PROFESIONALISME KINERJA GURU
MENYONGSONG MASA DEPAN
Presented
by: MUHLISIN
=====================================================
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karuania-Nya yang
diberikan pada kita semua sehingga kita dapat menjalankan segala aktivitas
sehari-hari.
Guru merupakan ujung tombak keberhasilan
proses pendidikan di sekolah maka pembinaan dan pengembangan profesi guru
dipandang perlu diperhatikan sebagai wujud komitmen dalam melakukan pembenahan
pola pendidikan agar mencapai mutu pendidikan sesuai harapan.
Penyusunan
naskah ini merupakan bentuk respon terhadap program kebijakan bidang
pendidikan, paling tidak kehadirannya mengingatkan kita betapa pentingnya peran
guru dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga saatnya nanti segala yang
dicita-citakan bersama tercapai dimana guru mampu memberikan yang terbaik bagi
kemajuan pendidikan melalui wujud kinerja yang tidak diragukan lagi. Itu semua
akan terjadi manakala kita mau belajar dan menganalisis berbagai unsur yang
memiliki nilai pengaruh terhadap kinerja guru.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang
telah memberikan dukungan sehingga naskah ini terwujud.
Mudah-mudahan
ini bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf atas segala kekurangannya.
DAFTAR ISI
Hal
Halaman
Judul..................................................................................................... i
Pengantar
Penulis............................................................................................... ii
Daftar
Isi............................................................................................................... iii
BAB I.
PENDAHULUAN...................................................................................
BAB II. KINERJA GURU DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEM-
PENGARUHINYA................................................................................
A.
PROFESI GURU
1. Konsep Profesi
Guru.......................................................................
2. Syarat-syarat Profesi
Guru...............................................................
3. Ciri-ciri Guru yang Efektif.............................................................
4. Peranan dan Tugas
Guru..................................................................
B. KINERJA
GURU...............................................................................
1. Konsep
Kinerja
Guru.......................................................................
2. Indikator Kinerja
Guru....................................................................
C.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA GURU..
1. Kepribadian dan
Dedikasi................................................................
2. Pengembangan
Profesi.....................................................................
3. Kemampuan Mengajar ....................................................................
4. Antar Hubungan dan
Komunikasi....................................................
5. Hubungan
dengan
Masyarakat.........................................................
6.
Kedisiplinan.....................................................................................
7. Tingkat
Kesejahteraan......................................................................
8. Iklim
Kerja.......................................................................................
BAB III. PERUBAHAN PARADIGMA PERAN
GURU..................................
1. Tantangan Pendidikan di Era
Perubahan...........................................
2. Reorientasi Paradigma Pendidikan yang
Diinginkan......................
3. Hakekat belajar mengajar
dalam KBK...........................................
4. Pendekatan Pembelajaran sebagai Fokus
Perhatian Guru..............
5. Visi dan Kompetensi
Guru..............................................................
BAB IV. LANGKAH STRATEGIS
MENINGKATKAN KINERJA GURU.....
BAB IV. RELEVANSI PENATAAN MANAJEMEN
DENGAN
KINERJA
GURU...................................................................................
BAB V.
PENUTUP...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan pada
hakekatnya adalah usaha membudayakan manusia atau memanusiakan manusia,
pendidikan amat strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan diperlukan
guna meningkatkan mutu bangsa secara menyeluruh. Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
merupakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur secara sistematis.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab (UU No. 20 Tahun 2003).
Fungsi pendidikan harus
betul-betul diperhatikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional
sebab tujuan berfungsi sebagai pemberi arah yang jelas terhadap
kegiatan penyelenggaraan pendidikan sehingga penyelenggaraan pendidikan
harus diarahkan kepada (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, (2)
pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna, (3) pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat,
(4) pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan,
dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, (5)
pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat, (6) pendidikan diselenggarakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Peningkatan mutu
pendidikan ditentukan oleh kesiapan sumber daya manusia yang terlibat dalam
proses pendidikan. Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya
mutu hasil pendidikan mempunyai posisi strategis maka setiap usaha peningkatan
mutu pendidikan perlu memberikan perhatian besar kepada peningkatan guru baik
dalam segi jumlah maupun mutunya.
Guru adalah
figur manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peran penting dalam
pendidikan. Ketika semua orang mempersoalkan masalah dunia
pendidikan figur guru mesti terlibat dalam agenda pembicaraan terutama
yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah. Pendidik atau guru
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik pada perguruan tinggi. Hal tersebut tidak dapat disangkal kerana
lembaga pendidikan formal adalah dunia kehidupan guru. sebagai besar waktu guru
ada di sekolah, sisanya ada di rumah dan di masyarakat (Djamarah, 2000).
Guru merupakan
faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada
umumnya karena bagi siswa guru sering dijadikan tokoh teladan bahkan menjadi
tokoh identifikasi diri. Di sekolah guru merupakan unsur yang sangat
mempengaruhi tercapainya tujuan pendidikan selain unsur murid dan fasilitas
lainnya. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan kesiapan
guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar mengajar.
Namun demikian posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan
sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional guru dan mutu kinerjanya.
Guru merupakan
ujung tombak pendidikan sebab secara langsung berupaya mempengaruhi, membina
dan mengembangkan peserta didik, sebagai ujung tombak, guru dituntut untuk
memiliki kemampuan dasar yang diperlukan sebagai pendidik, pembimbing dan
pengajar dan kemampuan tersebut tercermin pada kompetensi guru. Berkualitas
tidaknya proses pendidikan sangat tergantung pada kreativitas dan
inovasi yang dimiliki guru. Gunawan (1996) mengemukakan bahwa Guru
merupakan perencana, pelaksana sekaligus sebagai evaluator pembelajaran di
kelas, maka peserta didik merupakan subjek yang terlibat langsung dalam proses
untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kehadiran guru
dalam proses pembelajaran di sekolah masih tetap memegang peranan yang penting.
Peran tersebut belum dapat diganti dan diambil alih oleh apapun. Hal ini
disebabkan karena masih banyak unsur-unsur manusiawi yang tidak dapat diganti
oleh unsur lain. Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting
dalam pendidikan formal pada umumnya karena bagi siswa guru sering dijadikan
tokoh teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. (Wijaya dan Rusyan, 1994).
Guru dituntut
memiliki kinerja yang mampu memberikan dan merealisasikan harapan dan keinginan
semua pihak terutama masyarakat umum yang telah mempercayai sekolah dan
guru dalam membina anak didik. Dalam meraih mutu pendidikan yang baik sangat
dipengaruhi oleh kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya sehingga
kinerja guru menjadi tuntutan penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan.
Secara umum mutu pendidikan yang baik menjadi tolok ukur bagi keberhasilan
kinerja yang ditunjukkan guru.
Guru sebagai
pekerja harus berkemampuan yang meliputi penguasaan materi pelajaran,
penguasaan profesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara
menyesuaikan diri dan berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya, disamping itu
guru harus merupakan pribadi yang berkembang dan bersifat dinamis. Hal ini
sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban
(1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif,
dinamis, dan dialogis, (2) mempunyai komitmen secara profesional untuk
meningkatkan mutu pendidikan dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik
lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan
kepadanya. Harapan dalam Undang-Undang tersebut menunjukkan adanya
perubahan paradigma pola mengajar guru yang pada mulanya sebagai sumber
informasi bagi siswa dan selalu mendominasi kegiatan dalam kelas berubah menuju
paradigma yang memposisikan guru sebagai fasilitator dalam proses
pembelajaran dan selalu terjadi interaksi antara guru dengan siswa maupun
siswa dengan siswa dalam kelas. Kenyataan ini mengharuskan guru untuk selalu
meningkatkan kemampuannya terutama memberikan keteladanan, membangun kemauan,
dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Menurut Pidarta (1999)
bahwa setiap guru adalah merupakan pribadi yang berkembang. Bila
perkembangan ini dilayani, sudah tentu dapat lebih terarah dan mempercepat
laju perkembangan itu sendiri, yang pada akhirnya memberikan kepuasan kepada
guru-guru dalam bekerja di sekolah sehingga sebagai pekerja, guru harus
berkemampuan yang meliputi unjuk kerja, penguasaan materi pelajaran, penguasaan
profesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara menyesuaikan diri dan
berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya.
Guru pada prinsipnya memiliki
potensi yang cukup tinggi untuk berkreasi guna meningkatkan kinerjanya. Namun
potensi yang dimiliki guru untuk berkreasi sebagai upaya meningkatkan
kinerjanya tidak selalu berkembang secara wajar dan lancar disebabkan adanya
pengaruh dari berbagai faktor baik yang muncul dalam pribadi guru itu sendiri
maupun yang terdapat diluar pribadi guru. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi
dilapangan mencerminkan keadaan guru yang tidak sesuai dengan
harapan seperti adanya guru yang bekerja sambilan baik yang sesuai dengan
profesinya maupun diluar profesi mereka, terkadang ada sebagian guru yang
secara totalitas lebih menekuni kegiatan sambilan dari pada kegiatan utamanya
sebagai guru di sekolah. Kenyataan ini sangat memprihatinkan dan mengundang
berbagai pertanyaan tentang konsistensi guru terhadap profesinya. Disisi lain kinerja guru pun
dipersoalkan ketika memperbicangkan masalah peningkatan mutu pendidikan.
Kontroversi antara kondisi ideal yang harus dijalani guru sesuai harapan
Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dengan
kenyataan yang terjadi dilapangan merupakan suatu hal yang perlu dan patut
untuk dicermati secara mendalam tentang faktor penyebab munculnya dilema
tersebut, sebab hanya dengan memahami faktor yang berpengaruh terhadap kinerja
guru maka dapat dicarikan alternatif pemecahannya sehingga faktor tersebut
bukan menjadi hambatan bagi peningkatan kinerja guru melainkan mampu
meningkatkan dan mendorong kinerja guru kearah yang lebih baik sebab kinerja
sebagai suatu sikap dan perilaku dapat meningkat dari waktu ke waktu.
Untuk itu, faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja guru dipandang perlu untuk dipelajari, ditelaah dan dikaji
secara mendalam agar dapat memberikan gambaran yang jelas faktor yang lebih
berperan dan urgen yang mempengaruhi kinerja guru.
BAB II
KINERJA GURU DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
A. PROFESI GURU
- Konsep Profesi Guru
Menurut Dedi Supriyadi (1999)
menyatakan bahwa guru sebagai suatu profesi di Indonedia baru dalam taraf
sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai
pada yang telah dicapai oleh profesi-profesi lainnya, sehingga guru dikatakan
sebagai profesi yang setengah-setengah atau semi profesional.
Pekerjaan profesional berbeda
dengan pekerja non profesional karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan
keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya dengan kata lain pekerjaan yang
bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka
yang khususnya dipersiapkan untuk itu.
Pengembangan profesional guru
harus diakui sebagai suatu hal yang sangat fundamental dan penting guna
meningkatkan mutu pendidikan. Perkembangan profesional adalah proses dimana
guru dan kepala sekolah belajar, meningkatkan dan menggunakan pengetahuan,
keterampilan dan nilai secara tepat.
Profesi guru memiliki tugas
melayani masyarakat dalam bidang pendidikan. Tuntutan profesi ini memberikan
layanan yang optimal dalam bidang pendidikan kepada msyarakat. Secara khusus
guru di tuntut untuk memberikan layanan professional kepada peserta didik agar
tujuan pembelajaran tercapai. Sehingga guru yang dikatakan profesional adalah
orang yang memeiliki kemamapuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga
ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan
maksimal.
Ornstein dsn
Levine, 1984 (dalam Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999) menyatakan bahwa profesi
itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini sebagai berikut
:
a. Melayani masyarakat, merupakan karier yang
akan dilaksanakan sepanjang hayat ( tidak berganti-ganti pekerjaan )
b. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan
tertentu diluar jangkauan khalayak ramai ( tidak setiap orang dapat melakukan )
c. Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari
teori ke praktek ( teori baru di kembangkan dari hasil penelitian )
d. Memerlukan pelatihan khusus
dengan waktu yang panjang
e. Terkendali berdasarkan lisensi buku dan atau
mempunyai persyaratan masuk ( untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin
tertentu atau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya
).
f. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang
lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh orang lain)
g. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang
diabil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubung dengan layanan yang
diberikan ( langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskan, tidak
dipindahkan ke atasan atau instansi yang lain lebih tinggi ). Mempunyai
sekumpulan unjuk kerja yang baku.
h. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien
dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.
i.
Menggunakan
administrator untuk memudahkan profesinya relatif bebas dari
supervisi dalam jabatan ( misalnya dokter memakai tenaga adminstrasi untuk mendata
klien, sementara tidak ada supervisi dari luar terhadap pekerjaan dokter
sendiri )
j.
Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
k. Mempunyai asosiasi profesi atau kelompok
‘elit’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya ( keberhasilan
tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), bukan oleh Departemen Kesehatan).
l.
Mempunyai
kode etik untuk mejelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang
berubungan dengan layanan yang diberikan.
m. Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggin dari
publik dan kepercayaan diri sendiri anggotanya ( anggota masyarakat selalu
meyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayaninya).
n. Mempunyai status sosial dan
ekonomi yang tinggi ( bila dibandingkan dengan jabatan lain ).
Tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri
di atas, Sanusi et al (1991), mengutarakan ciri-ciri umum suatu profesi itu
sebagai berikut:
a. Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan
signifikansi sosisal yang menentukan (crusial).
b. Jabatan yang menuntut
keterampilan/keahlian tertentu.
c. Keterampilan / keahlian yang
dituntut jabatan itu dapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori
dan metode ilmiah.
d. Jabatan itu berdasarkan pada
batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistimatik, eksplisit, yang bukan hanya
sekedar pendapat khalayak umum.
e. Jabatan itu memerlukan
pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
f. Proses pendidikan untuk
jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu
sendiri.
g. Dalam memberikan layanan
kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang
dikontrol oleh organisasi profesi.
h. Tiap anggota profesi
mempunyai kebebasan dan memberikan judgement terhadap permasalahan profesi
yang di hadapinya.
i.
Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari
campur tanggan orang lain,
j.
Jabatan
ini menpunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat,dan oleh karenanya
memperoleh imbalan yang tinggi pula. (Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999).
Khusus untuk jabatan guru,sebenarnya juga
sudah ada yang mencoba menyusun kriterianya. Misalnya Nasional Education
Asociation ( NEA ) ( 1948 ) menyarankan kriteria berikut.
a. Jabatan yang melibatkan
kegiatan itelektual.
b. Jabatan yang menggeluti
suetu batang tubuh ilmu yang khusus.
c. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional
yang lama ( bandingakan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka ).
d. Jabatan yang memerlukan
“latihan dalam jabatan “ yang bersinambungan.
e. Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan
keanggotaan yang permanen.
f. Jabatan yang menentukan baku
( standarnya ) sedndiri.
g. Jabatan yang mementingkan
layanan diatas keuntungan pribadi.
h. Jabatan yang mempunyai
organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dengan
baik agar dapat meningkatkan mutu pendidikan maka guru harus memiliki
kompetensi yang harus dikuasai sebagai suatu jabatan profesional.
Kompetensi guru tersebut meliputi :
- Menguasai bahan ajar.
- Menguasai landasan-landasan kependidikan.
- Mampu mengelola program belajar mengajar.
- Mampu mengelola kelas.
- Mampu menggunakan media/sumber belajar.
- Mampu menilaik prestasi peserta didik untuk kepentingan pengajaran.
- Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.
- Mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah.
- Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengejaran.
2. Syarat-syarat Profesi Guru
Suatu pekerjaan
dapat menjadi profesi harus memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu yang
melekat dalam pribadinya sebagai tuntutan melaksanakan profesi tersebut.
Menurut Dr. Wirawan, Sp.A (dalam Dirjenbagais Depag RI, 2003) menyatakan
persyaratan profesi antara lain :
a.
Pekerjaan Penuh
Suatu profesi
merupakan pekerjan penuh dalam pengertian pekerjaan yang diperlukan oleh
masyarakat atau perorangan. Tanpa pekerjaan tersebut masyarakat akan menghadapi
kesulitan. Profesi merupakan pekerjaan yang mencakup tugas, fungsi, kebutuhan,
aspek atau bidang tertentu dari anggota masyarakat secara keseluruhan. Profesi
guru mencakup khusus aspek pendidikan dan pengajaran di sekolah.
b.
Ilmu pengetahuan
Untuk melaksanakan suatu profesi diperlukan ilmu pengetahuan. Tanpa
menggunakan ilmu tersebut profesi tidak dapat dilaksanakan.
Ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan profesi terdiri dari
cabang ilmu utama dan cabang ilmu pembantu. Cabang ilmu utama adalah cabang
ilmu yang menentukan esensi suatu profesi. Contohnya profesi guru cabang ilmu
utamanya adalah ilmu pendidikan dan cabang ilmu pembantunya masalah psikologi.
Salah satu persyaratan ilmu pengetahuan adalah adanya teori, bukan hanya
kumpulan pengetahuan dan pengalaman. Fungsi dari suatu teori adalah untuk menjelaskan dan
meramalkan fenomena. Dengan mempergunakan teopri ilmu pengetahuan, profesional
dapat menjelaskan apanyang dihadapinya dan apa yang akan terjadi jika tidak
dilakukan intervensi. Teori ilmu pengetahuan juga mengarahkan profesional dalam
mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam melaksanakan profesi.
c. Aplikasi Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan pada dasarnya mempunyai dua aspek yaitu aspek teori dan aspek
aplikasi. Aspek aplikasi ilmu pengetahuan adalah penerapan teori-teori ilmu
pengetahuan untuk membuat sesuatu, mengerjakan sesuatu atau memecahkan sesuatu
yang diperlukan. Profesi merupakan penerapan ilmu pengetahuan untuk mengerjakan,
menyelesaikan atau membuat sesuatu.
Kaitan dengan profesi, guru tidak hanya ilmu pengetahuan yang harus
dikuasai oleh guru tetapi juga pola penerapan ilmu pengetahuan tersebut
sehingga guru dituntut untuk mengusai keterampilan mengajar.
d. Lembaga pendidikan Profesi
Ilmu
pengetahuan yang diperlukan oleh guru untuk melaksanakan profesinya harus
dipelajari dari lembaga pendidikan tinggi yang khusus mengajarkan, menerapkan
dan meneliti serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu
keguruan. Sehingga peran lembaga pendidikan tinggi sebagai pencetak sumber
daya manusia harus betul-betul memberikan pemahaman dan pengetahuan yang mantap
pada calon pendidik.
e. Prilaku profesi
Perilaku
profesional yaitu perilaku yang memenuhi persyaratan tertentu, bukan perilaku
pribadi yang dipengaruhi oleh sifat-sifat atau kebiasaan pribadi. Prilaku
profesional merupakan perilaku yang harus dilaksanakan oleh profesional ketika
melakukan profesinya.
Menurut Benard
Barber (1985) (dalam Depag RI, 2003), perilaku profesional harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Mengacu kepada ilmu pengetahuan
2) Berorientasi kepada
insterest masyarakat (klien) buka interest pribadi.
3) Pengendalian prilaku diri
sendiri dengan mepergunakan kode etik.
4) Imbalan atau kompensasi uang
atau kehormatan merupakan simbol prestasi kerja bukan tujuan dari profesi.
5) Salah satu aspek dari
perilaku profesional adalah otonomi atau kemandirian dalam melaksanakan
profesinya.
f. Standar profesi
Standar profesi
adalah prosedur dan norma-norma serta prinsip-prinsip yang digunakan sebagai
pedoman agar keluaran (out put) kuantitas dan kualitas pelaksanaan profesi
tinggi sehingga kebutuhan orang dan masyarakat ketika diperlukan dapat
dipenuhi.
Dibeberapa
negara telah memperkenalkan “Standar Profesional untuk guru dan Kepala
sekolah”, misalnya di USA
dimana National Board of Professional teacher Standards telah
mengembangkan standar dan prosedur penilaian berdasarkan pada 5 (lima) prinsip dasar (Depdiknas,
2005) yaitu :
1) Guru bertanggung jawab (committed to) terhadap
siswa dan belajarnya.
2) Guru mengetahui materi ajar yang mereka
ajarkan dan bagaimana mengajar materi tersebut kepada siswa.
3) Guru bertanggung jawab untuk mengelola dan
memonitor belajar siswa.
4) Guru berfikir secara sistematik tentang
apa-apa yang mereka kerjakan dan pelajari dari pengalaman.
5) Guru adalah anggota dari
masyarakat belajar
Standar di atas menunjukkan bahwa profesi guru merupakan profesi yang
membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebab guru akan selalu berhadap
dengan siswa yang memiliki karakteritik dan pengetahuan yang berbeda-beda maka
untuk membimbing peserta didik untuk berkembang dan mengarungi dunia ilmu
pengetahuan dan teknologi yang secara tepat berubah sebagai ciri dari masyarat
abad 21 sehingga tuntutan ini mengharuskan guru untuk memenuhi standar
penilaian yang ditetapkan.
g. Kode etik profesi
Suatu profesi
dilaksanakan oleh profesional dengan mempergunakan perilaku yang memenuhi
norma-norma etik profesi. Kode etik adalah kumpulan norma-norma yang merupakan
pedoman prilaku profesional dalam melaksanakan profesi.Kode etik guru adalah
suatu norma atau aturan tata susila yang mengatur tingkah laku guru, dan oleh
karena itu haruslah ditatati oleh guru dengan tujaun antara lain :
1) Agar guru-guru mempunyai rambu-rambu yang
dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari sebagai
pendidik.
2) Agar guru-guru dapat bercermin diri mengenai tingkah
lakunya, apakah sudah sesuai dengan profesi pendidik yang disandangnya ataukah
belum.
3) Agar guru-guru dapat menjaga (mengambil
langkah prefentif), jangan sampai tingkah lakunya dapat menurunkan martabatnya
sebagai seorang profesional yang bertugas utama sebagai pendidik.
4) Agar guru selekasnya dapat kembali (mengambil
langkah kuratif), jika ternyata apa yang mereka lakukan selama ini bertentangan
atau tidak sesuai dengan norma-norma yang telah dirumuskan dan disepakati
sebagai kode etik guru.
5) Agar segala tingkah laku guru, senantiasa
selaras atau paling tidak, tidak bertentangan dengan profesi yang disandangnya,
ialah sebagai seorang pendidik. Lebih lanjut dapat diteladani oleh anak
didiknya dan oleh masyarakat umum.
Kode etik guru
ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan cabang dan
pengurus daerah PGRI se Indonesia dalam kongres k XIII di Jakarta tahun 1973,
yang kemudian disempurnakan dalam kongres PGRI ke XVI tahun 1989 juga di
Jakarta yang berbunyi sebagai berikut :
1) Guru berbakti membimbing siswa untuk membentuk
manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2) Guru memiliki dan
melaksanakan kejujuran profesional.
3) Guru berusaha memperoleh
informasi tentang siswa sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4) Guru menciptakan suasana
sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
5) Guru memelihara hubungan
baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta
dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6) Guru secara pribadi dan
bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7) Guru memelihara hubungan
seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8) Guru secara bersama-sama memelihara dan
meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9) Guru melaksanakan segala kebijaksanaan
Pemerintah dalam bidang pendidikan.
Selain kode
etik guru Indonesia, sebagai pernyataan kebulatan tekad guru Indonesia, maka
pada kongres PGRI XVI yang diselenggarakan tanggal, 3 sampai dengan 8 Juli 1989
di Jakarta telah ditetapkan adanya Ikrar Guru Indonesia dengan rumusan sebagai
berikut :
IKRAR GURU INDONESIA
1) Kami Guru Indonesia, adalah
insan pendidik bangsa yang beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2) Kami Guru Indonesia, adalah
pengemban dan pelaksana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
pembela dan pengamal Pancasila yang setia pada Undang-undang Dasar 1945.
3) Kami Guru Indonesia,
bertekad bulat mewujudkan tujuan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
4) Kami Guru Indonesia, bersatu
dalam wadah organisasi perjuangan Persatuan Guru Republik Indonesia, membina
persatuan dan kesatuan bangsa yang berwatak kekeluargaan.
5) Kami Guru Indonesia,
menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman tingkah laku profesi
dalam pengabdiannya terhadap bangsa, negara, dan kemanusiaan.
3. Ciri-ciri
guru yang efektif
Guru yang efektif pada suatu
tingkat tertentu mungkin tidak efektif pada tingkat yang lain, hal ini
disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam tingkat perkembangan mental
dan emosional siswa. Dengan kata lain para siswa memiliki respons yang berbeda-beda terhadap
pola-pola prilaku guru yang sama. Guru
yang baik digambar dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Guru yang baik adalah guru
yang waspada secara profesional. Ia terus berusaha untuk menjadikan masyarakat
sekolah menjadi tempat yang paling baik bagi anak-anak muda.
b. Mereka yakin akan nilai atau
manfaat pekerjaannya. Mereka terus berusaha memperbaiki dan meningkatkan mutu
pekerjaannya.
c. Mereka tidak lekas
tersinggung oleh larangan-larangan dalam hubungannya dengan kebebasan pribadi
yang dikemukakan oleh beberapa orang untuk menggambarkan profesi keguruan.
Mereka secara psikologi lebih matang sehingga rangsangan-rangsangan terhadap
dirinya dapat ditaksir.
d. Mereka memiliki
seni dalam hubungan-hubungan manusiawi yang diperolehnya dari
pengamatannya tentang bekerjanya psikologi, biologi dan antropologi kultural di
dalam kelas.
e. Mereka berkeinginan untuk
terus tumbuh. Mereka sadar bahwa dibawah pengaruhnya, sumber-sumber manusia
dapat berubah nasibnya.
Karakteristik atau sifat-sifat guru
yang baik dalam pandangan siswa meliputi : (1). Demokratis, (2). Suka bekerja
sama (kooperatif), (3). Baik hati, (4). Sabar, (5). Adil, (6). Konsisten, (7).
Bersifat terbuka, (8). Suka menolong, (9). Ramah tamah, (10). Suka humor, (11).
Memiliki bermacam ragam minat, (12). Menguasai bahan pelajaran, (13).
Fleksibel, (14). Menaruh minat yang maik terhadap siswa. (Oemar Hamalik, 2002).
Menurut Cooper mengutip pendapat B.O. Smith
(dalam Suparlan, 2004) yang telah menyarankan bahwa seorang guru yang terlatih
harus disiapkan dengan empat bidang kompetensi agar ia menjadi guru yang
efektif yaitu :
a. Command of theoretical knowledge about
learning and human behavior.
b. Display of attitudes that fostter learning and
genuine human realtionship.
c. Cammand of knowledge in the subject matter to
be taught.
d. Control of technical skills of teaching that
facilitate student learning.
Dengan kata lain guru yang efektif harus
memiliki kemampuan :
a. Menguasai pengetahuan teoritis tentang belajar
dan tingkah laku manusia
b. Menunjukkan sikap yang
menunjang proses belajar dan hubungan antar manusia secara murni.
c. menguasai pengetahuan dalam
mata pelajaran yang diajarkan dan
d. Memiliki kemapuan kecakapan
teknis tentang pembelajaran yang mempermudah siswa untuk belajar.
Sedangkan Leo R. Sandy (dalam Suparlan, 2004)
menguraikan beberapa dimensi kemampuan dan sikap yang membentuk karakteristik
guru efektif. Setidaknya ada 12 karakteristik guru efektif sebagai berikut :
a. Menjadi a learner (pembelajar)
b. Menjadi a leader (pemimpin)
c. Menjadi a provocateur (provokator dalam arti
positif).
d. Menjadi a stranger (pengelana)
e. Menjadi an innovator (inovator).
f. Menjadi a comedian/entertainment
(pelawak/penghibur).
g. Menjadi a coach or guide (pelatih atau
pembimbing).
h. Menjadi a genuine human being or humanist
(manusia sejati atau seorang humanis).
i.
Menjadi
a sentinel
j.
Menjadi
optimist or idealist (orang yang optimis atau idealis).
k. Menjadi a collaborator
(kolaborator atau orang yang suka bekerja sama)
l.
Menjadi a revolusionar (berfikiran maju atau
revolusioner).
Guru yang
efektif memiliki kualitas kemampuan dan sikap yang sanggup memberikan yang
terbaik bagi peserta didik dan menyenangkan peserta didik dalam proses belajar
mengajarnya.
Tokoh lain yang mengemukakan
tentang guru efektif menyebutkan karakterisik guru efektif sebagai berikut :
a. Senantiasa memberikan bantuan dalam kerja
sekolah pelajar.
b. Periang, gembira dan berperawakan menarik.
c. Berprikemanusiaan, pengasih.
d. Berminat terhadap dan memahami pelajarnya.
e. Boleh menjadikan suasana
pembelajaran menyeronokkan.
f. Tegas dan cekap mengawal
kelasnya.
g. Adil, tidak pilih kasih.
h. Tidak pemanas, pendedam. Perungut dan pemerli.
i.
Berpribadi
yang menyenangkan.
Sementara National Commision for
Excellenece in Teacher Education (USA), mengungkapkan karakteristik guru
efektif adalah sebagai berikut :
a. Berketrampilan dalam bidangnya.
b. Berkemahirandalam pengajaran.
c. Memaklumkan kepada pelajar
perkembangan diri masing-masing.
d. Berpengalaman tentang psikologi kognitif.
e. Mahir dalam teknologi.
Berdasarkan model karakteristik guru efektif
yang dikemukakan beberapa ahli maka berbagai indikator guru efektif yang
dikemukakan Suparlan (2004) sebagai berikut :
- Adil dalam tindakan dan perlakuannya.
- Menjaga perawakan dan cara berpakaian.
- Menunjukkan rasa simpati kepada setiap pelajar.
- Mengajar mengikuti kemampuan pelajar.
- Penyayang.
- Berkerja secara berpasukan
- Memuki dab menggalakkan pelajar.
- Menggunakan perbagai kaedah dan pendekatan dalam pengajarannya.
- Taat kepada etika profesionslismenya.
- Cerdas dan cejap.
- Mampu berhubungan secara efektif.
- Tidak garang, pemarah, suka membadel, membesarkan diri, sombong, angkuh dan susah menerima pelajaran orang lain.
- Memiliki sifat kejenakaan dan boleh menerima jenaka dari pada pelajr-pelajarnya, dan
- Berpengetahuan serta senantiasa berusaha menambah pengetahuannya mengenai perkembangan terbaharu terutamanya dalam bidang teknologi pendidikan.
4. Peran
dan tugas guru
Guru memegang peranan yang sangat
strategis terutama dalam membentuk watak bangsa serta mengembangkan potensi
siswa. Kehadiran guru tidak tergantikan oleh unsur yang lain, lebih-lebih dalam
masyarakat kita yang multikultural dan multidimensional, dimana peranan
teknologi untuk menggantikan tugas-tugas guru sangat minim.
Guru memiliki perana yang sangat
penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Guru yang profesional
diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Profesionalisme guru sebagai
ujung tombak di dalam implementasi kurikulum di kelas yang perlu mendapat
perhatian (Depdiknas, 2005).
Dalam proses belajar mengajar,
guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar
bagi siswa untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab uuntuk melihat
segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan
siswa. Penyampaian materi pelajaran hanyalah merupakan salah satu dari berbagai
kegiatan dalam belajar sebagai suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan
proses perkembangan siswa. Secara lebih terperinci tugas guru berpusat pada:
a. Mendidik dengan titik berat memberikan arah
dan motifasi pencapaian tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
b. Memberi fasilitas pencapaian tujuan melalui
pengalaman belajar yang memadai.
c. Membantu perkembangan aspek – aspek pribadi
seperti sikap, nilai-nilai, dan penyusuaian diri, demikianlah dalam proses
belajar mengajar guru tidak terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan akan
tetapi lebih dari itu ia bertanggung jawab akan keseluruhan perkembangan
kepribadian siswa ia harus mampu menciptakan proses belajar yang sedemikian
rupa sehingga dapat merangsang siswa muntuk belajar aktif dan dinamis dalam
memenuhi kebutuhan dan menciptakan tujuan. (Slameto, 2002)
Begitu pentinya peranan guru dalam
keberhasilan peserta didik maka hendaknya guru mampu beradaptasi dengan
berbagai perkembangan yang ada dan meningkatkan kompetensinya sebab guru pada
saat ini bukan saja sebagai pengajar tetapi juga sebagai pengelola proses
belajar mengajar. Sebagai orang yang mengelola proses belajar mengajar tentunya
harus mampu meningkatkan kemampuan dalam membuat perencanaan pelajaran,
pelaksanaan dan pengelolaan pengajaran yang efektif, penilain hasil belajar
yang objektif, sekaligus memberikan motivasi pada peserta didik dan juga
membimbing peserta didik terutama ketika peserta didik sedang mengalami
kesulitan belajar.
Salah satu tugas yang dilaksanakan
guru disekolah adalah memberikan pelayanan kepada siswa agar mereka menjadi
peserta didik yang selaras dengan tujuan sekolah. Guru mempengaruhi berbagai
aspek kehidupan baik sosial, budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan,
guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru harus
bertanggung jawab atas hasil kegiatan belajar anak melalui interaksi belajar
mengajar. Guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses
belajar dan karenya guru harus menguasai prinsip-prinsip belajar di samping
menguasai materi yang disampaikan dengan kata lain guru harus menciptakan suatu
konidisi belajar yang sebagik-baiknya bagi poeserta didik, inilah yang
tergolong kategori peran guru sebagai pengajar.
Disamping peran sebagai pengajar,
guru juga berperan sebagai pembimbing artinya memberikan bantuan kepada setiap
individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk
melakukan penyesuan diri secara maksimal terhadap sekolah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Oemar H (2002) yang mengatakan bimbingan adalah proses
pemberian bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri dan
pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara
maksimal terhadap sekolah, keluarga serta masyarakat.
Sehubungan
dengan perananya sebagai pembimbing, seorang guru harus :
a. Mengumpulkan data tentang siswa.
b. Mengamati tingkah laku siswa
dalam situasi sehariu-hari.
c. Mengenal para siswa yang
memerlukan bantuan khusus.
d. Mengadakan pertemuan atau
hubungan dengan orang tua siswa, baik secara individu maupun secara kelompok,
untuk memperoleh saling pengertian tentang pendidikan anak.
e. Bekerjasama dengan
masyarakat dan lembaga-lembaga lainya untuk membantu memecahkan masalah siswa.
f. Membuat catatan pribadi
siswa serta menyiapkannya dengan baik.
g. Menyelenggarakan bimbingan
kelompok atau individu.
h. Bekerjasama dengan
petugas-petugas bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa.
i.
Menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama dengan petugas bimbingan
lainnya.
j.
Meneliti kemajuan siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Peran guru sebagai pengajar dan
sebagai pembing memiliki keterkaitan yang sangat erat dan keduanya dilaksanakan
secara berkesinambungan dan sekaligus berinterpenetrasi dan merupakan
keterpaduan antara keduanya.
B. KINERJA
GURU
1. Konsep Kinerja Guru
Setiap individu yang diberi tugas
atau kepercayaan untuk bekerja pada suatu organisasi tertentu diharapkan
mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan dan memberikan konstribusi yang
maksimal terhadap pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Kinerja adalah tingkat
keberhasilan seseorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya serta kemampuan untuk mencapai tujuan dan standar yang telah
ditetapkan (Sulistyorini, 2001). Sedangkan Ahli lain berpendapat bahwa Kinerja
merupakan hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu yang di dalamnya terdiri
dari tiga aspek yaitu: Kejelasan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya; Kejelasan hasil yang diharapkan dari suatu pekerjaan atau fungsi;
Kejelasan waktu yang diperlukan untuk menyelesikan suatu pekerjaan agar hasil
yang diharapkan dapat terwujud (Tempe, A Dale, 1992).
Fatah (1996) Menegaskan bahwa
kinerja diartikan sebagai ungkapan kemajuan yang didasari oleh pengetahuan,
sikap dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu pekerjaan.
Dari beberapa penjelasan tentang
pengertian kinerja di atas dapat disimpulkan bahwa Kinerja guru adalah
kemampuan yang ditunjukkan oleh guru dalam melaksanakan tugas atau
pekerjaannya. Kinerja dikatakan baik dan memuaskan apabila tujuan yang dicapai
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
2. Indikator-Indikator Kinerja Guru
Kinerja
merefleksikan kesuksesan suatu organisasi, maka dipandang penting
untuk mengukur karakteristik tenaga kerjanya. Kinerja guru merupakan
kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yakni keterampilan, upaya
sifat keadaan dan kondisi eksternal (Sulistyorini, 2001). Tingkat
keterampilan merupakan bahan mentah yang dibawa seseorang ke tempat kerja
seperti pengalaman, kemampuan, kecakapan-kecakapan antar pribadi serta
kecakapan tehknik. Upaya tersebut diungkap sebagai motivasi yang diperlihatkan
karyawan untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Sedangkan kondisi eksternal adalah
tingkat sejauh mana kondisi eksternal mendukung produktivitas kerja.
Kinerja
dapat dilihat dari beberapa kriteria, menurut Castetter (dalam Mulyasa,
2003) mengemukakan ada empat kriteria kinerja yaitu: (1). Karakteristik individu, (2). Proses, (3).
Hasil dan (4) Kombinasi antara karakter individu, proses dan hasil.
Kinerja
seseorang dapat ditingkatkan bila ada kesesuaian antara pekerjaan dengan
keahliannya, begitu pula halnya dengan penempatan guru pada bidang tugasnya.
Menempatkan guru sesuai dengan keahliannya secara mutlak harus dilakukan.
Bila guru diberikan tugas tidak sesuai dengan keahliannya akan berakibat
menurunnya cara kerja dan hasil pekerjaan mereka, juga akan menimbulkan rasa
tidak puas pada diri mereka. Rasa kecewa akan menghambat perkembangan moral
kerja guru. Menurut Pidarta (1999) bahwa moral kerja
positif ialah suasana bekerja yang gembira, bekerja bukan
dirasakan sebagai sesuatu yang dipaksakan melainkan sebagai sesuatu yang
menyenangkan. Moral kerja yang positif adalah mampu mencintai tugas
sebagai suatu yang memiliki nilai keindahan di dalamnya. Jadi kinerja dapat ditingkatkan
dengan cara memberikan pekerjaan seseorang sesuai dengan bidang kemampuannya.
Hal ini dipertegas oleh Munandar (1992) yang mengatakan bahwa kemampuan
bersama-sama dengan bakat merupakan salah satu faktor yang menentukan prestasi
individu, sedangkan prestasi ditentukan oleh banyak faktor diantaranya
kecerdasan.
Kemampuan
terdiri dari berbagai macam, namun secara konkrit dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu :
a. Kemampuan intelektual
merupakan kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk menjalankan kegiatan
mental, terutama dalam penguasaan sejumlah materi yang akan diajarkan
kepada siswa yang sesuai dengan kurikulum, cara dan metode dalam
menyampaikannya dan cara berkomunikasi maupun tehknik mengevaluasinya.
b. Kemampuan fisik adalah
kapabilitas fisik yang dimiliki seseorang terutama dalam mengerjakan tugas dan
kewajibannya. (Daryanto, 2001).
Kinerja dipengaruhi juga oleh
kepuasan kerja yaitu perasaan individu terhadap pekerjaan yang memberikan
kepuasan bathin kepada seseorang sehingga pekerjaan itu disenangi dan
digeluti dengan baik. Untuk mengetahui keberhasilan kinerja perlu dilakukan
evaluasi atau penilaian kinerja dengan berpedoman pada parameter dan indikator
yang ditetapkan yang diukur secara efektif dan efisien seperti
produktivitasnya, efektivitas menggunakan waktu, dana yang dipakai serta bahan
yang tidak terpakai. Sedangkan evaluasi kerja melalui perilaku dilakukan
dengan cara membandingkan dan mengukur perilaku seseorang dengan teman
sekerja atau mengamati tindakan seseorang dalam menjalankan
perintah atau tugas yang diberikan, cara mengkomunikasikan tugas dan pekerjaan
dengan orang lain. Hal ini diperkuat oleh pendapat As’ad (1995) dan Robbins
(1996) yang menyatakan bahwa dalam melakukan evaluasi kinerja seseorang dapat
dilakukan dengan menggunakan tiga macam kriteria yaitu: (1). Hasil tugas,
(2). Perilaku dan (3). Ciri individu. Evaluasi hasil tugas adalah
mengevaluasi hasil pelaksanaan kerja individu dengan beberapa kriteria
(indikator) yang dapat diukur. Evaluasi perilaku dapat dilakukan dengan
cara membandingkan perilakunya dengan rekan kerja yang lain dan evaluasi
ciri individu adalah mengamati karaktistik individu dalam berprilaku maupun
berkerja, cara berkomunikasi dengan orang lain sehingga dapat dikategorikan
cirinya dengan ciri orang lain. Evaluasi atau Penilaian kinerja menjadi penting
sebagai feed back sekaligus sebagai follow up bagi perbaikan
kinerja selanjutnya.
Menilai
kualitas kinerja dapat ditinjau dari beberapa indikator yang meliputi :
(1). Unjuk kerja, (2). Penguasaan Materi, (3). Penguasaan profesional keguruan
dan pendidikan, (4). Penguasaan cara-cara penyesuaian diri, (5). Kepribadian untuk melaksanakan tugasnya dengan
baik (Sulistyorini, 2001).
Kinerja guru sangat
penting untuk diperhatikan dan dievaluasi karena guru mengemban tugas
profesional artinya tugas-tugas hanya dapat dikerjakan dengan kompetensi khusus
yang diperoleh melalui program pendidikan. Guru memiliki tanggung
jawab yang secara garis besar dapat dikelompokkan yaitu: (1). Guru sebagai
pengajar, (2). Guru sebagai pembimbing dan (3). Guru sebagai administrator
kelas. (Danim S, 2002).
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan indikator kinerja guru antara lain :
a. Kemampuan membuat perencanaan dan persiapan
mengajar.
b. Penguasaan materi yang akan
diajarkan kepada siswa
c. Penguasaan metode dan strategi mengajar
d. Pemberian tugas-tugas kepada siswa
e. Kemampuan mengelola kelas
f. Kemampuan
melakukan penilaian dan evaluasi.
- FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA GURU
Guru merupakan
ujung tombak keberhasilan pendidikan dan dianggap sebagai orang yang berperanan
penting dalam pencapaian tujuan pendidikan yang merupakan percerminan mutu
pendidikan. Keberadaan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya tidak
lepas dari pengaruh faktor internal maupun faktor eksternal yang membawa
dampak pada perubahan kinerja guru. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru
yang dapat diungkap tersebut antara lain :
- Kepribadian dan dedikasi
Setiap guru
memiliki pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki.
Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru lainnya.
Kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah abstrak, yang hanya dapat dilihat
dari penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian dan dalam menghadapi setiap
persoalan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Zakiah Darajat (dalam
Djamarah SB, 1994) bahwa kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak,
sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah
penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan misalnya dalam
tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi setiap
persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat.
Kepribadian
adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik,
artinya seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan suatu gambaran dari
kepribadian orang itu, dengan kata lain baik tidaknya citra seseorang
ditentukan oleh kepribadiannya. Lebih lanjut Zakiah Darajat (dalam Djamarah SB,
1994) mengemukakan bahwa faktor terpenting bagi seorang guru adalah
kepribadiannya. Kepribadian inilah yang akan menentukan apakah ia menjadi
pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya ataukah akan menjadi perusak
atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih
kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa. Kepribadian adalah
suatu cerminan dari citra seorang guru dan akan mempengaruhi interaksi antara
guru dan anak didik. Oleh karena itu kepribadian merupakan faktor yang menentukan tinggi
rendahnya martabat guru.
Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina
dan membimbing anak didik. Semakin baik kepribadian guru, semakin baik
dedikasinya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru,
ini berarti tercermin suatu dedikasi yang tinggi dari guru dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas
oleh Drosat (1998) bahwa salah satu dasar pembentukan kepribadian adalah sukses
yang merupakan sebuah hasil dari kepribadian, dari citra umum, dari sikap, dari
keterampilan karena ini semua melumasi proses interaksi-interaksi manusia
Kloges (dalam
Suryabrata, 2001) mengemukakan bahwa ada tiga aspek kepribadian yaitu
: (1). Materi atau bahan yaitu semua kemampuan (daya) pembawaan
beserta talent-talentnya (keistimewaan-keistimewaan nya), (2). Struktur
yaitu sifat-sifat bentuknya atau sifat-sifat normalnya. (3). Kualitas atau
sifat yaitu sistem dorongan-dorongan. Sedangkan Menurut Freud (1950),
kepribadian terdiri tiga aspek yaitu :
(1). Das Es
(the id) yaitu aspek biologis, aspek ini merupakan sistem yang original
dalam kepribadian sehingga aspek ini merupakan dunia bathin subyektif manusia
dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia obyektif. (2). Das
Ich (the ego) yaitu aspek psikologis, aspek ini timbul karena kebutuhan
individu untuk berhubungan dengan dunia nyata, (3). Das Ueber Ich (the super
ego) yaitu aspek sosiologis kepribadian merupakan wakil dari nilai-nilai
tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada
anak-anaknya, yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan.
Aspek-aspek
tersebut di atas merupakan potensi kepribadian sebagai syarat
mutlak yang harus dimiliki oleh seorang guru
dalam melaksanakan profesinya. Karena tanpa aspek tersebut sangat
tidak mungkin guru dapat melaksanakan tugas sesuai dengan harapan. Kepribadian
dan dedikasi yang tinggi dapat meningkatkan kesadaran akan pekerjaan dan mampu
menunjukkan kinerja yang memuaskan seseorang atau kelompok dalam suatu
organisasi. Guru yang memiliki kepribadian yang baik dapat membangkitkan kemauan
untuk giat memajukan profesinya dan meningkatkan dedikasi dalam melakukan
pekerjaan mendidik sehingga dapat dikatakan guru tersebut
memiliki akuntabilitas yang baik dengan kata lain prilaku akuntabilitas
meminta agar pekerjaan itu berakhir dengan hasil baik yang dapat memuaskan
atasan yang memberi tugas itu dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atau
segala pekerjaan yang dilaksanakan baik secara kualitatif maupun kuantitatif
sesuai dengan standar yang ditetapkan dan tidak asal-asalan.
- Pengembangan Profesi
Profesi guru
kian hari menjadi perhatian seiring dengan perubahan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi yang menuntut kesiapan agar tidak ketinggalan. Menurut Pidarta (1999)
bahwa Profesi ialah suatu jabatan atau pekerjaan biasa seperti halnya dengan
pekerjaan-pekerjaan lain. Tetapi pekerjaan itu harus diterapkan kepada
masyarakat untuk kepentingan masyarakat umum, bukan untuk kepentingan
individual, kelompok, atau golongan tertentu. Dalam melaksanakan pekerjaan itu
harus memenuhi norma-norma itu. Orang yang melakukan pekerjaan profesi itu
harus ahli, orang yang sudah memiliki daya pikir, ilmu dan keterampilan yang
tinggi. Disamping itu ia juga dituntut dapat mempertanggung jawabkan segala
tindakan dan hasil karyanya yang menyangkut profesi itu.
Lebih lanjut Pidarta (1997) mengemukakan ciri-ciri profesi sebagai berikut
:
(1). Pilihan
jabatan itu didasari oleh motivasi yang kuat dan merupakan panggilan hidup
orang bersangkutan, (2). Telah
memiliki ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus, yang bersifat dinamis dan
berkembang terus. (3). Ilmu pengetahuan, dan keterampilan khusus tersebut di
atas diperoleh melalui studi dalam jangka waktu lama di perguruan tinggi. (4).
Punya otonomi dalam bertindak ketika melayani klien, (5). Mengabdi kepada
masyarakat atau berorientasi kepada layanan sosial, bukan untuk mendapatkan
keuntungan finansial. (6).Tidak mengadvertensikan keahlian-nya untuk mendapatkan klien. (7).
Menjadi anggota profesi. (8).Organisasi profesi tersebut menetukan persyaratan
penerimaan para anggota, membina profesi anggota, mengawasi perilaku anggota,
memberikan sanksi, dan memperjuangkan kesejahteraan anggota.
Bila
diperhatikan ciri-ciri profesi tersebut di atas nampaknya bahwa profesi guru
tidak mungkin dikenakan pada sembarang orang yang dipandang oleh masyarakat
umum sebagai pendidik. Pekerjaan profesi harus berorientasi pada layanan
sosial. Seorang profesional ialah orang yang melayani kebutuhan anggota
masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Sebagai orang yang
memberikan pelayanan sudah tentu membutuhkan sikap rendah hati dan budi halus.
Sikap dan budi halus ini menjadi sarana bagi terjalinnya hubungan yang baik
yang ikut menentukan keberhasilan profesi.
Pengembangan
profesi guru merupakan hal penting untuk diperhatikan guna mengantisipasi perubahan
dan beratnya tuntutan terhadap profesi guru. Pengembangan profesionalisme guru
menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta
strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan
sekadar memiliki pengetahuan, teknologi dan manajemen tetapi memiliki
keterampilan tinggi, memiliki tingkah laku yang dipersyaratkan.
Pengembangan
profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan
Horsley (1998) bahwa ada empat standar pengembangan profesi guru yaitu:
(1). Standar
pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains
memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif
dan metode-metode inquiri.; (2) Standar pengembangan profesi B adalah
pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan
pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa,
juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains; (3) Standar
pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains
memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang
masa.; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk
guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu.
Standar ini
dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan pengembangan profesi
terfragmentasi dan tidak berkelanjutan. Apabila guru di Indonesia telah
memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat
maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Tuntutan
memenuhi standar profesionalisme bagi guru sebagai wujud dari keinginan
menghasilkan guru-guru yang mampu membina peserta didik sesuai dengan tuntutan
masyarakat, disamping sebagai tuntutan yang harus dipenuhi guru dalam meraih
predikat guru yang profesional sebagai mana yang dijelaskan dalam jurnal Educational
Leadership (dalam Supriadi D. 1998) bahwa untuk menjadi profesional seorang
guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu: (1). Guru mempunyai komitmen pada
siswa dan proses belajarnya, (2). Guru menguasai secara mendalam bahan/mata
pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3). Guru
bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi,
(4). Guru mampu
berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya, (5). Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar
dalam lingkungan profesinya.
Guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai: (1). Dasar
ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan
masyarakat ilmu pengetahuan, (2). Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan
riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan
hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat
ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan
masyarakat Indonesia,
(3). Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru
merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara
LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan
disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan
birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah. (Arifin I, 2000)
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru yang dapat dilakukan yaitu:
(1). Peningkatan dan Pembinaan hubungan yang erat antara Perguruan Tinggi
dengan pembinaan SLTA, (2). Meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru, (3). Program
penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan, (4). Meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik. (5).
Pelaksanaan supervisi yang baik, (6). Peningkatan mutu manajemen pendidikan, (7). Melibatkan
peran serta masyarakat berdasarkan konsep linck and matc. (8). Pemberdayaan buku teks dan alat-alat
pendidikan penunjang, (9). Pengakuan masyarakat terhadap profesi guru, (10).
Perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundang-undangan.
dan (11) Kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang
layak (Hasan A M, 2001).
Apabila
syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran
guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan
dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional
akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi
berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang
invitation learning environment.
Menurut Akadum (1999) bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru
yaitu : (1). Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara
total, (2). Rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika
profesi keguruan, (3). Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih
setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini
terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan
kependidikan, (4). Masih belum smoothnya perbedaan pendapat tentang
proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5). Masih belum
berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara maksimal
meningkatkan profesionalisme anggotanya.
Upaya meningkatkan profesionalisme guru di antaranya melalui (1).
Peningkatan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi
bagi tenaga pengajar. (2).
Program sertifikasi (Pantiwati, 2001). Selain sertifikasi, menurut Supriadi
(1998) yaitu mengoptimalkan fungsi dan peran kegiatan dalam bentuk PKG (Pusat
Kegiatan Guru), KKG (Kelompok Kerja Guru), dan MGMP (musyawarah Guru Mata
Pelajaran) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya. Hal
tersebut diperkuat pendapat dari Pidarta (1999) bahwa mengembangkan atau
membina profesi para guru yang terdiri dari : (1). Belajar lebih
lanjut. (2). Menghimbau dan ikut mengusahakan sarana dan fasilitas
sanggar-sanggar seperti Sanggar Pemantapan Kerja Guru. (3). Ikut mencarikan jalan agar
guru-guru mendapatkan kesempatan lebih besar mengikuti panataran-penataran
pendidikan. (4). Ikut memperluas kesempatan agar guru-guru dapat mengikuti
seminar-seminar pendidikan yang sesuai dengan minat dan bidang studi yang
dipegang dalam usaha mengembangkan profesinya. (5). Mengadakan diskusi-diskusi
ilmiah secara berkala disekolah. (6). Mengembangkan cara belajar berkelompok
untuk guru-guru sebidang studi.
Pola pengembangan dan pembinaan profesi guru yang diuraikan di
atas sangat memungkinkan terjadinya perubahan paradigma dalam pengembangan
profesi guru sebagai langkah antisipatif terhadap perubahan peran dan fungsi
guru yang selama ini guru dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi dan
pengetahuan bagi siswa, padahal perkembangan teknologi dan informasi
sekarang ini telah membuka peluang bagi setiap orang untuk dapat belajar secara
mandiri dan cepat yang berarti siapapun bisa lebih dulu mengetahui yang terjadi
sebelum orang lain mengetahuinya, kondisi ini mengisyaratkan adanya pergeseran
pola pembelajaran dan perubahan fungsi serta peran guru yang lebih besar yang
bukan lagi sebagai satu-satunya sumber informasi pengetahuan bagi siswa
melainkan sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa dalam pembelajaran.
Pengembangan
profesi guru harus pula diimbangi dengan usaha lain seperti mengusahakan
perpustakaan khusus untuk guru-guru yang mencakup segala bidang studi yang
diajarkan di sekolah, sehingga guru tidak terlalu sulit untuk mencari bahan dan
referensi untuk mengajar di kelas. Pengembangan yang lain dapat dilakukan
melalui pemberian kesempatan kepada guru-guru untuk mengarang bahan pelajaran
tersendiri sebagai buku tambahan bagi siswa baik secara perorangan atau
berkelompok. Usaha ini dapat memotivasi guru dalam melakukan inovasi dan
mengembangkan kreativitasnya yang berarti memberi peluang bagi guru untuk
meningkatkan kinerjannya.
Menurut W.F.
Connell (1974) bahwa guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi
tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh profesi keguruan. Peranan
profesi adalah sebagai motivator, supervisor, penanggung jawab dalam membina
disiplin, model perilaku, pengajar dan pembimbing dalam proses belajar,
pengajar yang terus mencari pengetahuan dan ide baru untuk melengkapi dan
meningkatkan pengetahuannya, komunikator terhadap orang tua murid dan
masyarakat, administrator kelas, serta anggota organisasi profesi pendidikan.
Menyadari akan
profesi merupakan wujud eksistensi guru sebagai komponen yang bertanggung
jawab dalam keberhasilan pendidikan maka menjadi satu tuntutan bahwa guru
harus sadar akan peran dan fungsinya sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas
Pidarta (1999) bahwa kesadaran diri merupakan inti dari dinamika gerak
laju perkembangan profesi seseorang, merupakan sumber dari kebutuhan
mengaktualisasi diri. Makin tinggi kesadaran seseorang makin kuat keinginannya
meningkatkan profesi.
Pembinaan dan
pengembangan profesi guru bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan dilakukan
secara terus menerus sehingga mampu menciptakan kinerja sesuai dengan
persyaratan yang diinginkan, disamping itu pembinaan harus sesuai arah dan
tugas/fungsi yang bersangkutan dalam sekolah. Semakin sering profesi guru
dikembangkan melalui berbagai kegiatan maka semakin mendekatkan guru pada
pencapaian predikat guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga
harapan kinerja guru yang lebih baik akan tercapai.
- Kemampuan Mengajar
Untuk
melaksanakan tugas-tugas dengan baik, guru memerlukan
kemampuan. Cooper (dalam Zahera, 1997) mengemukakan bahwa guru harus
memiliki kemampuan merencanakan pengajaran, menuliskan tujuan pengajaran,
menyajikan bahan pelajaran, memberikan pertanyaan kepada siswa, mengajarkan
konsep, berkomunikasi dengan siswa, mengamati kelas, dan mengevaluasi hasil
belajar
Kompetensi guru
adalah kemampuan atau kesanggupan guru dalam mengelola pembelajaran. Titik
tekannya adalah kemampuan guru dalam pembelajaran bukanlah apa yang harus
dipelajari (learning what to be learnt), guru dituntut mampu menciptakan
dan menggunakan keadaan positif untuk membawa mereka ke dalam pembelajaran agar
anak dapat mengembangkan kompetensinya (Rusmini, 2003). Guru harus mampu
menafsirkan dan mengembangkan isi kurikulum yang digunakan selama ini pada
suatu jenjang pendidikan yang diberlakukan sama walaupun latar belakang sosial,
ekonomi dan budaya yang berbeda-beda (Nasanius Y, 1998).
Aspek-aspek
teladan mental guru berdampak besar terhadap iklim belajar dan pemikiran
pelajar yang diciptakan guru. Guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap
siswa akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya. Agar guru
mampu berkompetensi harus memiliki jiwa inovatif, kreatif dan kapabel,
meninggalkan sikap konservatif, tidak bersifat defensif tetapi
mampu membuat anak lebih bersifat ofensif (Sutadipura, 1994).
Penguasaan
seperangkat kompetensi yang meliputi kompetensi keterampilan proses
dan kompetensi penguasaan pengetahuan merupakan unsur yang
dikolaborasikan dalam bentuk satu kesatuan yang utuh dan membentuk struktur
kemampuan yang harus dimiliki seorang guru, sebab kompetensi merupakan
seperangkat kemampuan guru searah dengan kebutuhan pendidikan di sekolah,
tuntutan masyarakat, dan perkembang-an ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Kompetensi
Keterampilan proses belajar mengajar adalah penguasaan terhadap kemampuan yang
berkaitan dengan proses pembelajaran. Kompetensi dimaksud meliputi kemampuan
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam
menganalisis, menyusun program perbaikan dan pengayaan, serta
menyusun program bimbingan dan konseling sedangkan Kompetensi Penguasaan
Pengetahuan adalah penguasaan terhadap kemampuan yang berkaitan dengan keluasan
dan kedalaman pengetahuan. Kompetensi dimaksud meliputi pemahaman
terhadap wawasan pendidikan, pengembangan diri dan profesi, pengembangan
potensi peserta didik, dan penguasaan akademik (Rusmini, 2003).
Kemampuan mengajar
guru sebenarnya merupakan pencerminan penguasan guru atas kompetensinya. Imron
(1995) mengemukakan 10 Kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh
guru yaitu :
(1). Menguasai
bahan, (2). Menguasai
Landasan kependidikan, (3). Menyusun program pengajaran, (4). Melaksanakan
Program Pengajaran, (5). Menilai proses dan hasil belajar, (6).
Menyelenggarakan proses bimbingan dan penyuluhan, (7).Menyelenggarakan
administrasi sekolah, (8). Mengembangkan kepribadian, (9). Berinterkasi dengan
sejawat dan masyarakat, (10). Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk
kepentingan mengajar.
Sedangkan menurut Uzer Usman (2002) bahwa jenis-jenis kompetensi guru
antara lain (1). Kompetensi kepribadian meliputi: mengembangkan kepribadian,
berinteraksi dan berkomunikasi, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan,
melaksanakan administrasi, melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan
pengajaran; (2). Kompetensi profesional antara lain mengusai landasan
kependidikan, menguasai bahan pengajaran, menyusun program pengajaran,
melaksanakan program pengajaran dan menilai hasil dan proses belajar mengajar
yang telah dilaksanakan.
Kemampuan mengajar guru yang sesuai dengan tuntutan standar tugas yang
diemban memberikan efek positif bagi hasil yang ingin dicapai seperti perubahan
hasil akademik siswa, sikap siswa, keterampilan siswa, dan perubahan pola kerja
guru yang makin meningkat, sebaliknya jika kemampuan mengajar yang dimiliki
guru sangat sedikit akan berakibat bukan saja menurunkan prestasi
belajar siswa tetapi juga menurunkan tingkat kinerja guru itu sendiri.
Untuk itu kemampuan mengajar guru menjadi sangat penting dan menjadi
keharusan bagi guru untuk dimiliki dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa
kemampuan mengajar yang baik sangat tidak mungkin guru mampu melakukan inovasi
atau kreasi dari materi yang ada dalam kurikulum yang pada gilirannya
memberikan rasa bosan bagi guru maupun siswa untuk menjalankan tugas dan fungsi
masing-masing.
- Antar Hubungan dan Komunikasi
Komunikasi
merupakan aktivitas dasar manusia, manusia dapat saling berhubungan satu sama
lain dalam kehidupan sehari-hari dirumah tangga, di tempat kerja, di pasar,
dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak
akan terlibat komunikasi.
Pentingnya
komunikasi bagi organisasi tidak dapat dipungkiri, adanya komunikasi yang
baik suatu organisasi dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dan begitu pula
sebaliknya. Misalnya Kepala Sekolah tidak menginformasikan kepada
guru-guru mengenai kapan sekolah dimulai sesudah libur maka besar kemungkinan
guru tidak akan datang mengajar. Contoh di atas menandakan betapa pentingnya
komunikasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Muhammad A. (2001) bahwa
kelupaan informasi dapat memberikan efek yang lebih besar terhadap kelangsungan
kegiatan.
Komunikasi yang
efektif adalah penting bagi semua organisasi oleh karena itu para pemimpin
organisasi dan para komunikator dalam organisasi perlu memahami dan
menyempurnakan kemampuan komunikasi mereka (Kohler, 1981). Guru dalam proses
pelaksanaan tugasnya perlu memperhatikan hubungan dan komunikasi baik antara
guru dengan Kepala Sekolah, guru dengan guru, guru dengan siswa, dan guru
dengan personalia lainnya di sekolah. Hubungan dan komunikasi yang baik membawa
konsekwensi terjalinnya interaksi seluruh komponen yang ada dalam sistem
sekolah. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru akan berhasil jika ada
hubungan dan komunikasi yang baik dengan siswa sebagai komponen yang diajar.
Kinerja guru akan meningkat seiring adanya kondisi hubungan dan komunikasi yang
sehat di antara komponen sekolah sebab dengan pola hubungan dan komunikasi yang
lancar dan baik mendorong pribadi seseorang untuk melakukan tugas dengan baik.
Menurut Forsdale
(1981) bahwa “communication is the process by which a system is established,
maintained, and altered by means of shared signals that operate according to
rules”. Sedangkan ahli lain berpendapat bahwa komunikasi
manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam
kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan
menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang
lain (Brent D. Ruben, 1988).
Hubungan sosial
antar manusia selalu terjadi di lingkungan kerja. Sebagai peneliti Terence R.
Mitchell 1982 (dalam Junaidin, 2006) menemukan bahwa orang-orang di dalam
organisasi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk interaksi interpersonal. Hubungan yang terjadi antara
atasan dengan bawahan, bawahan dengan bawahan. Di sekolah hubungan dapat
terjadi antara kepala sekolah dengan guru, antara guru dengan guru serta guru
dengan siswa. Hubungan guru dengan siswa lebih sering dilakukan dibandingkan
dengan hubungan guru dengan guru atau hubungan guru dengan kepala sekolah.
Setiap hari guru harus berhadapan dengan siswayang jumlahnya cukup banyak yang
terkadang sangat merepotkan tetapi bagi guru interaksi dengan siswa merupakan
hal sangat menarik dan mengasyikkan apalagi dapat membantu siswa dalam
menemukan cara mengatasi kesulitan belajar siswa.
Ada bermacam-macam interaksi di sekolah. Kalau ditinjau dari maksud
interaksi yang terjadi maka ada dua macam interaksi yaitu (1) interaksi dalam
konteks menjalankan tugas yang secara langsung mengarah pada tujuan organisasi
dan (2). Interaksi
diluar kontekspelaksanaan tugas, meskipun interaksi terjadi di lingkungan
kerja. Hubungan
yang sehat dan harmonis dalam konteks pelaksanaan tugas menjadi prasyarat agar
produktivitas lebih meningkat lagi
Komunikasi
digunakan untuk memahami dan menukarkan pesan verbal maupun non verbal antara
pengirim informasi dengan penerima informasi untuk mengubah tingkah laku.
Hubungan dan komunikasi yang dikembangkan guru terutama dalam proses
pembelajaran dan pada situasi interaksi lain di sekolah memberi peluang
terciptanya situasi yang kondusif untuk dapat memperlancar pelaksanaan tugas,
segala persoalan yang dihadapi guru baik dalam pelaksanaan tugas utama maupun
tugas tambahan dapat diselesaikan melalui penyelesaian secara bersama
dengan rekan guru yang lain, tanpa hubungan dan komunikasi yang baik di dalam
lingkungan sekolah apapun bentuk pekerjaan yang kita lakukan tetap akan
mengalami hambatan dan kurang lancar.
Terbinanya
hubungan dan komunikasi di dalam lingkungan sekolah memungkinkan guru dapat
mengembangkan kreativitasnya sebab ada jalan untuk terjadinya
interaksi dan ada respon balik dari komponen lain di sekolah atas
kreativitas dan inovasi tersebut, hal ini menjadi motor penggerak bagi guru
untuk terus meningkatkan daya inovasi dan kreativitasnya yang bukan saja
inovasi dalam tugas utamanya tetapi bisa saja muncul inovasi dalam tugas yang
lain yang diamanatkan sekolah. Ini berarti bahwa pembinaan hubungan dan
komunikasi yang baik di antara komponen dalam sekolah menjadi suatu
keharusan dalam menunjang peningkatan kinerja.
Untuk itu
semakin baik pembinaan hubungan dan komunikasi dibina maka respon yang muncul
semakin baik pula yang pada gilirannya mendorong peningkatan kinerja.
- Hubungan dengan Masyarakat
Sekolah
merupakan lembaga sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan dari sekolah
sebab keduanya memiliki kepentingan, sekolah merupakan lembaga formal yang
diserahi mandat untuk mendidik, melatih, dan membimbing generasi muda bagi
peranannya di masa depan, sementara masyarakat merupakan pengguna jasa
pendidikan itu.
Menurut Pidarta
(1999) bahwa suatu sekolah tidak dibenarkan mengisolasi diri dari masyarakat.
Sekolah tidak boleh merupakan masyarakat tersendiri yang tertutup terhadap
masyarakat sekitar, ia tidak boleh melaksanakan idenya sendiri dengan tidak mau
tahu akan aspirasi–aspirasi masyarakat. Masyarakat menginginkan sekolah itu
berdiri di daerahnya untuk meningkatkan perkembangan putra-putra
mereka. Sekolah merupakan sistem terbuka terhadap lingkungannya
termasuk masyarakat pendukungnya. Sebagai sistem terbuka sudah jelas ia tidak
dapat mengisolasi diri sebab bila hal ini ia lakukan berarti ia menuju ke
ambang kematian.
Hubungan
sekolah dengan masyarakat merupakan bentuk hubungan komunikasi ekstern yang
dilaksanakan atas dasar kesamaan tanggung jawab dan tujuan. Masyarakat
merupakan kelompok individu–individu yang berusaha menyelenggarakan pendidikan
atau membantu usaha-usaha pendidikan. Dalam masyarakat terdapat lembaga-lembaga
penyelenggaran pendidikan, lembaga keagamaan, kepramukaan, politik, sosial,
olah raga, kesenian yang bergerak dalam usaha pendidikan. Dalam masyarakat juga
terdapat individu-individu atau pribadi-pribadi yang bersimpati terhadap
pendidikan di sekolah.
Sekolah berada
ditengah-tengah masyarakat dan dapat dikatakan berfungsi sebagai pisau bermata
dua. Mata yang pertama adalah menjaga kelestarian nilai-nilai positif yang ada
dalam masyarakat, agar pewarisan nilai-nilai masyarakat berlangsung dengan
baik. Mata yang kedua adalah sebagai lembaga yang mendorong perubahan
nilai dan tradisi sesuai dengan kemajuan dan tuntutan kehidupan serta
pembangunan. (Soetjipto dan Rafles Kosasi, 1999).
Hubungan
sekolah dengan masyarakat adalah suatu proses komunikasi antara sekolah
dengan masyarakat untuk meningkatkan pengertian masyarakat tentang kebutuhan
serta kegiatan pendidikan serta mendorong minat dan kerjasama untuk masyarakat
dalam peningkatan dan pengembangan sekolah. Hubungan sekolah dengan masyarakat
ini sebagai usaha kooperatif untuk menjaga dan mengembangkan saluran informasi dua
arah yang efisien serta saling pengertian antara sekolah, personalia sekolah
dengan masyarakat. Hal ini dipertegas Mulyasa (2003) bahwa Tujuan hubungan
sekolah dengan masyarakat dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu kepentingan
sekolah dan kebutuhan masyarakat.
Tujuan hubungan
masyarakat berdasarkan dimensi kepentingan sekolah antara lain : (1).
Memelihara kelangsungan hidup sekolah, (2). Meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah, (3). Memperlancar kegiatan belajar mengajar, (4). Memperoleh bantuan
dan dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan
program-program sekolah.
Tujuan hubungan berdasarkan kebutuhan masyarakat antara lain : (1).
Memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2). Memperoleh kemajuan
sekolah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, (3). Menjamin relevansi program
sekolah dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, dan (4). Memperoleh kembali anggota-anggota masyarakat
yang terampil dan makin meningkatkan kemampuannya (Mulyasa, 2003).
Dalam
melaksanakan hubungan sekolah-masyarakat perlu dianut beberapa prinsip sebagai
pedoman dan arah bagi guru dan kepala sekolah, agar mencapai sasaran yang
diinginkan. Prinsip-prinsip hubungan antara lain :
(1). Prinsip
Otoritas yaitu bahwa hubungan sekolah-masyarakat harus dilakukan oleh orang
yang mempunyai otoritas, karena pengetahuan dan tanggung jawabnya dalam
penyelenggaraan sekolah. (2). Prinsip kesederhanaan yaitu bahwa program-program
hubungan sekolah masyarakat harus sederhana dan jelas, (3). Prinisp
sensitivitas yaitu bahwa dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan
dengan masyarakat, sekolah harus sensitif terhadap kebutuhan serta harapan
masyarakat. (4). Prinsip kejujuran yaitu bahwa apa yang disampaikan kepada
msyarakat haruslah sesuatu apa adanya dan disampaikan secara jujur. (5).
Prinsip ketepatan yaitu bahwa apa yang disampaikan sekolah kepada masyarakat
harus tepat, baik dilihat dari segi isi, waktu, media yang digunakan serta
tujuan yang akan dicapai (Soetjipto dan Rafles Kosasi (1999)
Agar hubungan dengan masyarakat terjamin baik dan berlangsung kontinu, maka
diperlukan peningkatan profesi guru dalam hal berhubungan dengan masyarakat.
Guru disamping mampu melakukan tugasnya masing-masing di sekolah, mereka juga
diharapkan dapat dan mampu melakukan tugas-tugas hubungan dengan masyarakat.
Mereka bisa mengetahui aktivitas-aktivitas masyarakatnya, paham akan adat
istiadat, mengerti aspirasinya, mampu membawa diri di tengah-tengah masyarakat,
bisa berkomunikasi dengan mereka dan mewujudkan cita-cita mereka. Untuk
mencapai hal itu diperlukan kompetensi dan perilaku dari guru yang cocok dengan
struktur sosial masyarakat setempat, sebab ketika kompetensi dan perilaku guru
tidak cocok dengan struktur sosial dalam masyarakat maka akan terjadi benturan
pemahaman dan salah pengertian terhadap program yang dilaksanakan sekolah dan
berakibat tidak adanya dukungan masyarakat terhadap sekolah, padahal sekolah
dan masyarakat memiliki kepentingan yang sama dan peran yang strategis dalam
mendidik dan menghasilkan peserta didik yang berkualitas.
Hubungan dengan
masyarakat tidak saja dibina oleh guru tetapi juga dibina oleh personalia lain
yang ada disekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Pidarta (1999) yang
mengatakan bahwa selain guru, anggota staf yang lain seperti
para pegawai, para petugas bimbingan dan konseling, petugas-petugas medis, dan
bahkan juga pesuruh dapat melakukan hubungan dengan masyarakat, sebab mereka
ini juga terlibat dalam pertemuan-pertemuan, pemecahan masalah, dan
ketatausahaan hubungan dengan masyarakat. Namun yang lebih banyak
menangani hal itu adalah guru sehingga guru-gurulah yang paling dituntut untuk
memiliki kompetensi dan perilaku yang cocok dengan struktur sosial.
Kemampuan guru
membawa diri baik di tengah masyarakat dapat mempengaruhi penilaian
masyarakat terhadap guru. Guru harus bersikap sesuai dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat, responsif dan komunikatif terhadap masyarakat, toleran
dan menghargai pendapat mereka. Bila tidak mampu menampilkan diri dengan baik sangat
mungkin masyarakat tidak akan menghiraukan mereka. Bertalian dengan hal itu
Pidarta (1999) menegaskan bahwa keadaan seperti itu akan menimbukan cap
kurang baik terhadap guru. Citra guru di mata masyarakat menjadi pudar. Oleh
karena itu kewajiban sekolah untuk menegakkan wibawa guru di tengah masyarakat
dengan terus menyesuaikan diri sambil ikut memberikan pencerahan kepada
masyarakat.
Hal yang dilakukan guru dalam mendukung hubungan sekolah dengan masyarakat
antara lain: (1). Membantu sekolah dalam melaksanakan tehnik-tehnik hubungan
sekolah dengan masyarakat. Melalui : (a). Guru hendaknya selalu
berpartisipasi lembaga dan organisasi di masyarakat (b). Guru hendaknya
membantu memecahkan yang timbul dalam masyarakat. (2). Membuat dirinya lebih
baik lagi dalam masyarakat melalui penyesuain diri dengan adat istiadat
masyarakat karena guru adalah tokoh milik masyarakat. Tingkah laku guru di sekolah dan di masyarakat menjadi
panutan masyarakat. Pada posisi terrsebut guru menjaga perilaku yang prima.
Apabila masyarakat mengetahui bahwa guru-guru sekolah tertentu dapat dijadikan
suri teladan di masyarakat, maka masyarakat akan percaya pada sekolah pada
akhirnya masyarakat memberikan dukungan pada sekolah. (3). Guru harus
melaksanakan kode etiknya, karena kode etik merupakan seperangkat aturan atau
pedoman dalam melaksanakan tugas profesinya.
Penjelasan di atas menunjukkan betapa penting peran guru dalam hubungan
sekolah dengan masyarakat. Terjalinnya hubungan yang harmonis antara
sekolah-masyarakat membuka peluang adanya saling koordinasi dan pengawasan
dalam proses belajar mengajar di sekolah dan keterlibatan bersama memajukan
peserta didik. Guru diharapkan selalu berbuat yang terbaik sesuai harapan
masyarakat yaitu terbinanya dan tercapainya mutu pendidikan anak-anak mereka.
Penciptaan suasana menantang harus dilengkapi dengan terjalinnya hubungan
yang baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya. Ini
dimaksudkan untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama
terhadap pendidikan. Hanya sebagian kecil waktu yang dipergunakan oleh guru di
sekolah dan sebagian besar ada di masyarakat. Agar pendidikan di luar ini
terjalin dengan baik dengan apa yang dilakukan oleh guru di sekolah diperlukan
kerjasama yang baik antara guru, orang tua dan masyarakat. Kewajiban guru
mengadakan kontak hubungan dengan masyarakat merupakan bagian dan tugas guru
dalam mendidik siswa dan mengembangkan profesinya sebagai guru. Sekolah adalah
milik bersama antara warga sekolah itu sendiri, pemerintah dan masyarakat.
Dengan adanya perubahan paradigma pendidikan sekarang ini membuka peluang
bagi masyarakat untuk dapat menilai sekolah dan guru dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya secara baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pengawasan dan evaluasi yang dilakukan masyarakat baik secara perseorangan
maupun kelompok yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung membawa
konsekwensi bagi terciptanya kondisi kerja kearah yang lebih baik karena
kelangsungan hidup sekolah sangat tergantung pula dari keterlibatan masyarakat
sebagai unsur pendukung keberhasilan sekolah maka guru secara langsung
terpengaruh dan berdampak pada kinerja guru sebab ketika guru menunjukkan
kinerja yang tidak baik disuatu sekolah maka masyarakat tidak akan memberikan
respon positif bagi kelangsungan sekolah tersebut. Apalagi guru selalu berada
ditengah-tengah masyarakat segala tindak tanduknya akan selalu dicontoh
dan diteladani dalam masyarakat.
Manfaat hubungan dengan masyarakat sangat besar bagi peningkatan kinerja
guru melalui peningkatan aktivitas-aktivitas bersama, komunikasi yang
kontinu dan proses saling memberi dan saling menerima serta membuat
instrospeksi sekolah dan guru menjadi giat dan kontinu. Setiap aktivitas guru
dapat diketahui oleh masyarakat sehingga guru akan berupaya menampilkan kinerja
yang lebih baik. Hal ini dipertegas Pidarta (1999) yang menyatakan bahwa bila
guru tidak mau belajar dan tidak mampu menampilkan diri sangat mungkin
masyarakat tidak akan menghiraukan mereka. Keadaan ini seringkali menimbulkan cap kurang baik
terhadap guru. Citra guru di mata masyarakat menjadi pudar.
- Kedisiplinan
The Liang Gie
(1972) memberikan pengertian disiplin sebagai berikut Disiplin adalah
suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang tergabung dalam suatu
organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa
senang.
Sedangkan
Good’s (1959) dalam Dictionary of Education mengartikan disiplin
sebagai berikut
- 1). Proses atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan atau kepentingan guna mencapai maksud atau untuk mencapai tindakan yang lebih sangkil.
- Mencari tindakan terpilih dengan ulet, aktif dan diarahkan sendiri, sekalipun menghadapi rintangan
- Pengendalian perilaku secara langsung dan otoriter dengan hukuman atau hadiah.
- Pengekangan dorongan dengan cara yang tak nyaman dan bahkan menyakitkan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin
adalah ketaatan dan ketepatan pada suatu aturan yang dilakukan secara
sadar tanpa adanya dorongan atau paksaan pihak lain atau suatu keadaan di
mana sesuatu itu berada dalam tertib, teratur dan semestinya serta tiada suatu
pelanggaran-pelanggaran baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tujuan disiplin
menurut Arikunto, S. (1993) yaitu agar kegiatan sekolah dapat
berlangsung secara efektif dalam suasana tenang, tentram dan setiap guru
beserta karyawan dalam organisasi sekolah merasa puas karena terpenuhi
kebutuhannya. Sedangkan Depdikbud (1992) menyatakan tujuan
disiplin dibagi menjadi dua bagian yaitu :
(1). Tujuan Umum adalah agar
terlaksananya kurikulum secara baik yang menunjang peningkatan mutu
pendidikan (2). Tujuan khusus yaitu : (a). Agar Kepala Sekolah dapat
menciptakan suasana kerja yang menggairahkan bagi seluruh peserta warga
sekolah, (b). Agar guru dapat melaksanakan proses belajar mengajar seoptimal
mungkin dengan semua sumber yang ada disekolah dan diluar sekolah (c). Agar
tercipta kerjasama yang erat antara sekolah dengan orang tua dan sekolah dengan
masyarakat untuk mengemban tugas pendidikan.
Kedisiplinan
sangat perlu dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengajar,
pendidik dan pembimbing siswa. Disiplin yang tinggi akan mampu membangun
kinerja yang profesional sebab pemahaman disiplin yang baik guru mampu
mencermati aturan-aturan dan langkah strategis dalam melaksanakan proses
kegiatan belajar mengajar. Kemampuan guru dalam memahami aturan dan
melaksanakan aturan yang tepat, baik dalam hubungan dengan personalia lain di
sekolah maupun dalam proses belajar mengajar di kelas sangat membantu upaya
membelajarkan siswa ke arah yang lebih baik. Kedisiplinan bagi para guru
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya.
Dengan demikian
kedisiplinan seorang guru menjadi tuntutan yang sangat penting untuk dimiliki
dalam upaya menunjang dan meningkatkan kinerja dan disisi lain akan memberikan
tauladan bagi siswa bahwa disiplin sangat penting bagi siapapun apabila ingin
sukses. Hal tersebut dipertegas Imron (1995) menyatakan bahwa disiplin
kinerja guru adalah suatu keadaan tertib dan teratur yang dimiliki guru dalam
bekerja di sekolah, tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap dirinya, teman sejawatnya dan
terhadap sekolah secara keseluruhan.
Tiga model disiplin yang dapat dikembangkan yaitu :
(1). Disiplin
yang dibangun berdasarkan konsep otoritarian. Bahwa guru dikatakan mempunyai disiplin tinggi manakala
mau menurut saja terhadap perintah dan anjuran pejabat atau pembina tanpa
banyak menyumbangkan pikiran-pikirannya. (2). Disiplin yang dibangun
berdasarkan konsep permissive. Bahwa guru haruslah diberikan kebebasan
seluas-luasnya di dalam kelas dan sekolah. Aturan-aturan di sekolah
dilonggarkan dan tidak perlu mengikat kepada guru. (3). Disiplin yang
dibangun berdasarkan konsep kebebasan yang terkendali yaitu memberikan
kebebasan seluas-luasnya kepada guru untuk berbuat, tetapi konsekwensi dari
perbuatan itu haruslah dapat dipertanggung jawabkan (Imron, 1995)
Penerapan model disiplin di atas, diikuti dengan teknik-teknik alternatif
pembinaan disiplin guru yaitu : (1). Pembinaan dengan teknik external
control yaitu pembinaan yang dikendalikan dari luar. (2). Pembinaan
dengan teknik internal control yaitu diupayakan agar guru dapat
mendisiplinkan dirinya sendiri. Guru disadarkan akan pentingnya disiplin. (3).
Pembinaan dengan teknik cooperative control yaitu Pembinaan ini model
ini, menuntut adanya saling kerjasama antara guru dengan orang yang membina
dalam menegakkan disiplin.
Perilaku
disiplin dalam kaitan dengan kinerja guru sangat erat hubungannya karena hanya
dengan kedisiplinan yang tinggilah pekerjaan dapat dilakukan sesuai dengan
aturan-aturan yang ada. Untuk itu dalam upaya mencegah terjadinya
indisipliner perlu ditindak lanjuti dengan meningkatkan kesejahteraan
guru, memberi ancaman, teladan kepemimpinan, melakukan tindakan korektif,
memelihara tata tertib, memajukan pendekatan positif terhadap disiplin,
pencegahan dan pengendalian diri (Zahera Sy, 1998). Hal tersebut dipertegas
oleh Nainggolan H. (1990) bahwa upaya-upaya untuk menegakkan disiplin antara
lain: (1). Memajukan tindakan postif, (2). Pencegahan dan penguasaan
diri, (3). Memelihara tata tertib.
Kedisiplinan
yang baik ditunjukan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya akan
memperlancar pekerjaan guru dan memberikan perubahan dalam kinerja guru ke arah
yang lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Kondisi ini bukan saja
berpengaruh pada pribadi guru itu sendiri dan tugasnya tetapi akan berimbas
pada komponen lain sebagai suatu cerminan dan acuan dalam menjalankan tugas dengan
baik dan menghasilkan hasil yang memuaskan.
- Kesejahteraan
Faktor
kesejahteraan menjadi salah satu yang berpengaruh terhadap kinerja guru di
dalam meningkatkan kualitasnya sebab semakin sejahteranya seseorang makin
tinggi kemungkinan untuk meningkatkan kerjanya. Mulyasa (2002) menegaskan bahwa
terpenuhinya berbagai macam kebutuhan manusia, akan menimbulkan kepuasan dalam
melaksanakan apapun tugasnya.
Menurut
Supriadi (1999) bahwa tingkat kesejahteraan guru di Indonesia sangat
memprihatinkan, hanya setara dengan kondisi guru di negara miskin di Afrika. Rendahnya tingkat
kesejahteraan tersebut akan semakin tampak bila dibandingkan dengan kondisi
guru di negara lain. Di negara maju, gaji guru umumnya lebih tinggi dari
pegawai yang lain, sementara di Indonesia justru sebaliknya.
Profesionalitas guru tidak saja dilihat dari kemampuan guru dalam
mengembangkan dan memberikan pembelajaran yang baik kepada peserta didik,
tetapi juga harus dilihat oleh pemerintah dengan cara memberikan gaji yang
pantas serta berkelayakan. Bila kebutuhan dan kesejahteraan para guru telah
layak diberikan oleh pemerintah, maka tidak akan ada lagi guru yang membolos
karena mencari tambahan diluar (Denny Suwarja, 2003). Hal itu tersebut
dipertegas Pidarta (1999) yang menyatakan bahwa rata-rata gaji guru di negara
ini belum menjamin kehidupan yang layak. Hampir semua guru bekerja di tempat
lain sebagai sambilan disamping pekerjaannya sebagai guru tetap disuatu
sekolah. Malah ada juga guru-guru yang melaksanakan pekerjaan sambilan lebih dari
satu tempat bahkan ada yang bekerja sambilan tidak di bidang pendidikan. Hal
ini bisa dimaklumi karena mereka ingin hidup layak bersama keluargannya.
Dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi
yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama
pengambil kebijakan yaitu: (1). Profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan
karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya. (2). Profesionalisme guru masih
rendah (Adiningsih, 2002).
Journal PAT
(2001) menjelaskan bahwa di Inggris dan Wales dalam meningkatkan
profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru
diseimbangkan dengan beban kerjanya. Analisa tingkat institusi menyatakan bahwa
hubungan antara kepuasan dan performan rasanya nyata, pendidik yang terpuaskan
pada tingkat yang lebih tinggi memiliki performan pada tingkat yang lebih
tinggi dari pendidik yang berada pada tingkat tidak terpuaskan. Hal tersebut
dipertegas Arthur H. Braifiled and Walter H. Crockett (dalam Sutaryadi, 2001)
yang menyatakan bahwa memang terdapat korelasi positif antara kepuasan kerja
dengan performan kerja namun pada tingkat rendah.
Peningkatan kesejahteraan berkaitan erat dengan insentif yang diberikan
pada guru. Insentif dibatasi sebagai imbalan organisasi pada motivasi individu,
pekerja menerima insentif dari organisasi sebagai pengganti karena dia anggota
yang produktif dengan kata lain insentif adalah upah atau hukuman yang
diberikan sebagai pengganti kontribusi individu pada organisasi. Menurut
Chester l. Barnard (dalam Sutaryadi, 2001) menyatakan bahwa insentif yang tidak
memadai berarti mengubah tujuan organisasi.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa untuk memaksimalkan kinerja
guru langkah strategis yang dilakukan pemerintah yaitu memberikan
kesejahteraan yang layak sesuai volume kerja guru, selain
itu memberikan insentif pendukung sebagai jaminan bagi pemenuhan kebutuhan
hidup guru dan keluarganya. Program peningkatan mutu pendidikan apapun
yang akan diterapkan pemerintah, jika kesejahteraan guru masih rendah maka
besar kemungkinan program tersebut tidak akan mencapai hasil yang maksimal.
Jadi tidak heran kalau guru di negara maju memiliki kualitas tinggi dan
profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Adanya
Jaminan kehidupan yang layak bagi guru dapat memotivasi untuk selalu bekerja
dan meningkatkan kreativitas sehingga kinerja selalu meningkat tiap waktu.
- Iklim Kerja
Sekolah
merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai unsur yang membentuk
satu kesatuan yang utuh. Di dalam sekolah terdapat berbagai macam
sistem sosial yang berkembang dari sekelompok manusia yang saling
berinteraksi menurut pola dan tujuan tertentu yang saling mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungannya sehingga membentuk perilaku dari hasil
hubungan individu dengan individu maupun dengan lingkungannya.
Menurut Davis,
K & Newstrom J.W (1996) bahwa sekolah dapat dipandang dari dua pendekatan
yaitu pendekatan statis yang merupakan wadah atau tempat orang berkumpul
dalam satu struktur organisasi dan pendekatan dinamis merupakan hubungan
kerjasama yang harmonis antara anggota untuk mencapai tujuan bersama.
Interaksi yang
terjadi dalam sekolah merupakan indikasi adanya keterkaitan satu dengan lainnya
guna memenuhi kebutuhan juga sebagai tuntutan tugas dan tanggung jawab
pekerjaannya. Untuk terjalinnya interaksi-interaksi yang melahirkan hubungan
yang harmonis dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk bekerja diperlukan
iklim kerja yang baik.
Litwin dan
Stringer (dalam Sergiovanni, 2001) mengemukakan bahwa Iklim mempengaruhi
kinerja guru. Iklim sebagai pengaruh subyektif yang dapat dirasakan dari sistem
formal, gaya
informal pemimpin dan faktor-faktor lingkungan penting lainnya, yang menyangkut
sikap/keyakinan dan kemampuan memotivasi orang-orang yang bekerja pada
organisasi tersebut. Sedangkan menurut Henry A Marray dan Kurt Lewin
(dalam Sutaryadi, 1990) mengatakan bahwa Iklim kerja adalah seperangkat
karakteristik yang membedakan antara individu satu dengan individu lainnya yang
dapat mempangaruhi perilaku individu itu sendiri, perilaku merupakan hasil dari
hubungan antara individu dengan lingkungannya.
Iklim sekolah
memegang peran penting sebab iklim itu menunjukkan suasana kehidupan pergaulan
dan pergaulan di sekolah itu. Iklim itu mengambarkan kebudayaan,
tradisi-tradisi, dan cara bertindak personalia yang ada di sekolah itu,
khususnya kalangan guru-guru. Iklim ialah keseluruhan sikap guru-guru di
sekolah terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan kepuasan mereka (Pidarta,
1999).
Jadi Iklim
kerja adalah hubungan timbal balik antara faktor-faktor pribadi, sosial dan
budaya yang mempengaruhi sikap individu dan kelompok dalam lingkungan sekolah
yang tercermin dari suasana hubungan kerjasama yang harmonis dan kondusif
antara Kepala Sekolah dengan guru, antara guru dengan guru yang lain, antara
guru dengan pegawai sekolah dan keseluruhan komponen itu harus menciptakan
hubungan dengan peserta didik sehingga tujuan pendidikan dan pengajaran
tercapai.
Iklim negatif
menampakkan diri dalam bentuk-bentuk pergaulan yang kompetitif, kontradiktif,
iri hati, beroposisi, masa bodoh, individualistis, egois. Iklim
negatif dapat menurunkan produktivitas kerja guru. Iklim positif
menunjukkan hubungan yang akrab satu dengan lain dalam banyak hal terjadi
kegotong royongan di antara mereka, segala persoalan yang ditimbul diselesaikan
secara bersama-sama melalui musyawarah. Iklim positif menampakkan
aktivitas-aktivitas berjalan dengan harmonis dan dalam suasana yang damai,
teduh yang memberikan rasa tenteram, nyaman kepada personalia pada umumnya
dan guru khususnya.
Terciptanya iklim
positif di sekolah bila terjalinnya hubungan yang baik dan
harmonis antara Kepala Sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan
pegawai tata usaha, dan peserta didik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Owens (1991) bahwa
faktor-faktor penentu iklim organisasi sekolah terdiri dari (1). Ekologi yaitu
lingkungan fisik seperti gedung, bangku, kursi, alat elektronik, dan lain-lain,
(2). Milieu
yakni hubungan sosial, (3). Sistem sosial yakni ketatausahan, perorganisasian,
pengambilan keputusan dan pola komunikasi, (4). Budaya yakni nilai-nilai,
kepercayaan, norma dan cara berpikir orang-orang dalam organisasi.
Sedangkan Menurut Steers (1975) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi iklim
kerjasama di sekolah adalah :
(1). Struktur
tugas, (2). Imbalan dan hukuman yang diberikan, (3). Sentralisasi keputusan, (4). Tekanan
pada prestasi, (5). Tekanan pada latihan dan pengembangan, (6). Keamanan dan
resiko pelaksanaan tugas, (7). Keterbukaan dan Ketertutupan individu, (8).
Status dalam organisasi, (9). Pengakuan dan umpan balik, (10). Kompetensi dan
fleksibilitas dalam hubungan pencapaian tujuan organisasi secara fleksibel dan
kreatif.
Terbentuknya iklim yang kondusif pada tempat kerja dapat menjadi faktor
penunjang bagi peningkatan kinerja sebab kenyamanan dalam bekerja membuat guru
berpikir dengan tenang dan terkosentrasi hanya pada tugas yang sedang
dilaksanakan.
BAB III
PERUBAHAN PARADIGMA PERAN
GURU
1. Tantangan Pendidikan di era Perubahan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
teknologi yang sangat cepat selama ini membawa dampak terhadap terhadap jarak
antar bangsa didunia sehingga fenomena ini bersifat global. Perkembangan dan tatanan
ekonomi dunia sedang merobah kearah perdagangan dan investasi bebas. General
Agreement of Tariff and Trade (GATT) yang selanjutnya berkembang menjadi World
Trade Organization (WTO), serta dibentuknya perdagangan regional seperti
European Economics Community (EEC), North American Free Trade Area (NAFTA), dan
Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) merupakan bentuk nyata perdagangan
global yang bebas dan makin terbuka. Hal ini akan membawa implikasi bahwa pasar
domestik akan menjadi bagian dari pasar dunia sehingga gejolak yang terjadi dalam
ekonomi global berpengaruh pada pasar domestik. Untuk menghadapi persaingan
yang makin ketat haruslah didukung kualitas sumber daya manusia yang unggul dan
komitmen terhadap nilai-nilai.(Idris, J. 2005).
Akibat pengaruh
globalisasi menghadirkan problem baru berupa kesenjangan antara kemajuan IPTEK
sekarang dengan kurikulum sekolah. Dilain pihak motivasi dan minat belajar
siswa masih rendah mengakibatkan kualitas lulusan sebagai hasil pendidikan
cenderung merendah pula. Wacana mutu pendidikan yang tak menggembirakan itu
terindikasi pada tahun 2000 lalu sebuah organisasi dunia International
Association of Educational Evaluation in Achievemnt (IEA) menerbitkan
hasil survei prestasi belajar matematika dan IPA bagi siswa sekolah Usia 13
tahun pada 42 negera menempatkan negara kita berada pada posisi yang kurang
menggembirakan.
Pelaksanaan
pendidikan kita selama ini telah menempatkan kata-kata dan semboyan baku yang
mengagumkan namun seperti apa dan bagaimana manusia yang cerdas dan seutuhnya
justru tidak ditemukan dalam paham pendidikan kita. Kehampaan visi dan filosofi
tersebut membuat fokus perhatian hanya tertuju pada masalah metodologi
sedangkan inti yang sebenarnya (ruh pendidikan) belum tersentuh.
Mutu hanya
terwujud jika proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa belajar
dan belajar sebanyak mungkin. Mutu pendidikan harus dilihat dari kemampuan
belajar siswa secara mandiri. Pengetahuan apapun yang mereka kuasai adalah
hasil belajar yang mereka lalukan sendiri (Novak & Gowin, 1984, Arend, 2001
dalam Jalaluddin).
Persoalannya
sekarang adalah bagaimana menemukan pendekatan yang terbaik untuk menyampaikan
berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran tertentu sehingga semua
siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana
setiap individual mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling
berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh bagaimana seorang guru dapat
berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya tentang
alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu dan hubungan dari apa yang mereka
pelajari. Bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari
seluruh siswa sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan cara
mengaitkannya dengan kehidupan nyata, sehingga dapat membuka berbagai pintu
kesempatan selama hidupnya. Hal ini merupakan tantangan yang dihadapi guru
setiap hari dan tantangan bagi pengembangan kurikulum.
2. Reorientasi Paradigma pendidikan yang
Diinginkan
Untuk menjawab perubahan-perubahan
yang terjadi dalam persaingan global sekarang ini maka seyogyanya perubahan
perkembangan kehidupan diikuti pula dengan perubahan orientasi pendidikan hal
ini penting dilakukan sebagai langkah antisipasi dan tindakan adaptasi guna
mempertahankan eksisitensi dalam persaingan global. Untuk itu perubahan
paradigma pendidikan yang diperlu diperhatikan seperti (1) dari schooling ke
learning dimana implikasinya kearah belajar siswa aktif sehingga perlu
membuat suasana belajar inovatif dan kreatif dan juga harus mampu menguasai
umlti medote/multi media untuk mendorong siswa bereksplorasi, belajar dari
mengamati ke menjelaskan; (2). Dari knowledge based learning ke comptenesi
based learning dimana pembelajaran tidak disadarkan pada pencapaian
perolehan produk pengetahuan tetapi pada penguasaan keterampilan sehingga tidak
menerima pengetahuan tetapi membangun pengetahuan; (3). Dari instructive ke
facilitative terjadi perubahan dari ekspositorik ke penemuan, inkuiri dan
problem solving.
Paradigma pendidikan Indonesia
saat ini adalah ingin membangun manusia seutuhnya sehingga proses pendidikan
mengarah pada empat macam olah yaitu pertama : potensi olah
hati dimaksudkan membangun manusia indonesia yang beriman dan bertaqwa
yang baik memiliki asas yang mulia dan berbudi pekertiluhur, Kedua
: olah pikir dimana melalui olah pikir diharapkan bisa dibangun manusia yang
intelektual secara akademis, menguasai ilmu poengetahuan dan teknologi, ketiga
: olah rasa dimaksudkan untuk membangun manusia yang halus perasaan, bisa
berapresitif, bisa mensyukuri dan bisa mengekspresikan keindahan sehingga
pendidikan dengan keindahan (pendidikan seni) menjadi sama pentingnya dengan
pendidikan hati dengan pendidikan pikir dan Keempat : olah raga
dimaksudkan menabguna manusia dengan basis fisik yang tangguh, kalau fisik
tidak sehat, tidak bugar, bagaimana bisa memiliki produktivitas yang tinggi
karenanya olah ragapun menjadi penting di dalam pendidikan. Jadi pendidikan
yang diinginkan sekarang ini mengembangkan manusia yang komprehensif, mempunyai
kecerdasan komprehensif, cerdas hati, cerdas rasa, cerdas pikir,m cerdas rasa
dan cerdas raga. (Pengarahan Mentri Pendidikan nasional pada kegiatan
rakor pembanguan dan evaluasdi pendidikan Riau Kamis 15 Desember 2005 Koran
Berita)
Mencermati hal demikian maka
pendidik bukan lagi sekedar pengajar tetapi pendidik adalah agen pembelajaran
yang membantu peserta didik yang secara mandiri mengembangkan potensi dirinya
melalui olah bathin, olah pikir, olah rasa dan olah raga. Sehingga pemerintah
menetapkan perntahapan dalam dunia pendidikan dari tahun 2005 sampai tahun 2025
antara lain tahun 2005 – 2010 adalah pentahapan modernisasi dan peningkatan
kapasitas pendidikan, tahun 2010-2015 peningkatan kapasistas dan mutu
pendidikan, tahun 2015 -2020 peningkatan mutu, relevansi dan kompetitif dan
tahun 2020 – 2025 pematangan. Pentahapan tersebut sinergi dengan kebijakan
pokok pendidikan indonesia yaitu pertama meningkatkan dan memeratakan
partisipasi atau akses pendidikan maksudnya untuk menciptakan keadilan dan
pendidikan dengan memeratakan dan meningkatkan akses pendidikan; Kedua
mewujudkan pendidikan masyarakat yang bermutu, berdaya saing, relevan dengan
kebutuhan masyarakat mengadung makna bahwa out put pendidikan yang dihasilkan
haruslah bermutu, relevan, dan berdaya saing, Ketiga mewujudkan sistem
pengelolaan pendidikan yang efektif, efisien, akuntabel dengan menekankan pada
peranan desentralisasi dan otonomi pendidikan pada setiap jenjang pendidikan
dimasyarakat dan meningkatkan citra publik.
Strategi yang harus dilakukan demi
terwujudnya visi dan misi pendidikan nasional antara lain dengan pengembangan
dan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan proses pembelajaran
yang mendidik dan dialogis. Kompetensi dikembangkan untuk memberikan
keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan,
ketidakmenentuan, ketidakpastian, dan kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum
berbasis kompetensi ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan
cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsanya.
Sejalan dengan pengembangan
kurikulum tersebut maka fondasi pendidikan yang dijadikan pilar pendidikan pada
era reformasi dan jaringan dalam meraih dan merebut pasar internasional yaitu Learning
to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar melakukan), learning
to beacame (belajar menjadi diri sendiri) dan learning togather
(belajar hidup dalam kebersamaan).
3. Hakekat Belajar Mengajar dalam KBK
Selama
ini mengajar dianggap sebagai upaya memberikan informasi atau upaya untuk
meragakan cara menggunakan sesuatu, atau untuk memberi pelajaran melalui mata
pelajaran tertentu. Kegiatan belajar mengajar mirip seperti kegiatan menjual
dan membeli. Artinya, kegiatan menjual baru berlangsung kalau ada kegiatan
membeli. Begitu juga dengan kegiatan mengajar – belajar. Guru baru mengajar
kalau siswa belajar. mengacu pada pandangan constructivism, belajar
adalah peristiwa dimana pebelajar secara terus menerus membangun gagasan baru
atau memodifikasi gagasan lama dalam struktur kognitif yang senantiasa
disempurnakan. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Raka Joni (1993), ahli
pendidikan Indonesia, yang mengungkapkan titik pusat hakekat belajar sebagai
‘pengetahuan-pemahaman’ yang terwujud dalam bentuk pemberian makna secara
konstruktivistik oleh pebelajar kepada pengalamannya melalui berbagai bentuk
pengkajian yang memerlukan pengerahan berbagai keterampilan kognitif di dalam
mengolah informasi yang diperoleh melalui alat indera.
Kalau
begitu, dengan pandangan progresif ini, peristiwa ‘belajar’ tidak cukup sekedar
dicirikan dengan menggali informasi temuan ilmuwan (baca mengkaji materi
sejumlah mata pelajaran) tetapi siswa perlu dikondisikan supaya berperilaku
seperti ilmuwan dengan senantiasa menggunakan metoda ilmiah dan memiliki sikap
ilmiah sewaktu menyelesaikan masalah. Dengan demikian, peristiwa belajar
meliputi membaca, mendengar, mendiskusikan informasi (reading and listening
to science), dan melakukan kegiatan ilmiah (doing science) termasuk
melakukan .kegiatan pemecahan masalah.
Ini berarti,
hakekat ‘mengajar’ dan ‘belajar’ bergeser dari kutub dengan makna tradisional
ke kutub dengan makna progresif. Kegiatan ‘belajar’ bergeser dari ‘menerima
informasi’ ke ‘membangun pengetahuan’ dan kegiatan ‘mengajar’ bergeser dari
‘mentransfer informasi’ ke ‘mengkondisikan sehingga peristiwa belajar
berlangsung’. Kalau begitu, pernyataan guru tentang ‘seberapa jauh kurikulum
sudah disajikan (target kurikulum)’ lebih tepat diganti dengan ‘seberapa jauh
kurikulum sudah dikuasai, dipahami, dan ‘dibangun’ siswa (target pemahaman)’.
Implikasi
pandangan ini, kegiatan mengajar yang lazim perlu dimodifikasi dan diubah.
Misalnya pada kegiatan mengajar sains, tidak cukup hanya melalui telling
science tetapi perlu mengembangkan kegiatan yang bersifat doing science
atau kegiatan-kegiatan yang mendorong siswa untuk mengembangkan thinking
skill dan bahkan tidak hanya memperluas wawasan kognitif tetapi juga
menyentuh ranah afektif, psikomotor, dan juga metakognitif. Ranah yang terakhir ini para ahli pendidikan
sering menyebutnya sebagai kemampuan tentang ‘belajar bagaimana belajar’ (learn
how to learn).
4. Pendekatan Pembelajaran sebagai Fokus
Perhatian Guru
Pendekatan
pembelajaran harus menciptakan suasana teaching-learning yang dapat
menumbuhkan rasa dari tidak tahun menjadi tahu dan guru memposisikan diri
sebagai pelatih dan fasilitator. Kehadiran KBK mengharuskan guru untuk
lebih berbenah diri mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tugasnya sebab berdasarkan pengamatan selama ini proses belajar disekolah lebih
ditandai oleh proses mengajar guru melalui ceramah dan proses belajar siswa
melalui menghafal. Dalam konteks pembelajaran yang berorietnasi pada KBK fokus
perhatian guru tidak lagi sebagai destroyer (pengganggu peristiwa belajar)
tetapi sebagai fasilitator (Mempermudah peristiwa belajar) yang lebih dicirikan
dengan disediakannya peluang seluas-luasnya bagi anak untuk mengembangkan
gagasan kreatif supaya anak selalu aktif menyempurnakan gagasan miskonsepsi
sambil membangun pengetahuan yang lebih ilmiah. Sejalan dengan itu guru
senantiasa melatih anak untuk memliki keterampilan dan sikap tertentu agar
dirinya mampu dan mau belajar sepanjang hayat. Kebiasaan siswa selama ini masih
menganut budaya konsumtif dinatarnya kebiasaan siswa menerima informasi secara
pasif seperti mencacat, mendengar, meniru yang seharusnya akan diubah pada pola
budaya produktif dimana siswa terbiasa untuk menghasilkan gagasan/karya seperti
merancang/membuat model, penelitian, memecahkan masalah dan menemukan gagasan
baru.
Perubahan peran guru akan bisa
dilakukan bilama guru memahami hakekat pembelajaran yang dinginkan dalam
kurikulum berbasis kompetensi misalnya pembelajaran bisa terjadi di dalam dan
diluar kelas dengan metode yangn bervariasi, maknanya pembelajaran dengan pola
ini berdasarkan pada kompetensi dasar yang harus dicapai sehingga pendekatan
pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi menuntut guru untuk
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
- Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental (developmentally appropriate) siswa. Hubungan antara isi kurikulum dan metodologi yang digunakan dalam pembelajaran. Hubungan antara isi kurikulum dan metodelogi yang digunakan dalam pembelajaran harus didasarkan pada kondisi sosial emosional dan perkembangan intelektual siswa. Jadi usia siswa dan karakteristik individual lainya serta kondisi sosial dan lingkungan budaya siswa haruslah menjadi perhatian didalam merencanakan pembelajaran.
- Membetnuk group belajar yang saling tergantung(interdependent learning group). Siswa saling belajar dari sesamanya di dalam kelompok kecil dan bekerjasama dalam tim lebih besar merupakan bentuk kerjasama yang diperlukan oleh orang dewasa di tempat kerja dan konteks lain.
- Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self regulated learing) yang memiliki tiga karakteristik yaitu kesadaran berpikir , penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa siswa usia 5 – 16 tahun secara bertahap mengalami perkembangan kesadaran terhadap keadaan pengetahuan yang dimilikinya, karakteristikl tugas-tugas yang mempengaruhi pembelajarannya secara individual dan startegi belajarnya. Guru harus menciptakan suatu lingkungan dimana siswa dapat merefleksikan bagaimana mereka belajar, menyelesaikan tugas-tugas sekolah, menghadapi hambatan dan bekerjasama secara harmonis dengan yang lain
- Mempertimbangkan keragaman siswa (diversity of student) didalam kelas guru harus mengajar siswa dengan berbagai keragamannya misalnya latar belakang suku bangsa, status sosial ekonomi, bahasa utama yang dipakai dirumah dan berbagai kekurangan yang mungkin mereka miliki.
- Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelegensi) siswa. Dengan penggunakan pendekatan pembelajaran, cara siswa berpartisipasi di dalam kelas harus mempertimbangkan delapan latar kecerdasanya yaitu : Liguistic, logical-matematical, spatial bodily-kinaesthetic, misical, interpersoanl dan intrapersonal. Untuk itu guru harus memadukan berbagai strategi pendekatan pembelajaran yang tentunya mengurangi dominasi guru.
- Menggunakan teknik-teknik bertanya yang meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan tingkat tinggi.
- Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment) penilaian autentik mengevaluasi penerapan pengetahuan dan berpikir kompleks seorang siswa, dari pada hanya sekedar hafalan informasi factual. Kondisi alamiah pembelajaran secara kontekstual memerlukan penilaian interdisipliner yang dapat mengukur pengetahuan dan keterampilan lebih dalam dan dengan cara yang bervariasi dibandingkan dengan
5. Visi dan Kompetensi Guru
Guru harus memiliki visi yang tepat dan berbagai aksi inovatif. Visi tanpa aksi
adalah bagaikan sebuah impian, aksi tanpa visi bagaikan perjalanan tanpa tujuan
dan membuang-buang waktu saja. Visi dan aksi dapat mengubah dunia.
Guru dengan visi yang tepat memiliki pandangan yang tepat tentang pembelajaran
yaitu (1) pembelajaran merupakan jantung dalam proses pendidikan, sehingga
kualitas pendidikan terletak pada kualitas pembelajarannya, dan sama sekali
bukan pada aksesoris sekolah, (2) pembelajaran tidak akan menjadi baik
dengan sendirinya, melainkan melalui proses inovasi tertentu, sehingga guru
dituntut melakukan berbagai pembaruan dalam hal pendekatan, metode, tehnik,
strategi, langkah-langkah, media pembelajaran mengubah “status quo” agar
pembelajaran menjadi lebih berkualitas, dan (3) harus dilaksanakan atas dasar
pengabdian, sebagaimana pandangan bahwa pendidikan merupakan sebuah pengabdian,
bukan sebagai sebuah proyek. Guru dengan aksi inovatif dan mandiri memiliki
pandangan sebuah harapan tidak akan berarti apa-apa bilamana tidak diiringi
dengan berbagai program kerja pembaruan menuju pembelajaran yang
berkualitas (Bafadal I, 2003).
Keberadaan visi
bagi guru sangat penting dalam menapaki pekerjaan yang lebih baik. Ketercapaian
predikat guru yang profesional tidak serta merta diperoleh begitu saja paling
tidak guru harus memiliki perspektif atau cara pandang tentang tugas dan
tanggung jawabnya sebagi guru yang lebih komprehensif, hal ini berarti visi
guru harus mengikuti irama perkembangan dan perubahan yang terjadi. Secara
sederhana ada tiga visi yang harus dimiliki guru antara lain pertama
visi jangka panjang yang selalu berorientasi pada tujuan akhir dalam
setiap langkah yang diperbuat. Melakukan sesuatu secara optimal dan
sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial karena telah memiliki
kesadaran akan adanya tujuan akhir dari kehidupan ini. Memiliki kepastian akan
masa depan dan ketenangan bathiniah yang tinggi yang tercipta oleh keyanian
akan adanya tujuan hidup. Kedua Visi jangka menengah, yang selalu
berorietnasi pada keberhasilan atas segala yang diperbuat, keinginan untuk
mencapai prestasi yang terbaik selalu menjadi cita-cita dan tujuan guru. Ketiga
visi jangka pendek yang selalu berorientasi pada setiap waktu untuk
melakukan kegiatan yang terbaik demi memajukan peserta didik dan meraih
keberhasilan dan prestasi yang dicita-citakan.
Untuk nopang
ketercapaian visi tersebut, guru harus harus mempunyai kompetensi yang
dipersyaratkan guna melaksanakan profesinya agar mencapai hasil yang memuaskan.
Kompetensi tersebut diantaranya pertama kompetensi paedagogik
adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang
meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; kedua kompetensi kepribadian
adalah karakteristik pribadi yang harus dimiliki guru sebagai individu yang
mantap, stabil, dewasa, arif dan beribawa, menjadi tauladan bagi peserta didik,
dan berahlak mulia; ketiga kompetensi profesional adalah
kemampuan guru dalam menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkan mereka membimbing peserta didik dalam menguasaoi nateri yang
diajarkan; keempat kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif, berinteraksi dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan
mayarakat sekitar.
Kompetensi
itu dipandang perlu sebagai bagian atau komponen yang tidak terpisahkan dari
eksistensi guru dalam melaksanakan profesinya sebab pekerjaan guru tidak
gampang dan tidak sembarangan dilaksanakan melainkan harus memenuhi beberapa
persyaratan sebagai pendung dan penunjang pelaksanaan profesi. Jika guru tidak
mempunyai kompetensi yang dipersyaratkan sangat mustahil akan terwujud
pelaksanaan kegiatan proses pendidikan di sekolah akan menjadi lebih baik dan
terarah. Kompetensi tersebut merupakan modal dasar bagi guru dalam membina dan
mendidik peserta didik sehingga tercapai mutu pendidikan yang akan menghasilkan
peserta didik yang memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang paripurna.
BAB IV
LANGKAH STRATEGIS
MENINGKATKAN KINERJA GURU
Kinerja guru
yang ditunjukkan dapat diamati dari kemampuan guru dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya yang tentunya sudah dapat mencermikan suatu pola kerja yang
dapat meningkatkan mutu pendidikan kearah yang lebih baik. Seseorang akan
bekerja secara profesional bilamana memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan
kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, seseorang
tidak akan bekerja secara profesional bilamana hanya memenuhi salah satu
diantara dua persyaratan di atas. Jadi betapapun tingginya kemampuan seseorang,
ia tidak akan bekerja secara profesional apabila tidak memiliki kepribadian dan
dedikasi dalam bekerja yang tinggi. Guru yang memiliki kinerja yang baik
tentunya memiliki komitmen yang tinggi dalam pribadinya artinya tercermin suatu
kepribadian dan dedikasi yang paripurna. Tingkat komitmen guru terbentang dalam
satu garis kontinum, bergerak dari yang paling rendah menuju paling tinggi.
Guru yang
memiliki komitmen yang rendah biasanya kurang memberikan perhatian kepada
murid, demikian pula waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk meningkatkan mutu
pembelajaran yang sangat sedikit. Sebaliknya seseorang guru yang memiliki
komitmen yang tinggi biasanya tinggi sekali perhatiannya dalam bekerja.
Demikian pula waktu yang disediakan untuk peningkatan mutu pendidikan sangat
banyak. Sedangkan tingkat abstraksi yang dimaksudkan di sini adalah
tingkat kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, mengklarifikasi
masalah-masalah pembelajaran, dan menentukan alternatif pemecahannya. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Glickman (dalam Bafadal I, 2003) yang
menyatakan bahwa “guru yang memiliki tingkat abstraksi yang tinggi adalah guru
yang mampu mengelola tugas, menemukan berbagai permasalahan dalam tugas dan
mampu secara mandiri memecahkannya”.
Langkah
strategis dalam upaya meningkatkan kinerja guru dapat dilakukan
melalui beberapa terobosan antara lain :
- Kepala Sekolah harus memahami dan melakukan tiga fungsi sebagai penunjang peningkatan kinerja guru antara lain :
a. Membantu guru memahami,
memilih dan merumuskan tujuan pendidikan yang dicapai.
b. Mendorong guru agar mampu
memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi dan dapat melihat hasil
kerjanya.
c. Memberikan
pengakuan atau penghargaan terhadap prestasi kerja guru secara layak, baik
yang diberikan oleh kepala sekolah maupun yang diberikan semasa guru, staf tata
usaha, siswa, dan masyarakat umum maupun yang diberikan pemerintah.
d. Mendelegasikan tanggung
jawab dan kewenangan kerja kepada guru untuk mengelola proses belajar mengajar
dengan memberikan kebebasan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil
belajar.
e. Membantu memberikan
kemudahan kepada guru dalam proses pengajuan kenaikan pangkatnya sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
f. Membuat kebijakan sekolah
dalam pembagian tugas guru, baik beban tugas mengajar, beban administrasi guru
maupun beban tugas tambahan lainnya harus disesuaikan dengan kemampuan guru itu
sendiri.
g. Melaksanakan tehnik
supervisi yang tepat sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan keinginan guru-guru
secara berkesinambungan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru
dalam proses pembelajaran.
h. Mengupayakan selalu
meningkatkan kesejahteraannya yang dapat diterima guru serta memberikan
pelayanan sebaik-baiknya.
i.
Menciptakan hubungan kerja yang sehat dan menyenangkan dilingkungan sekolah
baik antara guru dengan kepala sekolah, guru dengan guru, guru dengan siswa,
guru dengan tata usaha maupun yang lainnya.
j.
Menciptakan dan menjaga kondisi dan iklim kerja yang sehat dan menyenangkan
di lingkungan sekolah, terutama di dalam kelas, tempat kerja yang menyenangkan,
alat pelajaran yang cukup dan bersifat up to date, tempat beristirahat di
sekolah yang nyaman, kebersihan dan keindahan sekolah, penerangan yang cukup
dan masih banyak lagi.
k. Memberiukan peluang pada
guru untuk tumbuh dalam meningkatkan pengetahuan, meningkatkan keahlian
mengajar, dan memperoleh keterampilan yang baru.
l.
Mengupayakan adanya efek kerja guru di sekolah terhadap keharmonisan
anggota keluarga, pendidikan anggota keluarga, dan terhadap kebahagiaan
keluarganya.
m. Mewujudkan dan menjaga
keamanan kerja guru tetap stabil dan posisi kerjanya tetap mantap sehingga
guru merasa aman dalam pekerjaannya.
n. Memperhatikan peningkatan
status guru dengan memenuhi kelengkapan status berupa perlengkapan yang
mendukung kedudukan kerja guru, misalnya tersediahnya ruang khusus untuk
melaksanakan tugas, tempat istirahat khusus, tempat parkis khusus, kamar mandi
khusus dan sebagainya. (
Junaidin, 2006).
o. Menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa dan
anggota masyarakat untuk mensukseskan program-program pendidikan di sekolah.
p. Menciptakan sekolah sebagai lingkungan kerja
yang harmonis, sehat, dinamis dan nyaman sehingga segenap anggota dapat bekerja
dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yang tinggi.
Langkah lain
yang dilakukan oleh sekolah untuk meningkatkan kinerja guru melalui peningkatan
pemanfaatan teknologi informasi yang sedang berkembang sekarang ini dan
mendorong guru untuk menguasainya. Melalui teknologi informasi yang dimiliki
baik oleh daerah maupun oleh individual sekolah, guru dapat melakukan beberapa
hal diantaranya : (1) melakukan penelusuran dan pencarian bahan
pustaka, (2) membangun Program Artificial Intelligence (kecerdasan
buatan) untuk memodelkan sebuah rencana pengajaran, (3) memberi kemudahan untuk
mengakses apa yang disebut dengan virtual clasroom ataupun virtual
university, (4) pemasaran dan promosi hasil karya penelitian.
Dengan
memanfaatkan teknologi informasi maka guru dapat secara cepat mengakses materi pengetahuan
yang dibutuhkan sehingga guru tidak terbatas pada pengetahuan yang dimiliki dan
hanya bidang studi tertentu yang dikuasai tetapi seyogyanya guru harus mampu
menguasai lebih dari bidang studi yang ditekuninya sehingga bukan tidak mungkin
suatu saat guru tersebut akan mendalami hal lain yang masih memiliki hubungan
erat dengan bidang tugasnya guna meningkatkan kinerja ke arah yang lebih baik.
- Dinas Pendidikan setempat selaku pihak yang ikut andil dalam mengeluarkan dan memutuskan kebijakan pada sektor pendidikan dapat melakukan langkah sebagai berikut :
- Memberikan kemandirian kepada sekolah secara utuh
- Mengontrol setiap perkembangan sekolah dan guru.
- Menganalisis setiap persoalan yang muncul di sekolah
- Menentukan alternatif pemecahan bersama dengan kepala sekolah dan guru terhadap persoalan yang dihadapi guru
Kinerja guru tidak dapat berdiri sendiri melainkan sangat dipengaruhi oleh
faktor lain melalui interaksi sosial yang terjadi di antara diri mereka sendiri
maupun dengan komponen yang lain dalam sekolah. Hal lain yang dapat
dilakukan adalah melalui peningkatan moral kerja guru. Moral kerja sebagai
suatu sikap dan tingkah laku yang merupakan perwujudan suatu kemauan yang
dibawa serta ke sekolah dan kerjannya. Pemahaman tentang moral kerja yang belum
sempurna menyebabkan tidak dapat mempengaruhi kinerja secara spesifik.
Padahal moral kerja yang tinggi dapat meningkatkan semangat untuk
bekerja lebih baik. Moral kerja dapat pula dipengaruhi oleh motif-motif
tertentu yang bersifat subyektif maupun obyektif. Adapun yang menjadi
motif untuk bekerja lebih baik adalah kebutuhan-kebutuhan (needs) yang
menimbulkan suatu tindakan perbuatan yang menimbulkan suatu perbuatan (behaviour)
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (goals).
Bafadal I (2003) memberikan suatu contoh akan pentingnya pemenuhan
kebutuhan sebagai berikut :
“misalnya seseorang pasti membutuhkan makanan untuk mempertahkankan
eksistensi hidupnya. Apabila tidak mendapatkan makanan orang itu akan mati
kelaparan. Makanan pada konteks ini merupakan kebutuhan (needs). Oleh
karena itu makanan merupakan kebutuhan yang memaksa seseorang melakukan
tindakan perbuatan (behaviour)”.
Hubungan kebutuhan dan tindak perbuatan divisualisasikan melalui gambar
berikut :
Kebutuhan ====Ã Tindakan
Perbuatan ======è Tujuan
Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil
pendidikan. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan oleh
sejauh mana kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan
belajar-mengajar. Namun demikian, posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu
hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional mengajar dan
tingkat kesejahteraannya.
Reformasi pendidikan merupakan respons terhadap perkembangan tuntutan
global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu
mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang
berkembang. Melalui reformasi, pendidikan harus berwawasan masa depan yang
memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azazi manusia untuk mengembangkan
seluruh potensi dan prestasinya secara optimal.
Menurut Louis V. Gerstner, Jr.,dkk (1995) (dalam Aqib Z, 2003) mengatakan
bahwa :
“Sekolah abad masa depan memiliki ciri-ciri antara lain (1) kepala sekolah
yang dinamis dan komunikatif dengan kemerdekaan memimpin menuju visi keunggulan
pendidikan, (2) memiliki visi, misi, dan strategi untuk mencapai tujuan yang
telah dirumuskan dengan jelas, (3) guru-guru yang berkompeten damn berjiwa
kader yang senantiasa bergairah dalam melaksanakan tugas profesionalnya secara
inovatif, (4) siswa-siswa yang sibuk, bergairah, dan bekerja keras dalam
mewujudkan perilaku pembelajaran, dan (5) masyarakat dan orang tua yang
berperan serta dalam menunjang pendidikan”.
Upaya mewujudkan sisi guru dalam reformasi pendidikan beberapa asumsi dasar
yang harus mendapat pertimbangan antara lain :
a. guru pada dasarnya merupakan
faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan
b. jumlah guru dengan kecakapan
akademik yang baik, cenderung menurun di masa yang akan datang, sepanjang
secara material sosial, jabatan guru tidak menarik dan menjanjikan bagi
generasi muda yang memiliki kualitas akademik yang cemerlang
c. kepercayaan masyarakat
terhadap guru sangat bergantung dari persepsi yang berkenaan dengan status guru
terutama yang berkaitan dengan kualitas pribadi, kualitas kesejahteraan,
penghargaan material, kualitas pendidikan, dan standar profesi
d. anggaran belanja pendidikan,
imbal jasa (gaji dan tunjangan lainnya), dan kondisi kerja guru merupakan faktor
yang mendasar bagi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan kinerja
yang efektif
e. masyarakat dan orang tua mempunyai hak akan
pendidikan yang terbaik buat anak-anaknya
f. disisi lain guru diharapkan menunjukkan
kinerja atas dasar moral dan profesional yang dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam kaitan ini, guru mempunyai keterikatan yang erat dengan kualitas dan
hasil pendidikan.(Aqib Z., 2003).
Ungkapan di
atas bermakna bahwa posisi guru pada era dalam reformasi pendidikan merupakan
posisi yang memiliki peran besar yang harus dijalankan guru dalam mewujudkan
mutu pendidikan yang lebih baik. Sehingga berbagai aspek yang dapat
mempengaruhi kinerja guru perlu dilakukan perbaikan seperti kualitas
kesejahteraan, kualitas moral dan kualitas profesi dan lain-lain yang
dimiliki guru sebagai penentu keberhasilan pendidikan, maka tidak salah
jika ada keinginan memperbaiki mutu pendidikan akan berkaitan dengan
memperbaiki posisi guru.
Untuk
mewujudkan kinerja guru yang profesional dalam reformasi pendidikan, secara
ideal ada beberapa karakteristik citra guru yang diharapkan antara lain
a. guru harus memiliki semangat juang yang tinggi
disertai dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap.
b. guru yang mampu mewujudkan dirinya dalam
keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek.
c. guru yang mempunyai kualitas kompetensi
pribadi dan profesional yang memadai disertai atas kerja yang kuat.
d. guru yang mempunyai kualitas kesejahteraan
yang memadai.
e. guru yang mandiri, kreatif, dan berwawasan
masa depan.
Untuk mewujudkan guru yang
memiliki karakteristik seperti di atas maka perlu dilakukan langkah nyata yang
dapat dilakukan pemerintah antara lain : (1) pemerintah harus ada kemauan
politik untuk menempatkan posisi guru dalam keseluruhan pendidikan
nasional, (2) mewujudkan sistem manajemen guru dan tenaga kependidikan
lainnya yang meliputi pengadaan, pengangkatan, penempatan, pengelolaan,
pembinaan, dan pengembangan secara terpadu yang sistematik, sinergik dan
simbolik, (3) pembenahan sistem pendidikan guru yang lebih fungsional untuk
menjamin dihasilkannya kualitas profesional guru dan tenaga kependidikan
lainnya, (4) pengembangan satu sistem pengganjaran (gaji dan tunjangan lainnya)
bagi guru secara adil, bernilai ekonomis, dan memiliki daya tarik sedemikian
rupa sehingga merangsang guru untuk melaksanakan tugasnya dengan penuh dedikasi
dan memberikan kepuasan lahir batin (Aqiz Z., 2003).
Pada era otonomi
daerah, Pendapatan yang diterima guru bervariasi, baik ditinjau dari
jenjang sekolah maupun lokasi daerah. Tunjangan guru di sekolah pada jenjang
yang lebih rendah adalah lebih rendah dari pada tunjangan guru di sekolah yang
lebih tinggi. Demikian pula, tunjangan guru di sekolah yang berada di kota adalah lebih tinggi daripada tunjangan guru di
sekolah yang berada di pinggir kota
dan desa. Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan kebutuhan sekolah dan kemampuan
orang tua dalam memberikan sumbangan dana terhadap sekolah. Ekonomi orang tua
di perkotaan adalah cenderung lebih kuat dibandingkan dengan ekonomi orang tua
di pinggir kota
dan desa. Sedangkan, besarnya tunjangan kepada guru yang diberikan sekolah
didasarkan atas RAPBS dan kekuatan orang tua siswa. Tunjangan kepada guru
memberikan efek yang signifikan terhadap hasil belajar yang diperoleh siswa.
Siswa yang berada di kota lebih berprestasi
daripada siswa di pinggir kota
dan desa. Demikian pula, siswa yang ada di pinggir kota lebih berprestasi dari pada siswa di
desa. Meski prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan daya
dukung orang tua, namun presatasi tersebut juga dipengaruhi oleh tunjangan
kepada guru. Tunjangan
guru yang berada di kota adalah cenderung lebih besar, sehingga lebih dapat
berkonsentrasi dalam mengajar. Sebaliknya, tunjangan guru di desa adalah lebih
kecil dan hal ini menyebabkan konsentrasi mengajar kurang. Analisis-analisis
tersebut lebih nampak pada ilustrasi studi kualitatif sebagaimana dipaparkan di
bawah ini (Husin, Z. dan Sasongko R.N, 2003)
Kalau seorang
guru dapat membeli pesawat televisi, radio tape, sepeda motor, dan
barang-barang mewah lainnya atau mengangsur perumahan, hal itu karena utang
dengan menggunakan agunan gaji mereka setiap bulan dipotong. Sedangkan gaji
guru di negara lain cukup untuk kebutuhan satu bulan, berekreasi, membeli buku,
dan menabung. Bila dibandingkan dengan kesejahteraan pegawai negeri sipil lain
di Indonesia, secara nominal gaji guru lebih tinggi untuk golongan yang sama,
misalnya sama- sama golongan III C antara pegawai negeri sipil guru dan
non-guru, karena guru mendapat tambahan tunjangan fungsional. Tetapi, jam kerja
pegawai negeri sipil (PNS) non-guru terbatas, sehari hanya delapan jam atau
seminggu 42 jam. Sedangkan jam kerja guru tidak terbatas. memang mengajarnya
hanya pukul 07.00-12.45, tetapi sebelum mengajar harus menyiapkan bahan,
administratif (buat satuan pelajaran), dan setelah mengajar mereka harus
mengoreksi hasil pekerjaan murid.
Disisi lain
peluang untuk memperoleh pendapatan tambahan di luar gaji bagi PNS non-guru
lebih terbuka karena sering ada proyek-proyek atau urusan lain dengan
masyarakat. Adapun guru, peluangnya untuk memperoleh tambahan pendapatan hanya
bila melakukan pungutan tambahan kepada murid atau bisnis. Namun, hal itu
langsung akan mendapat respons negatif dari masyarakat. Harapan masyarakat
terhadap guru memang bukan hanya perannya di dalam kelas saja, tetapi juga di
luar kelas juga dapat memberikan teladan. Tetapi peran memberi teladan ini
tidak pernah dihargai secara material dan sosial.
Ada delapan hal
yang diinginkan oleh guru melalui kerjannya yaitu (1) adanya rasa aman dan
hidup layak, (2) kondisi kerja yang diinginkan, (3) rasa keikutsertaan, (4)
rerlakuan yang wajar dan jujur, (5) rasa mampu, (6) pengakuan dan
penghargaan atas sumbangan, (7) ikut bagian dalam pembuatan kebijakan sekolah,
(8) kesempatan mengembangkan self respect (Bafadal I, 2003)
Sedangkan
menurut teori kebutuhan Maslow bahwa kebutuhan manusia dibagi dalam lima
tingkatan antara lain (1) kebutuhan fisiologi secara universal seperti makanan,
minuman, pakaian dan perumahan, (2) kebutuhan rasa aman (safety or security
needs), (3) kebutuhan Kebutuhan sosial , (4) kebutuhan harga diri (esteem
or ego needs), (5) kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs).
Menurut Hopson
and Scally (dalam Husin, Z. dan Sasongko R.N, 2003) bahwa diskursus paradigma
pendidikan antara investment based vs out came based membawa
implikasi imperatif terhadap penataan manajemen pendidikan di era otonomi
daerah. Dalam era ini, manajemen perlu ditata secara demokratis, kreatif, dan
menguntungkan bersama. Fungsi pendidikan perlu ditata ulang tidak hanya sekedar
menjalankan tugas rutin mengajar. Namun lebih dari itu, yakni mewujudkan educated
man yang mempunyai life skills berkulitas tinggi.
BAB V
RELEVANSI PENATAAN MANAJEMEN
DENGAN PENINGKATAN KINERJA
GURU
Penataan
manajemen pendidikan dan upaya mewujudkan manusia terdidik yang mempunyai
kecakapan hidup memerlukan guru yang handal (the good high teachers). Upaya
ini dapat terwujud jika kualitas dan gaji guru diperbaiki. Rasionalnya, guru
yang berkualitas dengan gaji yang cukup, akan lebih kreatif, antusias,
dedikatif, dan konsentrasi pada bidang pekerjaannya semata.
Untuk
mengatasinya, manajemen pendidikan perlu ditata sebagai berikut (1) perlu
dilakukan need assessment terhadap kebutuhan guru dan operasional
sekolah yang terkait. Untuk itu Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan Nasional
diharapkan lebih fokus meningkatkan anggaran bagi perbaikan kualitas guru,
terutama untuk gaji/pendapatan guru, studi lanjut, dan kegiatan pelatihan, (2)
perlunya penerapan school based budgeting yang operasional dan out
came based. Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten /kota perlu memberikan
wewenang dan pembinaan kepada sekolah untuk mengatur rumah tangganya (Husain Z
dan Sosangko, 2003).
Hasil studi
Fiske (1996) di Spanyol, Brazil, Argentina, New Zealand, Mexico, Chili, Cina,
dan Venezuela menunjukkan bahwa sistem desentralisasi pendidikan tidak
selamanya membawa berkah. Hal itu tergantung dari potensi sumber-sumber
pendukung di daerah. Otonomi daerah berpotensi memberikan efek negatif bagi
guru yang kreatif, sebab ia tidak bisa mengembangkan dan melaksanakan tugasnya
dengan efektif. Hal itu dikarenakan mereka digaji rendah.
Untuk menata
manajemen pendidikan yang efektif di era otonomi daerah, diperlukan need
assessment. Need assessment dilakukan untuk mengakomodasikan
kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan karakteristik daerah (Ellis,
1994). Faktor keuangan daerah tersebut cukup dominan dalam keberhasilan
otonomi. Need assessment dilakukan terhadap kurikulum, kesiswaan,
guru dan pegawai sekolah, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan masyarakat,
dan aktivitas lain yang mendukung pendidikan.
Penataan
manajemen pendidikan selanjutnya yaitu mengoperasionalkan paradigma school
based management (SBM) ke dalam school based budgeting
(SBB). Hal itu berarti penganggaran keuangan didasarkan kepada kebutuhan
sekolah. Kalau sekolah ingin menfokuskan kepada peningkatan kualitas
guru, berarti membawa implikasi bahwa segala kebutuhan guru harus terakomodasi.
Misalnya pemenuhan gaji, honor, insentif, penghargaan, promosi, pemotongan
birokrasi, pengembangan karier, dan sebagainya. Penerapan school based
budgeting (SBB) ini cukup efektif dalam meningkatkan kualitas guru
(Hadderman, 1999).
Penataan manajemen
pendidikan, utamanya untuk perbaikan kualitas dan gaji guru memerlukan
persyaratan. Menurut Bray
(1996) ada lima syarat yaitu (1) commitment, (2) collaboration, (3) concern,
(4) consideration, and (5) change. Pemerintah Daerah dan Dinas
Pendidikan Nasional harus mempunyai komitmen untuk meningkatkan kualitas dan
gaji guru. Tanpa adanya leadership commitment ini otonomi daerah
tidak berhasil. Demikian pula syarat kolaborasi, juga harus
dipenuhi. Antara Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan Nasional, LPTK, dan
lembaga lain yang terkait harus bekerja sama secara erat merencanakan dan
memecahkan masalah. Kemudian, kepedulian untuk menerapkan peningkatan
juga perlu dioperasionalkan dalam praktik nyata, utamanya dukungan dana yang
cukup dari Pemda. Penyelewengan terhadap rencana harus segera
dimodifikasi dengan pertimbangan yang matang, sehingga perubahan yang
diharapkan dapat tercapai. Lima
persyaratan ini sesuai dengan paradigma baru, yakni out came based.
Menurut Husain Z dan Sasongko,
(2003) paradigma penataan manajemen pendidikan yang efektif di era
Otonomi Daerah dapat digambarkan sebagai berikut.
Pengembangan profesi guru memiliki
hubungan fungsional dan pengaruh terhadap kinerja guru karena memperkuat
kemampuan profesional guru dalam melaksanakan pekerjaan. Pola
pengembangan profesi yang dapat dilakukan antara lain (1) program tugas
belajar, (2) program sertifikasi dan (3) penataran dan work shop. Pengembangan seperti ini
mampu menempatkan guru dalam berkerja secara baik. Karena sangat tidak mungkin
seorang guru yang memiliki pengetahuan sangat sempit dapat menghasilakn dan
memberikan pencerahan kepada siswa yang lebih baik. Jika seorang guru memiliki
pendidikan yang baik maka ada kemungkinan dalam bekerja akan selalu
mempertahakan dan memperhatikan profesionalismenya karena merasa malu dengan
guru yang lain yang berpendidikan rendah tetapi kinerjanya lebih baik. Perasaan
ini memupuk dan memacu guru untuk lebih baik dalam bekerja.
Menurut
Sahertian (dalam Ponco Dewi, 2003) bahwa pengembangan kinerja guru yang
berkaitan pengembangan profesi guru dikenal adanya tiga program yakni (1)
program pre-service education, (2) program in-service education,
dan (3) program in-service trainning.
Program pre-service
education adalah program pendidikan yang dilakukan pada pendidikan sekolah
sebelum peserta didik mendapat tugas tertentu dalam suatu jabatan. Lembaga
penyelenggaraan program pre-service education adalah suatu pendidikan
mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pada bidang ilmu
pendidikan program pre-service education diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) baik non gelar maupun yang bergelar.
Program in-service
education adalah program pendidikan yang mengacu pada kemampuan akademik
maupun profesional sesudah peserta didik mendapat tugas tertentu dalam suatu
jabatan. Bagi mereka yang sudah memiliki jabatan guru dapat berusaha
meningkatkan kinerjanya melalui pendidikan lanjut yang berijasah D-2 dapat
melanjutkan ke D-3, dari D-3 ke S-1, atau dari S-1 ke S-2 dan S-3 di samping
itu dapat berupa jurusan tertentu ke jurusan lain. Program in-service
trainning adalah suatu usaha pelatihan yang memberi kesempatan kepada orang
yang mendapat tugas jabatan tertentu, dalam hal ini adalah guru, untuk mendapat
pengembangan kinerja.
Pada umumnya
yang paling banyak dilakukan dalam program in-service trainning adalah
melalui penataran yaitu (1) penataran penyegaran yaitu usaha pengembangan
kinerja guru agar sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
serta menetapkan kinerja guru agar dapat melakukan tugas sehari-hari dengan
baik. Sifat penataran ini memberi penyegaran sesuai dengan perubahan yang
terjadi di masyarakat agar tidak ketinggalan jaman, (2) penataran peningkatan
kualifikasi adalah usaha peningkatan kemampuan guru sehingga mereka memperoleh
kualifikasi formal tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan, dan (3)
penataran penjenjangan adalah suatu usaha meningkatkan kemampuan guru dalam
bidang jenjang struktural sehingga memenuhi persyaratan suatu pangkat atau
jabatan tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan.
Menurut Uzer
Usman (1992) bahwa kompetensi yang harus dimiliki seorang guru yaitu (1)
kemampuan yang ada pada diri guru agar dapat mengembangkan kondisi belajar
sehingga hasil belajar dapat tercapai dengan lebih efektif, (2) kemampuan
sosial yaitu kemampuan guru yang realisasinya memberi manfaat bagi pemenuhan
yang diperuntukan bagi masyarakat. (3) kompetensi profesional adalah kemampuan
yang dimiliki guru sebagai pengajar yang baik.
Peningkatan
kinerja guru serta kemampuan profesionalnya diarahkan pada pembinaan kemampuan
dan sekaligus pembinaan komitmennya. Untuk pembinaan dapat dilakukan dalam
dua hal yaitu (1) peningkatan kemampuan profesional guru melalui supervisi
pendidikan, program sertifikasi dan tugas belajar yang diklasifikasikan dalam
faktor pengembangan profesi, (2) pembinaan komitmen melalui pembinaan
kesejahteraannya yang diklasifikasikan dalam faktor tingkat kesejahteraan.
Pidarta (1999)
mengatakan merupakan kewajiban guru sebagai seorang profesional untuk
mengadakan penelitian dalam profesinya. Penelitian merupakan alat utama
dalam mengembangkan ilmu dan aplikasinya. Dengan penelitian guru akan menemukan
materi-materi yang lebih tepat, alat yang cocok untuk mengajarkan sesuatu, cara
mendidik siswa yang lebih aktif, dan cara membina kemampuan siswa secara lebih
baik. Penelitian merupakan bagian dari pengembangan profesi.
Pembentukan
ilkim kerja yang baik dalam penyelenggaraan sekolah memberikan nuasa bekerja
yang lebih baik, guru tidak akan ragu dan tetap merasa nyaman dalam bekerja.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa suasana yang baik di tempat kerja
akan meningkatkan produktivitas. Hal ini disadari dengan sebaik-baiknya oleh
setiap guru dan guru berkewajiban menciptakan suasana yang demikian dalam
lingkungannya. Menurut Bafadal I, (2003) bahwa untuk menciptakan suasana
kerja yang baik ada dua hal yang dilakukan dan diperhatikan antara lain
(1) guru sendiri, dan (2) hubungan dengan orang lain dan masyarakat sekeliling.
Terhadap guru
sendiri, guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang
berhasilnya proses pembelajaran. Oleh sebab itu guru harus aktif mengusahakan
suasana itu dengan berbagai cara misalnya (1) di dalam kelas penggunaan
metode mengajar yang sesuai maupun penyediaan alat belajar yang cukup serta
pengaturan organisasi kelas yang mantap atau pendekatan lain yang diperlukan,
(2) diluar kelas dapat menciptakan hubungan yang lebih dengan guru lain,
pegawai dan Kepala Sekolah serta siswa itu sendiri. Terciptanya iklim kerja
yang lebih baik tidak terlepas dari kemampuan guru dalam memahami keadaan yang
terjadi disekelilingnya, guru berusaha semaksimal mungkin untuk bersikap
terbuka terhadap persoalan-persoalan yang menggangu kelancaran kerjannya baik
dengan guru lain maupun dengan kepala sekolah, guru harus berusaha membentuk
pikiran-pikiran yang positif terhadap persoalan yang dihadapi sehingga
memberikan jalan terselesaikannya persoalan secara baik dan cepat tanpa ada
pihak yang dirugikan.
Menurut Pusat
Inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (2003)
bahwa terdapat tiga kategori permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan
mutu guru dalam pembangunan pendidikan yaitu (1) sistem pelatihan guru, (2)
kemampuan profesional, (3) profesi, jenjang karier dan kesejahteraan. Ketiga kategori peningkatan
mutu guru dalam pembangunan pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut
- Untuk kategori sistem pelatihan dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut:
- Perlunya revitalisasi pelatihan guru yang secara khusus dititikberatkan untuk memperbaiki kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan dan bukan untuk meningkatkan sertifikasi mengajar semata-mata;
- Perlunya mekanisme kontrol penyelenggaraan pelatihan guru untuk memaksimalkan pelaksanaannya;
- Perlunya sistem penilaian yang sistemik dan periodik untuk mengetahui efektivitas dan dampak pelatihan guru terhadap mutu pendidikan;
- Perlunya desentralisasi pelatihan guru pada tingkat kabupaten/kota sesuai dengan perubahan mekanisme kelembagaan otonomi daerah yang dituntut dalam UU No. 22/1999.
Implikasi dari
langkah-langkah yang diambil terhadap sistem pelatihan dapat berupa (1) adanya
sistem pelatihan guru yang didahului dengan "need assessment"
sesuai kondisi daerah masing-masing, (2) adanya sistem monitoring
penyelenggaraan pelatihan guru yang dikoordinasikan dengan lembaga-lembaga
pengelola pendidikan, (3) adanya lembaga swasta yang independen yang bertugas
untuk melakukan penilaian-penilaian proses (formative evaluation), hasil
(output/summative evaluation), dan dampak (outcome/impact evaluation)
pelatihan guru, untuk menemukan model-model pelatihan guru yang efektif dan
efisien dalam meningkatkan mutu pendidikan, (4) pembentukan dan pemberdayaan
sentra-sentra pelatihan guru di kabupaten/kota yang juga bertugas untuk
mengembangkan konten dan strategi mengajar tepat guna yang mampu meningkatkan
kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran.
- Untuk kategori kemampuan profesional dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut :
- Perlunya upaya-upaya alternatif yang mampu meningkatkan kesempatan dan kemampuan para guru dalam penguasaan materi pelajaran.
- Perlunya tolok ukur (benchmark) kemampuan profesional sebagai acuan pelaksanaan pembinaan dan peningkatan mutu guru.
- Perlunya peta kemampuan profesional guru secara nasional yang tersedia di Depdiknas dan Kanwil-kanwil untuk tujuan-tujuan pembinaan dan peningkatan mutu guru.
- Perlunya untuk mengkaji ulang aturan/kebijakan yang ada melalui perumusan kembali aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan mampu mendorong guru untuk mengembangkan kreativitasnya.
- Perlunya reorganisasi dan rekonseptualisasi kegiatan Pengawasan Pengelolaan Sekolah, sehingga kegiatan ini dapat menjadi sarana alternatif peningkatan mutu guru.
- Perlunya upaya untuk meningkatkan kemampuan guru dalam penelitian, agar lebih bisa memahami dan menghayati permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran.
- Perlu mendorong para guru untuk bersikap kritis dan selalu berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan.
Implikasi
terhadap langkah-langkah yang diambil terhadap kemampuan profesional dapat
berupa (1) pemberdayaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sebagai
organisasi profesi guru yang berbasis mata pelajaran secara lebih profesional,
terprogram, dan secara khusus diarahkan untuk mengembangkan standardisasi
konsep dan penilaian mata pelajaran secara nasional, terutama untuk mata-mata
pelajaran Matematika dan IPA, (2) adanya program-program alternatif
peningkatan kemampuan profesional guru dari organisasi ini, melalui
modul-modul/publikasi-publikasi yang diterbitkan secara berkala, dan dibahas
dalam kegiatan-kegiatan tutorial, (3) pengembangan standar kompetensi guru
(SKG) sebagai tolok ukur (benchmark) kemampuan mengajar yang diberikan
oleh organisasi profesi ini, (4) adanya aturan/kebijakan yang lebih fleksibel
dan leluasa serta mampu memberikan motivasi bagi guru untuk semakin
mengembangkan kreativitasnya, (5) adanya keterlibatan perguruan tinggi/
universitas dalam mengembangkan konsep dan memberdayakan Pengawasan Pengelolaan
Sekolah, sebagai media alternatif peningkatan mutu guru, (6) melakukan pemetaan
kemampuan guru di tingkat nasional secara rutin melalui "needs
assessment", (7) adanya pelatihan penelitian tindakan kelas (action
research) bagi para guru, sebagai produk kerja sama antara Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP) yang telah diberdayakan, dengan perguruan tinggi
-perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya, (8) adanya credit point
system terhadap karya penelitian guru yang memberikan motivasi bagi para
guru untuk semakin meningkatkan minat dan kegiatan penelitiannya.
- Untuk kategori profesi, jenjang karier dan kesejahteraan dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut
- Memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
- Menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan karier.
- Perlunya ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran.
- Perlunya sistem dan mekanisme anggaran yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan guru.
Implikasi dari
langkah-langkah yang dilakukan terhadap profesi, jenjang karier dan kesejahteraan
agar dapat berhasil dapat berupa (1) persyaratan akta mengajar bagi mereka,
yang bukan lulusan ilmu kependidikan untuk mengajar SLTP (A2 atau Akta 2) dan
SLTA (A3 atau Akta 3) agar dilaksanakan secara konsekuen, (2) perlunya suatu
peraturan jenjang karier tenaga guru, baik secara struktural maupun fungsional,
yang setara dengan tenaga pengajar perguruan tinggi, (3) adanya kenaikan
anggaran pendidikan yang prioritasnya ditekankan pada peningkatan penghasilan
guru, (4) adanya mekanisme penganggaran serta pendanaan yang secara rutin,
sistematik dan bertahap memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan
pendapatannya secara signifikan, (5) penyempurnaan ketentuan/peraturan mengenai
sistem credit point yang fleksibel dan memberikan motivasi bagi guru untuk
meningkatkan jenjang karier.
Pengaruh faktor
kedisiplinan terhadap kinerja guru masih rendah disebabkan guru kurang
menyadari akan pentingnya sikap disiplin yang harus dimiliki dan ditegakkan
oleh guru. Tingkah laku guru yang timbul atau nampak di sekolah menjadi contoh
bagi siswa dan komponen lain di sekolah sehingga guru dituntut harus memiliki
sikap disiplin yang tinggi seperti disiplin waktu dalam
proses pembelajaran, ketika waktu menunjukkan untuk mulai kegiatan
pembelajaran maka guru harus memasuki kelas tidak ada lagi alasan yang membuat
guru harus terlambat, jika suatu waktu guru terlambat dan tidak disiplin dalam
memulai pelajaran maka siswapun akan mengikutinya. Agar disiplin menjadi
faktor yang mampu meningkatkan dan mempengaruhi kinerja maka guru harus
sepenuhnya menyadari akan tugas yang diembannya. Guru bebas melakukan kreasi
dan mengembankan potensi yang terdapat dalam dirinya guru meningkatkan
kinerjanya namun konsekuensinya harus dapat dipertanggung jawabkan secara
baik, jika hal ini disadari, guru tidak akan melakukan suatu tindakan di
luar koridor profesinya dan tetap memegang teguh kode etik profesi
keguruan.
Pengaruh faktor
antar hubungan dan komunikasi terhadap kinerja sangat rendah hal ini disebabkan
karena pola hubungan atau interaksi antara komponen yang ada disekolah belum
maksimal, masih terdapatnya beberapa guru yang memiliki rasa lebih tinggi dari
yang lain sehingga memunculkan sifat individualisme yang berbeda-beda, sebagian
guru merasa bahwa kemampuan yang dimilikinya mampu mengatasi masalah yang
dihadapi dalam menjalankan tugas dan kewajibanya maka tidak perlu lagi
membutuhkan bantuan orang lain. Disisi lain guru tidak menyadari akan kelemahan
dan kekurangan yang dimilikinya akibat guru lebih memunculkan sifat keakuan dan
terlalu percaya akan kemampuan diri sendiri tanpa melihat lebih jauh kemampuan
orang lain yang jauh melebihinya. Sifat individual yang menonjol yang
berkembang dikalangan guru dan komponen yang lain di sekolah berdampak
terciptanya interaksi yang kurang harmonis, guru tidak saling membuka diri dan
tidak bersikap luwes sebagaimana seharusnya dilakukan guru. Dampak lain akibat
kurang terjalinnya hubungan dan komunikasi ialah proses pendidikan yang
berlangsung di sekolah akan terganggu, program-program sekolah tidak dapat
dilaksanakan serta tidak dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat.
Kinerja guru
akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan,
apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan
bermakna bila dibarengi dengan niat yang bersih dan ikhlas, serta selalu
menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk dapat
meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kearah
yang lebih baik yang diikuti dengan memperbaiki faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dengan demikian kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih
baik dari kinerja hari kemarin, dan tentunya kinerja masa depan lebih baik dari
kinerja hari ini.
Mengoptimalkan
integrasi seluruh komponen yang terlibat dalam sekolah melalui
pendekatan-pendekatan yang manusiawi dan memahami serta mencermati
faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru sangat urgen sebagai langkah
antisipasi dalam mencari pemecahan terhadap peningkatan mutu pendidikan
secara umum. Sehingga dukungan yang dapat diberikan dalam manajemen pendidikan
yaitu sebagai acuan dan pedoman bagi pengambil kebijakan tehnis untuk mengelola
pendidikan secara profesional terutama dalam mengelola dan meningkatkan kinerja
guru.
Penataan
manajemen pendidikandalam upaya meningkatkan kinerja guru harus juga dilihat
dalam aspek pengembangan profesionalisme guru maka alternatif pengembangan
profesionalisme guru menjadi program-program yang mampu mempengaruhi kinerja
guru.
Menurut Diknas
(2005) berdasarkan hasil analisis situsional di masing-masing daerah ada
berbagai alternatif peningkatan profesionalisme guru yang dapat dilakukan oleh
:
a. Dinas Pendidikan setempat.
b. Dinas pendidikan bekerjasama atau melibatkan
instansi lain atau unsur terkait di masyarakat.
c. Masing-masing guru sebagai kegiatan individual
dan mandiri.
d. Kerjasama antara Dinas
Pendidikan dan guru (sekolah).
Dijelaskan pula, beberapa alternatif
program pengembangan Profesionalisme guru sebagai berikut :
1. Program Peningkatan
Kualifikasi Pendidikan Guru.
Sesuai dengan
peraturan dan memenuhi tuntutan Undang-undang Guru dan Dosen yang berlaku bahwa
kualifikasi pendidikan guru minimal Sarjana (S-1) maka jika dilihat dari
kondisi guru yang ada masih terdapat guru yang belum dapat memenuhi tuntutan
kualifikasi pendidikan sarjana ini berarti guru yang belum mememuhi kualifikasi
pendidikan sarjana harus dilakukan program peningkatan kualifikasi pendidikan
sehingga dapat memenuhi persyaratan tersebut. Program peningkatan kualifikasi
pendidikan ini dapat berupa program kelanjutan studi dalam bentuk tugas
belajar. Tujuan dari program ini tiada lain untuk meningkatkan kualifikasi
pendidikan guru sehingga memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Langkah yang dilakukan guna
merealisasikan program peningkatan kualifikasi pendidikan guru ini dapat
ditempuh dengan dua cara yaitu :
- Dinas Pendidikan setempat memberikan beasiswa agar guru bersekolah lagi.
- Guru yang bersangkutan bersekolah lagi yang dibiayai oleh pemerintah dan guru itu sendiri.
- Guru yang bersangkutan agar bersekolah lagi dengan menggunakan swadana atau dibiayai sendiri).
2. Program Penyetaraan dan Sertifikasi
Program ini diperuntukan bagi guru
yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya atau bukan
berasal dari program pendidikan keguruan.
Tidak bisa dipungkiri yang terjadi
sekarang ini masih banyak sekolah-sekolah yang mengalami keterbatasan dan
kekurangan guru pada bidang studi atau mata pelajaran tertentu sehingga langkah
yang diambil dengan memberikan tugas guru-guru yang tidak sebidang atau yang
masih memiliki hubungan dengan mata pelajaran yang diajarkan untuk menutupi
kekurang dan keterbatasan guru atau guru yang bukan berasal dari kependidikan,
maka keberadaan program penyetaraan dan sertifikasi ini mereka dapat diberdayakan
secara maksimal. Tujuan dari program penyetaraan dan sertifikasi ini agar
guru mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannyaatau termasuk kedalam
kelompok studi pendidikan yang tercantum dalam ijazahnya.
Langkah yang dilakukan dengan cara :
- Guru tersebut dialihkan ke mata pelajaran lain yang merupakan satu rumpun, misalnya guru PPKn dengan guru IPS.
- Guru tersebut dialihkan ke mata pelajaran yang tidak serumpun misalnya guru IPS menjadi guru muatan lokal dengan memberikan tambahan penataran khusus (program penyetaraan/sertifikasi).
3. Program Pelatihan Terintegrasi Berbasis
Kompetensi
Guna meningkatkan profesionalisme
guru perlu dilakukan pelatihan dan penataran yang intens pada guru. Pelatihan
yang diperlukan adalah pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan guru yaitu
pelatihan yang mengacu pada tuntutan kompetensi guru. Selama ini terkesan
pelatihan yang dilakukan hanya menghabiskan anggaran, waktu dan
sering tumpang tindih akibatnya banyak penataran yang tidak memberikan hasil
yang maksimal dan tidak membawa perubahan pada peningkatan mutu pendidikan
malah justru keberadaan pelatihan tidak jarang mengganggu aktivitas kegiatan
belajar mengajar karena guru sering mengikuti kegiatan pelatihan yang terkadang
satu orang guru bisa mengikuti pelatihan beberapa kali pelatihan sebaliknya ada
juga guru yang jarang bahkan tidak pernah mengikuti pelatihan.
Untuk menjawab persoalan tersebut
dimunculkan pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi yang tentunya pelatihan
yang menacu pada kompetensi yang akan dicapai dan diperlukan peserta didik.
Tujuan dari pelatihan ini untuk
membekali berbagai pengetahuan dan keterampilan yang akumulatif mengarah pada
penguasaan kompetensi secara utuh sesuai profil kemampuan minimal sebagai guru
mata pelajaran sehingga dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.
4. Program Supervisi Pendidikan
Pelaksanaan proses pembelajaran di
kelas tidak selamanya memberikan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan, ada
saja kekurangan dan kelemahan yang dijumpai pada guru saat melaksanakan proses
pembelajaran maka untuk memperbaiki kondisi demikian peran supervisi pendidikan
menjadi sangat penting untuk dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan prestasi
kerja guru yang pada gilirannya meningkatkan prestasi sekolah. Pelaksanaan
supervisi bukan untuk mencari kesalahan guru tetapi pelaksanaan suparevisi pada
dasarnya adalah proses pemberian layanan bantuan kepada guru untuk memperbaiki
proses belajar mengajar yang dilakukan guru dan meningkatkan kualitas hasil
belajar.
Kepala sekolah yang melaksanakan
supervisi pada guru harus mampu menempatkan diri sebagai pemberi bantuan bukan
sebagai pencari kesalahan, hal ini dilakukan untuk menghindari
kesalahpahaman dan penafsiran yang berbeda antara guru dengan kepala sekolah,
selain itu untuk memberikan rasa nyaman guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran dan menerima segala perbaikan yang diberikan kepala sekolah.Tujuan
akhir dari kegiatan supervisi pendidikan adalah untuk memperbaiki guru dalam
hal proses belajar mengajar agar tercapai kualitas proses belajar mengajar dan
meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
5. Program Pemberdayaan MGMP (Musyawarah Guru
Mata Pelajaran).
MGMP adalah forum atau wadah
kegiatan profesional guru mata pelajaran sejenis. Hakekat MGMP berfungsi
sebagai wadah atau sarana komunikasi, konsultasi dan tukar pengalaman. Dengan
MGMP ini diharapkan akan dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam
melaksanakan pembelajaran yang bermutu sesuai dengan kebutuhan peserta
didik. Wadah komunikasi profesi ini sangat diperlukan dalam memberikan
kontribusi pada peningkatan keprofesionalan para anggotanya tidak hanya
peningkatan kemapuan guru dalam hal menyusun perangkat pembelajaran tetapi juga
peningkatan kemapuan, wawasan, pengatahun serta pemahaman guru terhadap materi
yang diajarkan dan pengembangannya. Sehingga tujuan dari MGMP ini tidak lain
memumbuhkan kegairahan guru untuk meningkatkan kemapuan dan keterampilan dalam
mempersiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi program kegiatan belajar mengajar
dalam rangka meningkatkan sikap percaya diri sebagai guru; menyetarakan
kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar
sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan;
mendiskusikan permasalahan yang dihadapi guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari
dan mencari penyelesaian yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, guru,
kondisi sekolah dan lingkungan; Membantu guru memperoleh informasi tehnis
edukatif yang berkaitan dengan kegiatan keilmuan dan Iptek, kegiatan
pelaksanaan kurikulum, metodologi, dan sistem evaluasi sesuai dengan mata
pelajaran yang bersangkutan; Saling berbagi informasi dan pengalaman dalam
rangka menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
6. Simposium Guru.
Peningkatan
profesionalisme guru banyak cara yang dilakukan seperti simposium guru.
Kegiatan ini diharapkan para guru dapat menyebar luaskan upaya-upaya kreatif
dalam pemecahan masalah. Forum ini selain sebagai media untuk sharing
pengalaman juga berfungsi untuk kompetisi antar guru dengan menampilkan guru-guru
yang berprestasi dalam berbagai bidang misalnya dalam penggunaan metode
pembelajaran, hasil penelitian tindakan kelas atau penulisan karya ilmiah.
7. Melakukan penelitian
(khususnya Penelitian Tindakan Kelas).
Peningkatan
profesionalisme guru dapat juga dilakukan melalui optimalisasi pelaksanaan
Penelitian tindakan kelas yang merupakan kegiatan sistimatik dalam
rangka merefleksi dan meningkatkan praktik pembelajaran secara terus
menerus sebab berbagai kajian yang bersifat reflektif oleh guru dilakukan untuk
meningkatkan kemantapan rasional, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang
dilakukan dalam melaksanakan tugasnya, dan memperbaiki kondisi dimana praktik
pembelajaran berlangsung.
Kegiatan
penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas proses
belajar mengajar dan meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan proses
belajar mengajar juga untuk meningkatkan hasil belajar siswa sebab melalui
kegiatan ini guru dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dilakukan dan
keterbatas yang harus diperbaiki.
BAB VI
P E N U T U P
Untuk memperoleh keberhasilan pendidikan,
keberadaan profesi guru sangat penting untuk diperhatikan dan ditingkatkan
dalam hal ini kinerja guru sebab kinerja guru merupakan kemampuan yang
ditunjukan oleh seorang guru dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Kinerja
guru dapat diamati melalui unsur perilaku yang ditampilkan guru sehubungan
dengan pekerjaan dan prestasi yang dicapai berdasarkan indikator kinerja guru.
Kinerja guru
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pertama faktor
kepribadian dan dedikasi yang tinggi menentukan keberhasilan guru dalam
melaksanakan tugasnya yang tercermin dari sikap dan perbuatannya dalam
membina dan membimbing peserta didik; kedua faktor pengembangan
profesional guru sangat penting karena tugas dan perannya bukan hanya
memberikan informasi ilmu pengetahuan melainkan membentuk sikap dan jiwa yang
mampu bertahan dalam era hiperkompetisi; ketiga faktor kemampuan
mengajar guru merupakan pencerminan penguasaan guru atas kompetensinya; keempat
faktor hubungan dan komunikasi yang terjadi dalam lingkungan kerja memberikan
dukungan bagi kelancaran tugas guru di sekolah; kelima faktor hubungan
dengan masyarakat, peran guru dalam mendukung kegiatan hubungan sekolah dengan
masyarakat dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang tujuan serta sasaran
yang ingin direalisasikan sekolah; keenam faktor kedisiplinan, Suatu
pekerjaan akan menuai hasil yang memuaskan semua pihak bila guru mampu mentaati
rambu-rambu yang ditentukan melalui penerapan sikap disiplin dalam menjalankan
tugasnya; ketujuh faktor tingkat kesejahteraan, memberikan insentif yang
pantas sebagai wujud memperbaiki tingkat kesejahteraan guru guna
mencegah guru melakukan kegiatan membolos karena mencari tambahan di luar
untuk memenuhi kebutuhan hidup; dan kedelapan faktor iklim kerja yang
kondusif memberikan harapan bagi guru untuk bekerja lebih
tenang sesuai dengan tujuan sekolah.
Guru merupakan
ujung tombak keberhasilan pendidikan sehingga perlu melakukan upaya pembenahan
baik secara internal maupun eksternal maka hal yang harus dipenuhi oleh guru
dengan memahami dan mengusai kompetensi dasar yang dipersyaratkan. Dalam
proses pembelajaran dalam koridor Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat didukung
oleh kemampuan guru dalam memperhatikan beberapa hal yang berkaiatan dengan
pendekatan pembelajaran ala KBK diantaranya perkembangan anak, kemandirian
anak, vitalisasi model hubungan demokratis, vitalisasi jiwa eksploratif,
Kebebasan, menghidupkan pengalaman anak, keseimbangan perkembangan aspek
personal dan sosial dan kecerdasan emosional.
Peningkatan mutu
pendidikan tidak hanya melakukan perbaikan pada kualitas guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar tetapi juga perlu dan penting diikuti
dengan penataan manajemen pendidikan yang mengarah pada peningkatan kinerja
guru melalui optimalisai peran sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan pihak
dinas pendidikan setempat untuk memberikan rasa nyaman bagi guru dalam
melaksanakan tugasnya. Selain itu optimalisasi kegiatan penataran harus
betul-betul menyetuh kebutuhan guru agar bermanfaat bagi peningkatan kualitas
proses belajar mengajar dan kualitas hasil belajar siswa sehingga kedepan
kegiatan pelatihan dan semacamnya harus mampu diprogramkan supaya tidak tumpang
tindih dan tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar sebagai dampak guru
mengikuti kegiatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih N, 2002. Kualitas dan
Profesionalisme Guru. Pikiran Rakyat 15 Oktober 2002. http://www.Pikiran Rakyat.com/102002/15 Opini
Akadum. 1999. Potret Guru
Memasuki Milenium Ketiga. Suara
Pembaharuan. (Online) (http://www.Suara Pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd,
diakses 7 Juni 2001).
Arifin, I. 2000. Profesionalisme
Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium
Nasional Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang.
Arikunto, S. 1993. Manajemen
Pengajaran Secara Manusiawi, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
As’ad, Moh. 1995. Psikologi
Industri. Yogyakarta: Liberty.
Badrun, A. 2005. Prospek
Pendidikan dan tenaga kerja (guru) di kabupaten Dompu. Orasi Ilmiah
disampaikan pada saat wisuda mahasiwa Diploma Dua program PGSD/MI-PGTK/RA STAI
Al-Amin Dompu
Brent D. Ruben. 1988. Communication and
Human Behavior. New York:
Macmilland Publishing Company.
Danim S., 2002. Inovasi Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Daryanto, 2001. Administrasi
Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Davis, K. & Newstrom, J.W,. 1996. Perilaku dalam Organisasi, Edisi ketujuh.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dedi Supriyadi, 1999. Mengangkat
Citra dan Martabat Guru.. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Denny Suwarja, 2003. KBK,
tantangan profesionalitas guru. 19 Juli 2003. Artikel. Homepage
Pendidikan Network
Depdiknas, 2005. Pembinaan
Profesionalisme Tenaga pengajar (Pengembangan Profesionalisme Guru).
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah Direktorat
Pendidikan Lanjutan Pertama Depdiknas.
Departemen Agama RI, 2003.
Profesionalisme Pengawas Pendais. Jakarta: Direktorat Jenderal
kelembagaan Agama Islam Depag RI.
Djamarah, S.B. 1994. Prestasi
belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya. Usaha Nasional.
Drost. 1998. Sekolah: Mengajar
atau Mendidik ?. Yogyakarta: Kanisius.
Fatah, N. 1996. Landasan
Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Forsdale, 1981. Perspectives on
Communication. New York:
Random House.
Freud,S., 1950. The ego and the id. London: The Hogarth
Press.
Furkan, Nuril, 2006. Perubahan Paradigma Guru
dalam Konteks KBK. Orasi Ilmiah pada Wisuda Diploma Dua Program PGSD/MI-PGTK/RA dan Dies
Natalis STAI Al-Amin Dompu.
Good, V. Carter, 1959. Dictionary of Education, New
York: McGraw-Hill Book Company.
Gunawan, 1996. Administrasi
Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasan, Ani M, 2001. Pengembangan
Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan, 13 Juli 2003. Artikel. Homepage Pendidikan Network.
Hoy & Miskel, 1987. Education
Administration.: Theory, Research and Practice. New York: Random Hause.
Idris, J, 2005. Kompilasi Pemeikiran
Pendidikan,. Taufiqiyah Sa’adah Banda Aceh dan Suluh Press
Yogyakarta: Banda Aceh dan Yogyakarta.
Imron, 1995. Pembinaan Guru di
Indonesia, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Journal PAT. 2001. Teacher in England
and Wales.
Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online), http://www.members.aol.com/PTRFWEB/journal1040.,
diakses 7 Juni 2001).
Junaidin, Akh, 2006. Kepuasan Kerja Guru,
Al-Fikrah Jurnal Studi Kependidikan dan Keislaman, Ed. I thn. I hal. 45-66.
Kohler, Jerry. W., Anatol, karl W. E dan
Applbaum, Ronald L. 1981. Organizational Communication: Behavioral
Perspective. New York:
Holt Rinehart and Winstons.
Maister, 1997. True Professionalism. New York: The Free
Press.
Mendiknas, 2005. Paradigma
Pendidikan Indonesia, (Koran Berita). Mataram.
Muhammad, A. 2001. Komunikasi
Organisasi. Ed. 1, Cet.4 Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya.
_______, 2003. Manajemen Berbasis
Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi) Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Nainggolan H, 1990. Pembinaan
Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan
Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara
Pembaharuan. (Online),
http://www.suarapembaruan.com/News/081998/08Opini
Nur Syam, 2005. Pendidikan di era
Globalisasi “Tantangan dan Strategi”. Orasi Ilmiah dalam wisuda Perdana
STAI Al-Amin Dompu.
Owens, 1991. Organisational Behavior in education. Bonston: Allyn and Bacon.
Oemar Hamalik, 2002. Psikologi
Belajar Mengajar. Bandung: PT. Sinar baru Algensindo.
Pantiwati, 2001. Upaya
Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi
(untuk Guru MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS
Universitas Malang. Hlm.1-12.
Pidarta, 1997. Landasan
Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT. Bina
Rineka Cipta.
_______, 1999. Pemikiran tentang
Supervisi Pendidikan. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Raka Joni, T, 1992. Pokok-pokok
Pikiran Mengenai Pendidikan Guru. Jakarta : Ditjen Dikti Depdiknas.
Robbins, S.P. 1996. Organization Behavior:
Concep-Contraversies Application. New Jersey:
Englewood
Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
Rusmini, 2003. Kompetensi Guru Menyongsong
Kurikulum Berbasis Kompetensi, http://www.Indomedia.com/bpost/042003/22
Opini.
Semiawan, 1991. Mencari Strategi
Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Sergiovanni, T.J., 1991. The Principalship
of reflektive Practice prespectif, Boston
: Allyn and Bacon.
Soetjipto, Raflis Kosasi. 1999. Profesi
Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.
Stiles, K.E. dan Horsley, S. 1998. Professional
Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet
the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional
Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet
the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Sulistyorini, 2001. Hubungan antara Keterampilan
Manajerial Kepala Sekolah dan Iklim Organisasi dengan Kinerja Guru. Ilmu
Pendidikan: 28 (1) 62-70.
Supriadi, 1999. Mengangkat Citra dan
Martabat Guru, Yogyakarta: Adi Cita Karya
Nusa.
Suparlan, 2004. Beberapa Pendapat
tentang Guru Efektif dan Sekolah Efektif. Fasilitator : Edisi I Thn
2004(23-28).
Suryabrata, 2001. Psikologi
Kepribadian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sutadipura, 1994. Kompetensi Guru
dan Kesehatan Mental. Bandung: Penerbit Angkasa.
Sutaryadi, 1990. Administrasi
pendidikan. Surabaya: Usaha nasional.
________, 2001. Administrasi
Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Slemato. 1995. Belajar dan
Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
S. Karim A. Karhami, 2005.
Mengubah Wawasan dan Peran Guru dalam era kesejahteraan . Akses Internet.
Tempe, A. Dale., 1992. Kinerja.
Jakarta : PT. Gramedia Asri Media.
The Liang Gie, 1972. Kamus
Administrasi. Jakarta: Gunung Agung.
Uzer usman, Moh. 2002. Menjadi
Guru yang Profesional. Edisi
kedua. Bandung:
Remadja Rosdakarya.
W.F. Connell, 1974. The Foundation of
Education.
Wijaya, C. Dan Rusyan A.T, 1994. Kemampuan Dasar Guru dalam
Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zahera Sy, 1997. Hubungan konsep
diri dan kepuasan kerja dengan sikap guru dalam proses belajar mengajar,
Ilmu Pendidikan, jilid 4 Nomor 3 hal. 183-194.
________, 1998. Pembinaan yang
dilakukan Kepala Sekolah dan etos kerja guru-guru Sekolah Dasar., Ilmu
Pendidikan, jilid 5 Nomor 2 hal. 116-128.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar