah persesuaian antara bermacam-macam pengalaman dalam diri seseorang satu dengan yang lainnya untuk menghasilkan efek yang maksimal. Keindahan merupakan hubungan antara unsur-unsur realitas disamping hubungan dengan kebendaan. Oleh sebab itu sesuatu bagian dari pengalaman dapat menjadi  bahagian yang indah.
Tuhan itu indah dan menyukai keindahan, menurut sebuah ungkapan. Apa yang dimaksud indah? Menurut Jalal al-Din Rumi (1207-1273 M) keindahan adalah manifestasi cinta, kepada Tuhan sebagai keindahan sejati maupun keadaan selain-Nya sebagai keindahan imitasi. [23]
Menurut Thomas Aquinas (1224-1274) dan Jacques Maritain, keindahan adalah realitas indah yang ada pada objek yang kemudian memberikan perasaan enak dan senang pada objek. Keindahan bersifat objektif, sebaliknya menurut George Santyana (1863-1952 M), indah adalah perasaan nikmat atau suka dari subjek pada suatu objek yang kemudian menganggapnya sebagai milik objek, artinya apa yang disebut indah sangat subjektif.[24]
Bagaimana keindahan bisa tercipta dan bagaimana orang bisa merasakannya dan memberi penilaian terhadap keindahan tersebut. Maka filsafat estetika akan selalu berkaitan dengan baik dan buruk, indah dan jelek. Bukan berbicara tentang salah dan benar seperti dalam epistemologi. Secara etimologi, estetika diambil dari bahasa Yunani, aisthetike yang berarti segala sesuatu yang dapat dicerna oleh indra.
Estetika membahas refleksi kritis yang dirasakan oleh indera dan memberi penilaian terhadap sesuatu, indah atau tidak indah, beauty or ugly. Estetika disebut juga dengan istilah filsafat keindahan.
Emmanuel Kant meninjau keindahan dari 2 segi, pertama dari segi arti yang subyektif dan kedua dari segi arti yang obyektif.
a.         Subyektif: Keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa sangkut paut dengan kegunaan praktis, tetapi mendatangkan rasa senang pada si penghayat.
b.         Obyektif: Keserasian dari suatu obyek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh obyek ini tidak ditinjau dari segi gunanya. Bagi Immanuel Kant , sarana kejiwaan yang disebut cita rasa itu berhubungan dengan dicapainya kepuasan atau tidak dicapainya kepuasaan atas obyek yang diamati. Rasa puas itu pun berkaitan dengan minat seseorang atas sesuatu. Suatu obyek dikatakan indah apabila memuaskan minat seseorang dan sekaligus menarik minatnya. Pandangan ini melahirkan subyektivisme yang berpengaruh bagi timbulnya aliran-aliran seni modern khususnya romantisme pada abad ke-19.
Menurut Al-Ghazali, keindahan suatu benda terletak di dalam perwujudan dari kesempurnaan. Perwujudan tersebut dapat dikenali dan sesuai dengan sifat benda itu. Disamping lima panca indera, untuk mengungkapkan keindahan di atas Al-Ghazali juga menambahkan indra ke enam  yang disebutnya dengan jiwa (ruh) yang disebut juga sebagai spirit, jantung, pemikiran, cahaya.
Kesemuanya dapat merasakan keindahan dalam dunia yang lebih dalam yaitu nilai-nilai spiritual, moral dan agama. Kaum materialis cenderung mengatakan nilai-nilai berhubungan dengan sifat-sifat subjektif, sedangkan kaum idealis berpendapat nilai-nilai bersifat objektif.
Andaikan kita sepakat dengan kaum materialis bahwa yang merupakan nilai keindahan itu merupakan reaksi-reaksi subjektif, maka benarlah apa yang terkandung dalam sebuah ungkapan “Mengenai masalah selera tidak perlu ada pertentangan”. Sama seperti halnya orang-orang yang menyukai lukisan abstrak, jika sebagian orang mengatakan lukisan abstrak aneh, maka akan ada juga orang yang mengatakan bahwa lukisan abstrak itu indah.
Reaksi ini muncul dalam diri manusia berdasarkan selera. Pada akhirnya pembahasan estetika akan berhubungan dengan nilai-nilai sensoris yang dikaitkan dengan sentimen dan rasa. Sehingga estetika akan mempersoalkan teori-teori mengenai seni. Dengan demikian estetika merupakan sebuah teori yang meliputi:
a.       Penyelidikan mengenai sesuatu yang indah
b.      Penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni
c.       Pengalaman yang bertalian dengan seni, masalah yang berkaitan dengan penciptaan seni, penilaian terhadap seni dan perenungan atas seni.
Dari pernyataan di atas, estetika meliputi tiga hal yaitu fenomena estetis, fenomena persepsi, fenomena studi seni sebagai hasil pengalaman estetis. Sejarah Perkembangan Estetika Pada zaman Yunani Kuno sampai masa-masa kemudian filsafat keindahan menjadi begian dari metafisika (yakni cabang filsafat yang membahas persoalan-persoalan tentang keberadaan dan seluruh realita).
Banyak metode dan istilah metafisika dipergunakan dalam filsafat keindahan. Filsuf yang mulai banyak membahasnya adalah Socrates (496-399 SM) dan Plato (427-347 SM). Istilah-istilah yang mereka pakai lebih umum sifatnya. Aristoteles, filsuf yang pernah menjadi guru Iskandar Agung, mempergunakan istilah Poetika.
Kemudian hari muncul istilah-istilah seperti “art” dan “humaniora” yang mana istilah ini di negara-negara pemakai bahasa Inggris masih dijunjung tinggi bahkan dipakai sebagai nama jurusan The Humanities (yang menjadi orang muda lebih manusiawi).
Estetika di dunia Barat sama tuanya dengan filsafat. Khususnya dalam filsafat Plato. Masalah estetika memainkan peranan yang sangat penting. Keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat dalam tingkatan ide-ide dan dunia ide yang mengatasi kenyataan.
Itulah dunia ilahi yang tidak langsung terjangkau oleh manusia, tetapi yang paling mendekati deskripsi para filsuf adalah pendekatan melalui dunia ide dengan harmoni yang ideal (Teeuw, 347:1984). Dick Hartoko dalam bukunya Manusia dan Seni (1986: 15-17 ) mengemukakan perihal estetika yang meliputi pengertian dan juga asal kata dari istilah tersebut pertama-tama mengungkap Istilah anastesi yang terdiri atas dua bagian: “an” yang berarti “tidak” dan “aesthesis” berarti yang berarti “perasan, pencerapan, persepsi”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tugas ahli anasthesi itu supaya pasien yang menjalani operasi bedah tidak merasakan sakit atau justru bisa tidak sadar diri. Kata “aesthesis” berasal dari bahasa Yunani dan berarti pencerapan, persepsi, pengalaman, perasaan, pemandangan.
Kata ini untuk pertama kali dipakai oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762). Filsafat estetika pertama kali dicetuskan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1975) yang mengungkapkan bahwa estetika adalah cabang ilmu yang dimaknai oleh perasaan.
Walau begitu, dalam sejarah falsafah, tokoh yang paling berjasa merumuskan dan membangun pengertian estetika sebagai bidang falsafah adalah Hegel (1770-1831) seorang filosof idealis Jerman yang pemikirannya sangat berpengaruh pada abad ke-19 dan 20. Hegel inilah yang terutama sekali menghubungkan estetika dengan seni, sehingga pada abad ke-19 estetika tidak berkembang semata-mata sebagai falsafah keindahan, tetapi menjelma menjadi semacam teori seni.
Filsafat estetika adalah cabang ilmu dari filsafat aksiologi, yaitu filsafat nilai. Istilah aksiologi digunakan untuk memberi batasan kebaikan yang meliputi etika, moral, dan perilaku. Adapun estetika yaitu memberi batasan mengenai hakikat keindahan atau nilai keindahan.
Baumgarten masih memasukkan pengalaman tentang keindahan dalam ilmu pengetahuan, namun ia merasa perlu  untuk menciptakan sebuah istilah tersendiri guna menunjukkan bahwa pengetahuan ini lain dari yang lain. Istilah ini juga berbeda dengan pengetahuan akal budi semata-mata. Puncak awal perkembangan estetika sebagai salah satu bidang falsafah yang penting tampak pada pemikiran Immanuel Kant (1724-1784) Semenjak Kant, pengetahuan tentang keindahan atau pengalaman estetika tidak dapat ditempatkan di bawah payung logika atau etika, namun istilah estetika tetap dipertahankan.
Adapun yang dimaksudkan dengan istilah itu ialah cabang filsafat yang berurusan dengan keindahan. Maka Alexander Gottlieb Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan. Hal ini dituangkan melalui karyanya yang berjudul Aesthetica Acromatica (1750-1758). Hubungan Antara Manusia dan Estetika Berbicara mengenai penilaian terhadap keindahan maka setiap dekade dan setiap zaman memberikan penilaian yang berbeda terhadap sesuatu yang dikatakan indah. Jika pada zaman romantisme di Perancis keindahan berarti kemampuan untuk menyampaikan sebuah keagungan, lain halnya pada zaman realisme, keindahan mempunyai makna kemampuan untuk menyampaikan sesuatu apa adanya.
Sedangkan di Belanda pada era de Stjil  keindahan mempunyai arti kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang juga kemampuan mengabstraksi benda. Para Kawi zaman dahulu memakai kata Kalangwan atau Lango. Menurut professor Zoetmulder, tak ada satu bahasa yang demikian kaya akan istilah-istilah untuk mengungkapkan pengalaman estetika itu seperti bahasa Jawa Kuno.
Bahkan dalam kalangan para penyair itu, keindahan dan pengalaman estetik dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari surga yang pantas di sambut dengan sikap religius dan kebaktian “a real cult of beauty”. Bahkan membuat seni, menggubah syair, dianggap sebagai suatu tindakan kebaktian.
Akhirnya, manusia akan merasakan keindahan jika menyukai atau menyenangi sesuatu. Akan tetapi hal ini tidak mungkin berdampak baik dan buruk karena tidak bisa ditebak apa yang manusia sukai. Manusia pada hakikatnya menyukai kebaikan akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa manusia juga menyukai keburukan yang termasuk perilaku menyimpang.
Jadi dapat kita katakan bahwa kalau alam ini adalah hasil buatan zat yang tidak terbatas, maka keindahan ini ada artinya, sedangkan perkataan lain kalau Tuhan ada maka pengalaman keindahan adalah suatu hal yang harus kita rasakan. Menurut Al-Ghazali, keindahan mempunyai persyaratan seperti:
1.      Perwujudan dari kesempurnaan yang dapat dikenali kembali dalam suatu dengan sifatnya
2.      Memiliki perfeksi yang karakteristik
3.      Semua sifat pada sesuatu yang indah, merupakan representasi (mewakili) keindahan yang bernilai tinggi
4.      Nilai keindahan dari suatu yang indah, sebanding dengan nilai keindahan yang terdapat didalamnya. Dalam sebuah karangan (tulisan) harus memiliki sifat-sifat perfeksi yang khas, keharmonisan huruf-huruf, hubungan arti yang tepat satu sama lain, pelanjutan dari spasi yang tepat serta susunan kata dan kalimat yang menyenangkan.
5.      Syarat lain untuk keindahan adalah tercakupnya nilai-nilai spiritual, moral, dan agama.[25]

Oleh karena itu, hakikat keindahan yang paling esensial sangat ditentukan antara lain :
·         Rasa menyenangkan dan menimbulkan rasa senang
·         Adanya hubungan antara bagian-bagian sebagai suatu keseluruhan (obyek, subyek) sebagai suatu kesatuan didalam suatu keseluruhan.
·         Tercakup unsur kebaikan, sehingga dapat memupuk rasa  kemoralan
·         Antara keindahan dan kebaikan memiliki keterdekatan. Karena intisari mutlak dari hakikat yang indah itu harus baik, mengandung keharmonisan, nyata dan teraga, berguna serta lebih bermamfaat.
·         Harus terkait dengan nilai-nilai spiritual, moral dan agama.
Walaupun keindahan itu tidak tetap sifatnya. Berdasarkan rumusan-rumusan yang dikemukakan, namun dapat disimpulkan bahwa hakikat keindahan itu terletak didalam keabadian dari keindahan itu sendiri. Walaupun cara memandang, mengamati, menghayati sesuatu yang indah senantiasa ditentukan oleh alur pikiran dan perasaan masing-masing.

C.    KESIMPULAN
Menilik dari apa yang dikemukakan ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan ciri tertentu yang disebut dengan zatiyah. Dengan arti bahwasanya untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang telah ada sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang ada ini dengan adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka dengan itu pula kita bisa membedakan antara satu dengan lainnya.
Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang sifat zatiyyah­-nya adalah membasahi. Sifat membakar dan membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya dan merupakan pembedan antara api dengan air, jika tidak ada sifat tertentu, tentunya air dan api sama saja, tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang mustahil.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama.
Hakikat pengetahuan dapat diketahui melalui dua teori yaitu realisme dan idealisme. Sedangkan sumber pengetahuan dapat diketahui melalui teori emperisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu. Pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yakni pengetahuan biasa, penegetahuan ilmu (secience), pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama.
Adapun kebenaran adalah merupakan kesetiaan pada realitas objektif, yaitu suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan  mengenai fakta dengan fakta aktual, atau antara putusan dengan situasi seputar yang diberi interpretasi.
Teori yang berkaitan dengan kebenaran diantaranya, teori koherensi, teori korespondensi, teori pragmatis, tori positivism, teori esensialisme, teori konstroktivisme dan teori relegiusme. Adapun tingkatan kebenaran meliputi kebenaran indrawi, kebenaran imiah, kebenaran filsafat, dan kebenaran relegius.
Kebaikan atau disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan, kepuasan, kesenangan dan persesuaian. Adapun keindahan adalah persesuian antara bermacam-macam pengalaman dalam diri seseorang satu dengan yang lainnya untuk menghasilkan efek yang maksimal. Keindahan berdiri sendiri dan bersifat obyektif.












DAFTAR PUSTAKA

·         Adib, muhammad, Filsafat Ilmu, Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 2011.
·         Ahmad Khudori Saleh, M.Ag. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012
·         Abd. Aziz, M.PdI, Filasafat Pendidikan Islam.Yogyakarta: Teras, 2009
·         Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2010.
·         Drs. A. Susanto, M. P.d, Filsafat Ilmu, Jakarta:  Bumi Aksara, 2011
·         Departemen Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984
·         H. Endang Saifuddin Anshari, M.A, Ilmu, Filsafat, dan Agama. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985
·         W.JS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999
·         Louis Katsoff, Pengantar Filsafat, ter. Soejono Sumargono, Yogya: Tiara Wacana, 1992
·         Suparlan Suhartono, M.Ed. Ph. Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006.
·         Paul Edward. The Encyclopedia  of  Philosopy. New York: Macmillan Publishing.1972
·         William C. Chittick, Jalan Cinta Sang sufi Ajaran Spritual Rumi. Terj. Sadat Ismael, Yogya: Qalam, 200
·         Http://www. Katailmu.com/2013/03/hakikat-keindahan.html#sthash.vxS2oo10.dpuf





[1]Drs. A. Susanto, M. P.d, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, h. 46--47
[2] Ibid h. 47
[3] Paul Edward , The Encyclopedia  of  Philosopy, (New York: Macmillan Publishing, 1972), vol. 3
[4] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat,  Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet. I, h. 4
[5] Lauren Bagus, Kamus Filsafat,  Jakarta:  Gramedia, 1996, Cet. I, h.803
[6] Burhabnuddin Salam, Logika Materiil,  Jakarta: Rineka Cipta, 1997, cet. I, h. 28
[7] Prof. Dr. Amsal Bakhtiar,  M.A. Filsafat Ilmu, Jakarta:  Rajawali pres,  2012. Cet. 11, h. 87-88

[8]  H. Endang Saifuddin Anshari, MA, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982, cet III, h. 45
[9]  Abd. Aziz,M.Pd.I, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: 2009, cet I, h. 95-96
[10] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan,1998, Cet. Ke_ II, h. 40
[11] Prof. Dr. Amsal Bahtiar, M.A, Filsafat Ilmu, Opcit. H. 94-96
[12] Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, opcit, hal. 94-110
[13] Ibid, hal. 113
[14] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1978, hal.71
[15]Al-Ghazali, Al-Munqi Min  al-Dhalal, Kairo: Dar al-Kutub al- Hadisah,1974, hal 130
[16] Drs. H. Muhammad Adib, MA, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, cet II, h. 121-124
[17] W.JS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 667
[18] Risersi Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, terj. Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 1
[19] Loiss Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986),  hal.333
[20] Suparlan Suhartono, M.Ed. Ph. Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006. hal. 140
[21] Departemen Agama Islam,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an,1984).hal. 1099, zuz 30
[22] Drs.A. Susanto, M.pd. Opcit. Hal. 119
[23] William C. Chittick, Jalan Cinta sang Sufi Ajaran Spritual Rumi, terj. Sadat Ismael, (Yogya, Qalam, 200), 246
[24] Laouis Kattsoff, Pengantar Filsafat,  hal. 386-388
[25] Http://www. Katailmu.com/2013/03/hakikat-keindahan.html#sthash.vxS2oo10.dpuf
 

Tidak ada komentar:

Persyaratan Hak & Kewajiban Guru

BAB I PENDAHULUAN A.       LATAR BELAKANG MASALAH Di dalam   masyarakat tedapat bermacam-macam pekerjaan, seperti dokter, penga...