I.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, manusia
selalu cenderung pada kebenaran, pengetahuan, kebaikan dan keindahan. Oleh
karenannya manusia sebagai makhluk dan berakal selalu mencari kebenaran-kebenaran
melalui asal usulnya. Maka tidak heran bila manusia berusaha memahami sebab-sebab
dari setiap kejadian yang disaksikannya.
Dalam pemikiran mendasar dan
dengan akal manusia yang sehat, maka tidak mungkin segala sesuatu terwujud
dengan sendirinya secara kebetulan saja, tanpa sebab.
Seorang sopir yang mobilnya
mogok akan turun dari kendaraannya dan memeriksa kemungkinan sebab-sebab mogoknya
mobil itu. Tidak akan pernah terpikir olehnya bahwa mobilnya akan bisa mogok
manakala segala sesuatu berada dalam kondisi yang prima. Untuk membuat mobilnya
bisa berjalan lagi, dia akan menggunakan cara apa pun yang bisa dilakukannya.
Dia tidak akan pernah duduk-duduk saja menunggu mobilnya bisa berjalan lagi.
Jika seseorang merasa lapar,
dia akan berpikir tentang makanan. Jika dia haus, dia akan memikirkan air. Jika
dia kedinginan, dia akan mengenakan pakaian tambahan atau menyalakan api. Dia
tidak akan pernah duduk-duduk saja sambil meyakinkan dirinya bahwa suatu
kebetulan akan menyelesaikan masalahnya.
Seseorang yang ingin
mendirikan bangunan, meminta jasa seorang arsitek, dan para pekerja bangunan.
Dia tidak akan pernah berharap bahwa keinginannya terlaksana dengan sendirinya.
Bersama dengan maujudnya
manusia, gunung-gunung, hutan-hutan, dan lautan-lautan yang luas juga telah ada
bersamanya. Dia selamanya telah melihat matahari, bulan, dan bintang bergerak
dengan teratur dan terus-menerus melintasi langit.
Meski demikian, orang-orang
yang berilmu di dunia, tanpa mengenal lelah, telah mencari sebab-sebab
wujud-wujud dan fenomena-fenomena yang menakjubkan itu. Tidak pernah mereka
mengatakan: “Selama kita hidup, kita
telah menyaksikan benda-benda langit tersebut dalam bentuknya seperti yang
sekarang ini. Karena itu, tentu mereka terwujud dengan sendirinya.”
Perkataan ini tidak lah benar, namun bagaimana hakikat kebenaran itu
sesungguhnya?.
Hasrat ingin tahu dan
ketertarikan yang bersifat instinktif terhadap hakikat kebenaran disertai
pengetahuan yang benar, maka sebab-sebab ini memaksa kita menyelidiki bagaimana
benda-benda di alam ini muncul, dan menyelidiki ketertibannya yang mengagumkan.
Kita dipaksa untuk bertanya “ Apakah alam semesta ini, dengan seluruh
bagiannya yang saling berkaitan yang benar-benar membentuk satu kesatuan sistem
yang besar itu, terwujud dengan sendirinya, ataukah ia memperoleh wujudnya dari
sesuatu yang lain?”
Apakah sistem mengagumkan
yang berlaku di seluruh alam semesta ini, yang diatur oleh hukum-hukum abadi
tanpa kekecualian dan yang membimbing segala sesuatu menuju tujuannya yang
unik, dikendalikan oleh suatu kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas, ataukah
ia muncul secara kebetulan saja?
Jawaban terhadap pertanyaan
ini positif, artinya ke manapun manusia melihat di seluruh penjuru semesta ini,
ia akan melihat bukti-bukti yang melimpah akan adanya satu Pencipta dan
Kekuatan Pemelihara, sebab manusia melihat bahwa setiap ciptaan itu menikmati
anugerah-anugerah wujud dan secara otomatis bergerak mengikuti jalan yang
tertentu, akhirnya lenyap dan digantikan makhluk yang lain.
Makhluk-makhluk ini tidak
pernah mewujudkan dirinya sendiri, menciptakan arah perkembangannya sendiri,
ataupun memainkan peran sekecil apa pun dalam menciptakan atau atau
mengorganisasi eksistensi mereka.
Kita sendiri tidak memilih
kemanusiaan kita atau karakteristik-karakteristik manusiawi kita; kita
diciptakan sebagai manusia dan diberi karakteristik-karakteristik kemanusiaan
tersebut. Sama halnya, akal kita tidak akan pernah bisa menerima bahwa semua
wujud yang ada di alam semesta ini terwujud secara kebetulan saja, dan bahwa
sistem wujud itu muncul begitu saja.
Akal kita tidak bisa
menerima bahwa sejumlah potongan batu bata telah berkumpul bersama-sama secara
kebetulan dan dengan sendirinya untuk membentuk sebuah rumah. Jadi realisme
instinktif manusia menyatakan bahwa alam wujud pastilah memiliki satu penopang
yang merupakan Sumber wujud dan Pencipta
serta Pemelihara alam semesta dan bahwa Wujud serta Sumber kekuasaan dan
pengetahuan yang tak terbatas ini adalah Tuhan, sumber segala wujud dalam
sistem eksistensi.
Menurut teori peluang,
sebagai contoh, bila kita mengocok huruf yang tertulis dalam kertas
masing-masing bertuliskan A, B, C hingga Z (ada 26 huruf). Kemudian kita ambil
satu demi satu dan diletakkan di atas meja berurutan. Maka peluang kemunculan huruf-huruf
tersebut berurutan ABCDEFGHIJKLMNOPQRST UVWXYZ adalah kurang dari
0,0000000000000000000000000025 atau kurang dari seperempatratus trilyun
trilyun.
Dalam tubuh manusia (70 kg)
terdapat sekitar 7 trilyun trilyun trilyun atom (99%nya adalah Hidrogen,
Oksigen dan Karbon). Bisakah kita
bayangkan betapa kecil kemungkinan 7 trilyun trilyun trilyun atom ini
membentuk, menyusun, berinteraksi dengan sangat kompleks secara “kebetulan”
sehingga seorang manusia mewujud di dunia dengan kelengkapan sistem kehidupannya
?
Bagaimana pula dengan
masyarakat manusia yang terdiri atas milyaran manusia dan tak terhitung
spesies-spesies tumbuhan dan hewan baik di daratan maupun di lautan yang
tertata rapi membentuk rantai-rantai ekosistem dan berbagai keteraturan dan
kesalingterkaitan?
Bagaimana pula dengan planet
bumi yang terdiri atas trilyun trilyun trilyun ….. atom yang tertata sedemikian
rapi dengan pergantian musimnya, hukum-hukum geologis, hukum-hukum meteorologi,
siklus air, keteraturan arus-arus lautan, dan tak terhitung
keteraturan-keteraturan lain?
Bagaimana pula dengan posisi
bumi di tatanan tata surya, yang “melayang-layang” tanpa tiang bersama
planet-planet lain; dan mengikuti berbagai aturan yang bahkan terukur dengan
sangat nyata seperti hukum Keppler? Dengan posisi rotasi yang memungkinkan
siklus empat musim? Bagaimana pula tata surya sebagai satu dari 100 milyar
bintang yang berputar-putar mengitari pusat galaksi bima sakti?
Melalui makalah yang
terbatas ini, maka akan kita bahas sekelumit kebenaran, pengetahuan, keindahan
dan nilai-nilai kebaikan melalui filsafat ilmu yang di sandarkan pada
pendidikan Islam.
Diharapkan tulisan makalah
ini dapat menjadi manfaat dan memudahkan dalam proses perenungan untuk memahami
kebenaran.
A. HAKIKAT
PENGETAHUAN DAN KEBENARAN
Kata hakikat (Haqiqat)
merupakan kata benda yang berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata
“Al-Haqq”, dalam bahasa indonesia menjadi kata pokok yaitu kata “hak“ yang
berarti milik (ke¬punyaan), kebenaran, atau yang benar-¬benar ada, sedangkan
secara etimologi Hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala
sesuatu.
Dapat disimpulkan bahwa
Hakikat adalah kalimat atau ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan mak¬na
yang yang sebenar¬nya atau makna yang paling dasar dari sesuatu seperti benda,
kondisi atau pemikiran, Akan tetapi ada beberapa yang menjadi ung¬kapan yang
sudah sering digunakan dalam kondisi tertentu, sehingga menjadi semacam
konvensi, hakikat seperti disebut sebagai haki¬kat secara adat kebiasaan.
Apa itu hakikat? Hakikat
ialah realitas; realitas “real”, “reality”, adalah kenyataan yang sebenarnya
atau kejadian sesungguhnya. jadi, hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya atau
keadaan sebenarnya sebagai sesuatu yang mutlak. Bukan keadaan sementara, bukan
keadaan yang menipu (illusion), bukan
keadaan yang berubah.
Jika kita berbicara tentang
teori hakikat, maka sangat luas sekali. Segala yang ada dan yang mungkin ada,
yang mencakup pengetahuan dan nilai (hakikat pengetahuan dan hakikat nilai).
Oleh karena itu, kajian hakikat ini dalam kajian filsafat dinamakan ontologi.
Dalam makalah ini akan kita bahas tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan,
serta nilai kebaikan dan keindahan.
Pengetahuan
dan kebenaran adalah dua hal yang saling berkaitan erat, sebab pengetahun merupakan
hasil dari pencarian sebuah kebenaran. Kebenaran adalah hasil dari rasa ingin
tahu. Jadi antara pengetahuan dan kebenaran selalu beriringan tanpa bisa dipisahkan.
Banyak
pendapat tentang pengetahuan maupun kebenaran yang mengatakan keduanya saling
terkait. Akan tetapi banyak orang masih bingung tentang apa itu pengetahuan
ataupun kebenaran.
Berfikir merupakan suatu
kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Banyak orang merasa bahwa
tujuan pengetahuan adalah mencari kebenaran, namun masalahnya tidak sampai
disitu saja. Problem kebenaran inilah yang memicu tumbuh dan berkembangnya
efestimologi.
1. Definisi
Pengetahuan
Pengetahuan
dalam pandangan filsafat memiliki 3 teori, yakni teori pengetahuan yang
membicarakan cara memperoleh pengetahuan yang disebut epistemologi. Kedua teori
hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri yang disebut ontologi.
Ketiga, teori nilai yang membicarakan guna pengetahuan itu yang disebut aksiologi.
Ada sebagian
ahli yang berpandangan bahwa pengetahuan
dengan ilmu tidaklah berbeda. Pengetahuan bagi mereka tidak ubahnya
sebagai ilmu, sehingga ilmu dengan pengetahuan tidak berbeda.
Sebagian
lagi memahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu atau ilmu pengetahuan atau
pengetahuan ilmiah. Sebagaimana dinyatakan
M. Thoyibi (1994: 35), pengetahuan ilmiah tidak lain adalah ‘a higner
level’ dalam perangkat pengetahuan
manusia dalam arti umum sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan menurut Amsal Bakhtiar (2005), pengetahuan merupakan hasil proses
dari usaha manusia untuk tahu.[1]
Menurut
Jujun S. Suriasumantri (1990: 105) pengetahuan pada hakikatnya merupakan
segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya
adalah ilmu. Dengan demikian, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang
diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan
agama.[2]
Secara
etimologi pengetahuan berasal dari kata
dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan
bahwa definisi pengetahuan adalah keparcayaan yang benar (knowledgw is
justified true belief).[3]
Sedangkan
Maufur (2008:30), menjelaskan bahwa ilmu adalah sebagian dari pengetahuan yang
memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu, artinya ilmu tentu saja merupakan
pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu ilmu. Karena pengetahuan untuk
dapat dikategorikan sebagai ilmu harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni
sistematis, general, rasional, objektif, menggunakan metode tertentu , dan
dapat dipertanggung jawabkan.
Menurut Drs.
Sidi Gazalba pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu.
Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan
pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian
pengetahuan merupakan hasil proses usaha dari manusia untuk tahu.[4]
Menurut
kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses
kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri.
Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek)
didalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun
yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[5]
Orang
pragmatis, tertuma John Dewey tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran
(antara knowledge dengan truth). Jadi pengetahuan itu harus benar,
kalau tidak benar adalah kontradiksi.[6]
Beranjak
dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka
didalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin
salam, menjelaskan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat yaitu:
1. Pengetahuan
biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common
sense, dan yang diartikan dengan good sense, karena sesorang
memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik. Bola itu dikatakan bulat
karena memang berbentuk bulat, air jika dipanaskan akan mendidih dan
sebagainya. Pengetahuan ini diperoleh dari kehidupan sehari-hari.
2.
Pengetahuan ilmu (secience),
yaitu ilmu dalam pengertian yang sempit diartikan untuk menunjukkan ilmu
pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif.
3.
Pengetahuan filsafat, yakni
pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan
spekulatif. Filsafat membahas segala hal dengan kritis sehingga dapat diketahui
secara mendalam tetntang apa yang sedang dikaji.
4.
Pengetahuan agama, yakni pengetahuan
yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat utusan-Nya, sehingga pengetahuan ini
bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. [7]
Adapun Scheler membedakan jenis pengetahuan menurut wujudnya dan menurut
ketertiban abadi daripada realita dalam skala sebagai berikut:
·
Pengetahuan theologis
·
Pengetahuan filosofis
·
Pegetahuan tentang yang lain, baik kolektif maupun
individual
·
Pengetahuan tentang dunia lahir
·
Pengertahuan teknis, dan
·
Pengetahuan ilmiah. [8]
Abd. Aziz, M.Pd.I membedakan pengetahuan manusia menjadi tiga jenis
pengetahuan yaitu:
1.
Pengetahuan Ilmiah: yaitu pengetahuan yang diperoleh
dan dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah atau dengan menggunakan
cara kerja atau metode ilmiah.
2.
Pengetahuan Moral: dalam hal moral tidak ada klaim
kebenaran yang absah. Penilaian dan putusan moral adalah soal perasaan pribadi
atau produk budaya tempat orang lahir dan dibesarkan.
3.
Pengetahuan Religius: yakni pengetahuan kita tentang
Tuhan yang sesungguhnya berada diluar
lingkup pengetahuan manusia. [9]
2. Hakikat dan
sumber pengetahuan
Pengetahuan
berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena
manusia adalah makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh.
Manusia mengembangkan
pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan hidup dan guna menjaga kelangsungan hidup. Dia
memikirkan hal-hal baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan
hidup, namun lebih dari itu manusia mmpunyai tujuan tertentu dalam hidupnya
yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang
menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya, dan pengetahuan ini jugalah
yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi.
Pengetahuan
ini mampu dikembangkan manusia yang disebabkan oleh dua hal utama, yakni pertama
manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan
informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan
pengetahuannya dengan cepat dan mantap adalah kemampuan berfikir menurut
kerangka berfikir tertentu. [10]
Ada dua
teori untuk dapat mengetahui hakikat dari sebuah pengetahuan. Yaitu teori
Realisme dan idealisme.
a. Teori
realisme mengatakan bahwa pengetahuan adalah kebenaran yang sesuai dengan
fakta. Apa yang ada dalam fakta itu dapat dikatakan benar. Dengan teori ini
dapat diketahui bahwa kebenaran obyektif juga di butuhkan bukan hanya mengakui
kebenaran subyektif.
Contoh kita mengetahui bahwa pohon itu memang
tertancap ditanah karena
kenyataannya memang
begitu dan obyeknya terlihat sangat nyata. Jadi teori
ini mengakui adanya apa yang mengetahui dan apa yang diketahui.
b. Teori
idealisme memiliki perbedaan pendapat dengan realisme. Pada teori ini
dijelaskan bahwa pengetahuan itu bersifat subyektif. Oleh
karena itu pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran,
yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan
orang yang mengatahui (subjek).[11]
Kalau
realisme mempertajam perbedaan antara yang mengatahui dan yang diketahui,
idealisme adalah sebaliknya. Bagi idealisme dunia dan bagian-bagiannya harus
dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan seperti organ tubuh
dengan bagian-bagiannya. Sebenarnya realisme dan idealisme memiliki
kelemahan-kelamahan tertentu. Realisme ekstrim bisa sampai pada materialistik
atau dualisme.
Dengan
adanya kedua teori tersebut dapat dikatakan semua orang memiliki pengetahuhan
walaupun dasar yang mereka pakai berbeda-beda. Selain itu pengetahuan diperoleh
pula dari sumber yang lebih dari satu, yaitu sumber
empirisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu.
1.
Empirisme menyatakan
bahwa manusia memperoleh pengetahuan dengan pengalaman yang dialaminya. Teori
ini bersifat inderawi jadi antara satu dengan yang lain memiliki perbedaan.
Akal dalam teori ini hanyalah mengelola
konsep gagasan inderawi saja dan tidak dikedepankan. Jhon locke (1632-1704)
mengemukakan teori tabula rasa. Maksudnya manusia pada awalnya kosong kemudian
pengalaman mengisi kekosongan tersebut sehingga menjadi pengetahuan. Pengalaman
di dapat dari indera yang awalnya sederhana menjadi sangat komplek jadi
sekomplek apapun pengetahuan akan dapat kembali pada sumbernya yaitu indera. Dimana pengetahuan yang tidak dapat di indera bukan pengetahuan yang benar karena
indera adalah sumber pengetahuan. Teori ini menjadi lemah karena indera manusia
memiliki keterbatasan.
2.
Rasionalisme menjelaskan
bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diukur
dan diperoleh dari akal. Teori ini membenarkan pemakaian indera untuk
memperoleh pengetahuan akan
tetapi harus di olah dengan akal. Jadi sumber kebenarannya adalah akal. Di sini
juga dapat mengetahui tentang konsep-konsep pengetahuan yang
abstrak. Namun teori ini
memiliki kelemahan karena data-data tidak selalu sempurna sehingga akal tidak
dapat menemukan
pengetahuan yang benar-benar sempurna.
3.
Intuisi menerangkan
bahwa pengetahuan diperoleh dari pemikiran tingkat tinggi. Kegiatan intuisi dan
analisis bisa saling membantu untuk menemukan kebenaran. Mereka yang
menggunakan intuisi biasanya memperoleh pengetahuan dengan perantara hati bukan
indera maupun akal. Sehingga teori ini menggunakan metode perenungan yang
mendalam untuk mencari kebenaran.
4.
Wahyu yang
menjelaskan bahwa pengetahuan di peroleh langsung dari Tuhan melalui perantara Nabi.
Pengetahuan yang seperti ini tidak memerlukan waktu untuk berfikir ataupun
merenung. Pengetahuan didapatkan kemudian dikaji lebih lanjut sehingga dapat
meningkatkan keyakinan tentang kebenarannya. Berbeda dengan ilmu pengetahuan
yang melakukan penelitian terlebih dahulu baru kemudian mendapat pengetahuan
dan di ketahui kebenarannya.Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik
mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang
mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan
manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.[12]
3. Defenisi Kebenaran
Adapun
kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif, yaitu
suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang
selaras dengan situasi. Kebenaran adalah persesuaian (Agreement) antara
pernyataan (statement) mengenai
fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (judgement) dengan situasi seputar (environmental
situation) yang diberi interpretasi.[13]
Dalam tradisi Yunani kebenaran dibahas dari segi
hakikat dan sifatnya. Kaum sofis berpendapat bahwa kebanaran relatif dan subjektif.
Setiap orang memiliki kebenaran sendiri-sendiri. Phrotagoras salah satu tokoh
Sufis mengatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran segala sesuatu.[14]
Dalam filsafat pengkajian tentang standar kebenaran
amat penting karena salah satu defenisi filsafat adalah mencari kebenaran. Al-Ghazali
adalah ilmuan Islam yang sangat serius mencari kebenaran, sampai dia mengalami
keraguan yang sangat hebat, sehingga melemahkan fisiknya.
Pertama kali ia mempelajari ilmu kalam, tetapi
dalil ilmu kalam tidak memuaskan dalam mendatangkan kebenaran serta belum bisa
mengobati keraguannya. Menurut Al-Ghazali, dalam ilmu kalam terdapat beberapa
aliran yang bertentangan.
Selanjutnya, setiap pendapat atau golongan merasa dirinya yang paling benar, sehingga
timbul tanda tanya dalam dirinya, aliran manakah yang paling benar dari semua
aliran. Keinginan Al-Ghazali adalah mencari kebenaran yang hakiki
(sesungguhnya), yaitu kebenaran yang tidak diragukan lagi, seperti sepuluh
lebih banyak dari tiga.
Al-Ghazali sampai pada kebenaran yang demikian
dalam tasawuf setelah ia mengalami proses yang panjang dan berbelit-belit.
Tasawuflah yang menghilangkan keraguannya. Pengetahuan mistik menurutnya adalah
cahaya yang diturunkan oleh Allah SWT ke dalam dirinya. Cahaya itu adalah
cahaya yang menyinari dirinya sehingga terbukanya tabir yang merupakan sumber
segala pengetahuan.[15]
4. Tingkatan
dan kriteria kebenaran
Kebenaran
bersifat relatif sehingga semua orang memiliki kriteria kebenaran yang
berbeda-beda. Tingkatan kebenaran dari yang terendah ke pemahaman yang
tertinggi adalah sebagai berikut.
Pertama, adalah kebenaran
inderawi. Inderawi merupakan kebenaran yang paling sederhana. Sesuatau
dikatakan benar jika dapat dilihat dengan indera tanpa berfikir lebih lanjut.
Kedua, adalah
kebenaran ilmiah (sains). Kebenaran pada tingkatan ini didasarkan pada
indera dan diolah menggunakan rasio. Sehingga kebenaran dapat diakui jika dapat
dirasio dan di lihat atau dirasakan dengan indera.
Ketiga,
adalah kebenaran filsafat. Kebenaran pada tingkatan ini diperoleh dari
rasio dan pemikiran lebih mendalam (perenungan) tentang suatu hal. Sehingga
dapat diketahui kebenaran yang lebih mendalam.
Keempat, adalah kebenaran religius. Kebenaran ini bisa juga dikatakan kebenaran yang
mistis karena tidak dapat dilihat dengan indera dan di rasio. Kebenaran
ini bersifat mutlak karena kebenaran ini bersumber dari tuhan.
5. Teori
kebenaran
Sehubungan dengan
pencarian kebenaran dan standar nilai-nilai kebenaran itu sendiri, maka kita
dapat mengkaji beberapa teori yang muncul tentang kebenaran, antara
lain :
1.
Teori
koherensi
Koherensi merupakan teori kebenaran
yang menegaskan bahwa suatu proposisi
(pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian, atau informasi) akan diakui
shahih/dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan dari proposisi
sebelumnya yang juga shahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
logika. Misalnya semua makhluk hidup akan mati, pohon termasuk makhluk hidup
jadi suatu saat pohon akan mati.
2.
Teori
korespondensi
Sesuatu dikatakan benar apabila
sesuai dengan objek yang dituju. Contoh ibu kota Indonesia adalah Jakarta, maka
pernyataan ini adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat
faktual yakni Jakarta memang menjadi Ibu Kota Republik Indonesia.
3.
Teori
pragmatik
Merupakan teori kebenaran yang
mendasarkan diri ada kreteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan
atau tidaknya suatu pernyataan dalam ruang lingkup dan waktu tertentu. Sesuatu
dikatakan benar jika memiliki manfaat dan sudah diuji. Selama belum diuji belum
dikatakan benar atau tidak.
4.
Teori
positivisme
Aguste Comte (1798-18570 menyatakan
cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains adalah
pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah
“data-data yang nyata/ empiris” yang mereka nampakkan positif.
5.
Teori
esensialisme
Pendidikan yang didasarkan kepada
nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat
manusia.Esensialisme memandang bahwa pendidikan
harus berpijak ada nilai-nilai yang memeliki kejelasan dan tahan
lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
6.
Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme didefinisikan
sebagai pembelajaran generatif adalah tindakan mencipta suatu makna dari
apa yang dipelajari.
7.
Teori
relegiusme
Teori ini memaparkan bahwa manusia
bukanlah semata-semata makhluk jasmaniah, tetapi juga makhluk rohaniah.Teori
religius ini kebenaran nya secara ontologis dan aksiologis bersumber dari sabda
Tuhan yang disampaikan melalui wahyu dan bersifat mutlak.[16]
B.
NILAI KEBAIKAN DAN KEINDAHAN
Sebagaimana diketahui bahwa secara keilmuan, filsafat
berada dalam posisi seperti pohon yang memiliki cabang-cabang yang disebut
aksiologi yang mempelajari tentang hakikat nilai.
Dimana ada 3 nilai yang dipersoalkan, yaitu nilai keindahan, nilai kebaikan, dan nilai kebenaran. Nilai
keindahan dipersoalkan secara khusus
dalam cabang filsafat Estetika. Nilai Kebenaran dipersoalkan dalam cabang filsafat Efestemologi,
dan nilai kebaikan dipelajari dalam
cabang filsafat Etika.
Nilai adalah sifat-sifat
(hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.[17]
Menurut Riserri Frondizi, nilai itu merupakan kualitas yang tidak tergantung
pada benda-benda adalah sesuatu yang bernilai. Ketidaktergantungan ini mencakup
setiap bentuk emperis, nilai adalah kualitas priori.[18]
Menurut Louis O.Kattsof nilai diartikan sebagai berikut:
1.
Nilai
merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefenisikan, tetapi kita dapat
mengalami dan memahami secara langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu.
Dengan demikian nilai tidak semata-semata subjektif, melainkan ada tolak ukur
yang pasti terletak pada esensi objek tertentu.
2.
Nilai
sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada dalam
kenyataan maupun pikiran dapat memperoleh nilai jika suatu ketika berhubungan
dengan subjek-subjek yang memiliki kepentingan.
3.
Sesuai
dengan pendapat Dewey, nilai adalah sebagai hasil dari pemberian nilai, nilai
itu diciptakan oleh situasi kehidupan.
4.
Nilai
sebagai esensi nilai adalah hasil ciptaan yang tahu, nilai sudah sejak semula,
terdapat dalam setiap kenyataan namun tidak bereksistensi, nilai itu bersifat
objektif dan tetap.[19]
1.
Nilai Kebaikan
Telah diketahui secara umum
bahwa etika adalah suatu studi filosifis mengenai moral (Philosophical study
of morals). Jadi persoalan pokoknya adalah tentang ‘hakikat moral’. Moral adalah masalah tingkah
laku dalam hubungannya dengan diri sendiri dan sesamanya, sejauh mana
mengandung nilai kebaikan.
Hakikat kebaikan yang menjadi
persoalan sentral etika adalah ‘nilai baik’ menurut semua segi. Dipandang dari
sisi manapun, nilai kebaikan tidak pernah
mengalami perubahan. Jadi bersifat mutlak. Hal-hal seperti kesehatan,
ketenangan, ketentraman, kemakmuran, kebahagiaan dan sebagainya, tetap mengandung
nilai kebaikan. Hanya saja jenis perilaku mana yang bersesuaian dengan nilai
kebaikan itu? Sebab, tidak semua jenis
perilaku berbanding lurus dengan
nilai kebaikan.
Berdasar pada sistematika
filsafat, nilai keindahan, kebenaran, kebaikan
berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas.
Maksudnya, yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar
seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik.
Tetapi apakah fakta perilaku mencerminkan
dimensi hubungan seperti itu?
Pada hakikatnya, kehidupan ini
indah, ketika semua pihak bekarja sama untuk saling menolong dan memberi dalam
ikatan kebersamaan yang harmonis Jadi, hakikat nilai kebaikan itu berada di
dalam perilaku.
Dengan demikian, hakikatnya dapat
diketahui dari fakta perilaku. Apakah perilaku itu bersesuaian dengan derajat
nilai kemanusiaan ataukah tidak. Sedangkan derajat nilai kemanusiaan itu
terletak pada apakah suatu perilaku mampu menumbuhkan moral menolong, memberi,
sehingga menjadikan semua pihak mampu hidup mandiri, kreatif, cakap, dan terampil
dalam kehidupannya.[20]
Dari segi bahasa baik atau
kebaikan dalah terjemahan dari kata Khoir, al-Birr, al- Ma’ruf (dalam bahasa
Arab). Good (dalam bahasa Inggris). Dikatakan bahwa yang disebut baik adalah
sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan, kepuasan, kesenangan dan persesuaian.
Sedang ‘baik’ menurut ethik
adalah sesuatu yang berharga untuk tujuan,
sesuatu yang mendatangkan dan memberikan
rasa senang dan bahagia. Sebaliknya yang tidak berharga, tidak berguna untuk
tujuan dan merugikan maka disebut buruk. Jadi disebut baik atau kebaikan adalah
sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Walaupun tujuan
orang atau golongan di dunia ini berbeda-beda, sesungguhnya pada akhirnya
semuanya mempunyai tujuan yang sama sebagai tujuan akhir tiap-tiap sesuatu.
Bagi seorang Muslim berbuat
kebaikan adalah kebutuhan yang oleh Allah SWT akan diberi balasan di akhirat
dengan pahala. Selain pahala berbuat kebaikan bagi seorang Muslim merupakan
dakwah kepada orang disekitarnya agar timbul kasih sayang terhadap sesama dan
wujud penghargaan atas nikmat yang di berikan Allah SWT kepada kita. Firman
Allah:

Artinya: “Demi masa,
sesugguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebaikan, serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling
menasehati dalam kesabaran”.[21]
2.
Nilai
Keindahan
Manusia pada umumnya menyukai
sesuatu yang indah, baik terhadap keindahan alam maupun keindahan seni.
Keindahan alam adalah keharmonisan yang menakjubkan dari hukum-hukum alam yang
dibukakan untuk mereka yang mempunyai kemampuan untuk menerimanya. Sedangkan
keindahan seni adalah keindahan hasil cipta manusia (seniman) yang memiliki
bakat untuk menciptakan sesuatu yang indah.
Pada umumnya manusia mempunyai
perasaan keindahan. Rata-rata manusia yang melihat sesuatu yang indah akan
terpesona. Namun pada hakikatnya tidak semua orang memiliki kepekaan terhadap
keindahan itu sendiri. Keindahan tentang seni telah lama menarik perhatian para
filosof mulai dari zaman Plato sampai zaman modern sekarang ini.
Teori tentang keindahan muncul
karena mereka menganggap bahwa seni adalah pengetahuan perspektif perasaan yang
khusus. Keindahan juga telah memberikan warna tersendiri dalam sejarah
peradaban manusia. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan membahas
pengertian estetika, sejarah perkembangan estetika, serta hubungan antara
manusia dengan estetika.
Berbicara tentang
keindahan (estetika), Semiawan (2005:159) menjelaskan sebagai “the study of nature of beauty in the fine
art”, mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni.[22]
Estetika merupakan
cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika
membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu
pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas.
Keindahan adalah
persesuaian antara bermacam-macam pengalaman dalam diri seseorang satu dengan
yang lainnya untuk menghasilkan efek yang maksimal. Keindahan merupakan
hubungan antara unsur-unsur realitas disamping hubungan dengan kebendaan. Oleh
sebab itu sesuatu bagian dari pengalaman dapat menjadi bahagian yang indah.
Tuhan itu indah dan menyukai keindahan,
menurut sebuah ungkapan. Apa yang dimaksud indah? Menurut Jalal al-Din Rumi
(1207-1273 M) keindahan adalah manifestasi cinta, kepada Tuhan sebagai
keindahan sejati maupun keadaan selain-Nya sebagai keindahan imitasi. [23]
Menurut Thomas Aquinas (1224-1274) dan Jacques Maritain, keindahan
adalah realitas indah yang ada pada objek yang kemudian memberikan perasaan
enak dan senang pada objek. Keindahan bersifat objektif, sebaliknya menurut
George Santyana (1863-1952 M), indah adalah perasaan nikmat atau suka dari
subjek pada suatu objek yang kemudian menganggapnya sebagai milik objek,
artinya apa yang disebut indah sangat subjektif.[24]
Bagaimana keindahan bisa
tercipta dan bagaimana orang bisa merasakannya dan memberi penilaian terhadap
keindahan tersebut. Maka filsafat estetika akan selalu berkaitan dengan baik
dan buruk, indah dan jelek. Bukan berbicara tentang salah dan benar seperti
dalam epistemologi. Secara etimologi, estetika diambil dari bahasa Yunani,
aisthetike yang berarti segala sesuatu yang dapat dicerna oleh indra.
Estetika membahas refleksi
kritis yang dirasakan oleh indera dan memberi penilaian terhadap sesuatu, indah
atau tidak indah, beauty or ugly. Estetika disebut juga dengan istilah filsafat
keindahan.
Emmanuel Kant meninjau
keindahan dari 2 segi, pertama dari segi arti yang subyektif dan kedua dari
segi arti yang obyektif.
a.
Subyektif:
Keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa sangkut paut dengan
kegunaan praktis, tetapi mendatangkan rasa senang pada si penghayat.
b.
Obyektif:
Keserasian dari suatu obyek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh obyek ini
tidak ditinjau dari segi gunanya. Bagi Immanuel Kant , sarana kejiwaan yang
disebut cita rasa itu berhubungan dengan dicapainya kepuasan atau tidak
dicapainya kepuasaan atas obyek yang diamati. Rasa puas itu pun berkaitan
dengan minat seseorang atas sesuatu. Suatu obyek dikatakan indah apabila
memuaskan minat seseorang dan sekaligus menarik minatnya. Pandangan ini
melahirkan subyektivisme yang berpengaruh bagi timbulnya aliran-aliran seni
modern khususnya romantisme pada abad ke-19.
Menurut Al-Ghazali, keindahan
suatu benda terletak di dalam perwujudan dari kesempurnaan. Perwujudan tersebut
dapat dikenali dan sesuai dengan sifat benda itu. Disamping lima panca indera,
untuk mengungkapkan keindahan di atas Al-Ghazali juga menambahkan indra ke
enam yang disebutnya dengan jiwa (ruh)
yang disebut juga sebagai spirit, jantung, pemikiran, cahaya.
Kesemuanya dapat merasakan
keindahan dalam dunia yang lebih dalam yaitu nilai-nilai spiritual, moral dan
agama. Kaum materialis cenderung mengatakan nilai-nilai berhubungan dengan
sifat-sifat subjektif, sedangkan kaum idealis berpendapat nilai-nilai bersifat
objektif.
Andaikan kita sepakat dengan
kaum materialis bahwa yang merupakan nilai keindahan itu merupakan
reaksi-reaksi subjektif, maka benarlah apa yang terkandung dalam sebuah
ungkapan “Mengenai masalah selera tidak perlu ada pertentangan”. Sama seperti
halnya orang-orang yang menyukai lukisan abstrak, jika sebagian orang
mengatakan lukisan abstrak aneh, maka akan ada juga orang yang mengatakan bahwa
lukisan abstrak itu indah.
Reaksi ini muncul dalam diri
manusia berdasarkan selera. Pada akhirnya pembahasan estetika akan berhubungan
dengan nilai-nilai sensoris yang dikaitkan dengan sentimen dan rasa. Sehingga
estetika akan mempersoalkan teori-teori mengenai seni. Dengan demikian estetika
merupakan sebuah teori yang meliputi:
a.
Penyelidikan
mengenai sesuatu yang indah
b.
Penyelidikan
mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni
c.
Pengalaman
yang bertalian dengan seni, masalah yang berkaitan dengan penciptaan seni,
penilaian terhadap seni dan perenungan atas seni.
Dari pernyataan di atas,
estetika meliputi tiga hal yaitu fenomena estetis, fenomena persepsi, fenomena
studi seni sebagai hasil pengalaman estetis. Sejarah Perkembangan Estetika Pada
zaman Yunani Kuno sampai masa-masa kemudian filsafat keindahan menjadi begian
dari metafisika (yakni cabang filsafat yang membahas persoalan-persoalan
tentang keberadaan dan seluruh realita).
Banyak metode dan istilah
metafisika dipergunakan dalam filsafat keindahan. Filsuf yang mulai banyak
membahasnya adalah Socrates (496-399 SM) dan Plato (427-347 SM).
Istilah-istilah yang mereka pakai lebih umum sifatnya. Aristoteles, filsuf yang
pernah menjadi guru Iskandar Agung, mempergunakan istilah Poetika.
Kemudian hari muncul
istilah-istilah seperti “art” dan “humaniora” yang mana istilah ini di
negara-negara pemakai bahasa Inggris masih dijunjung tinggi bahkan dipakai
sebagai nama jurusan The Humanities (yang menjadi orang muda lebih manusiawi).
Estetika di dunia Barat sama
tuanya dengan filsafat. Khususnya dalam filsafat Plato. Masalah estetika
memainkan peranan yang sangat penting. Keindahan yang mutlak menurut Plato
hanya terdapat dalam tingkatan ide-ide dan dunia ide yang mengatasi kenyataan.
Itulah dunia ilahi yang tidak
langsung terjangkau oleh manusia, tetapi yang paling mendekati deskripsi para
filsuf adalah pendekatan melalui dunia ide dengan harmoni yang ideal (Teeuw,
347:1984). Dick Hartoko dalam bukunya Manusia dan Seni (1986: 15-17 )
mengemukakan perihal estetika yang meliputi pengertian dan juga asal kata dari
istilah tersebut pertama-tama mengungkap Istilah anastesi yang terdiri atas dua
bagian: “an” yang berarti “tidak” dan “aesthesis” berarti yang berarti
“perasan, pencerapan, persepsi”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa
tugas ahli anasthesi itu supaya pasien yang menjalani operasi bedah tidak
merasakan sakit atau justru bisa tidak sadar diri. Kata “aesthesis” berasal
dari bahasa Yunani dan berarti pencerapan, persepsi, pengalaman, perasaan,
pemandangan.
Kata ini untuk pertama kali
dipakai oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762). Filsafat estetika
pertama kali dicetuskan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1975) yang
mengungkapkan bahwa estetika adalah cabang ilmu yang dimaknai oleh perasaan.
Walau begitu, dalam sejarah
falsafah, tokoh yang paling berjasa merumuskan dan membangun pengertian
estetika sebagai bidang falsafah adalah Hegel (1770-1831) seorang filosof
idealis Jerman yang pemikirannya sangat berpengaruh pada abad ke-19 dan 20.
Hegel inilah yang terutama sekali menghubungkan estetika dengan seni, sehingga
pada abad ke-19 estetika tidak berkembang semata-mata sebagai falsafah
keindahan, tetapi menjelma menjadi semacam teori seni.
Filsafat estetika adalah
cabang ilmu dari filsafat aksiologi, yaitu filsafat nilai. Istilah aksiologi
digunakan untuk memberi batasan kebaikan yang meliputi etika, moral, dan
perilaku. Adapun estetika yaitu memberi batasan mengenai hakikat keindahan atau
nilai keindahan.
Baumgarten masih memasukkan
pengalaman tentang keindahan dalam ilmu pengetahuan, namun ia merasa perlu untuk menciptakan sebuah istilah tersendiri
guna menunjukkan bahwa pengetahuan ini lain dari yang lain. Istilah ini juga
berbeda dengan pengetahuan akal budi semata-mata. Puncak awal perkembangan
estetika sebagai salah satu bidang falsafah yang penting tampak pada pemikiran
Immanuel Kant (1724-1784) Semenjak Kant, pengetahuan tentang keindahan atau
pengalaman estetika tidak dapat ditempatkan di bawah payung logika atau etika,
namun istilah estetika tetap dipertahankan.
Adapun yang dimaksudkan dengan
istilah itu ialah cabang filsafat yang berurusan dengan keindahan. Maka
Alexander Gottlieb Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikannya
sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan. Hal ini dituangkan melalui karyanya
yang berjudul Aesthetica Acromatica (1750-1758). Hubungan Antara Manusia dan
Estetika Berbicara mengenai penilaian terhadap keindahan maka setiap dekade dan
setiap zaman memberikan penilaian yang berbeda terhadap sesuatu yang dikatakan
indah. Jika pada zaman romantisme di Perancis keindahan berarti kemampuan untuk
menyampaikan sebuah keagungan, lain halnya pada zaman realisme, keindahan
mempunyai makna kemampuan untuk menyampaikan sesuatu apa adanya.
Sedangkan di Belanda pada era
de Stjil keindahan mempunyai arti
kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang juga kemampuan mengabstraksi benda.
Para Kawi zaman dahulu memakai kata Kalangwan atau Lango. Menurut professor
Zoetmulder, tak ada satu bahasa yang demikian kaya akan istilah-istilah untuk
mengungkapkan pengalaman estetika itu seperti bahasa Jawa Kuno.
Bahkan dalam kalangan para
penyair itu, keindahan dan pengalaman estetik dianggap sebagai sesuatu yang
berasal dari surga yang pantas di sambut dengan sikap religius dan kebaktian “a
real cult of beauty”. Bahkan membuat seni, menggubah syair, dianggap sebagai
suatu tindakan kebaktian.
Akhirnya, manusia akan
merasakan keindahan jika menyukai atau menyenangi sesuatu. Akan tetapi hal ini
tidak mungkin berdampak baik dan buruk karena tidak bisa ditebak apa yang
manusia sukai. Manusia pada hakikatnya menyukai kebaikan akan tetapi tidak
menutup kemungkinan bahwa manusia juga menyukai keburukan yang termasuk
perilaku menyimpang.
Jadi dapat kita katakan bahwa
kalau alam ini adalah hasil buatan zat yang tidak terbatas, maka keindahan ini
ada artinya, sedangkan perkataan lain kalau Tuhan ada maka pengalaman keindahan
adalah suatu hal yang harus kita rasakan. Menurut Al-Ghazali, keindahan
mempunyai persyaratan seperti:
1. Perwujudan dari kesempurnaan yang dapat dikenali kembali dalam suatu
dengan sifatnya
2. Memiliki perfeksi yang karakteristik
3. Semua sifat pada sesuatu yang indah, merupakan representasi
(mewakili) keindahan yang bernilai tinggi
4. Nilai keindahan dari suatu yang indah, sebanding dengan nilai
keindahan yang terdapat didalamnya. Dalam sebuah karangan (tulisan) harus memiliki
sifat-sifat perfeksi yang khas, keharmonisan huruf-huruf, hubungan arti yang
tepat satu sama lain, pelanjutan dari spasi yang tepat serta susunan kata dan
kalimat yang menyenangkan.
5. Syarat lain untuk keindahan adalah tercakupnya nilai-nilai
spiritual, moral, dan agama.[25]
Oleh karena itu, hakikat keindahan yang paling esensial sangat
ditentukan antara lain :
·
Rasa menyenangkan dan
menimbulkan rasa senang
·
Adanya hubungan antara
bagian-bagian sebagai suatu keseluruhan (obyek, subyek) sebagai suatu kesatuan
didalam suatu keseluruhan.
·
Tercakup unsur kebaikan,
sehingga dapat memupuk rasa kemoralan
·
Antara keindahan dan kebaikan
memiliki keterdekatan. Karena intisari mutlak dari hakikat yang indah itu harus
baik, mengandung keharmonisan, nyata dan teraga, berguna serta lebih
bermamfaat.
·
Harus terkait dengan
nilai-nilai spiritual, moral dan agama.
Walaupun keindahan itu tidak tetap
sifatnya. Berdasarkan rumusan-rumusan yang dikemukakan, namun dapat disimpulkan
bahwa hakikat keindahan itu terletak didalam keabadian dari keindahan itu
sendiri. Walaupun cara memandang, mengamati, menghayati sesuatu yang indah
senantiasa ditentukan oleh alur pikiran dan perasaan masing-masing.
C. KESIMPULAN
Menilik dari apa
yang dikemukakan ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau
segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan ciri tertentu yang
disebut dengan zatiyah. Dengan arti bahwasanya untuk terwujudnya sesuatu
keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang telah ada sebelumnya. Menurut ibnu
Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang ada ini dengan adanya hukum sebab-akibat
zatiyah, maka dengan itu pula kita bisa membedakan antara satu dengan lainnya.
Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah
membakar, air yang sifat zatiyyah-nya adalah membasahi. Sifat membakar dan
membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya dan merupakan pembedan antara api
dengan air, jika tidak ada sifat tertentu, tentunya air dan api sama saja,
tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang mustahil.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa
yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu.
Dengan demikian, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh
manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama.
Hakikat pengetahuan dapat diketahui melalui dua
teori yaitu realisme dan idealisme. Sedangkan sumber pengetahuan dapat diketahui
melalui teori emperisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu. Pengetahuan yang
dimiliki manusia ada empat, yakni pengetahuan biasa, penegetahuan ilmu (secience), pengetahuan filsafat, dan
pengetahuan agama.
Adapun kebenaran adalah merupakan kesetiaan pada
realitas objektif, yaitu suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu
yang selaras dengan situasi. Kebenaran adalah persesuaian antara
pernyataan mengenai fakta dengan fakta
aktual, atau antara putusan dengan situasi seputar yang diberi interpretasi.
Teori yang berkaitan dengan kebenaran diantaranya,
teori koherensi, teori korespondensi, teori pragmatis, tori positivism, teori
esensialisme, teori konstroktivisme dan teori relegiusme. Adapun tingkatan
kebenaran meliputi kebenaran indrawi, kebenaran imiah, kebenaran filsafat, dan
kebenaran relegius.
Kebaikan atau disebut baik adalah sesuatu yang
menimbulkan rasa keharuan, kepuasan, kesenangan dan persesuaian. Adapun
keindahan adalah persesuian antara bermacam-macam pengalaman dalam diri seseorang
satu dengan yang lainnya untuk menghasilkan efek yang maksimal. Keindahan
berdiri sendiri dan bersifat obyektif.
DAFTAR PUSTAKA
·
Adib, muhammad, Filsafat Ilmu, Yogjakarta:Pustaka
Pelajar, 2011.
·
Ahmad Khudori Saleh, M.Ag. Wacana Baru Filsafat
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012
·
Abd. Aziz, M.PdI, Filasafat Pendidikan Islam.Yogyakarta:
Teras, 2009
·
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2010.
·
Drs. A.
Susanto, M. P.d, Filsafat Ilmu, Jakarta:
Bumi Aksara, 2011
·
Departemen Agama Islam, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984
·
H. Endang Saifuddin Anshari, M.A, Ilmu,
Filsafat, dan Agama. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985
·
W.JS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999
·
Louis Katsoff, Pengantar Filsafat, ter.
Soejono Sumargono, Yogya: Tiara Wacana, 1992
·
Suparlan Suhartono, M.Ed. Ph. Filsafat
Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006.
·
Paul Edward. The Encyclopedia of
Philosopy. New York: Macmillan Publishing.1972
·
William C. Chittick, Jalan Cinta Sang
sufi Ajaran Spritual Rumi. Terj. Sadat Ismael, Yogya: Qalam, 200
·
Http://www.
Katailmu.com/2013/03/hakikat-keindahan.html#sthash.vxS2oo10.dpuf
[1]Drs. A. Susanto, M. P.d,
Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, h. 46--47
[2] Ibid h. 47
[3] Paul Edward , The
Encyclopedia of Philosopy, (New York: Macmillan
Publishing, 1972), vol. 3
[4] Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang,
1992, cet. I, h. 4
[5] Lauren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia, 1996, Cet. I, h.803
[6] Burhabnuddin Salam, Logika Materiil, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, cet. I, h.
28
[7] Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali pres, 2012. Cet. 11, h. 87-88
[8] H.
Endang Saifuddin Anshari, MA, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1982, cet III, h. 45
[10] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan,1998, Cet. Ke_ II, h. 40
[11] Prof. Dr. Amsal Bahtiar, M.A, Filsafat Ilmu,
Opcit. H. 94-96
[16] Drs. H. Muhammad Adib, MA, Filsafat Ilmu, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011, cet II, h. 121-124
[18] Risersi
Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, terj. Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), hal. 1
[19] Loiss
Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1986), hal.333
[21] Departemen
Agama Islam, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an,1984).hal.
1099, zuz 30
[23] William C. Chittick, Jalan Cinta sang Sufi Ajaran
Spritual Rumi, terj. Sadat Ismael, (Yogya, Qalam, 200), 246
Tidak ada komentar:
Posting Komentar